Dari dalam mobil, Faezya memandang rumah megah dengan gerbang yang menjulang tinggi. Jemarinya mengetuk-ngetuk kemudi mobil. Raut wajahnya tampak dihinggapi kegelisahan. Dia menopang dagunya pada jendela mobil yang terbuka.
Pada detik berikutnya, dia terperanjat ketika tiba-tiba gerbang rumah itu terbuka. Baru saja dia hendak menutup kaca mobil saat seorang pria paruh baya keluar dari sana sembari membawa kantong plastik hitam besar yang kemudian dimasukkan ke dalam tempat sampah berhasil mengurungkan niatnya. Pria paruh baya yang sangat Faezya kenali.Buru-buru Faezya turun saat pria paruh baya itu hendak kembali masuk ke dalam.“Pak Rudi!” teriak Faezya, keluar dari mobil.Mendengar namanya dipanggil, Pak Rudi—sopir pribadi keluarga Faezya—berbalik badan. Matanya melebar ketika melihat Faezya menghampirinya.“Non Fae?” Pak Rudi berseru seakan tak percaya jika anak majikannya yang sejak semalam tidak pulang kini berada di hadapannya. “Non dari mana saja, Non? Bapak sama Ibu Non sejak semalam nyariin dan khawatir sama Non Fae yang tidak pulang-pulang.”Faezya menyelipkan rambutnya yang tergerai ke belakang telinga sembari menyengir. “Biasa lah, Pak. Anak muda,” katanya santai.Tanpa dijelaskan lebih lanjut, Pak Rudi langsung paham maksud perkataan anak majikannya itu. Meski tidak semua, pergaulan anak muda zaman sekarang memang cukup terbilang bebas. Apalagi untuk kota besar dan kalangan ke atas. Kelab malam dan party adalah hal yang biasa buat mereka.Sedikit menelengkan kepala untuk melihat ke arah dalam gerbang, Faezya bertanya sedikit waswas, “Papa udah ke kantor belum, Pak? Kalau saya masuk, aman, kan?”Pak Rudi mengernyit, lalu terkekeh pelan. “Yah, aman toh, Non. Kecuali kalau Non masuk rumah orang, baru tidak aman," katanya. "Kalau Pak Bos belum berangkat. Saja aja masih di sini, Non."Faezya yang masih celingukan, lantas menegakkan tubuhnya. Dia mendesis kesal. “Maksud saya, kalau saya masuk Papa bakal lihat, enggak?”“Kalau lewat depan Pak Bos, ya ... pasti lihat dong, Non.”Faezya menggeram. Giginya bergemeletuk. Bagaimana mungkin papanya menjadikan Pak Rudi sopir kesayangan sekaligus orang kepercayaan? Bahkan, papanya lebih percaya pada Pak Rudi dibanding dirinya.Menghela napas dan mencoba untuk bersabar, Faezya bertanya dengan geregetan, “Jadi, saya harus lewat mana biar Papa enggak lihat? Apakah Pak Rudi memiliki ide, hm?” Faezya lalu tersenyum, terlihat sangat dipaksakan.Sejenak Pak Rudi terdiam, tampak berpikir. Saat tercetus ide dalam kepalanya, dia lantas memandang anak majikannya itu. “Non Fae bisa lewat pintu belakang. Pasti aman, Non.”Seringai Faezya terbit. Kini Faezya tahu kenapa papanya sangat mempercayai Pak Rudi, meski menyebalkan, Pak Rudi sangat bisa diandalkan di situasi mendesak seperti ini.Tak ingin membuang waktu lagi, Faezya langsung memberikan kunci mobilnya ke Pak Rudi.“Jangan lupa ditutup,” ucap Faezya dan berlalu.Pak Rudi memandang kunci di tangannya. Sesaat kemudian, dia berjalan menuju mobil Faezya. Saat akan membuka pintu mobil, dia tiba-tiba menepuk keningnya ketika teringat sesuatu. Cepat dia meraih ponsel dari saku bajunya.“Hampir aja lupa! Pak Bos tadi kan bilang langsung lapor kalau Non Fae pulang.”