Naina menatap sekeliling tempatnya berpijak yang terasa sangat asing. Ia berdiri di sebuah taman yang luas dan indah. Tidak seorang pun di sini, kecuali dirinya.Hamparan berbagai macam bunga warna-warni terbentang luas di berbagai sudut. Ada pula berapa pohon yang tumbuh di sekitar taman semakin menyejukkan mata.Cuaca cerah, tetapi tidak panas menambah suasana yang damai. Angin berhembus pelan menerbangkan gamis putih yang dikenakannya.Naina memejamkan mata sambil menarik napas dalam-dalam untuk menghirup udara segar yang bercampur dengan wangi bunga. Ia merasakan ketenangan yang luar biasa di sini. Meski hanya sendiri, dirinya sama sekali tidak merasa takut.“Mama!”Naina membuka matanya dan menoleh. Sontak, ia langsung berkaca-kaca melihat sosok yang baru saja memanggilnya ‘Mama’. “Altair….”Beberapa meter dari posisinya, ada Altair yang berlari kencang ke arahnya. Wanita itu berlutut sambil merentangkan tangannya menyambut sang anak. “Altair, putraku.” Naina memeluk erat anakn
Tangis Naina langsung pecah ketika dua orang itu telah benar-benar menghilang dari penglihatannya. Ia terisak diikuti oleh bayi di gendongannya yang juga ikut menangis kencang. Naina menenangkan putrinya hingga terlelap. Ia mengusap pipi lalu mengedarkan pandangannya. Ia sendirian bersama putrinya di sini. Dirinya tidak tahu bagaimana cara agar bisa kembali.Dalam sekejap tempat ini berubah menjadi di sebuah rumah yang tidak diketahui oleh Naina, masih dengan menggendong putrinya. Ia berada di dalam ruang tamu yang sangat luas dan mewah. “Naina….”Lagi, panggilan itu membuat Naina menoleh ke belakang. Matanya membulat melihat seseorang yang sudah lama tidak ditemuinya. “Mas Dhafin.”Dhafin berjalan mendekat. “Bayi siapa yang kau gendong itu, Naina?”Naina tidak menjawab melainkan semakin memeluk erat putrinya seolah akan ada yang merebut. Ia menggerakkan kakinya melangkah mundur saat Dhafin terus berjalan maju.“Kembalilah bersamaku, Naina,” ucap Dhafin dengan raut wajah sendu dan m
“Dhafin.”Arvan menepuk bahu Dhafin yang masih telungkup di atas meja. “Semuanya udah siap. Kita tinggal briefing lalu berangkat.”Dhafin mendongak lalu menegakkan tubuhnya. Ia menatap Arvan dengan sorot mata sayu. Penampilannya sedikit berantakan ditambah lagi rambut yang acak-acakan.Arvan membulatkan mata terkejut melihat wajah sahabatnya yang tampak sangat pucat. “Kamu sakit?”“Aku baik-baik aja.” Dhafin mengusap wajah dan menyunggar rambutnya guna mengusir rasa kantuk yang hampir menyerang.Arvan menyentuh kening Dhafin yang langsung ditepis oleh empunya. “Baik-baik aja apanya? Panas banget gini, gila!”Dhafin menghela napas panjang. “Cuma sedikit nggak enak badan.”“Ya, tetep aja kamu nggak sehat. Yakin kamu ingin ikut ke luar kota?” tanya Arvan dengan raut wajah khawatir yang tidak bisa disembunyikan.Dhafin mengangguk. “Aku nggak papa, Van,” jawabnya seraya membereskan barangnya untuk bersiap-siap.“Kamu sakit, Dhafin! Kamu itu demam tinggi. Sebaiknya kamu nggak usah ikut aja
Freya berjalan di atas catwalk dengan sangat lihai untuk memperagakan busana hasil rancangan Zelda. Senyumnya mengembang seiring dengan langkah kakinya. Ia mengangkat dagu percaya diri sambil bergerak dengan elegan. Acara fashion show malam ini memang cukup bergengsi dengan dihadiri oleh beberapa desainer terkenal. Oleh karena itu, bagi orang mendapatkan undangan khusus di acara ini merupakan suatu kehormatan dan sangat sayang bila dilewatkan begitu saja. Zelda menjadi salah satu tamu undangan khusus itu. Ia duduk berdampingan dengan para desainer dan berkenalan dengan mereka bahkan ada yang mengajaknya kolaborasi. Dirinya merasa sangat bangga berada di posisi ini. Pantas saja sang ayah memaksanya untuk datang, ternyata banyak sekali manfaatnya. Zelda tersenyum menatap para modelnya yang sedang beraksi di sana sambil sesekali mengobrol dengan teman baru satu profesinya. Ia mengedarkan pandangannya dan ternyata banyak orang yang hadir. Selain itu, acara ini disiarkan secara la
