Pria itu lantas menatap intens baby Zora yang anteng di pangkuan ibunya. “Apa aku boleh menggendongnya?” izinya penuh harap. “Boleh, Om.” Naina mengubah posisi menggendongnya secara perlahan. Tangan kirinya menyangga kepala, sedangkan tangan kanannya menopang punggung hingga pant*t di bayi. Baby Zora menggeliat pelan seraya mengusap-usap wajah menggunakan tangan mungilnya. Pelan-pelan matanya terbuka dan berkedip-kedip lucu. “Uluh uluh… putri Mama udah bangun, Sayang.” Naina mencium kening dan kedua pipi bulat baby Zora. “Adek Zora ikut Grandpa Raynald, ya.” “Grandpa?” gumam Pak Raynald tak percaya Naina akan memberikan panggilan khusus seperti itu. “Not bad.” Naina melirik sejenak Pak Raynald yang duduk di sofa single lalu beranjak dari duduknya menghampiri beliau. Ia memindahkan baby Zora ke dalam gendongan Pak Raynald kemudian kembali duduk di tempatnya tadi. “Hallo, baby girl. Kau cantik sekali mirip seperti ibumu.” Pak Raynald merasa sangat bahagia yang tidak bisa diungkapka
Tok tok tok Naina yang baru selesai menidurkan baby Azhar di box bayi berjalan ke arah pintu. Ia membukanya dan mendapati Mira yang berdiri di sana. “Mbak Nai, ditunggu Nona Zelda dan Den Grissham untuk makan malam bersama di ruang makan,” beritahu Mira. “Oke, Mbak Mira. Aku akan ke sana.” Naina hendak masuk ingin melihat anaknya sekali lagi untuk memastikan benar-benar aman. “Mbak Nai.” Mira segera mencegah Naina. “Biar saya saja yang menjaga dedek twins selagi Mbak Nai pergi makan malam.” Naina mengangguk setuju. “Baiklah, titip mereka, ya. Kalau ada apa-apa segera beritahu saya.” “Siap, Mbak Nai.” Naina berjalan keluar kamar menuju ruang makan. Baru dua langkah, ia berbalik. “Oh ya, Mbak udah makan belum?” “Udah, Mbak. Saya tadi makan di dapur bareng sama yang lainnya.” Naina mengangguk paham lantas menlanjutkan langkahnya yang tertunda. Ia pun menikmati makan malam bersama dengan Zelda dan Grissham. Mereka memang memilih menginap di sini selama dirinya dalam masa pemuliha
Semua orang yang ada di ruang tengah menoleh guna melihat siapa orang yang baru saja berbicara itu.“Mbak Mira?” gumam Naina menatap perempuan berkerudung hitam yang berjalan mendekat.Mira berhenti di samping sofa yang diduduki Naina dan berdiri di sana. “Saya minta maaf, telah lancang dan nggak sengaja mendengar pembicaraan kalian.”“Mbak Mira ke sini? Dedek twins gimana? Sendirian dong?” tanya Naina beruntun karena merasa sedikit khawatir sekaligus gusar. Ia mulai menunjukkan sikap posesif terhadap anak-anaknya.“Saya minta maaf, Mbak, udah meninggalkan dedek twins. Mbak tenang aja, dedek twins aman dan masih bobo. Saya keluar kamar juga untuk menanyakan letak botol dot milik Adek Zora,” jawab Mira sembari memilin ujung bajunya, takut jika Naina akan memarahinya.Naina menghembuskan napas lega. Namun, sedetik kemudian ia menepuk keningnya seakan teringat sesuatu. “Botol dotnya Zora ada di tempat cuci piring. Aku lupa belum sempat mencucinya.”Mira mengangguk paham. “Nanti saya yan
Naina menghela napas lantas membalikkan tubuhnya menghadap Grissham. Lagi-lagi pertanyaan itu. Saat di rumah sakit, ia yang bertanya tidak dijawab. Sekarang malah dipertanyakan lagi. Wanita yang mengenakan daster panjang beserta kerudung itu menggeleng. “Aku sama sekali nggak mengingatmu, Kak. Yang kutahu kamu adalah cucu pertama Oma Hira, anaknya Tuan Albern, dan sepupunya Zelda. Itu saja.” Grissham menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana training panjangnya. “Aku meminta waktumu untuk berbicara berdua. Apa kau bisa?” Naina menganggukkan kepalanya. “Boleh, tapi aku ingin mengecek dedek twins dulu sebentar.” “Baiklah, aku akan menunggumu di teras dekat kolam renang.” Setelah mengatakan itu, Grissham berlalu dari sana. Naina pun melanjutkan langkahnya menuju kamar. “Bagaimana dedek twins? Rewel nggak, Mbak?” tanyanya begitu tiba di dalam kamar. “Aman kok, Mbak. Dedek twins bobo anteng. Tadi sempat kebangun sebentar terus n
