Share

115. Sebuah Wasiat

Penulis: Putri Cahaya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-28 23:48:05

Semua orang yang ada di ruang tengah menoleh guna melihat siapa orang yang baru saja berbicara itu.

“Mbak Mira?” gumam Naina menatap perempuan berkerudung hitam yang berjalan mendekat.

Mira berhenti di samping sofa yang diduduki Naina dan berdiri di sana. “Saya minta maaf, telah lancang dan nggak sengaja mendengar pembicaraan kalian.”

“Mbak Mira ke sini? Dedek twins gimana? Sendirian dong?” tanya Naina beruntun karena merasa sedikit khawatir sekaligus gusar. Ia mulai menunjukkan sikap posesif terhadap anak-anaknya.

“Saya minta maaf, Mbak, udah meninggalkan dedek twins. Mbak tenang aja, dedek twins aman dan masih bobo. Saya keluar kamar juga untuk menanyakan letak botol dot milik Adek Zora,” jawab Mira sembari memilin ujung bajunya, takut jika Naina akan memarahinya.

Naina menghembuskan napas lega. Namun, sedetik kemudian ia menepuk keningnya seakan teringat sesuatu. “Botol dotnya Zora ada di tempat cuci piring. Aku lupa belum sempat mencucinya.”

Mira mengangguk paham. “Nanti saya yan
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   116. Ternyata Dialah Orangnya

    Naina menghela napas lantas membalikkan tubuhnya menghadap Grissham. Lagi-lagi pertanyaan itu. Saat di rumah sakit, ia yang bertanya tidak dijawab. Sekarang malah dipertanyakan lagi. Wanita yang mengenakan daster panjang beserta kerudung itu menggeleng. “Aku sama sekali nggak mengingatmu, Kak. Yang kutahu kamu adalah cucu pertama Oma Hira, anaknya Tuan Albern, dan sepupunya Zelda. Itu saja.” Grissham menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana training panjangnya. “Aku meminta waktumu untuk berbicara berdua. Apa kau bisa?” Naina menganggukkan kepalanya. “Boleh, tapi aku ingin mengecek dedek twins dulu sebentar.” “Baiklah, aku akan menunggumu di teras dekat kolam renang.” Setelah mengatakan itu, Grissham berlalu dari sana. Naina pun melanjutkan langkahnya menuju kamar. “Bagaimana dedek twins? Rewel nggak, Mbak?” tanyanya begitu tiba di dalam kamar. “Aman kok, Mbak. Dedek twins bobo anteng. Tadi sempat kebangun sebentar terus n

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   117. Kepingan Masa Lalu

    “Jadi Kakak itu benar-benar Kak Sham?”“Iya, Lora. Ini aku, Sham, orang yang pernah hadir dan dekat denganmu.” Grissham menjeda sejenak ucapannya untuk melihat raut wajah Naina yang tampak menatapnya serius.“Waktu pertama kali kita bertemu lagi di rumah sakit, aku memanggilmu Lora. Kau ingat kan? Padahal kau hanya menyebutkan nama lengkapmu saja.”“Itu karena aku tahu panggilanmu yang dulu adalah Lora. Aku sengaja bilang seperti itu agar kau ingat,” ceritanya.Naina mengangguk membenarkan. “Aku sebenarnya ingat, Kak. Tapi aku nggak ingin menanggapi lebih jauh dan mungkin memang hanya kebetulan semata.”Grissham sudah bisa menebak itu mengingat kembali ekspresi Naina saat itu yang tampak terkejut. “Awalnya aku juga ragu apakah kau adalah Lora yang kukenal dulu atau bukan.”“Sebelumnya aku sudah pernah melihatmu lewat postingan dengan wajah yang tertutup. Aku juga tahu, banyak yang memiliki nama Lora. Banyak juga yang menggunakan nama Naina.”“Namun, perempuan yang bernama Naina Leonor

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-31
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   118. Penyesalan Terbesar Seorang Anak

