Terhitung sudah tiga hari Faezya membolos kuliah. Selama itu dia hanya mengurung diri di kamar dan akan makan jika Bi Siti mengantarkan makanan ke kamar. Hal itu sengaja dia lakukan, berharap agar papa atau mamanya dapat iba dan mengembalikan kunci mobil yang disita itu. Namun, hingga hari ketiga, tidak ada tanda-tanda kunci mobilnya akan dikembalikan. Baik papa atau pun mamanya terlihat cuek, bahkan tidak menanyakan kondisinya yang bisa saja berbuat nekat di kamar. Mengingat itu, Faezya semakin ingin tertawa saja. Mana kata peduli dan sayang yang sempat keduanya agung-agungkan itu? Begitukah bentuk peduli dan sayang?Omong kosong! Tak sanggup lagi mendekam dan diselimuti rasa bosan, Faezya memutuskan untuk kuliah hari ini. Sebelum jam tujuh, dia sudah rapi dan siap berangkat. Padahal, jika kuliah pagi biasanya dia akan membolos atau pun datang terlambat, tapi khusus hari ini dia ingin segera sampai di kampus. Daripada harus terus terkurung di sini yang berpotensi membuatnya gila se
“Kampus, Pak!” seru Faezya pada Pak Rudi dan langsung memasuki mobil.Pak Rudi yang sedang mengelap badan mobil bergegas menyudahi kegiatannya. Buru-buru dia masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi. Memastikan anak majikannya telah memakai seat belt dan duduk dengan nyaman juga aman, dia segera melajukan mobil sesuai dengan perintah Faezya.Pandangan Faezya tak lepas dari jalanan yang mulai padat. Matanya lalu terarah pada sosok anak perempuan berseragam putih merah yang memeluk pinggang seorang pria—yang Faezya yakin adalah ayah dari anak perempuan itu—di atas atas motor saat mobil berhenti di lampu merah. Sebuah momen yang dulu sangat dia impikan ketika seumuran anak perempuan itu. Dia menghela napas kasar dan bersyukur mobil kembali melaju di saat rasa pedih kembali menyerang hatinya. Setidaknya dia tidak perlu berlama-lama melihat keberuntungan anak perempuan itu yang akan kembali menggali ingatan tentang suramnya masa kecil yang dia lewati.“Saya tunggu di sini ya, Non,” u
Setelah berhasil kabur dari Pak Rudi, kini Faezya dan Juan berada di salah satu kafe yang baru buka dan menjadi tempat mereka nongkrong bersama teman-teman mereka. Faezya yang meminta Juan ke sini sebab dia sendiri bingung hendak ke mana. Sejak mereka sampai hingga minuman pesanan tiba, Faezya terus sibuk dengan ponselnya. Mengabaikan Juan seakan laki-laki itu tidak ada di sana. Tak tahan terus diabaikan, Juan lantas berdeham untuk menarik perhatian perempuan itu.“Itu tadi siapa, Yang?” tanya Juan basa-basi, mulai membuka topik obrolan. Lama-lama dia bosan juga jika harus terus didiamkan.Tanpa mengangkat wajah, Faezya menjawab cuek, “Sopir.”“Kamu enggak bawa mobil?”“Hm.”“Tumben. Kenapa?”Faezya mendengkus kesal. “Enggak usah banyak tanya, bisa?” sungutnya.Juan sempat tersentak, tetapi kemudian menghela napas pelan. Kini yakin Faezya masih marah. Dia mencoba untuk menyentuh tangan Faezya, tetapi perempuan itu dengan cepat menjauhkan tangannya.“Kamu masih marah, Yang?”“Masih pu
