“Kak Sham, terima kasih banyak, ya. Kakak udah mengantar kami ke klinik.” Naina tersenyum ke arah Grissham lalu mengalihkan perhatiannya pada baby Zora yang sedang tertidur tenang di bouncer. Di dahi bayi itu terdapat fevers untuk menurunkan demam. “Sama-sama, Lora. Untungnya, aku datang tepat waktu sehingga bisa langsung mengantar kalian,” balas Grissham disertai dengan senyuman tulus. Naina menghela napas panjang seraya mengusap kepala baby Zora yang sudah digunduli. “Aku tadi benar-benar panik waktu Zora demam tinggi.” “Aku takut banget Zora akan mengalami kejang karena suhu tubuh yang terlalu tinggi. Mau cepat-cepat dibawa ke klinik, tapi belum punya kendaraan,” ucapnya. Grissham menyentuh kaki mungil baby Zora yang tidak dilapisi apapun. “Semua itu sudah berlalu. Sekarang, demam Zora mulai turun. Kita tinggal pantau kondisinya. Semoga saja semakin membaik.” Naina mengangguk pelan. “Aamiin, ya Allah. Sekali lagi makasih udah menolongku, Kak. Aku nggak tau kalau nggak ada Kak
Naina menghela napas berat lantas mengubah posisi duduknya dengan menekuk lutut. “Aku seharian ini sama sekali nggak pegang ponsel. Sejak bangun tidur Zora rewel banget dan ternyata suhu badannya hangat.” “Dia pengennya digendong terus. Waktu ditidurkan, langsung nangis. Aku nggak bisa melakukan apapun selain menenangkan Zora. Aku kompres pakai air hangat sama ngasih ASI.” “Tapi semakin ke sini, badan Zora semakin panas hingga akhirnya demam tinggi. Aku panik banget, takut, cemas semuanya jadi satu. Untungnya ada Kak Sham yang datang dan langsung membawa kami ke klinik.” “Kamu tau, Zel? Demamnya Zora tinggi banget waktu diperiksa sama dokter di sana. Beruntung nggak sampai kejang sama nggak perlu rawat inap,” ceritanya panjang lebar. Zelda menghembuskan napas lega. “Syukurlah…. Berarti kamu nggak kemana-mana hari ini?” “Cuma ke klinik doang. Selain itu, aku pure di rumah. Aku nggak bisa kemana-mana karena Zora nggak mau ditinggal. Ini aja baru banget aku tidurkan di bouncer,” jela
Naina sedang menggendong baby Zora sambil diayun-ayunkan. Tangannya menepuk-nepuk pant*t sang anak dengan bibir yang senantiasa menyenandungkan sholawat.Malam ini baby Zora kembali rewel. Tubuhnya tidak lagi demam tinggi melainkan hanya hangat. Mungkin karena merasakan badannya yang sakit menjadikan bayi itu merengek terus.Untungnya, baby Azhar bisa diajak kompromi. Bayi itu seakan mengerti dengan kondisi adik kembarnya yang sedang sakit sehingga tidak menuntut banyak dan lebih anteng.Naina menunduk melihat putrinya yang sudah tidur dengan lelap. Ia berjalan ke arah tempat tidurnya. “Adek Zora bobo di kasur, ya, biar lebih leluasa bobonya.”Dengan sangat perlahan, wanita itu melepaskan gendongan jarik lalu membaringkan baby Zora di samping baby Azhar yang sudah lebih dulu tertidur.Baby Zora menggeliat dengan mengusap-usap wajahnya menggunakan tangan mungilnya. Naina dengan sigap menepuk-nepuk pelan paha putrinya agar tidak terbangun. “Sssttt….”Ia mencium kening satu-persatu putra
Tuan Albern tampak menghela napas. “Apa yang dikatakan Pak Firman memang benar, Naina. Kau mendapatkan sebagian harta warisan peninggalan ibu saya dan beberapa asetnya.” “Tapi kenapa harus saya, Tuan? Masih ada Zelda dan Kak Grissham sebagai cucu kandung Oma Hira, sementara saya ini bukan siapa-siapa,” sanggah Naina masih tak menyangka.“Harta warisan ini murni milik ibuku. Semua anak dan cucunya sudah mendapatkan bagian masing-masing. Ini merupakan wasiat dari Ibu untuk memberikannya kepadamu, Naina,” ujar Tuan Albern.Pak Firman menyodorkan sebuah map yang berisi sejumlah kertas beserta bulpoint ke arah Naina. “Ini, Bu. Silakan dibaca lalu ditandatangani berkas pengalihan aset atas nama Ibu Naina.”Naina membaca dengan seksama semua berkas itu. “Restoran Star Shine diberikan untukku?” tanya Naina menatap Tuan Albern meminta penjelasan.Tuan Albern menganggukkan kepalanya. “Dari awal restoran dibeli memang tujuannya untuk diberikan kepadamu. Ibu memang tidak bilang apapun, tetapi sa
