Share

110. Keluarga Cemara

Author: Putri Cahaya
last update Last Updated: 2024-10-25 23:57:52
Naina tidak langsung menjawab pertanyaan sahabatnya, melainkan menatap mereka semua satu-persatu yang tampak menunggu jawabannya. Ia menghela napas panjang dan tersenyum.

“Kenapa kau bertanya seperti itu, Zelda?” tanya Pak Anton kepada putrinya karena diantara mereka hanya Zelda terlihat tidak senang.

Zelda melirik Naina sekilas. “Bukan apa-apa, Pa. Aku cuma khawatir Naina bakal dibilang caper dengan menyematkan nama Wirabuana di belakang nama dedek twins.”

“Naina sama Dhafin kan sebentar lagi cerai yang otomatis Naina bukan bagian dari Wirabuana lagi. Aku khawatirnya Naina dituduh sengaja memanfaatkan dedek twins untuk menarik simpati mereka,” jelasnya.

Naina mengangguk paham dan membenarkan perkataan Zelda dalam hati. Dirinya juga sempat mempunyai pikiran seperti itu.

Sebelum memutuskan, ia sudah melalui pertimbangan matang-matang tentang nama untuk dedek twins semenjak bangun dan siap menerima apapun konsekuensi kedepannya.

Wanita itu menatap Zelda dengan senyuman lalu m
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Teh Nimaz
klw si lora ank mu gmna pak.. nyebelin bnget deh ada orngbtua modeln bgtu pasti awalnya gara gara harta..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   111. Rindu yang Kembali Hadir

    “Siang ini kita menjenguk Lora, yuk. Kebetulan jadwalku banyak yang kosong hari ini. Nanti sekalian kita mampir ke Restoran Star Shine,” ajak Pak Raynald ketika tiba di ruang tamu.Setelah mengadzani baby twins waktu itu, ia menjadi jarang pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Naina karena pekerjaan yang banyak.Hanya seminggu sekali dirinya berkunjung. Itu pun tidak menentu bahkan terkadang tidak datang sebab perjalanannya juga lumayan memakan waktu. Ia hanya mendengar kabar dari sahabatnya saja, Tuan Albern.“Maaf, Mas. Hari ini aku memiliki jadwal sangat padat,” balas sang istri.Pak Raynald meredupkan tatapannya. “Padahal aku berniat mengajakmu supaya bisa memeriksa baby girl yang mengalami BBLR.”“Duh… bagaimana, ya?” Sang istri terlihat bimbang dan merasa tidak enak. “Aku udah punya janji pada beberapa pasien anak yang kutangani.”“Andai kau bekerja di RSIA Kasih Bunda, mungkin kau yang menanganinya langsung, Sweetheart.”“Aku minta maaf, Mas. Aku benar-benar nggak bisa kalau har

    Last Updated : 2024-10-26
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   112. Ungkapan Terima Kasih

    “Assalamu'alaikum.” “Wa'alaikumsalam.” Siang ini Pak Raynald datang berkunjung dengan membawa dua paper bag besar sebagai buah tangan yang diberikan kepada Naina. Naina sendiri ditemani oleh Mira untuk menemui pria itu mengingat keduanya yang tidak memiliki hubungan keluarga agar tidak terjadi fitnah. Di tambah lagi ia yang hanya sendirian di rumah sebesar ini bersama ART lain, sementara pemilik aslinya sedang bekerja. Mereka semua duduk di ruang tamu dengan Naina yang memangku baby Zora. Sedangkan baby Azhar dipangku oleh Mira. “Ya Allah, Pak, sampai repot-repot membawa sesuatu segala. Bapak datang ke sini aja udah membuat kami senang banget,” ucap Naina yang merasa tidak enak dibawakan banyak barang oleh Pak Raynald. “Sama sekali tidak merepotkan, Lora. Ini belum seberapa bahkan saya ingin memberikan yang lebih,” balas Pak Raynald. Naina menyunggingkan senyum manis. “Terima kasih, Pak. Pasti baby twins akan sangat menyukainya.” “Sama-sama, semoga bermanfaat.” Pak Raynald

    Last Updated : 2024-10-27
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   113. Sebuah Panggilan Khusus