Pukul sembilan malam, Faezya baru sampai di rumah setelah seharian menghabiskan waktu bersama Juan. Di tangannya kini terdapat beberapa paperbag berisi baju, tas, sepatu, dan alat make up. Ketika tiba di ruang tamu.“Bagus,” ucap Wirawan menghentikan langkah Faezya. Dia duduk di sofa ruang tamu sembari melipat tangan di dada. Faezya menelan ludah. Karena terlalu asyik berbelanja membuatnya lupa jika kini dia sedang dalam masa hukuman. Harusnya tadi dia pulang lebih awal sebelum papanya pulang dari kantor. “Bolos kuliah, kabur dari Pak Rudi, pulang malam sama cowok. Apalagi setelah ini, Faezya?”Faezya diam. Membiarkan papanya mengoceh panjang lebar.“Apa perlu Papa bekukan ATM kamu biar kamu bisa berubah?”“Papah kenapa, sih? Fae cuma belanja, bukan dugem!” balas Faezya, kesal.“Dengan cara bolos kuliah?”Faezya tidak berkutik. “Tidak bisa kamu patuh sama kata Papa? Kuliah yang benar, pulang temani Mama kamu di rumah, dan tinggalkan pergaulan buruk kamu itu. Papa rasa itu tidak sul
“Lo bisa diam enggak, sih?” bentak Faezya, tidak tahan lagi dengan suara sember Larissa yang sedari tadi menyanyi mengikuti alunan lagu yang terputar. Segera dia mematikan lagu yang terputar dan kembali fokus pada jalanan di hadapannya.Suasana hatinya benar-benar buruk pagi ini. Dan keponakannya itu semakin membuat kepalanya pening dengan bernyanyi tidak jelas. Mengingat kembali percakapannya dengan sang papa tanpa sadar dia mencengkeram kemudi dengan kuat.“Papa akan kembalikan mobil kamu,” kata Wirawan kala Larissa terus merengek hanya ingin diantar Faezya ke sekolah tanpa sopir. Faezya nyaris memekik kesenangan dan mengacungi jempol pada akting keponakannya sebelum euforia itu padam begitu saja saat Wirawan melanjutkan, “Tapi, Ica pulang kamu juga pulang. Kalian sudah di rumah ketika sore, tidak ada acara keluyuran sampai malam.”Tentu saja Faezya tidak terima, itu sama saja hanya menjadikannya sopir untuk keponakannya itu. Dia harus mengantar dan menjemput Larissa sekolah dan tak
“Kaffir?” Sejenak Gaffi melongo, lalu mengulum bibir menahan tawa. Ternyata perempuan itu tidak mengingat namanya dengan benar. Jujur, dia sempat berpikir hanya berkhayal melihat gadis itu.“Lo ngapain di sini?” tanya Faeyza, menyerukan rasa penasarannya.“Saya mengajar di sini.”Sontak Faezya memindai penampilan Gaffi yang memakai batik yang serupa dengan guru lain. Potongan rambutnya juga rapi. Faezya mangut-mangut, memang seperti guru.“Kalau kamu?” Gaffi bertanya balik. “Mau ngejemput?”“Oh, gue lagi cari—”“Tante Fae!”Faezya dan Gaffi kompak menoleh ke sumber suara. Dari ujung koridor, Larissa tampak berjalan sembari melambaikan tangan heboh dan melebarkan senyumnya.“Gue duluan,” ucap Faezya menarik perhatian Gaffi padanya. Dia bermaksud hendak menghampiri Larissa. Tapi Gaffi dengan cepat menghalangi jalannya. Sontak saja dia menatap heran laki-laki itu. “Lo kenapa, sih? Gue mau lewat!”“Boleh saya minta alamat kamu?” “Hah? Alamat gue?” Faezya semakin bingung.Gaffi menganggu
Sekitar pukul delapan pagi, motor bebek Gaffi berhenti di pekarangan cukup luas sebuah rumah sederhana. Ada dua pohon mangga dan berbagai tanaman bunga yang menghiasi pekarangan itu. Membuatnya suasananya sejuk.“Bang Gaffi?”Gaffi berbalik badan dan menemukan Farhan—adiknya—berjalan mendekat. Remaja enam belas tahun itu masih mengenakan setelan shalat membuat Gaffi menebak, “Baru pulang dari masjid kamu?” tanya Gaffi setelah memberi salam dan dibalas oleh Farhan.Farhan mengangguk. “Ada pengajian, terus lanjut kerja bakti,” jelasnya.Mereka lantas berderap masuk ke dalam rumah. Terdengar suara Aminah dari dalam ketika mereka mengucap salam disusul langkah kaki yang terburu-buru.“Ya Allah ... anak Ibu!” Aminah langsung memeluk Gaffi penuh haru. Matanya sudah berembun. Gaffi membalas pelukan wanita yang sangat dicintainya itu. Sangat hangat dan memenangkan hatinya. “Ibu apa kabar?” tanya Gaffi, pelukan mereka terurai. Gaffi terkekeh kecil melihat air mata Aminah, segera diusapnya air
