Gaffi dikenal sebagai sosok guru SMP yang alim dan senantiasa menjaga batasan diri dengan yang bukan mahramnya. Namun, suatu malam, Gaffi tak sengaja bertemu dengan Faezya yang dalam kondisi mabuk di jalanan. Takut perempuan itu menjadi korban kejahatan, Gaffi akhirnya menolong dan membawa pulang Faezya ke rumahnya dengan bantuan Zaki—sahabatnya. Hanya saja, pertemuan singkat tersebut ternyata membawa dampak begitu besar bagi Gaffi. Faezya terus saja mondar-mandir dalam pikirannya! Hal ini membuat Gaffi memutuskan untuk melamar dan menikahi Faezya. Sayang, pernikahan mereka tidak berjalan dengan mulus. Kesabaran Gaffi benar-benar diuji karena Faezya masih muda dan belum berpikir dewasa. Lantas bagaimana nasib si guru alim menghadapi istrinya tersebut?
View MoreMalam semakin larut. Langit tampak pekat. Daun-daun pada jejeran pohon menari diterpa embusan angin. Hanya ada suara hewan malam dari balik semak yang merobek kesunyian.
Gaffi mengendarai motornya dengan kecepatan sedang menembus sunyi dan gelapnya malam. Tubuhnya terbungkus jaket hitam tebal agar liarnya angin malam tidak dapat menjamah kulitnya. Malam semakin larut dan dia baru saja pulang menghadiri pembukaan kafe seorang kerabatnya.Mata laki-laki dua puluh delapan tahun itu menyipit tajam ketika melihat sebuah mobil sedan merah terparkir di tengah jalan. Khawatir jika si pemilik adalah korban kejahatan yang marak terjadi, dia segera menurunkan laju motornya dan berhenti di belakang mobil itu.“Ah, sialan! Mobil kampret! Mending gue beli angkot!” Seorang perempuan berambut panjang tengah mengumpat sembari memukul dan menendang kap juga ban mobilnya.Mogok, ya? Pikir Gaffi.Gaffi mendekat. “Permisi, Mbak,” ucapnya pelan dan terselip keraguan di sana. Meski suaranya pelan, dia yakin perempuan itu dapat mendengarnya sebab suasana malam benar-benar sunyi.Mendengar suara Gaffi, perempuan berambut panjang itu membalikkan tubuhnya menghadap Gaffi. Refleks, Gaffi segera melangkah mundur saat melihat pakaian yang dikenakan perempuan itu. Gaun malam berpotongan pendek yang memperlihatkan bagian bahu dan dada perempuan itu. Dalam hati, Gaffi beristigfar dan meminta perlindungan kepada Tuhan.“Siapa lo?” tanya perempuan itu. Matanya memicing dan tubuhnya tampak sempoyongan. Beberapa kali dia terlihat untuk kembali berdiri tegak setelah nyaris terjatuh.Melihat gelagat perempuan itu yang aneh dan tidak seperti orang biasanya, satu hal yang tercetus dalam benak Gaffi. Perempuan itu dalam keadaan mabuk. Dan dia menjadi sedikit waswas. Ini pertama kalinya dia berhadapan dengan orang mabuk, terlebih lagi seorang perempuan. Menghela napas, dia mencoba untuk tetap tenang.“A—ada yang bisa saya bantu, Mbak?” Gaffi bertanya dengan ragu. Dia tidak yakin perempuan itu bisa menangkap ucapannya dalam kondisi yang bisa dibilang tidak sadar itu.Alih-alih menjawab, perempuan itu malah terkikik membuat Gaffi terperanjat. Kaget tentu saja.“Hihihi ....” Perempuan itu sedikit menunduk, wajahnya tertutup rambutnya yang tergerai. Tiba-tiba, dia mengangkat wajah dan melotot. “Bantu apa, hah?” bentaknya garang.Gaffi kembali terkejut, jantungnya berdentum keras dan tubuhnya sedikit menegang. Saat akan menjawab, suara perempuan itu kembali terdengar.