    Pria itu lantas menatap intens baby Zora yang anteng di pangkuan ibunya. “Apa aku boleh menggendongnya?” izinya penuh harap. “Boleh, Om.” Naina mengubah posisi menggendongnya secara perlahan. Tangan kirinya menyangga kepala, sedangkan tangan kanannya menopang punggung hingga pant*t di bayi. Baby Zora menggeliat pelan seraya mengusap-usap wajah menggunakan tangan mungilnya. Pelan-pelan matanya terbuka dan berkedip-kedip lucu. “Uluh uluh… putri Mama udah bangun, Sayang.” Naina mencium kening dan kedua pipi bulat baby Zora. “Adek Zora ikut Grandpa Raynald, ya.” “Grandpa?” gumam Pak Raynald tak percaya Naina akan memberikan panggilan khusus seperti itu. “Not bad.” Naina melirik sejenak Pak Raynald yang duduk di sofa single lalu beranjak dari duduknya menghampiri beliau. Ia memindahkan baby Zora ke dalam gendongan Pak Raynald kemudian kembali duduk di tempatnya tadi. “Hallo, baby girl. Kau cantik sekali mirip seperti ibumu.” Pak Raynald merasa sangat bahagia yang tidak bisa diungkapka

    Last Updated : 2024-10-27
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   114. Rencana Pindah Rumah

    Tok tok tok Naina yang baru selesai menidurkan baby Azhar di box bayi berjalan ke arah pintu. Ia membukanya dan mendapati Mira yang berdiri di sana. “Mbak Nai, ditunggu Nona Zelda dan Den Grissham untuk makan malam bersama di ruang makan,” beritahu Mira. “Oke, Mbak Mira. Aku akan ke sana.” Naina hendak masuk ingin melihat anaknya sekali lagi untuk memastikan benar-benar aman. “Mbak Nai.” Mira segera mencegah Naina. “Biar saya saja yang menjaga dedek twins selagi Mbak Nai pergi makan malam.” Naina mengangguk setuju. “Baiklah, titip mereka, ya. Kalau ada apa-apa segera beritahu saya.” “Siap, Mbak Nai.” Naina berjalan keluar kamar menuju ruang makan. Baru dua langkah, ia berbalik. “Oh ya, Mbak udah makan belum?” “Udah, Mbak. Saya tadi makan di dapur bareng sama yang lainnya.” Naina mengangguk paham lantas menlanjutkan langkahnya yang tertunda. Ia pun menikmati makan malam bersama dengan Zelda dan Grissham. Mereka memang memilih menginap di sini selama dirinya dalam masa pemuliha

    Last Updated : 2024-10-27
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   115. Sebuah Wasiat

    Semua orang yang ada di ruang tengah menoleh guna melihat siapa orang yang baru saja berbicara itu.“Mbak Mira?” gumam Naina menatap perempuan berkerudung hitam yang berjalan mendekat.Mira berhenti di samping sofa yang diduduki Naina dan berdiri di sana. “Saya minta maaf, telah lancang dan nggak sengaja mendengar pembicaraan kalian.”“Mbak Mira ke sini? Dedek twins gimana? Sendirian dong?” tanya Naina beruntun karena merasa sedikit khawatir sekaligus gusar. Ia mulai menunjukkan sikap posesif terhadap anak-anaknya.“Saya minta maaf, Mbak, udah meninggalkan dedek twins. Mbak tenang aja, dedek twins aman dan masih bobo. Saya keluar kamar juga untuk menanyakan letak botol dot milik Adek Zora,” jawab Mira sembari memilin ujung bajunya, takut jika Naina akan memarahinya.Naina menghembuskan napas lega. Namun, sedetik kemudian ia menepuk keningnya seakan teringat sesuatu. “Botol dotnya Zora ada di tempat cuci piring. Aku lupa belum sempat mencucinya.”Mira mengangguk paham. “Nanti saya yan

    Last Updated : 2024-10-28
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   116. Ternyata Dialah Orangnya

    Naina menghela napas lantas membalikkan tubuhnya menghadap Grissham. Lagi-lagi pertanyaan itu. Saat di rumah sakit, ia yang bertanya tidak dijawab. Sekarang malah dipertanyakan lagi. Wanita yang mengenakan daster panjang beserta kerudung itu menggeleng. “Aku sama sekali nggak mengingatmu, Kak. Yang kutahu kamu adalah cucu pertama Oma Hira, anaknya Tuan Albern, dan sepupunya Zelda. Itu saja.” Grissham menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana training panjangnya. “Aku meminta waktumu untuk berbicara berdua. Apa kau bisa?” Naina menganggukkan kepalanya. “Boleh, tapi aku ingin mengecek dedek twins dulu sebentar.” “Baiklah, aku akan menunggumu di teras dekat kolam renang.” Setelah mengatakan itu, Grissham berlalu dari sana. Naina pun melanjutkan langkahnya menuju kamar. “Bagaimana dedek twins? Rewel nggak, Mbak?” tanyanya begitu tiba di dalam kamar. “Aman kok, Mbak. Dedek twins bobo anteng. Tadi sempat kebangun sebentar terus n

