Mata indah yang hampir tiga minggu ini terpejam terlihat bergerak pelan. Perlahan-lahan mata itu mulai terbuka, lalu mengerjap-ngerjap pelan untuk menyesuaikan cahaya yang masuk dalam retina.Tenggorokannya terasa sangat kering dengan tubuh yang lemas luar biasa. Rasanya ia tak punya daya walau hanya sekedar bersuara.Naina menggerakkan bola matanya memandang sekeliling yang ternyata berada di kamar rumah sakit. Ia menatap jendela yang tampak gelap. Itu artinya waktu menunjukkan malam hari entah pukul berapa, ditambah lagi suasana yang sangat sepi dan hening.Sudah berapa lama dirinya tidak sadar? Perlahan, Naina menggerakkan kepalanya menoleh ke arah samping kiri tepatnya di sofa. Ada Grissham yang tertidur pulas di sana. Ia melihat hanya laki-laki itu yang berada di ruangan ini.Seolah merasa diawasi, Grissham membuka matanya perlahan. Ia mengernyitkan dahi sambil mengedip-ngedipkan mata berusaha mengumpulkan kesadarannya.Laki-laki itu langsung beranjak bangun begitu melihat Nai
Melihat kebungkaman mereka, Naina merasa ada yang tidak beres. Perasaannya menjadi tidak enak. Kemungkinan terburuk merasuk dalam pikirannya apalagi mengingat ia yang melahirkan sebelum waktunya. Mungkinkah... “Putriku lahir prematur?” Kedua saudara sepupu itu masih bungkam. Mereka tidak tega jika harus menceritakan keadaan baby girl yang sebenarnya. Ditambah lagi kondisi Naina yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Mereka khawatir akan semakin memperburuk kesehatan Naina. Naina menggoyangkan lengan Zelda yang masih mengunci mulutnya bahkan menghindari bertatapan dengannya. “Zelda, jawab!” Wanita itu kemudian beralih ke Grissham. Raut wajahnya sudah tidak karuan. Antara panik, khawatir, dan takut semuanya bercampur menjadi satu. “Kak, tolong beritahu aku yang sebenarnya.” “Nai, kamu tenang, ya. Kamu jangan panik gini,” ucap Zelda membuka suara sembari menggenggam tangan Naina erat dan mengusap lengan sahabatnya. “Bagaimana aku nggak panik? Kalian kayak menutupi sesuat
“Dokter, apakah aku boleh menyusui putriku?” tanya Naina tanpa mengalihkan perhatiannya. Ia melihat mulut baby girl yang bergerak-gerak seperti ingin menyusu. “Untuk sementara ini masih menggunakan dot dulu untuk membantu baby girl lebih mengembangkan refleks menghisap. Nanti akan ada latihan sendiri untuk DBF,” jawab dokter anak itu. “Saya sudah merasakan ASI-nya keluar, Dok. Ini saja rasanya merembes.” Naina melirik ke arah dadanya yang terlihat basah membentuk bulatan. Sejak bangun tidur tadi, wanita itu merasakan pay*daranya mengencang. Saat perjalanan ke sini, ia merasa ada yang merembes dan langsung berpikir kalau itu adalah ASI-nya. Untungnya tertutup kerudung sehingga tidak terlihat oleh orang lain. Jujur saja, Naina sangat senang. Ia pikir ASI-nya tidak akan keluar mengingat dirinya yang tidak melakukan IMD waktu bayinya lahir. Dirinya takut tidak bisa memberikan ASI ekslusif untuk si kembar. “Wah, bagus itu. Kita hanya perlu merangsang supaya ASI-nya keluar lebih deras
Naina tidak langsung menjawab pertanyaan sahabatnya, melainkan menatap mereka semua satu-persatu yang tampak menunggu jawabannya. Ia menghela napas panjang dan tersenyum. “Kenapa kau bertanya seperti itu, Zelda?” tanya Pak Anton kepada putrinya karena diantara mereka hanya Zelda terlihat tidak senang. Zelda melirik Naina sekilas. “Bukan apa-apa, Pa. Aku cuma khawatir Naina bakal dibilang caper dengan menyematkan nama Wirabuana di belakang nama dedek twins.” “Naina sama Dhafin kan sebentar lagi cerai yang otomatis Naina bukan bagian dari Wirabuana lagi. Aku khawatirnya Naina dituduh sengaja memanfaatkan dedek twins untuk menarik simpati mereka,” jelasnya. Naina mengangguk paham dan membenarkan perkataan Zelda dalam hati. Dirinya juga sempat mempunyai pikiran seperti itu. Sebelum memutuskan, ia sudah melalui pertimbangan matang-matang tentang nama untuk dedek twins semenjak bangun dan siap menerima apapun konsekuensi kedepannya. Wanita itu menatap Zelda dengan senyuman lalu m