Pertanyaan dari Tuan Albern itu membuat Naina tersadar. Ia mengusap kedua pipinya yang basah lalu menatap berkas-berkas di atas meja.“Tolong, terima peninggalan Ibu karena merupakan wasiat terakhir dari beliau. Saya hanya menjalankan amanah saja,” kata Tuan Albern lagi.Naina memejamkan mata sejenak dan menarik napas dalam-dalam sebelum berkata dengan tegas, “baiklah, saya menerimanya. Saya bersedia menjalankan wasiat dari Oma Hira dengan sebaik mungkin.”Ia meraih pulpen bersiap untuk menandatangani berkas pengalihan aset. “Apa saja yang perlu saya tanda tangani?”Pak Firman menjelaskan sekaligus memberikan arahan kepada Naina mengenai dokumen mana saja yang wajib ditandatangani.“Terima kasih atas kerja samanya, Bu Naina,” ujarnya ketika Naina telah selesai membubuhkan tanda tangannya.“Seharusnya saya yang berterima kasih, Pak. Saya merasa tidak pantas mendapatkannya,” balas Naina dengan kepala tertunduk sambil memainkan jemari di pangkuannya.“Kau pantas dan berhak, Naina. Ibu sa
Naina membulatkan matanya terkejut mendengarkan kata pedas yang terlontar dari mulut Evan. Seketika, hatinya berdenyut sakit disertai rasa perih tak terkira. “Apa maksudmu? Aku tidak hidup di bawah belas kasihan orang lain!” sanggahnya tidak terima.“Oh ya?” Evan tersenyum miring terkesan mengejeknya. “Kau lupa diri rupanya. Baiklah, biar kuingatkan kembali. Kau tinggal bersama kami di kelurga Steward berkat siapa?”“Kau mempunyai karir yang bagus, menjadi model dan pengelola restoran, semua itu berkat siapa? Kau berada di titik ini berkat siapa?”“Itu apa namanya kalau bukan hidup di bawah belas kasihan orang lain? Tanpa bantuan Zelda dan Oma, kau takkan bisa seperti sekarang,” cercanya.Naina mengeraskan rahangnya dengan tatapan yang menyorot tajam ke arah Evan. “Kau tak tahu apapun! Jangan seenaknya menjudge-ku!” Evan tersenyum berhasil membuat emosi Naina terpancing. “Siapa bilang aku tak tahu apapun, hm? Sebelum kau diterima Oma tinggal di rumah, aku sudah lebih dulu mencari ta
Zelda berada di sebuah restoran sedang menunggu kedatangan seseorang. Jam makan siang ini ia menyempatkan waktu untuk menemui orang itu karena ada hal penting yang ingin dibicarakan.Perempuan berdarah campuran itu belum memesan makanan, melainkan hanya minuman karena ingin makan siang bersama dengan orang itu. Ia mengaduk-ngaduk jusnya sambil sesekali menatap jam tangannya.“Hai, Sayang.”Seorang laki-laki tampan yang mengenakan kemeja navy datang disertai senyuman manis lalu mencium pucuk kepala Zelda. Ia mengambil tempat duduk di hadapan perempuan yang menjadi kekasihnya ini. Zelda memasang wajah cemberut dengan bibir manyun. Ia mengetuk-mengetuk jam tangannya sebagai isyarat bahwa laki-laki itu datang melewati waktu yang dijanjikan.Laki-laki berkulit cerah itu terkekeh kecil menahan gemas. “Iya, aku sadar, aku telat. Aku minta maaf, ya, soalnya tadi ada pekerjaan yang harus kuselesaikan dulu di kantor.”“Dimaafin!” balas Zelda tidak ikhlas.Laki-laki itu tersenyum, memanggil wai
Zelda menggeleng tidak setuju. Perumpamaan macam apa itu? Kekasihnya ini selalu saja merendah. “Kalau kita nggak mencobanya, mana tahu? Kamu nggak capek apa?”“Enam tahun itu bukan waktu yang sebentar, loh. Aku ingin menunjukkan pada dunia kalau kamu adalah kekasih terbaikku.”“Aku nggak ingin lagi sembunyi-sembunyi menemuimu. Kamu nggak capek apa main rahasiaan kek gini?” keluhnya.“Aku juga sama capeknya sepertimu. Tapi seru kan?” Laki-laki itu kembali menatap Zelda dengan senyum jenaka dan menaik-turunkan kedua alisnya untuk menggoda sang kekasih.“Seru apaan? Makin nggak jelas yang ada.” Zelda mendengus keras sambil berdecak kesal. Ia melengos, enggan menatap kekasihnya. “Dulu ada Oma sebagai alasan, terus ditambah lagi ada Naina yang membuatku sering berkunjung.”“Sekarang Oma udah nggak ada, Naina juga udah pergi dari rumah. Jadi, aku nggak punya alasan untuk berkunjung ke rumah itu dan menemuimu,” ujarnya.“Kan ada Grissham,” balas laki-laki itu.Zelda memutar bola mata malas.