“Aduh ... pusing. Bumi berputar-putar,” keluh perempuan itu sembari memegang kepalanya yang berdenyut-denyut. Sekelilingnya terasa berputar dan kakinya sulit untuk berpijak dengan pasti. “Musiknya mana, heh? Gue mau joget, ah! Woy, musik!” Kini dia meracau, satu tangannya terangkat ke atas.Gaffi bingung sendiri. Tak tahu harus bagaimana di situasi yang baru dijumpainya kini.“Seloki ... seloki ... seloki! Satu seloki wiski! Ah, mantap! Membuat terbang ke angkasa, pikiran stres huusshhh ... empas!” Perempuan itu semakin tidak terkendali. Dia terus meracau, tangannya bergerak-gerak tak tentu arah. Beberapa kali dia hampir terjerembap akibat kehilangan keseimbangan, apalagi kakinya terbalut high heels.Rasanya Gaffi ingin segera pergi saja, tetapi dia tidak sampai hati membiarkan perempuan itu sendirian dalam kondisi seperti ini. Dia takut jika ada seseorang yang memanfaatkan keadaan perempuan itu yang mabuk, lalu melancarkan aksi kejahatan.Menghiraukan racauan perempuan itu yang masih berlanjut dan semakin melantur, dia lantas mencoba untuk menarik perhatian perempuan itu. “Mbak?”Tak ada tanggapan. Perempuan itu malah mengentak-entakkan kepalanya. Gaffi menghela napas panjang.“Mbak? Mbak dengar suara saya?”Masih tak ada tanggapan.“Mbak? Mbak, ada yang bisa saya bantu?” tanya Gaffi dengan suara lebih keras dan jelas. Dan dia mengucap syukur saat perempuan itu melihat ke arahnya dan berhenti meracau.Perempuan itu mengedipkan mata, memandang lurus pada Gaffi. Kepalanya sedikit miring.“Mobilnya mogok, Mbak?” Gaffi kembali bertanya.Tak langsung menjawab, perempuan itu tampak berpikir. Kemudian, dia mengangguk dengan bibir mengerucut tampak kesal. “Mobil mogok kampret. Enggak mau jalan!” lontarnya, lalu kembali terkikik geli. “Mobilnya ngambek, Bego!”“Boleh saya periksa? Siapa tahu saya bisa bantu,” ucap Gaffi, menawarkan bantuan. Demi apa pun, dia ingin ini segera berakhir.Perempuan itu tidak menjawab. Suara ketukan high heels-nya memecah kesunyian malam yang semakin larut. Sempoyongan, dia mendekat ke arah Gaffi. Membuat mata Gaffi melebar, aroma alkohol terasa menusuk indra penciumannya. Laki-laki itu melangkah mundur, tetapi perempuan itu terus mendekat.“Stop!” seru perempuan itu sembari mengangkat tangan, menghentikan langkah Gaffi secara spontan. “Capek, ih!” Dia mencebik, kemudian memperlihatkan kunci mobilnya. “Ambil!”Gaffi memandang kunci itu penuh keraguan. “Saya boleh periksa mobilnya?”Perempuan itu mangut-mangut. “Ambil, ambil, ambil!”Gaffi menengadahkan tangan, bermaksud agar perempuan itu menjatuhkan sendiri kunci mobil itu di atas telapak tangannya. Namun, perempuan itu menggeleng seakan menyuruh Gaffi untuk mengambil sendiri. Menghela napas pelan, Gaffi mendekat. Belum sempat dia meraih kunci itu, perempuan itu malah menggenggam kunci itu dalam kepalan tangan.Tersenyum miring, pandangan perempuan itu terpancang pada Gaffi yang berdiri kaku. Dia maju satu langkah, membuat Gaffi melangkah mundur. Hingga Gaffi tersentak saat tubuhnya menubruk badan mobil. Kini dia tidak bisa lagi bergerak.Tubuh Gaffi menegang saat perempuan itu berdiri di hadapannya, begitu dekat. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat. Dan dia bingung, kenapa tubuhnya terasa membeku. Harusnya dia bisa menjauh dan segera pergi.“Mbak?”Perempuan itu tersenyum genit.“Istighfar, Mbak.”Gaffi lalu terdiam, memperhatikan wajah perempuan itu yang kini mengernyit seakan menahan sesuatu. Tak ada lagi senyum genit di sana, bibir perempuan itu terkatup rapat. Hingga kemudian ....