“Gaffi mau melamar perempuan.”Semua mata memandang Gaffi terkejut. Saking terkejutnya, Farhan yang baru saja memasukkan pisang goreng ke mulutnya nyaris tersedak. Buru-buru dia meraih gelas tehnya.Sementara itu Aminah memandang percaya tak percaya. Dia memang akhir-akhir gencar meminta calon mantu, tapi mendengar putra sulungnya ingin melamar perempuan tetap saja membuatnya tak percaya.“Kamu bilang apa?” Yusuf bertanya, takut telinganya salah dengar. Maklum, usia membuat indra-indranya tidak lagi bekerja secara maksimal.Gaffi menghela napas. Menenangkan detak jantungnya yang bergejolak. Dipandangnya bergantian wajah ibu, ayah, dan adiknya. “Gaffi mau melamar, Yah, Bu,” ucap Gaffi mengulang kalimatnya.“Kamu serius?” Yusuf kembali bertanya, seakan masih ragu. Gaffi tidak pernah membawa dan memperkenalkan perempuan kepada mereka. Laki-laki itu juga tidak pernah membicarakan apa pun. Wajar jika mereka terkejut dan sedikit tidak percaya. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba m
Hotel berbintang dengan dekorasi mewah ala kerajaan. Balutan gaun indah bak Cinderalla. Pesta dansa dengan iringan lagu romantis. Wedding cake bertingkat. Lupakan semua itu, karena yang terjadi pada pernikahan Faezya justru sebaliknya.Diadakan di halaman belakang rumahnya yang telah disulap sedemikian rupa, suasana resepsi pernikahan Gaffi dan Faezya terkesan sederhana, tetapi tetap meninggalkan kesan elegan dan kekeluargaan. Kebaya akad yang digunakan Faezya telah berganti dengan gaun pilihan Aminah. Tak ketinggalan hijab yang menyembunyikan rambut indahnya.Faezya melirik Gaffi yang berdiri di sampingnya di pelaminan. Senyum laki-laki itu sejak tadi tak pernah luntur. Laki-laki itu tampak begitu bahagia. Sangat berbeda dengannya yang sejak tadi memasang raut wajah dongkol.“Ya Allah ... lo beneran nikah?”Faezya mengalihkan perhatiannya pada sosok laki-laki di hadapan Gaffi. Laki-laki itu berseru heboh sembari meninju pelan lengan Gaffi. Mereka terlihat akrab. Faezya menduga jika d
Dekorasi serba putih telah menghiasi rumah megah Wirawan. Sejak pagi, para keluarga dari kedua belah pihak telah berdatangan untuk menyaksikan langsung proses akad nikah Gaffi dan Faezya yang akan berlangsung pada pagi.Di depan Wirawan dan penghulu, serta para tamu yang duduk di belakangnya di ruang tamu ini, Gaffi duduk dengan perasaan gugup. Jantungnya berdebar tak karuan. Tangannya mulai terasa dingin dan basah. Air mukanya terlihat sangat tegang. Doa dan selawat tak henti dia lantunkan dalam hati agar merasa lebih tenang.Nasihat-nasihat pernikahan yang disampaikan Pak Penghulu didengarnya dengan saksama sebagai bagian dari bekalnya kelak. Berharap dia bisa mengamalkan nasihat itu dan menjadi kepala rumah tangga yang baik dan amanah.“Bagaimana? Sudah siap?”Pertanyaan Pak Penghulu menyentak Gaffi. Debar jantungnya semakin menggila. Menghela napas panjang, Gaffi melirik ayah dan adiknya yang memberinya semangat lewat anggukan kepala.“Insya Allah, saya siap,” kata Gaffi lantang.