🍁🍁🍁Faezya menghela napas lega ketika akhirnya dia berdiri di depan pintu yang terhubung dengan dapur kotor setelah mengendap-endap menyusuri halaman rumah yang sangat luas dengan jantung yang berpacu cepat.Tangannya terangkat hendak meraih gagang pintu ketika sebuah tangan mampir ke pundaknya. Tubuhnya menegang. Napasnya tertahan. Matanya terpejam.Apalagi ini, Ya Tuhan?Menelan salivanya setelah meloloskan napas yang sempat tertahan, Faezya berbalik badan.“Non Pae?”“Bibi!” Faezya berseru kesal, tetapi juga merasa lega. “Bikin jantungan tau enggak!”Bi Siti—salah satu asisten rumah tangga keluarganya—menyengir. Bekerja puluhan tahun membuatnya cukup dekat dengan anak majikannya ini.“Maaf, Non. Bibi bingung tadi lihat Non Pae ngendap-ngendap,” jelas Bi Siti. Faezya mendengkus ketika Bi Siti selalu saja menyebut namanya dengan ‘Pae’, bukan Fae. “Kenapa tidak lewat pintu depan, Non? Dapur masih kotor, Bibi abis buat sarapan.”“Papa lagi sarapan?” tanya Faezya mengabaikan pertanyaan Bi Siti.“Belum, Non. Tadi Bibi lihat lagi di ruang keluarga.”“Oh, gitu. Faezya masuk dulu ya, Bi.”Sebelum Faezya masuk, Bi Siti lebih dulu bertanya, “Non dari mana aja? Semalam Pak Wirawan sama Bu Yuni cariin, loh.”Faezya menatap Bi Siti sembari menaik-turunkan alisnya. “Abis ajeb-ajeb.”“Ajeb-ajeb? Itu apaan, Non?” Bi Siti bertanya, keningnya berkerut dalam.Faezya memutar bola matanya, sadar jika dia sedang berbicara dengan orang tua. “Senam, Bi, biar sehat!” serunya, lalu masuk ke dalam meninggalkan Bi Siti yang masih berdiri dengan raut bingung.“Senam opo toh malam-malam?”🍁🍁🍁Faezya menggerutu kesal ketika lift yang akan membawanya ke lantai tiga—tempat kamarnya berada—tak kunjung terbuka. Dia menggigit bibir bawahnya, mulai panik. Takut jika papa dan mamanya melihat keberadaanya kini. Badannya terasa lelah, jadi bukan waktu yang tepat untuk berdebat dengan papa atau pun mamanya. Setidaknya dia butuh tidur sejenak untuk mendapatkan kembali energinya.Dentingan lift menyentaknya. Buru-buru dia hendak melangkah masuk ketika perlahan pintu lift terbuka. Namun, kakinya tiba-tiba tak bergerak. Tubuhnya serasa membeku melihat siapa yang berdiri di dalam lift itu.Mampus gue!Faezya melangkah mundur, lalu berbalik badan bersiap untuk kabur.“Berhenti!”Refleks, Faezya berhenti. Kali ini dia tidak bisa kabur.“Ikut Papa!”Faezya menatap punggung papanya yang baru saja melewatinya. Berdecak kesal, dia lantas menyusul papanya ke ruang keluarga dengan ogah-ogahan.Pak Rudi kampret! Faezya menggerutu, dia yakin jika Pak Rudi yang telah memberitahu keberadaannya.“Dari mana kamu?”Wirawan—papa Faezya—kini duduk di single sofa ruang keluarga. Matanya menatap tajam sang putri yang berdiri di hadapannya sembari menunduk.Faezya mendongak. Membalas tatapan papanya. Walaupun usianya hampir setengah abad, tetapi papanya masih terlihat begitu gagah dan penuh wibawa. Faezya cukup kagum akan hal itu.“Papa tanya, dari mana saja kamu?” Wirawan kembali bertanya saat Faezya hanya diam.Faezya berdeham. Tenggorokannya terasa begitu kering. Mungkin karena alkohol yang dia tenggak semalam. Dia butuh air.“Apa pantas perempuan keluyuran sampai pagi, Faezya?” tanya Wirawan tegas. Kepalanya menggeleng, tak habis pikir dengan tingkah sang putri yang semakin menjadi. “Bisa kamu sehari saja diam di rumah?”Faezya memutar bola matanya. Dia lalu menguap. Tiba-tiba dia merasa mengantuk. Telinganya juga berdengung. Dia butuh kasur, bukan khotbah pagi .“Kamu dengar Papa, tidak?” sentak Wirawan sebab Faezya terus saja diam dan seperti mengabaikan perkataannya.