    Last Updated : 2024-10-29
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   117. Kepingan Masa Lalu

    “Jadi Kakak itu benar-benar Kak Sham?”“Iya, Lora. Ini aku, Sham, orang yang pernah hadir dan dekat denganmu.” Grissham menjeda sejenak ucapannya untuk melihat raut wajah Naina yang tampak menatapnya serius.“Waktu pertama kali kita bertemu lagi di rumah sakit, aku memanggilmu Lora. Kau ingat kan? Padahal kau hanya menyebutkan nama lengkapmu saja.”“Itu karena aku tahu panggilanmu yang dulu adalah Lora. Aku sengaja bilang seperti itu agar kau ingat,” ceritanya.Naina mengangguk membenarkan. “Aku sebenarnya ingat, Kak. Tapi aku nggak ingin menanggapi lebih jauh dan mungkin memang hanya kebetulan semata.”Grissham sudah bisa menebak itu mengingat kembali ekspresi Naina saat itu yang tampak terkejut. “Awalnya aku juga ragu apakah kau adalah Lora yang kukenal dulu atau bukan.”“Sebelumnya aku sudah pernah melihatmu lewat postingan dengan wajah yang tertutup. Aku juga tahu, banyak yang memiliki nama Lora. Banyak juga yang menggunakan nama Naina.”“Namun, perempuan yang bernama Naina Leonor

    Last Updated : 2024-10-31
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   118. Penyesalan Terbesar Seorang Anak

    Pada waktu bersamaan, ibunya mengalami kritis yang sedang berjuang antara hidup dan mati. Grissham ditelepon berkali-kali oleh keluarganya untuk memintanya pulang.Saat itu, ia sedang pergi ke toilet tanpa membawa apapun termasuk ponselnya. Namun, Freya dengan liciknya membiarkan saja tanpa mengangkat lalu menghapus semua jejak itu supaya acara kencannya tidak terganggu karena sudah lama tidak menghabiskan waktu berdua.Grissham kembali dan melanjutkan acara kencannya di pasar malam. Ia berusaha menghargai keberadaan Freya meski dalam hati dan perasaannya tidak enak. Hingga ponselnya berdering dan ada panggilan masuk dari Zelda. Grissham segera mengangkatnya. “Ya, Zee?” tanyanya ketika telepon tersambung.“Kak Isham di mana sekarang?” tanya Zelda dengan suara parau seperti habis menangis. Hal itu membuat Grissham merasa ada sesuatu yang tidak beres.“Aku….” Grissham melirik Freya sejenak yang tampak menikmati jajanan. Ia tidak mungkin memberitahu yang sebenarnya. “Aku sedang ada uru

    Last Updated : 2024-10-31

Latest chapter

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   301. Jangan Terlena

    Grissham mengangkat kepala perlahan. Tatapannya bertemu dengan Lora, masih dengan wajah yang sedikit mengerut, seperti anak kecil yang baru saja mengakui kesalahan tapi tetap ingin dimengerti.Katakanlah ia kekanak-kanakan. Hanya karena cemburu, dirinya memilih mendiamkan Lora selama tiga hari.Namun... apakah salah jika ia merasa seperti itu? Lora miliknya walaupun belum sepenuhnya. Ia pun punya hak untuk cemburu.Selama ini, Grissham menahan. Selalu berusaha mengalah. Ia memang mengizinkan Lora tetap berhubungan baik dengan mantan suaminya demi anak-anak. Namun, bukan berarti ia tak terluka. Ada bagian dari hatinya yang terasa diabaikan setiap kali melihat Lora tersenyum bersama pria itu.Lora tampak terlalu menikmati kebersamaan mereka seakan lupa bahwa ada hati yang harus dijaga.Karena itulah Grissham memilih bersikap seperti itu, membiarkan jarak terbentang agar Lora menyadari sendiri. Dan nyatanya, wanita itu datang. Tiga hari cukup untuk membuat Lora bertanya-tanya dan akhir