    Pada waktu bersamaan, ibunya mengalami kritis yang sedang berjuang antara hidup dan mati. Grissham ditelepon berkali-kali oleh keluarganya untuk memintanya pulang.Saat itu, ia sedang pergi ke toilet tanpa membawa apapun termasuk ponselnya. Namun, Freya dengan liciknya membiarkan saja tanpa mengangkat lalu menghapus semua jejak itu supaya acara kencannya tidak terganggu karena sudah lama tidak menghabiskan waktu berdua.Grissham kembali dan melanjutkan acara kencannya di pasar malam. Ia berusaha menghargai keberadaan Freya meski dalam hati dan perasaannya tidak enak. Hingga ponselnya berdering dan ada panggilan masuk dari Zelda. Grissham segera mengangkatnya. “Ya, Zee?” tanyanya ketika telepon tersambung.“Kak Isham di mana sekarang?” tanya Zelda dengan suara parau seperti habis menangis. Hal itu membuat Grissham merasa ada sesuatu yang tidak beres.“Aku….” Grissham melirik Freya sejenak yang tampak menikmati jajanan. Ia tidak mungkin memberitahu yang sebenarnya. “Aku sedang ada uru

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-31
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   119. Benarkah Ini Putriku?

    Beberapa hari telah terlewati. Aqiqah dedek twins telah terlaksana. Begitu pula dengan Naina yang juga sudah selesai masa nifasnya. Sekarang ini, ibu dari dua anak itu sedang dalam perjalanan menuju rumah kontrakan yang akan menjadi tempat tinggalnya. Ia pergi bertiga bersama Zelda dan Mira dengan diantar supir, sedangkan Grissham katanya nanti akan menyusul setelah menyelesaikan pekerjaan. “Rumahnya agak jauh dari restoran, nggak papa, ya? Tapi aku jamin lingkungannya nyaman banget dan pastinya aman. Rumahnya juga dekat dengan fasilitas umum, jadi kalau butuh apa-apa nggak perlu jauh-jauh,” beritahu Zelda saat hendak pergi. “Nggak papa kok, Zel. Yang terpenting ada tempat tinggal yang layak untukku dan anak-anak,” balas Naina yang hanya menerima saja. Sudah untung dicarikan kontrakan dan tinggal menempati. Rasanya tidak tahu diri sekali bila mengajukan protes. “Cantik sesekali putri Mama. Semakin ke sini kecantikan Adek Zora semakin terlihat, ya.” Naina yang duduk di antara Z

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-01
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   120. Rumah Baru

    Naina terbungkam tidak bisa berkata-kata. Wajahnya seketika berubah sendu. Benarkah ia pilih kasih terhadap dedek twins? Padahal dirinya sudah berusaha semaksimal mungkin agar bisa adil tanpa membedakan kasih sayang.Naina memang lebih perhatian ke baby Zora karena terlalu khawatir bila diagnosa dokter menjadi kenyataan. Ia ingin menjaga baby Zora yang memiliki tubuh sangat rentan.Tetapi ternyata apa yang dilakukannya ini salah. Tanpa sadar, Naina bersikap pilih kasih terhadap kedua anaknya. Ya, ia juga baru menyadarinya sekarang setelah diingatkan oleh Zelda.“Jangan sampai ketika udah besar nanti, mereka akan saling membenci karena kasih sayangmu yang berbeda,” lanjut Zelda mengungkapkan keresahannya.Deg!Naina mematung dengan jantung mencelos. Ia menggeleng pelan. Tidak! Dirinya tidak akan membiarkan itu terjadi. Dedek twins harus hidup rukun dan saling menyayangi layaknya saudara kandung.“Jujur, aku sama sekali nggak sadar udah bersikap pilih kasih. Tapi beneran aku nggak bern

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-02
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   121. Butuh Baby Sitter