“Fae masih punya telinga. Ya, kali, enggak dengar,” balas Faezya santai tanpa mengindahkan yang namanya sopan santun.Wirawan menggeram. Emosi yang sejak semalam dia tahan, mencuat begitu saja. “Berani kamu bicara seperti itu-““Faezya, Sayang! Anak Mama!”....“Faezya, Sayang! Anak Mama!”Faezya menoleh ketika suara melengking mamanya terdengar. Entah dia harus bersyukur atau tidak atas kehadiran mamanya yang berhasil menginterupsi ucapan papanya. Dia juga malas meladeni kecerewetan mamanya.“Anak mama!”Faezya mendengkus ketika Yuni—mamanya—memeluknya erat hingga napasnya terasa ditekan.“Sesak, Mah,” keluh Faezya.Yuni melepas pelukannya. “Maaf, Sayang. Mama terlalu kangen sama kamu,” ujarnya, lalu menangkup wajah putrinya. “Kamu ke mana aja? Mama khawatir banget. Mama sama Papa telepon, kok, enggak diangkat?”Faezya melepas tangan Yuni dari wajahnya, lalu berkata, “Fae habis kerja tugas, Mah. Enggak pegang hp biar tugasnya cepat kelar.”“Kerja tugas?” cibir Wirawan. Perhatian Yuni dan Faezya beralih pada pria itu. Wirawan tersenyum remeh pada Faezya. “Mana laptop kamu? Mana buku kamu?” cecarnya sembari melirik sling bag Faezya yang hanya bisa menampung dompet dan ponsel.Sialan! Ini semua karena Pak Rudi cepu! Faezya menggigit bibir baw
Bersamaan dengan bel istirahat berbunyi, Gaffi segera menyudahi proses belajar mengajar mata pelajarannya. Setelah memberi tugas rumah kepada para anak muridnya, dia bergegas keluar kelas. Sesekali dia tersenyum ramah sembari membalas sapaan beberapa murid saat melewati koridor kelas menuju ruang guru. Menjadi salah satu guru yang masih terbilang muda di sekolah menengah pertama membuat beberapa anak didiknya tak segan untuk menyapa ataupun melempar lelucon kepadanya. Gaffi pun menanggapinya dengan senyum ataupun tawa kecil. Interaksi seperti itu dia jadikan sebagai sarana pendekatan kepada para anak didiknya yang memasuki usia remaja itu. Dia tidak ingin anak muridnya menjadi canggung atau pun memiliki rasa takut kepadanya. Sebab baginya rasa hormat dan takut itu sangat berbeda.“Enggak makan lo?”Gaffi menoleh pada Zaki yang bersebelahan meja dengannya. Keadaan ruang guru kini cukup sepi, hanya ada beberapa guru senior yang duduk dan masih sibuk di meja masing-masing meski telah ma
4Queen 👑Sabella : Lo ke mana, Kampret? Kita nyariin lo.Clara : Abis berapa botol lo, Fae? Tiba-tiba ngilang enggak jelas, Anjir.Sabella : Tiga botol ada kali dihajar sama dia.Rebecca : Where are you, Fae? Are you okay? Call me if you need something.Sabella : Woy, Fae! Bener ngilang lo? Ngamar sama siapa lo, Njir?Clara : Lah sialan, bokap lo telepon gue, Fae!Sabella : Gue juga! Woy, muncul lo, Fae! Bokap lo teror kita, Sialan!Rebecca : Lol 🤣Clara : Sialan lo, Re. Mentang-mentang bokapnya enggak tahu nomor lo.Sabella : Bule kampret emang. Rebecca : Queen mau sleep dulu. Byeeeee!Rebecca : Fae, don’t forget call me, Baby. Okay? Muacchhhh ....Clara : Hueeekkk ... Jijik banget muach, muach ...Sabella : Kepada saudari Faezya, harap mengangkat telepon gue!Clara : Tepar dia pasti.Sabella : Habis malam pertama maksud lo?Clara : Hahaha .... pecah telur.Sabella : Bego lo!Sabella : Angkat telpon gue, Fae!Sabella : Telpon gue kalau lo udah waras! Faezya tertawa saat membaca k