“Huek ....”Perempuan itu memuntahkan isi perutnya dengan cepat. Mata Gaffi terbelalak. Napasnya tertahan dan dia memejamkan mata saat melihat sepatunya terkena muntahan perempuan itu. Dan dia semakin tidak bergerak.“Ups ... sorry.” Perempuan itu mengusap bibirnya sembari terkekeh. Perutnya tiba-tiba terasa dikocok dan dia benar-benar tidak bisa menahan untuk tidak mengeluarkan isi perutnya yang bergejolak itu.Kembali Gaffi memandang sepatunya yang terkena muntahan. Keningnya berkerut, lalu dia menghela napas panjang. Mungkin dia harus mencari sumber air terdekat untuk membersihkan sepatunya lebih dulu. Tidak ada yang bisa dia lakukan saat ini selain pasrah, toh perempuan itu juga tidak sepenuhnya sadar.Sesaat kemudian, Gaffi mengangkat wajah dan mendapati perempuan itu menyengir lebar hingga deretan giginya terlihat. Tak ada raut bersalah di sana. Kepala Gaffi menggeleng, tentu saja perempuan itu tidak merasa bersalah di saat mabuk seperti ini.Mulut Gaffi terbuka hendak bersuara, tetapi suaranya tertahan di tenggorokan saat tiba-tiba perempuan itu menubruk tubuhnya. Spontan, dia menahan kedua pundak perempuan itu agar tidak terjerembap di tanah. Sedikit menunduk, perempuan itu menatapnya dengan mata mengerjap-ngerjap, lalu tersenyum.“Ganteng.”Lalu, perempuan itu kehilangan kesadarannya.Hotel berbintang dengan dekorasi mewah ala kerajaan. Balutan gaun indah bak Cinderalla. Pesta dansa dengan iringan lagu romantis. Wedding cake bertingkat. Lupakan semua itu, karena yang terjadi pada pernikahan Faezya justru sebaliknya.Diadakan di halaman belakang rumahnya yang telah disulap sedemikian rupa, suasana resepsi pernikahan Gaffi dan Faezya terkesan sederhana, tetapi tetap meninggalkan kesan elegan dan kekeluargaan. Kebaya akad yang digunakan Faezya telah berganti dengan gaun pilihan Aminah. Tak ketinggalan hijab yang menyembunyikan rambut indahnya.Faezya melirik Gaffi yang berdiri di sampingnya di pelaminan. Senyum laki-laki itu sejak tadi tak pernah luntur. Laki-laki itu tampak begitu bahagia. Sangat berbeda dengannya yang sejak tadi memasang raut wajah dongkol.“Ya Allah ... lo beneran nikah?”Faezya mengalihkan perhatiannya pada sosok laki-laki di hadapan Gaffi. Laki-laki itu berseru heboh sembari meninju pelan lengan Gaffi. Mereka terlihat akrab. Faezya menduga jika d
Dekorasi serba putih telah menghiasi rumah megah Wirawan. Sejak pagi, para keluarga dari kedua belah pihak telah berdatangan untuk menyaksikan langsung proses akad nikah Gaffi dan Faezya yang akan berlangsung pada pagi.Di depan Wirawan dan penghulu, serta para tamu yang duduk di belakangnya di ruang tamu ini, Gaffi duduk dengan perasaan gugup. Jantungnya berdebar tak karuan. Tangannya mulai terasa dingin dan basah. Air mukanya terlihat sangat tegang. Doa dan selawat tak henti dia lantunkan dalam hati agar merasa lebih tenang.Nasihat-nasihat pernikahan yang disampaikan Pak Penghulu didengarnya dengan saksama sebagai bagian dari bekalnya kelak. Berharap dia bisa mengamalkan nasihat itu dan menjadi kepala rumah tangga yang baik dan amanah.“Bagaimana? Sudah siap?”Pertanyaan Pak Penghulu menyentak Gaffi. Debar jantungnya semakin menggila. Menghela napas panjang, Gaffi melirik ayah dan adiknya yang memberinya semangat lewat anggukan kepala.“Insya Allah, saya siap,” kata Gaffi lantang.