    Zelda tertawa kecil menatap Naina yang tak berhenti terperangah melihat isi dalam rumah ini. “Sebenarnya rumah ini tuh ditinggalkan pemiliknya pindah ke kota lain tanpa membawa apapun kecuali barang berharga.”“Rumah ini pun dijual, sayangnya belum ada yang cocok dengan harga yang diajukan pemilik rumah. Banyak para calon pembeli yang menawar dan jauh dari harga jual sebelumnya.”“Jadi, nggak ada titik temu. Akhirnya pemilik rumah memutuskan untuk mengontrakkan rumahnya aja biar ada yang menempati dan tidak kosong,” ceritanya panjang lebar.Naina manggut-manggut paham. Sayang sekali rumah sebagus ini ditinggalkan begitu saja. Mungkin kota yang dituju si pemilik rumah sangat jauh. Karena tidak ingin terlalu rempong membawa banyak barang, jadi ditinggalkan begitu saja.Wanita itu menepuk-nepuk pant*t baby Zora seraya berjalan mengikuti Zelda menuju area belakang. Ada kamar mandi yang terpisah antara tempat mandi dan tempat WC. Ada pula tempat loundry di sana sekaligus digunakan untuk w

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-02
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   122. Surat Undangan

    Tok tok tok Dhafin yang sedang bercengkrama–lebih tepatnya mendengarkan semua keluhan Freya menoleh ke arah pintu utama yang sengaja dibuka agar tidak menimbulkan praduga negatif. Orang tuanya sedang ada acara di luar sehingga hanya dirinya dan Freya yang berada di rumah ini bersama dengan ART. Ia beranjak dari duduknya menghampiri satpam rumah yang berdiri di ambang pintu. “Ada apa?” tanyanya. “Ini, Den, ada kiriman untuk Aden.” Satpam itu menyerahkan sebuah amplop coklat kepada Dhafin. “Dari siapa?” “Dari asistennya Pak Ridwan, Den. Beliau hanya menitipkan surat itu karena ada urusan lain yang mendesak.” Dhafin sedikit mengernyitkan kening. Pak Ridwan adalah pengacara keluarganya. Asisten beliau mengirimkan sebuah surat yang pastinya bukan surat sembarangan. Satu yang terlintas dalam benaknya. Tentang perceraiannya dengan Naina. “Kalau gitu saya permisi kembali ke depan, Den,” pamit sang satpam. Dhafin mengangguk singkat. “Terima kasih.” Ia balik badan setelah satpam it

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-03
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   123. Mediasi Pertama

    “Saya pasti akan datang.” Dhafin ingin memperjuangkan pernikahannya dengan Naina agar tidak jadi bercerai. Meskipun sudah di ambang kehancuran, setidaknya masih ada sedikit kesempatan untuk memperjuangkan. Untuk itu, Dhafin harus mendatangi setiap undangan dari pengadilan agama. Entah harus menjalani berapa kali mediasi, ia tidak peduli. Yang terpenting dirinya dan Naina bisa bersatu kembali. “Kalau misalkan ada halangan yang membuat Pak Dhafin tidak bisa hadir, Bapak harus konfirmasi kepada saya,” ucap Pak Ridwan di seberang sana. “Baiklah.” Dhafin menjeda perkataannya sejenak untuk menarik napas dalam-dalam. Ia berdehem kecil ketika tiba-tiba rasa gugup melanda dirinya. “Apa… apakah Naina akan datang nantinya?” “Tentang itu, saya akan konfirmasi ke Pak Bagas lebih dulu sebagai pengacara Ibu Naina.” “Kalau bisa secepatnya, Pak.” “Setelah ini saya akan menghubungi Pak Bagas dulu. Saya akan segera memberitahu Pak Dhafin jika sudah mendapatkan informasi.” “Baik, saya tunggu.”

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-03

Bab terbaru

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   196. Merebut Hak Asuh?