“Uuh ... so sexy.”Faezya tersenyum puas memperhatikan pantulan dirinya di depan cermin. Dress sabrina putih membalut tubuhnya dengan sangat sempurna. Rambutnya yang bergelombang di bagian bawah dibiarkan tergerai indah. Untuk ke sekian kalinya dia takjub akan kecantikan dan kesempurnaan tubuhnya. Setelah selesai dengan urusan penampilan, Faezya beranjak hendak mengambil kunci mobil. Namun, dia mengernyit ketika tidak menemukan kunci mobilnya di atas nakas. Faezya diam, mencoba untuk mengingat di mana kunci mobilnya. Sesaat kemudian mendecakkan lidah ketika mengingat jika kunci mobilnya berada di Pak Rudi. Padahal tadi pagi dia sendiri yang memberikannya dan menyuruh Pak Rudi memasukkan mobilnya ke garasi.Hari semakin sore, dia ada janji dengan para sahabatnya untuk ke salon. Jangan sampai dia terlambat dan berujung mendengar celotehan para sahabatnya itu.“Bi, Pak Rudi mana?” tanya Faezya ketika Bi Siti lewat di hadapannya.“Non Pae. Cantik banget.” Bi Siti tersenyum, lalu kembali
Faezya diam.“Faezya, Sayang, buka dulu pintunya. Kita bicara, ya, Nak?”“Sayang.”Daripada membukakan pintu untuk mamanya, Faezya memilih masuk ke dalam selimutnya. Dia juga menutup telinga dengan bantal. Membiarkan mamanya terus memanggil. Jika dulu dia yang selalu diabaikan maka kini biarkan dia yang mengabaikan. Dia ingin orang tuanya tahu rasa sakit akan pengabaian itu seperti apa.“Faezya, Mama sayang kamu.”🥀🥀🥀Jarum jam telah menunjuk angka sepuluh malam ketika Gaffi baru saja selesai merekap nilai harian para muridnya. Melepas kacamata yang sedari tadi bertengger di batang hidungnya, dia lalu merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku sebab cukup lama berkutat dengan laptop. Merasa tenggorokannya kering, dia baru saja akan beranjak ke dapur ketika ponselnya berdering.“Assalamualaikum, Bang.” Suara lembut ibunya menyambut ketika dia mengangkat dan menempelkan ponsel ke telinga. Rasa rindu perlahan merasuk di hatinya hanya dengan mendengar suara wanita yang paling dicintain
Terhitung sudah tiga hari Faezya membolos kuliah. Selama itu dia hanya mengurung diri di kamar dan akan makan jika Bi Siti mengantarkan makanan ke kamar. Hal itu sengaja dia lakukan, berharap agar papa atau mamanya dapat iba dan mengembalikan kunci mobil yang disita itu. Namun, hingga hari ketiga, tidak ada tanda-tanda kunci mobilnya akan dikembalikan. Baik papa atau pun mamanya terlihat cuek, bahkan tidak menanyakan kondisinya yang bisa saja berbuat nekat di kamar. Mengingat itu, Faezya semakin ingin tertawa saja. Mana kata peduli dan sayang yang sempat keduanya agung-agungkan itu? Begitukah bentuk peduli dan sayang?Omong kosong! Tak sanggup lagi mendekam dan diselimuti rasa bosan, Faezya memutuskan untuk kuliah hari ini. Sebelum jam tujuh, dia sudah rapi dan siap berangkat. Padahal, jika kuliah pagi biasanya dia akan membolos atau pun datang terlambat, tapi khusus hari ini dia ingin segera sampai di kampus. Daripada harus terus terkurung di sini yang berpotensi membuatnya gila se
“Kampus, Pak!” seru Faezya pada Pak Rudi dan langsung memasuki mobil.Pak Rudi yang sedang mengelap badan mobil bergegas menyudahi kegiatannya. Buru-buru dia masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi. Memastikan anak majikannya telah memakai seat belt dan duduk dengan nyaman juga aman, dia segera melajukan mobil sesuai dengan perintah Faezya.Pandangan Faezya tak lepas dari jalanan yang mulai padat. Matanya lalu terarah pada sosok anak perempuan berseragam putih merah yang memeluk pinggang seorang pria—yang Faezya yakin adalah ayah dari anak perempuan itu—di atas atas motor saat mobil berhenti di lampu merah. Sebuah momen yang dulu sangat dia impikan ketika seumuran anak perempuan itu. Dia menghela napas kasar dan bersyukur mobil kembali melaju di saat rasa pedih kembali menyerang hatinya. Setidaknya dia tidak perlu berlama-lama melihat keberuntungan anak perempuan itu yang akan kembali menggali ingatan tentang suramnya masa kecil yang dia lewati.“Saya tunggu di sini ya, Non,” u