Setelah mata kuliah pertama berakhir, Faezya bergegas menuju kantin fakultas untuk bertemu dengan Juan sesuai yang laki-laki itu katakan lewat chat dua jam yang lalu. Langkah Faezya terhenti sejenak ketika menemukan sosok sang pacar di salah satu meja. Laki-laki itu sendiri, di hadapannya duduk seorang perempuan berambut sebahu yang dicat merah maroon. Keduanya tampak begitu akrab. Tersenyum tipis, Faezya kembali melangkah ke arah meja itu.“Hai!” Faezya tersimpul ketika Juan dan perempuan itu menengoknya dengan mata melebar. Terkejut. Faezya menahan diri untuk tidak tertawa melihat ekspresi bodoh dua manusia itu.Juan berdeham pelan, lalu tersenyum canggung pada Faezya. “Eh, Sayang.” Gesturnya terlihat kaku, tetapi berusaha terlihat biasa saja.Tak memedulikan Juan, mata Faezya lebih tertarik memindai penampilan perempuan itu. Rambut yang dicat, rok mini, dan kaus ketat, membuat Faezya tersenyum sinis.Seakan tahu jika sedang diamati, perempuan itu buru-buru berdiri dari duduknya. D
Sejak pulang dari butik, wajah Faezya tertekuk masam. Perempuan itu juga tidak menjadi lebih pendiam. Celotehan Larissa dia abaikan begitu saja. Suasana hatinya benar-benar hancur karena gaun itu. “Tante kenapa, sih?” tanya Larissa yang duduk di samping Faezya di sofa ruang keluarga. “Dari tadi cemberut mulu, enggak ngomong-ngomong juga.”Faezya diam. Pandangannya lurus ke televisi yang menyala. “Tante sariawan, ya?” tebak Larissa. “Atau lagi sakit gigi?”Larissa cemberut. Lebih baik dia mendengarkan segala kalimat pedas tantenya daripada ucapannya tak bersambut seperti ini. Dia tidak suka kesunyian. Dan tantenya yang tak kunjung bersuara membuat rumah super besar ini berkali-kali lebih sunyi. “Tante ngomong dong!” Larissa kembali mencoba mengusik Faezya seraya menggoyangkan lengan tantenya itu. “Ica dicuekin mulu, ih!”Sebenarnya sejak selesai fitting baju, pikiran Faezya mulai kacau dan membuat fokusnya hilang. Tadi saja dia hampir menabrak sebuah motor di depannya jika tidak cep
Mama : Fae pulang kuliah jam berapa, Sayang?Tepat setelah dosen keluar, Faezya membaca chat dari mananya. Dia memasukkan bukunya lebih dulu ke dalam tas, lalu mengetikkan balasan.Faezya : Fae sudah pulang. Langsung mau jemput Ica juga.Mama : Ica hari ini dijemput Pak Rudi. Kamu tidak usah jemput.Faezya bersorak dalam hati, tetapi hanya bertahan beberapa detik sebelum chat dari mamanya kembali masuk.Mama : Kamu langsung ke butik Syariah aja. Mama bakal kirim lokasinya. Sudah ada ibunya Gaffi tunggu kamu di sana buat fitting baju. Datang ya, Sayang.Faezya berdecak malas. Dia membalas dengan satu kata singkat.Faezya : Ya.Mama : (send a location.)Faezya menatap layar ponselnya. Alamat butik itu cukup jauh dari kampusnya. Lekas dia memakai tasnya dan bersiap pergi.“Lo langsung pulang, Fae?Faezya menoleh pada Sabella yang duduk di seberangnya. Kepalanya mengangguk.“Lah, padahal Clara mau traktir kita katanya di kantin fakultasnya,” ujar Sabella.“Skip dulu gue.”“Skip mulu kerja
“Apa? Dilamar?”Pekikan nyaring dari tiga orang gadis di salah satu meja paling sudut menarik perhatian para pengunjung lain di kafe ini. Faezya mendesis, melirik sekitarnya dengan wajah menahan malu. Sementara itu Sabella, Rebecca, dan Clara hanya menyengir seraya menangkupkan tangan sebagai permohonan maaf karena mengganggu ketenangan pengunjung lain.“Enggak usah teriak, Bego! Bikin malu aja lo semua,” kesal Faezya.“Namanya juga shocked,” sahut Sabella. “Lo sih tiba-tiba bilang dilamar segala.”“Udah deh, teriakan kita enggak bakal buat bill makanan mereka naik,” timpal Rebecca.Faezya memasang wajah jutek.“Lo beneran dilamar? Enggak bercanda?” tanya Clara kemudian. Masih tak percaya jika Faezya dilamar.Faezya mengangkat tangan kanannya, memperlihatkan sebuah cincin sederhana yang melingkar di salah satu jarinya. “Percaya?”Mata Clara, Sabella, dan Rebecca melebar. Mereka lantas menarik tangan Faezya untuk melihat cincin itu dari dekat.“Asli, Njir,” komentar Clara, menyentuh be