    Dhafin membulatkan matanya tidak menyangka. Ia menggelengkan kepalanya kuat. “Nggak, Lora. Aku nggak bisa kalau nggak bertemu dengan anak-anakku. Tolong, jangan seperti ini.”“Itu urusanmu! Bukan urusanku!” balas Lora ketus. Ia berbalik badan lalu berjalan menuju mobil Grissham. Namun, baru beberapa langkah, sebuah tangan menahan lengannya. Siapa lagi kalau bukan mantan suami sekaligus ayahnya anak-anak?“Lora, dengarkan aku dulu.”Lora menyentak kasar tangan Dhafin hingga terlepas kemudian melanjutkan langkahnya tanpa memedulikan panggilan Dhafin. “Lora, tunggu!”“Lora!”“Lora!”Dhafin berusaha mengejar wanita itu, tetapi terlambat ketika Lora masuk ke dalam mobil milik Grissham. Ia hanya bisa menatap kepergian mobil itu dengan perasaan yang sangat berantakan. “Argh! Sialan!”Dhafin menyunggar rambutnya frustasi dan mendesah kasar. Ia berjalan kembali menghampiri orang tuanya. “Semua ini gara-gara Mama sama Papa.”“Kalau aja kalian nggak membawa Azhar tanpa izin, Lora nggak akan m

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   195. Jangan Temui Anakku Lagi!

    Azhar menoleh ke arah sumber suara. Kedua matanya langsung berbinar-binar begitu melihat siapa yang baru saja memanggil namanya. “Mama!” serunya lalu loncat turun dari kursi. Kaki kecilnya berlari kencang menghampiri sang ibu disertai senyuman lebar.Lora berlutut sembari merentangkan kedua tangan untuk menyambut kedatangan putranya. Ia sedikit terhuyung ke belakang saat Azhar menubruk tubuhnya dan masuk dalam pelukan. Wanita itu mendekap Azhar erat-erat seolah sudah lama tidak berjumpa dan takut putranya akan pergi bila pelukan ini terlepas. Butiran air dari kelopak matanya luruh tanpa diminta. Ia bahagia sekaligus terharu akhirnya bisa menemukan Azhar setelah semalaman dibuat khawatir setengah mati. “Mama kangen banget, Sayang, Mama khawatir. Jangan pergi-pergi lagi, ya, Nak. Jangan tinggalkan Mama. Mama nggak bisa berjauhan sama Azhar.”“Mama,” panggil Azhar. Tangan kecilnya memeluk erat leher sang ibu dan menenggelamkan wajahnya di sana. Lora menangguk seraya mengusap kepala

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   194. Menjemput Azhar

    Dhafin mengetatkan gigi gerahamnya dengan napas yang memburu. Ia berusaha semaksimal mungkin agar amarahnya tidak meledak-ledak. “Inilah yang terjadi kalau kalian terlalu memaksa putraku! Kalau saja aku nggak pulang ke rumah ini, Azhar mungkin nggak akan berhenti menangis sampai pagi!” ujarnya.“Papa,” panggil Azhar dengan sedikit menjauhkan tubuh agar bisa menatap ayahnya. “Mau pulan.”Dhafin mengalihkan perhatiannya pada sang putra. “Azhar ingin pulang?”Azhar mengangguk sambil mengerucutkan bibirnya. “Njang mau ama Mama ama Dek Oya.”Dhafin tersenyum lebar lalu mencium kedua pipi gembul Azhar. “Baiklah, ayo, kita pulang. Papa akan antarkan Azhar ke Mama sama Dek Zora.” Pria itu berbalik badan lalu mulai melangkah keluar ruang tengah menuju pintu utama bersama Azhar yang masih berada di gendongannya.“Dhafin, tunggu!” cegah Bu Anita ketika sampai di ruang tamu. Pak Daniel juga ikutan menyusul. Dhafin menghentikan langkahnya dan menoleh tanpa berbalik. “Ada apa lagi, Ma? Aku ingin

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   193. Ternyata Ada di Rumah ini

