Sekolah masih sepi ketika Gaffi tiba. Di tempat parkir hanya ada dua motor, satu milik satpam dan satunya lagi milik petugas kebersihan sekolah. Dan kini bertambah satu, motor Gaffi.Udara masih terasa begitu sejuk. Titik-titik embun pada daun belum kering. Gaffi menarik napas dalam, menikmati udara segar yang tidak bisa dia rasakan ketika terik matahari mulai menyengat. “Assalamualaikum, Pak.” Gaffi melemparkan salam sapaan sembari tersenyum sopan pada Pak Kodir—satpam sekolah.Pak Kodir yang sedang menyesap kopi di pos lantas mendongak dan ikut tersenyum ramah. “Wa’alaikumussalam. Sudah datang, Mas? Di dalam masih sepi loh, Mas Gaffi.”Masih tersenyum, Gaffi membalas singkat, “Tidak apa-apa, Pak.”“Harusnya Mas Gaffi datangnya tiga puluh menit lagi biar tidak kepagian terus,” ujar Pak Kodir. Gaffi selalu menjadi guru yang pertama kali datang dan itu selalu sebelum pukul setengah tujuh.“Biar tidak kena macet, Pak. Enak juga berangkat pagi, sekalian hirup udara segar.”Pak Kodir men
“Sekarang buka mata lo, Cil!”Perlahan, kelopak mata Larissa terbuka. Pandangannya langsung disuguhkan dengan sesosok gadis cantik dalam pantulan cermin. Dia lalu meraba wajahnya, sedang matanya masih terpaku pada cermin di hadapannya.“Tante ...” lirih Larissa. “Yang di cermin itu beneran Ica? Kok, cantik, sih?” tanyanya, terperangah. Dia berdecak kagum melihat wajahnya sendiri yang tampak lebih cantik dan fresh dengan sentuhan make up ala Korea hasil karya Faezya.“Bukan, itu kalong wewe!” seru Faezya, sewot.Larissa mendelik tak terima. “Enak aja! Udah jadi jelmaan Bae Suzy gini masa dibilang kalong wewe!”“Cantik ketutup dempul aja bangga lo, Cil.”“Enggak papa, dong, cantik bantuan dempul. Make up, kan, emang untuk mempercantik. Yang salah itu cantik berkat ubah ciptaan Tuhan. Namanya enggak bersyukur.” Larissa berceloteh dengan pongahnya. “Pinter ngomong lo sekarang, ya!” Faezya menarik ujung rambut Larissa, kesal mendengar celotehan gadis itu.Mulut Larissa sudah terbuka henda
Menikah tidak hanya perihal ijab yang diucapkan dengan lantang atau para saksi yang berucap ‘sah’. Menikah juga bukan hanya tentang dua orang yang saling mencintai, lalu mengikat janji sehidup semati. Pernikahan lebih dari itu. Tidak sesederhana yang terlihat atau seindah yang dibayangkan. Namun, pernikahan tidak juga seseram yang ditakutkan. Setiap perjalanan memiliki tujuan, begitu juga dengan pernikahan. Ada tujuan yang ingin dicapai bersama. Karenanya, sebelum benar-benar masuk dalam hubungan pernikahan, ada banyak hal yang harus disiapkan dan dipertimbangkan matang-matang dari berbagai aspek. Kesiapan hati dan mental, visi dan misi untuk mencapai tujuan nikah, ilmu perihal rumah tangga, dan yang tak kalah pentingnya adalah kesiapan finansial. Banyak orang yang mengabaikan perihal kesiapan materi atau finansial ketika akan menikah dengan alasan rezeki sudah ada yang mengatur dan dapat dicari bersama. Tidak salah memang, tetapi kenyataannya tidak semua dapat bertahan dalam prose
Alih-alih langsung pulang ke rumah selepas mengajar, motor Gaffi malah berbelok ke salah satu pusat perbelanjaan. Biasanya dia ke sini hanya untuk ke Gramedia mencari buku. Atau kadang ke salah satu toko baju di lantai dasar. Namun, kali ini tujuannya berbeda jauh.Dan di sinilah dia sekarang. Berdiri di salah satu toko perhiasan di lantai tiga. Matanya mengedar pada etalase-etalase kaca besar yang di dalamnya berderet berbagai jenis perhiasan yang berkilau. Tiba-tiba dia merasa sangat gugup.Seorang pramuniaga berpenampilan necis berderap ke arah Gaffi, lalu bertanya dengan sangat ramah dan sopan, “Ada yang bisa saya bantu, Pak? Bapak mau cari perhiasan seperti apa?”“Saya ingin mencari cincin.” Gaffi menjawab dengan gugup, tetapi suaranya tetap tegas.Pramuniaga itu mengangguk paham. “Tepat sekali, kami memiliki cincin model terbaru dan berbagai koleksi best seller lainnya,” katanya. Kemudian dia mengajak Gaffi ke salah satu etalase kaca berisi deretan cincin berbagai model.“Kalau
“Gue suka banget kalau Pak Zaki ngajar. Sumpah, bikin ketawa mulu, kita jadi gak bosen. Apalagi dia ganteng banget, ih!”“Hu’um, gak kayak Pak Rosdi tuh, bikin ngantuk. Ngejelasinnya kayak ngedongeng, kan?”“Masih mending Pak Rosdi, lah Bu Lela? Kita malah disuruh baca sendiri, habis itu langsung kasih tugas!”Telinga Faezya mulai berdengung, kepalanya terasa pening. Suara Larissa dan ketiga temannya benar-benar membuatnya jengkel setengah mati. Tadi dengan seenaknya Larissa mengajak temannya masuk ke dalam mobil dan minta diantar ke rumah salah satu dari mereka untuk kerja kelompok. Mau tidak mau, Faezya harus mengantar keponakannya itu.“Ah, di antara semua guru, gue tetap setia sama Pak Gaffi. Pak Zaki boleh aja bikin ketawa, tapi cuma Pak Gaffi yang bikin hati adem ngalahin minuman panas dalam,” lontar Larissa. Dia yang duduk di kursi samping Faezya harus membalikkan badan agar bisa melihat teman-temannya yang duduk di belakang.Gaffi? Cowok itu?Sesaat Faezya melirik Larissa yang
Keluarga Gaffi tidak hentinya dibuat takjub oleh kemegahan kediaman Faezya yang bergaya klasik Eropa. Farhan—adik Gaffi—sampai dibuat melongo. Bukan hal yang mudah bagi mereka untuk sampai di sini. Ketika akan masuk ke kompleks perumahan ini saja mereka ditanya-tanya dan diminta untuk menunjukkan KTP oleh satpam kompleks. Penjagaannya benar-benar ketat.Tak sampai di situ, mereka juga harus meyakinkan satpam pribadi rumah Faezya jika mereka bukan orang jahat. Untungnya Wirawan berkenan mempersilakan mereka masuk setelah mendapat konfirmasi dari Pak Rudi. Meski dilanda kebingungan, Wirawan dan Yuni menyambut mereka dengan hangat. Buah tangan yang dibawa keluarga Gaffi mereka terima dengan baik. Gaffi dan keluarganya sampai dibuat takjub oleh keramahan orang tua Faezya.“Jadi, boleh kami tahu maksud kedatangan Bapak-Ibu dan keluarga mengingat sebelumnya kita tidak saling mengenal?” tanya Wirawan. “Rasanya tidak mungkin sampai ramai seperti ini jika hanya untuk membahas sekolah Larissa.
Pelukan angin malam pada tubuhnya membuat Faezya bergidik. Sesekali dia mengusap lengannya yang terasa dingin. Sudah lima menit dia duduk di bangku taman bersama Gaffi yang menatap lurus pada air pancur di tengah taman. Mereka duduk berjauhan, tepatnya Gaffi yang memilih duduk di ujung bangku.“Apa alasan kamu tidak bisa menerima saya?”Faezya menoleh, sebelah alisnya naik. “Yakin lo masih nanya?” Dia balik bertanya, lalu kemudian menganggukkan kepala. “Oke, gue jelasin sama lo ya. Pertama, kita gak saling kenal. Kedua, gue gak cinta sama lo. So, gak ada alasan gue untuk bisa menerima lo.”“Ayo, menikah agar kita saling mengenal dan mencintai. Saya akan buat kamu memiliki alasan untuk bisa menerima saya dalam hidup kamu.”Sesaat Faezya dibuat melongo tanpa kata. Kemudian, dia mendengkus geli. “Menarik. Tapi, sayangnya gue udah punya pacar. Dan gue rasa itu cukup untuk lo batalkan lamaran ini.”Gaffi tidak langsung menjawab. Faezya merasa di atas awan, merasa menang. “Apa dia sudah me
“Apa? Dilamar?”Pekikan nyaring dari tiga orang gadis di salah satu meja paling sudut menarik perhatian para pengunjung lain di kafe ini. Faezya mendesis, melirik sekitarnya dengan wajah menahan malu. Sementara itu Sabella, Rebecca, dan Clara hanya menyengir seraya menangkupkan tangan sebagai permohonan maaf karena mengganggu ketenangan pengunjung lain.“Enggak usah teriak, Bego! Bikin malu aja lo semua,” kesal Faezya.“Namanya juga shocked,” sahut Sabella. “Lo sih tiba-tiba bilang dilamar segala.”“Udah deh, teriakan kita enggak bakal buat bill makanan mereka naik,” timpal Rebecca.Faezya memasang wajah jutek.“Lo beneran dilamar? Enggak bercanda?” tanya Clara kemudian. Masih tak percaya jika Faezya dilamar.Faezya mengangkat tangan kanannya, memperlihatkan sebuah cincin sederhana yang melingkar di salah satu jarinya. “Percaya?”Mata Clara, Sabella, dan Rebecca melebar. Mereka lantas menarik tangan Faezya untuk melihat cincin itu dari dekat.“Asli, Njir,” komentar Clara, menyentuh be