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   300. Cemburunya Grissham

    Ruangan luas nan mewah itu terdiam bisu, seolah ikut menahan napas. Hembusan lembut dari pendingin ruangan menyusup ke sela-sela, membuat udara di dalamnya terasa membeku. Detik demi detik terdengar jelas dari dentingan jarum jam di dinding, mengisi keheningan yang seakan menanti sang pemilik ruangan untuk angkat bicara. Lora duduk diam. Matanya tak berkedip, menatap Grissham lekat-lekat. Tatapan itu menyimpan rasa penasaran yang terus menggelembung di dalam dada. Jemarinya saling menggenggam, mengguratkan kegelisahan yang coba ia redam lewat kehangatan dari dirinya sendiri. Grissham menghembuskan napas panjang. Matanya tak menoleh, tetap terpaku ke satu titik di hadapan, seolah dinding polos itu lebih pantas ia tatap daripada wanita yang duduk di sampingnya. Kedua tangannya bertumpu di lutut, jari-jarinya mengepal lalu mengendur, seirama dengan napas yang berat. “Aku sedang banyak pekerjaan yang harus segera kuselesaikan dalam waktu dekat ini,” ucapnya datar, seperti seda

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   299. Berubah

    Beberapa hari berlalu tanpa terasa. Kini, hanya tersisa dua bulan lagi menuju hari pernikahan Lora dan Grissham.Segala persiapan nyaris rampung, dibantu penuh oleh keluarga besar yang turut antusias menyambut hari bahagia mereka.Gedung hotel megah milik keluarga Kusuma telah dipastikan dan dijadwalkan menjadi tempat berlangsungnya momen sakral itu.Gaun pengantin berpotongan anggun tergantung rapi di balik tirai kaca LaCia Boutique, menanti hari di mana Lora akan mengenakannya. Seragam keluarga pun telah selesai dijahit, lengkap dalam berbagai ukuran. MUA ternama yang menjadi incaran para pengantin sudah dibooking sejak beberapa bulan lalu. Jadwalnya dikunci, tak bisa diganggu gugat.Dan yang tak kalah penting, mereka memutuskan untuk mempercayakan seluruh rangkaian acara kepada wedding organizer profesional. Mulai dari acara siraman hingga resepsi, semua diserahkan kepada tangan-tangan berpengalaman.Rapat demi rapat digelar. Lora dan Grissham selalu hadir, duduk berdampingan den

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   298. Keputusan yang Tak Bisa Diganggu Gugat

    Wajah Bu Anita seketika berubah. Ada gurat kecewa yang perlahan menyusup. Sorot matanya tampak meredup, senyum yang tadi sempat mengembang perlahan menghilang. “Kamu udah memikirkan keputusan ini matang-matang, Nak?” tanyanya pelan dengan mata yang menatap lurus. “Udah, Ma,” jawab Lora dengan lirih tapi tegas. “Bahkan sejak awal aku memilih Kak Sham.” Ia menunduk sejenak, menahan tarikan emosi yang bergolak di dadanya. “Sekali lagi, aku minta maaf, Ma.” Keheningan menggantung beberapa saat. Lora menanti, menebak-nebak reaksi yang akan keluar. Raut datar di wajah Bu Anita membuat pikirannya mulai liar, mencari-cari makna dari setiap helaan napas wanita itu. Ia tahu betul watak ibunya Dhafin. Kini, muncul satu pertanyaan. Apakah keputusan ini akan diterima… atau akan menjadi awal dari jarak yang semakin renggang? Lora menunggu tanggapan Bu Anita dengan sedikit cemas. Melihat dari ekspresinya, sudah pasti beliau akan sangat marah, lalu memaksa agar permintaannya dipenuhi.

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   297. Perhatian yang Timpang

    Pertanyaan itu menggantung di udara. Dhafin tak langsung menjawab, dan dari keheningannya itu saja Lora sudah tahu jawabannya.“Aku nggak menyangkal,” akhirnya Dhafin bicara, suaranya tenang tapi berat. “Tapi itu juga bukan alasan utama. Aku beneran kangen anak-anak. Bukan cuma karena kamu, tapi karena aku ayah mereka.” Ia menarik napas lagi, lalu memalingkan wajah, menatap ke arah rumah tempat tawa si kembar kini terdengar samar. “Kejadian kemarin… bikin aku sadar. Aku nggak cuma kehilangan kamu, tapi juga mereka. Rasanya hampa banget.”Dhafin kembali menatap Lora, sorot matanya kali ini serius dan penuh harap. “Aku nggak minta banyak. Aku cuma pengen kamu izinkan aku tetap ada di hidup mereka. Walau kamu udah punya kehidupan sendiri.”Lora terkekeh pelan, suara tawanya lirih namun mengandung makna. Sudut bibirnya terangkat, tetapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar geli.“Aku dari awal udah membebaskanmu bertemu anak-anak. Aku nggak pernah membatasi,” ujarnya