Setelah berhasil kabur dari Pak Rudi, kini Faezya dan Juan berada di salah satu kafe yang baru buka dan menjadi tempat mereka nongkrong bersama teman-teman mereka. Faezya yang meminta Juan ke sini sebab dia sendiri bingung hendak ke mana. Sejak mereka sampai hingga minuman pesanan tiba, Faezya terus sibuk dengan ponselnya. Mengabaikan Juan seakan laki-laki itu tidak ada di sana. Tak tahan terus diabaikan, Juan lantas berdeham untuk menarik perhatian perempuan itu.“Itu tadi siapa, Yang?” tanya Juan basa-basi, mulai membuka topik obrolan. Lama-lama dia bosan juga jika harus terus didiamkan.Tanpa mengangkat wajah, Faezya menjawab cuek, “Sopir.”“Kamu enggak bawa mobil?”“Hm.”“Tumben. Kenapa?”Faezya mendengkus kesal. “Enggak usah banyak tanya, bisa?” sungutnya.Juan sempat tersentak, tetapi kemudian menghela napas pelan. Kini yakin Faezya masih marah. Dia mencoba untuk menyentuh tangan Faezya, tetapi perempuan itu dengan cepat menjauhkan tangannya.“Kamu masih marah, Yang?”“Masih pu
Hotel berbintang dengan dekorasi mewah ala kerajaan. Balutan gaun indah bak Cinderalla. Pesta dansa dengan iringan lagu romantis. Wedding cake bertingkat. Lupakan semua itu, karena yang terjadi pada pernikahan Faezya justru sebaliknya.Diadakan di halaman belakang rumahnya yang telah disulap sedemikian rupa, suasana resepsi pernikahan Gaffi dan Faezya terkesan sederhana, tetapi tetap meninggalkan kesan elegan dan kekeluargaan. Kebaya akad yang digunakan Faezya telah berganti dengan gaun pilihan Aminah. Tak ketinggalan hijab yang menyembunyikan rambut indahnya.Faezya melirik Gaffi yang berdiri di sampingnya di pelaminan. Senyum laki-laki itu sejak tadi tak pernah luntur. Laki-laki itu tampak begitu bahagia. Sangat berbeda dengannya yang sejak tadi memasang raut wajah dongkol.“Ya Allah ... lo beneran nikah?”Faezya mengalihkan perhatiannya pada sosok laki-laki di hadapan Gaffi. Laki-laki itu berseru heboh sembari meninju pelan lengan Gaffi. Mereka terlihat akrab. Faezya menduga jika d
Dekorasi serba putih telah menghiasi rumah megah Wirawan. Sejak pagi, para keluarga dari kedua belah pihak telah berdatangan untuk menyaksikan langsung proses akad nikah Gaffi dan Faezya yang akan berlangsung pada pagi.Di depan Wirawan dan penghulu, serta para tamu yang duduk di belakangnya di ruang tamu ini, Gaffi duduk dengan perasaan gugup. Jantungnya berdebar tak karuan. Tangannya mulai terasa dingin dan basah. Air mukanya terlihat sangat tegang. Doa dan selawat tak henti dia lantunkan dalam hati agar merasa lebih tenang.Nasihat-nasihat pernikahan yang disampaikan Pak Penghulu didengarnya dengan saksama sebagai bagian dari bekalnya kelak. Berharap dia bisa mengamalkan nasihat itu dan menjadi kepala rumah tangga yang baik dan amanah.“Bagaimana? Sudah siap?”Pertanyaan Pak Penghulu menyentak Gaffi. Debar jantungnya semakin menggila. Menghela napas panjang, Gaffi melirik ayah dan adiknya yang memberinya semangat lewat anggukan kepala.“Insya Allah, saya siap,” kata Gaffi lantang.