Pelukan angin malam pada tubuhnya membuat Faezya bergidik. Sesekali dia mengusap lengannya yang terasa dingin. Sudah lima menit dia duduk di bangku taman bersama Gaffi yang menatap lurus pada air pancur di tengah taman. Mereka duduk berjauhan, tepatnya Gaffi yang memilih duduk di ujung bangku.“Apa alasan kamu tidak bisa menerima saya?”Faezya menoleh, sebelah alisnya naik. “Yakin lo masih nanya?” Dia balik bertanya, lalu kemudian menganggukkan kepala. “Oke, gue jelasin sama lo ya. Pertama, kita gak saling kenal. Kedua, gue gak cinta sama lo. So, gak ada alasan gue untuk bisa menerima lo.”“Ayo, menikah agar kita saling mengenal dan mencintai. Saya akan buat kamu memiliki alasan untuk bisa menerima saya dalam hidup kamu.”Sesaat Faezya dibuat melongo tanpa kata. Kemudian, dia mendengkus geli. “Menarik. Tapi, sayangnya gue udah punya pacar. Dan gue rasa itu cukup untuk lo batalkan lamaran ini.”Gaffi tidak langsung menjawab. Faezya merasa di atas awan, merasa menang. “Apa dia sudah me
Keluarga Gaffi tidak hentinya dibuat takjub oleh kemegahan kediaman Faezya yang bergaya klasik Eropa. Farhan—adik Gaffi—sampai dibuat melongo. Bukan hal yang mudah bagi mereka untuk sampai di sini. Ketika akan masuk ke kompleks perumahan ini saja mereka ditanya-tanya dan diminta untuk menunjukkan KTP oleh satpam kompleks. Penjagaannya benar-benar ketat.Tak sampai di situ, mereka juga harus meyakinkan satpam pribadi rumah Faezya jika mereka bukan orang jahat. Untungnya Wirawan berkenan mempersilakan mereka masuk setelah mendapat konfirmasi dari Pak Rudi. Meski dilanda kebingungan, Wirawan dan Yuni menyambut mereka dengan hangat. Buah tangan yang dibawa keluarga Gaffi mereka terima dengan baik. Gaffi dan keluarganya sampai dibuat takjub oleh keramahan orang tua Faezya.“Jadi, boleh kami tahu maksud kedatangan Bapak-Ibu dan keluarga mengingat sebelumnya kita tidak saling mengenal?” tanya Wirawan. “Rasanya tidak mungkin sampai ramai seperti ini jika hanya untuk membahas sekolah Larissa.
“Gue suka banget kalau Pak Zaki ngajar. Sumpah, bikin ketawa mulu, kita jadi gak bosen. Apalagi dia ganteng banget, ih!”“Hu’um, gak kayak Pak Rosdi tuh, bikin ngantuk. Ngejelasinnya kayak ngedongeng, kan?”“Masih mending Pak Rosdi, lah Bu Lela? Kita malah disuruh baca sendiri, habis itu langsung kasih tugas!”Telinga Faezya mulai berdengung, kepalanya terasa pening. Suara Larissa dan ketiga temannya benar-benar membuatnya jengkel setengah mati. Tadi dengan seenaknya Larissa mengajak temannya masuk ke dalam mobil dan minta diantar ke rumah salah satu dari mereka untuk kerja kelompok. Mau tidak mau, Faezya harus mengantar keponakannya itu.“Ah, di antara semua guru, gue tetap setia sama Pak Gaffi. Pak Zaki boleh aja bikin ketawa, tapi cuma Pak Gaffi yang bikin hati adem ngalahin minuman panas dalam,” lontar Larissa. Dia yang duduk di kursi samping Faezya harus membalikkan badan agar bisa melihat teman-temannya yang duduk di belakang.Gaffi? Cowok itu?Sesaat Faezya melirik Larissa yang