Tiga hari sudah Dhafin berada di luar kota. Semua pekerjaannya telah selesai dan hari ini jadwal mereka kembali pulang ke kota asal. Kini, ia sedang meneliti barang bawaannya agar tidak ada yang tertinggal. “Kau yakin akan pulang sendirian, Dhaf?” tanya Arvan setelah memasukkan kopernya ke dalam bagasi mobil inventaris perusahaan dan kembali ke teras villa. Dhafin hanya mengangguk lantas meminta tolong supirnya untuk memasukkan semua barang dalam bagasi. Ia berencana akan mampir ke suatu tempat lebih dulu sehabis dari sini. “Tapi mukamu pucat begitu. Itu artinya kau masih sakit,” ucap Arvan lagi yang terlihat keberatan Dhafin pulang sendirian bersama supir pribadinya. “Udah jauh lebih mendingan dibanding yang kemarin.” Dhafin sebetulnya masih merasakan sedikit pusing, tetapi tidak separah di hari pertama. Tubuhnya juga terasa lebih ringan sehingga masih bisa digunakan untuk perjalanan pulang sendirian. “Ya, kan udah diobati bahkan dikasih infus.” Arvan menatap teman-teman timnya
Mata indah yang hampir tiga minggu ini terpejam terlihat bergerak pelan. Perlahan-lahan mata itu mulai terbuka, lalu mengerjap-ngerjap pelan untuk menyesuaikan cahaya yang masuk dalam retina.Tenggorokannya terasa sangat kering dengan tubuh yang lemas luar biasa. Rasanya ia tak punya daya walau hanya sekedar bersuara.Naina menggerakkan bola matanya memandang sekeliling yang ternyata berada di kamar rumah sakit. Ia menatap jendela yang tampak gelap. Itu artinya waktu menunjukkan malam hari entah pukul berapa, ditambah lagi suasana yang sangat sepi dan hening.Sudah berapa lama dirinya tidak sadar? Perlahan, Naina menggerakkan kepalanya menoleh ke arah samping kiri tepatnya di sofa. Ada Grissham yang tertidur pulas di sana. Ia melihat hanya laki-laki itu yang berada di ruangan ini.Seolah merasa diawasi, Grissham membuka matanya perlahan. Ia mengernyitkan dahi sambil mengedip-ngedipkan mata berusaha mengumpulkan kesadarannya.Laki-laki itu langsung beranjak bangun begitu melihat Nai
Melihat kebungkaman mereka, Naina merasa ada yang tidak beres. Perasaannya menjadi tidak enak. Kemungkinan terburuk merasuk dalam pikirannya apalagi mengingat ia yang melahirkan sebelum waktunya. Mungkinkah... “Putriku lahir prematur?” Kedua saudara sepupu itu masih bungkam. Mereka tidak tega jika harus menceritakan keadaan baby girl yang sebenarnya. Ditambah lagi kondisi Naina yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Mereka khawatir akan semakin memperburuk kesehatan Naina. Naina menggoyangkan lengan Zelda yang masih mengunci mulutnya bahkan menghindari bertatapan dengannya. “Zelda, jawab!” Wanita itu kemudian beralih ke Grissham. Raut wajahnya sudah tidak karuan. Antara panik, khawatir, dan takut semuanya bercampur menjadi satu. “Kak, tolong beritahu aku yang sebenarnya.” “Nai, kamu tenang, ya. Kamu jangan panik gini,” ucap Zelda membuka suara sembari menggenggam tangan Naina erat dan mengusap lengan sahabatnya. “Bagaimana aku nggak panik? Kalian kayak menutupi sesuat
“Dokter, apakah aku boleh menyusui putriku?” tanya Naina tanpa mengalihkan perhatiannya. Ia melihat mulut baby girl yang bergerak-gerak seperti ingin menyusu. “Untuk sementara ini masih menggunakan dot dulu untuk membantu baby girl lebih mengembangkan refleks menghisap. Nanti akan ada latihan sendiri untuk DBF,” jawab dokter anak itu. “Saya sudah merasakan ASI-nya keluar, Dok. Ini saja rasanya merembes.” Naina melirik ke arah dadanya yang terlihat basah membentuk bulatan. Sejak bangun tidur tadi, wanita itu merasakan pay*daranya mengencang. Saat perjalanan ke sini, ia merasa ada yang merembes dan langsung berpikir kalau itu adalah ASI-nya. Untungnya tertutup kerudung sehingga tidak terlihat oleh orang lain. Jujur saja, Naina sangat senang. Ia pikir ASI-nya tidak akan keluar mengingat dirinya yang tidak melakukan IMD waktu bayinya lahir. Dirinya takut tidak bisa memberikan ASI ekslusif untuk si kembar. “Wah, bagus itu. Kita hanya perlu merangsang supaya ASI-nya keluar lebih deras