Setelah mata kuliah pertama berakhir, Faezya bergegas menuju kantin fakultas untuk bertemu dengan Juan sesuai yang laki-laki itu katakan lewat chat dua jam yang lalu. Langkah Faezya terhenti sejenak ketika menemukan sosok sang pacar di salah satu meja. Laki-laki itu sendiri, di hadapannya duduk seorang perempuan berambut sebahu yang dicat merah maroon. Keduanya tampak begitu akrab. Tersenyum tipis, Faezya kembali melangkah ke arah meja itu.“Hai!” Faezya tersimpul ketika Juan dan perempuan itu menengoknya dengan mata melebar. Terkejut. Faezya menahan diri untuk tidak tertawa melihat ekspresi bodoh dua manusia itu.Juan berdeham pelan, lalu tersenyum canggung pada Faezya. “Eh, Sayang.” Gesturnya terlihat kaku, tetapi berusaha terlihat biasa saja.Tak memedulikan Juan, mata Faezya lebih tertarik memindai penampilan perempuan itu. Rambut yang dicat, rok mini, dan kaus ketat, membuat Faezya tersenyum sinis.Seakan tahu jika sedang diamati, perempuan itu buru-buru berdiri dari duduknya. D
Sejak pulang dari butik, wajah Faezya tertekuk masam. Perempuan itu juga tidak menjadi lebih pendiam. Celotehan Larissa dia abaikan begitu saja. Suasana hatinya benar-benar hancur karena gaun itu. “Tante kenapa, sih?” tanya Larissa yang duduk di samping Faezya di sofa ruang keluarga. “Dari tadi cemberut mulu, enggak ngomong-ngomong juga.”Faezya diam. Pandangannya lurus ke televisi yang menyala. “Tante sariawan, ya?” tebak Larissa. “Atau lagi sakit gigi?”Larissa cemberut. Lebih baik dia mendengarkan segala kalimat pedas tantenya daripada ucapannya tak bersambut seperti ini. Dia tidak suka kesunyian. Dan tantenya yang tak kunjung bersuara membuat rumah super besar ini berkali-kali lebih sunyi. “Tante ngomong dong!” Larissa kembali mencoba mengusik Faezya seraya menggoyangkan lengan tantenya itu. “Ica dicuekin mulu, ih!”Sebenarnya sejak selesai fitting baju, pikiran Faezya mulai kacau dan membuat fokusnya hilang. Tadi saja dia hampir menabrak sebuah motor di depannya jika tidak cep
Mama : Fae pulang kuliah jam berapa, Sayang?Tepat setelah dosen keluar, Faezya membaca chat dari mananya. Dia memasukkan bukunya lebih dulu ke dalam tas, lalu mengetikkan balasan.Faezya : Fae sudah pulang. Langsung mau jemput Ica juga.Mama : Ica hari ini dijemput Pak Rudi. Kamu tidak usah jemput.Faezya bersorak dalam hati, tetapi hanya bertahan beberapa detik sebelum chat dari mamanya kembali masuk.Mama : Kamu langsung ke butik Syariah aja. Mama bakal kirim lokasinya. Sudah ada ibunya Gaffi tunggu kamu di sana buat fitting baju. Datang ya, Sayang.Faezya berdecak malas. Dia membalas dengan satu kata singkat.Faezya : Ya.Mama : (send a location.)Faezya menatap layar ponselnya. Alamat butik itu cukup jauh dari kampusnya. Lekas dia memakai tasnya dan bersiap pergi.“Lo langsung pulang, Fae?Faezya menoleh pada Sabella yang duduk di seberangnya. Kepalanya mengangguk.“Lah, padahal Clara mau traktir kita katanya di kantin fakultasnya,” ujar Sabella.“Skip dulu gue.”“Skip mulu kerja
“Apa? Dilamar?”Pekikan nyaring dari tiga orang gadis di salah satu meja paling sudut menarik perhatian para pengunjung lain di kafe ini. Faezya mendesis, melirik sekitarnya dengan wajah menahan malu. Sementara itu Sabella, Rebecca, dan Clara hanya menyengir seraya menangkupkan tangan sebagai permohonan maaf karena mengganggu ketenangan pengunjung lain.“Enggak usah teriak, Bego! Bikin malu aja lo semua,” kesal Faezya.“Namanya juga shocked,” sahut Sabella. “Lo sih tiba-tiba bilang dilamar segala.”“Udah deh, teriakan kita enggak bakal buat bill makanan mereka naik,” timpal Rebecca.Faezya memasang wajah jutek.“Lo beneran dilamar? Enggak bercanda?” tanya Clara kemudian. Masih tak percaya jika Faezya dilamar.Faezya mengangkat tangan kanannya, memperlihatkan sebuah cincin sederhana yang melingkar di salah satu jarinya. “Percaya?”Mata Clara, Sabella, dan Rebecca melebar. Mereka lantas menarik tangan Faezya untuk melihat cincin itu dari dekat.“Asli, Njir,” komentar Clara, menyentuh be