    “Mama... huwaaaa....” Suara tangisan seorang anak kecil terdengar nyaring memenuhi seluruh penjuru rumah ini. Tiga orang dewasa yang menemani dibuat kelimpungan karena bingung bagaimana cara menenangkannya.Sudah sejak sore tadi, anak itu terus menangis tanpa berhenti dengan terus memanggil-manggil ibunya. Hingga sekarang saat malam semakin larut, tangisannya belum juga reda bahkan sampai melewatkan makan malam.“Sayang, sini sama Oma. Oma gendong, yuk. Mau?” ajak seorang wanita paruh baya sembari duduk berlutut di hadapan anak itu. Ia memegang tangan kecil milik cucunya dengan disertai sedikit tarikan.Anak kecil itu menggelengkan kepala ribut dan menepis kasar tangan orang yang mengaku neneknya. Ia menggeser tubuh menjauh seraya menghentak-hentakkan kakinya di lantai. Tangisannya pun semakin kencang tak terkendali. “Ndak mau… ndak mau… ndak mau…. Mau Mama… Mama….”Wanita itu kembali mundur untuk menghampiri suaminya yang duduk di sofa ruang tengah. “Bagaimana ini, Pa?”“Anak ini

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   192. Ikatan Batin Anak Kembar

    “Loh, Zora belum tidur rupanya?”Lora terkejut melihat putrinya yang masih terbangun lantas menghampiri Zora yang berbaring di tempat tidur bersama Amina. Ia mengalihkan tatapannya ke arah perempuan itu untuk meminta penjelasan.Amina beranjak duduk dengan tangan yang membawa buku dongeng. “Adek Zora dari tadi menanyakan Kakak Azhar terus, Mbak. Dia nggak mau tidur kalau nggak ada Kakak Azhar.”Zora beranjak bangun lantas mendekati ibunya di pinggir ranjang. “Mama….” rengeknya sambil mengulurkan kedua tangan minta digendong.Lora mengangkat putrinya dalam gendongan, memeluk, dan mengusap lembut punggung Zora. Ia berjalan sembari mengayun-ayunkan tubuhnya. “Zora kenapa belum tidur, Sayang? Zora mencari-cari Kakak Azhar, ya?”Zora yang menyandarkan kepalanya di pundak Lora mengangguk pelan. Matanya yang indah sesekali terpejam menahan kantuk, tetapi ia ingin bertemu kembarannya. “Njang mana, Mama? Oya mau ama Njang.”Lora tidak langsung menjawab. Hatinya terasa teriris melihat putrinya

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   191. Kemana Lagi Harus Mencari?

    Lora terdiam sembari berpikir hingga tiba-tiba satu nama terlintas di otaknya apalagi pagi tadi baru saja bertemu. Dan bisa dikatakan pula pertemuannya itu tidak berakhir dengan baik. Kemungkinan besar orang itu akhirnya menjadi dendam sehingga dengan teganya menculik Azhar.“Freya. Iya, pasti dia yang menculik putraku,” ucapnya.“Apa kau yakin, Lora?” tanya Grissham tampak ragu-ragu.“Siapa lagi kalau bukan dia, Kak? Cuma dia yang nggak suka melihatku bahagia,” jawab Lora tanpa menoleh. Tangannya mengutak-atik ponsel lantas segera menghubungi Freya. “Ada apa lagi menghubungiku?” tanya Freya ketus setelah panggilan tersambung.“Dimana putraku?” sambar Lora langsung tanpa basa-basi.“Hah?” Suara Freya terdengar terkejut. “Ya, mana aku tau dimana anakmu. Kan kamu ibunya.” Lora berdecak kesal. “Nggak usah bohong! Kamu kan yang menculik anakku?” tanyanya disertai dengan desakan.“What?! Enak aja kamu menuduhku! Aku nggak tau, ya, dimana anakmu berada,” jawab Freya terdengar tidak terim