“Jadi Kakak itu benar-benar Kak Sham?”“Iya, Lora. Ini aku, Sham, orang yang pernah hadir dan dekat denganmu.” Grissham menjeda sejenak ucapannya untuk melihat raut wajah Naina yang tampak menatapnya serius.“Waktu pertama kali kita bertemu lagi di rumah sakit, aku memanggilmu Lora. Kau ingat kan? Padahal kau hanya menyebutkan nama lengkapmu saja.”“Itu karena aku tahu panggilanmu yang dulu adalah Lora. Aku sengaja bilang seperti itu agar kau ingat,” ceritanya.Naina mengangguk membenarkan. “Aku sebenarnya ingat, Kak. Tapi aku nggak ingin menanggapi lebih jauh dan mungkin memang hanya kebetulan semata.”Grissham sudah bisa menebak itu mengingat kembali ekspresi Naina saat itu yang tampak terkejut. “Awalnya aku juga ragu apakah kau adalah Lora yang kukenal dulu atau bukan.”“Sebelumnya aku sudah pernah melihatmu lewat postingan dengan wajah yang tertutup. Aku juga tahu, banyak yang memiliki nama Lora. Banyak juga yang menggunakan nama Naina.”“Namun, perempuan yang bernama Naina Leonor
Pada waktu bersamaan, ibunya mengalami kritis yang sedang berjuang antara hidup dan mati. Grissham ditelepon berkali-kali oleh keluarganya untuk memintanya pulang.Saat itu, ia sedang pergi ke toilet tanpa membawa apapun termasuk ponselnya. Namun, Freya dengan liciknya membiarkan saja tanpa mengangkat lalu menghapus semua jejak itu supaya acara kencannya tidak terganggu karena sudah lama tidak menghabiskan waktu berdua.Grissham kembali dan melanjutkan acara kencannya di pasar malam. Ia berusaha menghargai keberadaan Freya meski dalam hati dan perasaannya tidak enak. Hingga ponselnya berdering dan ada panggilan masuk dari Zelda. Grissham segera mengangkatnya. “Ya, Zee?” tanyanya ketika telepon tersambung.“Kak Isham di mana sekarang?” tanya Zelda dengan suara parau seperti habis menangis. Hal itu membuat Grissham merasa ada sesuatu yang tidak beres.“Aku….” Grissham melirik Freya sejenak yang tampak menikmati jajanan. Ia tidak mungkin memberitahu yang sebenarnya. “Aku sedang ada uru
Beberapa hari telah terlewati. Aqiqah dedek twins telah terlaksana. Begitu pula dengan Naina yang juga sudah selesai masa nifasnya. Sekarang ini, ibu dari dua anak itu sedang dalam perjalanan menuju rumah kontrakan yang akan menjadi tempat tinggalnya. Ia pergi bertiga bersama Zelda dan Mira dengan diantar supir, sedangkan Grissham katanya nanti akan menyusul setelah menyelesaikan pekerjaan. “Rumahnya agak jauh dari restoran, nggak papa, ya? Tapi aku jamin lingkungannya nyaman banget dan pastinya aman. Rumahnya juga dekat dengan fasilitas umum, jadi kalau butuh apa-apa nggak perlu jauh-jauh,” beritahu Zelda saat hendak pergi. “Nggak papa kok, Zel. Yang terpenting ada tempat tinggal yang layak untukku dan anak-anak,” balas Naina yang hanya menerima saja. Sudah untung dicarikan kontrakan dan tinggal menempati. Rasanya tidak tahu diri sekali bila mengajukan protes. “Cantik sesekali putri Mama. Semakin ke sini kecantikan Adek Zora semakin terlihat, ya.” Naina yang duduk di antara Z
Naina terbungkam tidak bisa berkata-kata. Wajahnya seketika berubah sendu. Benarkah ia pilih kasih terhadap dedek twins? Padahal dirinya sudah berusaha semaksimal mungkin agar bisa adil tanpa membedakan kasih sayang.Naina memang lebih perhatian ke baby Zora karena terlalu khawatir bila diagnosa dokter menjadi kenyataan. Ia ingin menjaga baby Zora yang memiliki tubuh sangat rentan.Tetapi ternyata apa yang dilakukannya ini salah. Tanpa sadar, Naina bersikap pilih kasih terhadap kedua anaknya. Ya, ia juga baru menyadarinya sekarang setelah diingatkan oleh Zelda.“Jangan sampai ketika udah besar nanti, mereka akan saling membenci karena kasih sayangmu yang berbeda,” lanjut Zelda mengungkapkan keresahannya.Deg!Naina mematung dengan jantung mencelos. Ia menggeleng pelan. Tidak! Dirinya tidak akan membiarkan itu terjadi. Dedek twins harus hidup rukun dan saling menyayangi layaknya saudara kandung.“Jujur, aku sama sekali nggak sadar udah bersikap pilih kasih. Tapi beneran aku nggak bern