Pelukan angin malam pada tubuhnya membuat Faezya bergidik. Sesekali dia mengusap lengannya yang terasa dingin. Sudah lima menit dia duduk di bangku taman bersama Gaffi yang menatap lurus pada air pancur di tengah taman. Mereka duduk berjauhan, tepatnya Gaffi yang memilih duduk di ujung bangku.“Apa alasan kamu tidak bisa menerima saya?”Faezya menoleh, sebelah alisnya naik. “Yakin lo masih nanya?” Dia balik bertanya, lalu kemudian menganggukkan kepala. “Oke, gue jelasin sama lo ya. Pertama, kita gak saling kenal. Kedua, gue gak cinta sama lo. So, gak ada alasan gue untuk bisa menerima lo.”“Ayo, menikah agar kita saling mengenal dan mencintai. Saya akan buat kamu memiliki alasan untuk bisa menerima saya dalam hidup kamu.”Sesaat Faezya dibuat melongo tanpa kata. Kemudian, dia mendengkus geli. “Menarik. Tapi, sayangnya gue udah punya pacar. Dan gue rasa itu cukup untuk lo batalkan lamaran ini.”Gaffi tidak langsung menjawab. Faezya merasa di atas awan, merasa menang. “Apa dia sudah me
Keluarga Gaffi tidak hentinya dibuat takjub oleh kemegahan kediaman Faezya yang bergaya klasik Eropa. Farhan—adik Gaffi—sampai dibuat melongo. Bukan hal yang mudah bagi mereka untuk sampai di sini. Ketika akan masuk ke kompleks perumahan ini saja mereka ditanya-tanya dan diminta untuk menunjukkan KTP oleh satpam kompleks. Penjagaannya benar-benar ketat.Tak sampai di situ, mereka juga harus meyakinkan satpam pribadi rumah Faezya jika mereka bukan orang jahat. Untungnya Wirawan berkenan mempersilakan mereka masuk setelah mendapat konfirmasi dari Pak Rudi. Meski dilanda kebingungan, Wirawan dan Yuni menyambut mereka dengan hangat. Buah tangan yang dibawa keluarga Gaffi mereka terima dengan baik. Gaffi dan keluarganya sampai dibuat takjub oleh keramahan orang tua Faezya.“Jadi, boleh kami tahu maksud kedatangan Bapak-Ibu dan keluarga mengingat sebelumnya kita tidak saling mengenal?” tanya Wirawan. “Rasanya tidak mungkin sampai ramai seperti ini jika hanya untuk membahas sekolah Larissa.
“Gue suka banget kalau Pak Zaki ngajar. Sumpah, bikin ketawa mulu, kita jadi gak bosen. Apalagi dia ganteng banget, ih!”“Hu’um, gak kayak Pak Rosdi tuh, bikin ngantuk. Ngejelasinnya kayak ngedongeng, kan?”“Masih mending Pak Rosdi, lah Bu Lela? Kita malah disuruh baca sendiri, habis itu langsung kasih tugas!”Telinga Faezya mulai berdengung, kepalanya terasa pening. Suara Larissa dan ketiga temannya benar-benar membuatnya jengkel setengah mati. Tadi dengan seenaknya Larissa mengajak temannya masuk ke dalam mobil dan minta diantar ke rumah salah satu dari mereka untuk kerja kelompok. Mau tidak mau, Faezya harus mengantar keponakannya itu.“Ah, di antara semua guru, gue tetap setia sama Pak Gaffi. Pak Zaki boleh aja bikin ketawa, tapi cuma Pak Gaffi yang bikin hati adem ngalahin minuman panas dalam,” lontar Larissa. Dia yang duduk di kursi samping Faezya harus membalikkan badan agar bisa melihat teman-temannya yang duduk di belakang.Gaffi? Cowok itu?Sesaat Faezya melirik Larissa yang