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   190. Kemungkinan Diculik

    Usapan lembut di pundak, membuat Lora menoleh ke arah Grissham yang tengah tersenyum seolah memberikan kekuatan. Ia berdehem setelah berhasil menguasai diri. “Bagaimana bisa sampai hilang?” tanyanya dengan suara pelan.Amina terdengar menarik napas dalam-dalam. “Tadi kan saya sama si kembar main di taman kompleks, Mbak. Awalnya mereka bermain dengan anteng menggunakan mainan masing-masing.”“Terus di tengah-tengah bermain, Adek Zora tantrum minta dibelikan makanan yang Mbak Lora larang. Saya fokus menenangkan Adek Zora yang nangis rewel.”“Saking fokusnya saya sampai nggak sadar kalau Kakak Azhar nggak ada ditempatnya. Saya udah cari-cari sekitaran taman, tapi nggak ada.”“Saya tanya sama orang-orang di sana juga bilangnya nggak tau. Saya benar-benar minta maaf, Mbak. Ini kesalahan saya yang lalai dalam menjaga Kakak Azhar,” jelasnya panjang lebar.“Ya Allah, Mbak Mina... bagaimana bisa kamu seceroboh itu? Astaghfirullahalazim.” Lora memejamkan mata sejenak untuk mengendalikan amara

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   189. Azhar Hilang?

    Lora menatap Freya tajam dengan raut wajah datar. “Jangan salahkan anak-anakku, Freya. Mas Dhafin sendiri yang mendekati mereka sehingga terbiasa dengan kehadirannya.” “Dari awal, aku nggak mengizinkan Mas Dhafin bertemu anak-anak, tapi dia tetap ngotot ingin bertemu dan dekat dengan mereka,” katanya dingin dan penuh penekanan.Ia menghela napas lalu mengubah ekspresinya menjadi lebih santai. “Lagi pula kamu nggak bisa melarang seorang ayah yang ingin bertemu dengan anak kandungnya.”“Meskipun aku dan Mas Dhafin udah resmi bercerai, tapi hubungan anak dengan ayahnya nggak akan pernah putus. Nggak ada yang namanya mantan anak kandung dan mantan ayah kandung.”“Mereka punya ikatan darah yang bahkan aku sendiri pun nggak bisa memutusnya. Apalagi kamu yang hanya sebatas tunangan,” paparnya panjang lebar.Lora tersenyum melihat ekspresi wajah Freya yang terdiam seolah-olah kehabisan kata-kata. “Beginilah resiko kalau kamu ingin menikahi seorang duda yang punya buntut.”“Kalau ingin menjad

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   188. Sebuah Peringatan dari Lora

    Lora menghentikan mobilnya di area parkir salah satu cafe untuk bertemu dengan seseorang. Ia melepaskan seat belt, tetapi tidak langsung turun. Wanita itu masih bergeming di tempatnya seraya menarik napasnya dalam-dalam untuk mengurangi rasa gugup yang tiba-tiba melanda. Tangannya meraih tas di kursi samping ketika mendengar ponselnya berdenting. Ternyata Grissham yang mengirim pesan. Ia pun segera mengetik balasannya.Grissham: [Kau serius ingin menemui Freya sendirian?] Lora: [Iya, ini aku udah sampai di tempat janjian] Grissham: [Perlu kutemani?] Lora: [Nggak usah, Kak. Aku bisa sendiri kok] Grissham: [Aku khawatir dia berbuat macam-macam padamu] Lora: [Aku jamin itu nggak akan terjadi. Kakak tenang aja, aku bisa jaga diri. Oke?] Grissham: [Baiklah, aku percaya padamu. Kalau ada sesuatu yang terjadi, langsung menghubungiku, hm?] Lora: [Iya, Kak Sham] Grissham: [Jangan lama-lama. Ingat, hari ini ada konferensi pers dan kau harus datang. Jangan sampai telat] Lora: [Iya, Ka

DMCA.com Protection Status