Setelah mata kuliah pertama berakhir, Faezya bergegas menuju kantin fakultas untuk bertemu dengan Juan sesuai yang laki-laki itu katakan lewat chat dua jam yang lalu. Langkah Faezya terhenti sejenak ketika menemukan sosok sang pacar di salah satu meja. Laki-laki itu sendiri, di hadapannya duduk seorang perempuan berambut sebahu yang dicat merah maroon. Keduanya tampak begitu akrab. Tersenyum tipis, Faezya kembali melangkah ke arah meja itu.“Hai!” Faezya tersimpul ketika Juan dan perempuan itu menengoknya dengan mata melebar. Terkejut. Faezya menahan diri untuk tidak tertawa melihat ekspresi bodoh dua manusia itu.Juan berdeham pelan, lalu tersenyum canggung pada Faezya. “Eh, Sayang.” Gesturnya terlihat kaku, tetapi berusaha terlihat biasa saja.Tak memedulikan Juan, mata Faezya lebih tertarik memindai penampilan perempuan itu. Rambut yang dicat, rok mini, dan kaus ketat, membuat Faezya tersenyum sinis.Seakan tahu jika sedang diamati, perempuan itu buru-buru berdiri dari duduknya. D
Sejak pulang dari butik, wajah Faezya tertekuk masam. Perempuan itu juga tidak menjadi lebih pendiam. Celotehan Larissa dia abaikan begitu saja. Suasana hatinya benar-benar hancur karena gaun itu. “Tante kenapa, sih?” tanya Larissa yang duduk di samping Faezya di sofa ruang keluarga. “Dari tadi cemberut mulu, enggak ngomong-ngomong juga.”Faezya diam. Pandangannya lurus ke televisi yang menyala. “Tante sariawan, ya?” tebak Larissa. “Atau lagi sakit gigi?”Larissa cemberut. Lebih baik dia mendengarkan segala kalimat pedas tantenya daripada ucapannya tak bersambut seperti ini. Dia tidak suka kesunyian. Dan tantenya yang tak kunjung bersuara membuat rumah super besar ini berkali-kali lebih sunyi. “Tante ngomong dong!” Larissa kembali mencoba mengusik Faezya seraya menggoyangkan lengan tantenya itu. “Ica dicuekin mulu, ih!”Sebenarnya sejak selesai fitting baju, pikiran Faezya mulai kacau dan membuat fokusnya hilang. Tadi saja dia hampir menabrak sebuah motor di depannya jika tidak cep
Mama : Fae pulang kuliah jam berapa, Sayang?Tepat setelah dosen keluar, Faezya membaca chat dari mananya. Dia memasukkan bukunya lebih dulu ke dalam tas, lalu mengetikkan balasan.Faezya : Fae sudah pulang. Langsung mau jemput Ica juga.Mama : Ica hari ini dijemput Pak Rudi. Kamu tidak usah jemput.Faezya bersorak dalam hati, tetapi hanya bertahan beberapa detik sebelum chat dari mamanya kembali masuk.Mama : Kamu langsung ke butik Syariah aja. Mama bakal kirim lokasinya. Sudah ada ibunya Gaffi tunggu kamu di sana buat fitting baju. Datang ya, Sayang.Faezya berdecak malas. Dia membalas dengan satu kata singkat.Faezya : Ya.Mama : (send a location.)Faezya menatap layar ponselnya. Alamat butik itu cukup jauh dari kampusnya. Lekas dia memakai tasnya dan bersiap pergi.“Lo langsung pulang, Fae?Faezya menoleh pada Sabella yang duduk di seberangnya. Kepalanya mengangguk.“Lah, padahal Clara mau traktir kita katanya di kantin fakultasnya,” ujar Sabella.“Skip dulu gue.”“Skip mulu kerja
“Apa? Dilamar?”Pekikan nyaring dari tiga orang gadis di salah satu meja paling sudut menarik perhatian para pengunjung lain di kafe ini. Faezya mendesis, melirik sekitarnya dengan wajah menahan malu. Sementara itu Sabella, Rebecca, dan Clara hanya menyengir seraya menangkupkan tangan sebagai permohonan maaf karena mengganggu ketenangan pengunjung lain.“Enggak usah teriak, Bego! Bikin malu aja lo semua,” kesal Faezya.“Namanya juga shocked,” sahut Sabella. “Lo sih tiba-tiba bilang dilamar segala.”“Udah deh, teriakan kita enggak bakal buat bill makanan mereka naik,” timpal Rebecca.Faezya memasang wajah jutek.“Lo beneran dilamar? Enggak bercanda?” tanya Clara kemudian. Masih tak percaya jika Faezya dilamar.Faezya mengangkat tangan kanannya, memperlihatkan sebuah cincin sederhana yang melingkar di salah satu jarinya. “Percaya?”Mata Clara, Sabella, dan Rebecca melebar. Mereka lantas menarik tangan Faezya untuk melihat cincin itu dari dekat.“Asli, Njir,” komentar Clara, menyentuh be