“Siang ini kita menjenguk Lora, yuk. Kebetulan jadwalku banyak yang kosong hari ini. Nanti sekalian kita mampir ke Restoran Star Shine,” ajak Pak Raynald ketika tiba di ruang tamu.Setelah mengadzani baby twins waktu itu, ia menjadi jarang pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Naina karena pekerjaan yang banyak.Hanya seminggu sekali dirinya berkunjung. Itu pun tidak menentu bahkan terkadang tidak datang sebab perjalanannya juga lumayan memakan waktu. Ia hanya mendengar kabar dari sahabatnya saja, Tuan Albern.“Maaf, Mas. Hari ini aku memiliki jadwal sangat padat,” balas sang istri.Pak Raynald meredupkan tatapannya. “Padahal aku berniat mengajakmu supaya bisa memeriksa baby girl yang mengalami BBLR.”“Duh… bagaimana, ya?” Sang istri terlihat bimbang dan merasa tidak enak. “Aku udah punya janji pada beberapa pasien anak yang kutangani.”“Andai kau bekerja di RSIA Kasih Bunda, mungkin kau yang menanganinya langsung, Sweetheart.”“Aku minta maaf, Mas. Aku benar-benar nggak bisa kalau har
“Assalamu'alaikum.” “Wa'alaikumsalam.” Siang ini Pak Raynald datang berkunjung dengan membawa dua paper bag besar sebagai buah tangan yang diberikan kepada Naina. Naina sendiri ditemani oleh Mira untuk menemui pria itu mengingat keduanya yang tidak memiliki hubungan keluarga agar tidak terjadi fitnah. Di tambah lagi ia yang hanya sendirian di rumah sebesar ini bersama ART lain, sementara pemilik aslinya sedang bekerja. Mereka semua duduk di ruang tamu dengan Naina yang memangku baby Zora. Sedangkan baby Azhar dipangku oleh Mira. “Ya Allah, Pak, sampai repot-repot membawa sesuatu segala. Bapak datang ke sini aja udah membuat kami senang banget,” ucap Naina yang merasa tidak enak dibawakan banyak barang oleh Pak Raynald. “Sama sekali tidak merepotkan, Lora. Ini belum seberapa bahkan saya ingin memberikan yang lebih,” balas Pak Raynald. Naina menyunggingkan senyum manis. “Terima kasih, Pak. Pasti baby twins akan sangat menyukainya.” “Sama-sama, semoga bermanfaat.” Pak Raynald
Pria itu lantas menatap intens baby Zora yang anteng di pangkuan ibunya. “Apa aku boleh menggendongnya?” izinya penuh harap. “Boleh, Om.” Naina mengubah posisi menggendongnya secara perlahan. Tangan kirinya menyangga kepala, sedangkan tangan kanannya menopang punggung hingga pant*t di bayi. Baby Zora menggeliat pelan seraya mengusap-usap wajah menggunakan tangan mungilnya. Pelan-pelan matanya terbuka dan berkedip-kedip lucu. “Uluh uluh… putri Mama udah bangun, Sayang.” Naina mencium kening dan kedua pipi bulat baby Zora. “Adek Zora ikut Grandpa Raynald, ya.” “Grandpa?” gumam Pak Raynald tak percaya Naina akan memberikan panggilan khusus seperti itu. “Not bad.” Naina melirik sejenak Pak Raynald yang duduk di sofa single lalu beranjak dari duduknya menghampiri beliau. Ia memindahkan baby Zora ke dalam gendongan Pak Raynald kemudian kembali duduk di tempatnya tadi. “Hallo, baby girl. Kau cantik sekali mirip seperti ibumu.” Pak Raynald merasa sangat bahagia yang tidak bisa diungkapka
Tok tok tok Naina yang baru selesai menidurkan baby Azhar di box bayi berjalan ke arah pintu. Ia membukanya dan mendapati Mira yang berdiri di sana. “Mbak Nai, ditunggu Nona Zelda dan Den Grissham untuk makan malam bersama di ruang makan,” beritahu Mira. “Oke, Mbak Mira. Aku akan ke sana.” Naina hendak masuk ingin melihat anaknya sekali lagi untuk memastikan benar-benar aman. “Mbak Nai.” Mira segera mencegah Naina. “Biar saya saja yang menjaga dedek twins selagi Mbak Nai pergi makan malam.” Naina mengangguk setuju. “Baiklah, titip mereka, ya. Kalau ada apa-apa segera beritahu saya.” “Siap, Mbak Nai.” Naina berjalan keluar kamar menuju ruang makan. Baru dua langkah, ia berbalik. “Oh ya, Mbak udah makan belum?” “Udah, Mbak. Saya tadi makan di dapur bareng sama yang lainnya.” Naina mengangguk paham lantas menlanjutkan langkahnya yang tertunda. Ia pun menikmati makan malam bersama dengan Zelda dan Grissham. Mereka memang memilih menginap di sini selama dirinya dalam masa pemuliha