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   296. Permintaan Maaf

    “Papa!”Dua bocah kembar itu melesat turun dari mobil. Kaki-kaki mungil mereka menapak cepat di jalan setapak.Suara langkah kecil berpadu dengan teriakan riang, menciptakan simfoni rindu yang tak terbendung.Mereka langsung menghambur ke dalam pelukan ayahnya yang berdiri di teras dengan tangan terbuka dan mata yang tampak sedikit berembun.Begitu tubuh kecil itu memeluknya, Dhafin menunduk dan mendekap mereka erat seolah tak ingin melepaskan.Tangannya membelai rambut keduanya, mencium pipi mereka satu per satu dengan tawa kecil yang tertahan. Hatinya mencelos, penuh sesak oleh rasa bersalah yang belum juga reda. Terakhir ia melihat wajah mereka adalah di rumah sakit saat menjenguk ibunya.Sejak pertengkaran panas itu, Lora benar-benar menjauh. Dan ia... hanya bisa menyesali semuanya dalam diam.“Papa kangen banget sama kalian.” Suaranya bergetar, tetapi hangat.Ia mendaratkan ciuman bertubi-tubi di wajah mereka, membuat anak-anak itu tertawa geli sambil memegangi pipi mereka. “Kal

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   295. Permintaan untuk Datang Kembali

    Grissham tak langsung menanggapi. Matanya tak lepas dari jalanan yang padat. Tampak di depan sana, mobil-mobil merayap, saling berebut celah di bawah langit sore yang mulai menguning.Lampu sein berdetak pelan, menyatu dengan musik dari radio yang mengalun lembut dari speaker mobil.Beberapa menit kemudian, ia memutar kemudi ke kanan, memasuki jalan menuju kawasan perumahan elit—tempat keluarga Brighton tinggal.Dering ponsel yang sejak tadi bersenandung akhirnya berhenti. Lora menatap layar yang kini berubah gelap, jemarinya masih menggenggam erat perangkat itu.Grissham melirik sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. Ia sempat mengira telepon itu tak akan datang lagi karena sang penelepon sudah menyerah. Namun hanya selang beberapa detik, getaran itu kembali menggema di dalam mobil. Nada dering yang sama, nama yang sama—masih bertahan di layar.Grissham menarik napas panjang, menahan jeda sebelum bersuara. “Angkat saja, siapa tahu penting,” ucapnya datar, tetapi lembut.Lora hanya me

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   294. Jejak Tradisi

    Senyum di wajah Zelda perlahan meredup. Masih ada lengkungan manis di bibirnya, tetapi tak lagi semeriah tadi. Pandangannya turun, jatuh pada jemarinya yang saling menggenggam di atas pangkuan, seolah mencari pegangan pada dirinya sendiri. Lora yang duduk di sampingnya mencuri pandang, lalu menatap lekat perut sahabatnya yang kini membulat jelas di balik dress selutut berwarna pastel itu. “Pemeriksaan terakhir? Emangnya kenapa?” tanyanya pelan tetapi penuh curiga setelah ada jeda sejenak. Zelda tidak langsung menjawab. Hanya diam, membiarkan hening mengambang beberapa detik. Kemudian, seperti tersadar, ia menarik napas dan kembali memasang senyum cerah hingga terasa agak dipaksakan. “Bukan apa-apa kok. Semuanya aman.” Lora tidak sepenuhnya percaya. Tatapannya menyapu wajah Zelda yang terlihat terlalu tenang untuk seseorang yang barusan tampak ragu. Namun, ia memilih menahan diri. Tangannya terulur untuk menyentuh perut sahabatnya yang terasa hangat dan hidup di bawah telapaknya

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   293. Persiapan Pernikahan

    Berbeda dengan Dhafin yang tenggelam dalam penyesalan tak berujung, Lora berdiri tegak di depan cermin besar di LaCia Boutique milik sahabatnya. Cahaya lembut dari lampu gantung kristal memantulkan siluetnya di permukaan kaca. Kebaya putih dengan detail payet halus melekat sempurna di tubuhnya, mengikuti lekuk tanpa cela.Kainnya jatuh anggun, sementara ekor kebaya menjuntai panjang hingga menyapu lantai dengan gerakan pelan setiap kali ia berpindah posisi. Kerudung segi empat yang menjuntai menutup dada, warnanya senada dengan kebaya, menjadikan tampilannya anggun tanpa harus berlebihan.Lora merapikan kerudungnya perlahan, jemarinya menyusuri kain lembut yang menjuntai menutup dada. Sebuah senyum tipis mengembang di bibirnya.Bukan karena merasa paling cantik, bukan pula karena penampilan yang nyaris sempurna. Melainkan ada rasa hangat yang menjalari dadanya, sebuah rasa utuh sekaligus layak.Untuk pertama kalinya, ia menjalani proses ini dengan penuh kesadaran dan penghargaan. Ti

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status