Pelukan angin malam pada tubuhnya membuat Faezya bergidik. Sesekali dia mengusap lengannya yang terasa dingin. Sudah lima menit dia duduk di bangku taman bersama Gaffi yang menatap lurus pada air pancur di tengah taman. Mereka duduk berjauhan, tepatnya Gaffi yang memilih duduk di ujung bangku.“Apa alasan kamu tidak bisa menerima saya?”Faezya menoleh, sebelah alisnya naik. “Yakin lo masih nanya?” Dia balik bertanya, lalu kemudian menganggukkan kepala. “Oke, gue jelasin sama lo ya. Pertama, kita gak saling kenal. Kedua, gue gak cinta sama lo. So, gak ada alasan gue untuk bisa menerima lo.”“Ayo, menikah agar kita saling mengenal dan mencintai. Saya akan buat kamu memiliki alasan untuk bisa menerima saya dalam hidup kamu.”Sesaat Faezya dibuat melongo tanpa kata. Kemudian, dia mendengkus geli. “Menarik. Tapi, sayangnya gue udah punya pacar. Dan gue rasa itu cukup untuk lo batalkan lamaran ini.”Gaffi tidak langsung menjawab. Faezya merasa di atas awan, merasa menang. “Apa dia sudah me
Keluarga Gaffi tidak hentinya dibuat takjub oleh kemegahan kediaman Faezya yang bergaya klasik Eropa. Farhan—adik Gaffi—sampai dibuat melongo. Bukan hal yang mudah bagi mereka untuk sampai di sini. Ketika akan masuk ke kompleks perumahan ini saja mereka ditanya-tanya dan diminta untuk menunjukkan KTP oleh satpam kompleks. Penjagaannya benar-benar ketat.Tak sampai di situ, mereka juga harus meyakinkan satpam pribadi rumah Faezya jika mereka bukan orang jahat. Untungnya Wirawan berkenan mempersilakan mereka masuk setelah mendapat konfirmasi dari Pak Rudi. Meski dilanda kebingungan, Wirawan dan Yuni menyambut mereka dengan hangat. Buah tangan yang dibawa keluarga Gaffi mereka terima dengan baik. Gaffi dan keluarganya sampai dibuat takjub oleh keramahan orang tua Faezya.“Jadi, boleh kami tahu maksud kedatangan Bapak-Ibu dan keluarga mengingat sebelumnya kita tidak saling mengenal?” tanya Wirawan. “Rasanya tidak mungkin sampai ramai seperti ini jika hanya untuk membahas sekolah Larissa.
“Gue suka banget kalau Pak Zaki ngajar. Sumpah, bikin ketawa mulu, kita jadi gak bosen. Apalagi dia ganteng banget, ih!”“Hu’um, gak kayak Pak Rosdi tuh, bikin ngantuk. Ngejelasinnya kayak ngedongeng, kan?”“Masih mending Pak Rosdi, lah Bu Lela? Kita malah disuruh baca sendiri, habis itu langsung kasih tugas!”Telinga Faezya mulai berdengung, kepalanya terasa pening. Suara Larissa dan ketiga temannya benar-benar membuatnya jengkel setengah mati. Tadi dengan seenaknya Larissa mengajak temannya masuk ke dalam mobil dan minta diantar ke rumah salah satu dari mereka untuk kerja kelompok. Mau tidak mau, Faezya harus mengantar keponakannya itu.“Ah, di antara semua guru, gue tetap setia sama Pak Gaffi. Pak Zaki boleh aja bikin ketawa, tapi cuma Pak Gaffi yang bikin hati adem ngalahin minuman panas dalam,” lontar Larissa. Dia yang duduk di kursi samping Faezya harus membalikkan badan agar bisa melihat teman-temannya yang duduk di belakang.Gaffi? Cowok itu?Sesaat Faezya melirik Larissa yang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments