“Dhafin.”Arvan menepuk bahu Dhafin yang masih telungkup di atas meja. “Semuanya udah siap. Kita tinggal briefing lalu berangkat.”Dhafin mendongak lalu menegakkan tubuhnya. Ia menatap Arvan dengan sorot mata sayu. Penampilannya sedikit berantakan ditambah lagi rambut yang acak-acakan.Arvan membulatkan mata terkejut melihat wajah sahabatnya yang tampak sangat pucat. “Kamu sakit?”“Aku baik-baik aja.” Dhafin mengusap wajah dan menyunggar rambutnya guna mengusir rasa kantuk yang hampir menyerang.Arvan menyentuh kening Dhafin yang langsung ditepis oleh empunya. “Baik-baik aja apanya? Panas banget gini, gila!”Dhafin menghela napas panjang. “Cuma sedikit nggak enak badan.”“Ya, tetep aja kamu nggak sehat. Yakin kamu ingin ikut ke luar kota?” tanya Arvan dengan raut wajah khawatir yang tidak bisa disembunyikan.Dhafin mengangguk. “Aku nggak papa, Van,” jawabnya seraya membereskan barangnya untuk bersiap-siap.“Kamu sakit, Dhafin! Kamu itu demam tinggi. Sebaiknya kamu nggak usah ikut aja
Freya berjalan di atas catwalk dengan sangat lihai untuk memperagakan busana hasil rancangan Zelda. Senyumnya mengembang seiring dengan langkah kakinya. Ia mengangkat dagu percaya diri sambil bergerak dengan elegan. Acara fashion show malam ini memang cukup bergengsi dengan dihadiri oleh beberapa desainer terkenal. Oleh karena itu, bagi orang mendapatkan undangan khusus di acara ini merupakan suatu kehormatan dan sangat sayang bila dilewatkan begitu saja. Zelda menjadi salah satu tamu undangan khusus itu. Ia duduk berdampingan dengan para desainer dan berkenalan dengan mereka bahkan ada yang mengajaknya kolaborasi. Dirinya merasa sangat bangga berada di posisi ini. Pantas saja sang ayah memaksanya untuk datang, ternyata banyak sekali manfaatnya. Zelda tersenyum menatap para modelnya yang sedang beraksi di sana sambil sesekali mengobrol dengan teman baru satu profesinya. Ia mengedarkan pandangannya dan ternyata banyak orang yang hadir. Selain itu, acara ini disiarkan secara la
Tiga hari sudah Dhafin berada di luar kota. Semua pekerjaannya telah selesai dan hari ini jadwal mereka kembali pulang ke kota asal. Kini, ia sedang meneliti barang bawaannya agar tidak ada yang tertinggal. “Kau yakin akan pulang sendirian, Dhaf?” tanya Arvan setelah memasukkan kopernya ke dalam bagasi mobil inventaris perusahaan dan kembali ke teras villa. Dhafin hanya mengangguk lantas meminta tolong supirnya untuk memasukkan semua barang dalam bagasi. Ia berencana akan mampir ke suatu tempat lebih dulu sehabis dari sini. “Tapi mukamu pucat begitu. Itu artinya kau masih sakit,” ucap Arvan lagi yang terlihat keberatan Dhafin pulang sendirian bersama supir pribadinya. “Udah jauh lebih mendingan dibanding yang kemarin.” Dhafin sebetulnya masih merasakan sedikit pusing, tetapi tidak separah di hari pertama. Tubuhnya juga terasa lebih ringan sehingga masih bisa digunakan untuk perjalanan pulang sendirian. “Ya, kan udah diobati bahkan dikasih infus.” Arvan menatap teman-teman timnya
Mata indah yang hampir tiga minggu ini terpejam terlihat bergerak pelan. Perlahan-lahan mata itu mulai terbuka, lalu mengerjap-ngerjap pelan untuk menyesuaikan cahaya yang masuk dalam retina.Tenggorokannya terasa sangat kering dengan tubuh yang lemas luar biasa. Rasanya ia tak punya daya walau hanya sekedar bersuara.Naina menggerakkan bola matanya memandang sekeliling yang ternyata berada di kamar rumah sakit. Ia menatap jendela yang tampak gelap. Itu artinya waktu menunjukkan malam hari entah pukul berapa, ditambah lagi suasana yang sangat sepi dan hening.Sudah berapa lama dirinya tidak sadar? Perlahan, Naina menggerakkan kepalanya menoleh ke arah samping kiri tepatnya di sofa. Ada Grissham yang tertidur pulas di sana. Ia melihat hanya laki-laki itu yang berada di ruangan ini.Seolah merasa diawasi, Grissham membuka matanya perlahan. Ia mengernyitkan dahi sambil mengedip-ngedipkan mata berusaha mengumpulkan kesadarannya.Laki-laki itu langsung beranjak bangun begitu melihat Nai
Melihat kebungkaman mereka, Naina merasa ada yang tidak beres. Perasaannya menjadi tidak enak. Kemungkinan terburuk merasuk dalam pikirannya apalagi mengingat ia yang melahirkan sebelum waktunya. Mungkinkah... “Putriku lahir prematur?” Kedua saudara sepupu itu masih bungkam. Mereka tidak tega jika harus menceritakan keadaan baby girl yang sebenarnya. Ditambah lagi kondisi Naina yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Mereka khawatir akan semakin memperburuk kesehatan Naina. Naina menggoyangkan lengan Zelda yang masih mengunci mulutnya bahkan menghindari bertatapan dengannya. “Zelda, jawab!” Wanita itu kemudian beralih ke Grissham. Raut wajahnya sudah tidak karuan. Antara panik, khawatir, dan takut semuanya bercampur menjadi satu. “Kak, tolong beritahu aku yang sebenarnya.” “Nai, kamu tenang, ya. Kamu jangan panik gini,” ucap Zelda membuka suara sembari menggenggam tangan Naina erat dan mengusap lengan sahabatnya. “Bagaimana aku nggak panik? Kalian kayak menutupi sesuat
“Dokter, apakah aku boleh menyusui putriku?” tanya Naina tanpa mengalihkan perhatiannya. Ia melihat mulut baby girl yang bergerak-gerak seperti ingin menyusu. “Untuk sementara ini masih menggunakan dot dulu untuk membantu baby girl lebih mengembangkan refleks menghisap. Nanti akan ada latihan sendiri untuk DBF,” jawab dokter anak itu. “Saya sudah merasakan ASI-nya keluar, Dok. Ini saja rasanya merembes.” Naina melirik ke arah dadanya yang terlihat basah membentuk bulatan. Sejak bangun tidur tadi, wanita itu merasakan pay*daranya mengencang. Saat perjalanan ke sini, ia merasa ada yang merembes dan langsung berpikir kalau itu adalah ASI-nya. Untungnya tertutup kerudung sehingga tidak terlihat oleh orang lain. Jujur saja, Naina sangat senang. Ia pikir ASI-nya tidak akan keluar mengingat dirinya yang tidak melakukan IMD waktu bayinya lahir. Dirinya takut tidak bisa memberikan ASI ekslusif untuk si kembar. “Wah, bagus itu. Kita hanya perlu merangsang supaya ASI-nya keluar lebih deras
Naina tidak langsung menjawab pertanyaan sahabatnya, melainkan menatap mereka semua satu-persatu yang tampak menunggu jawabannya. Ia menghela napas panjang dan tersenyum. “Kenapa kau bertanya seperti itu, Zelda?” tanya Pak Anton kepada putrinya karena diantara mereka hanya Zelda terlihat tidak senang. Zelda melirik Naina sekilas. “Bukan apa-apa, Pa. Aku cuma khawatir Naina bakal dibilang caper dengan menyematkan nama Wirabuana di belakang nama dedek twins.” “Naina sama Dhafin kan sebentar lagi cerai yang otomatis Naina bukan bagian dari Wirabuana lagi. Aku khawatirnya Naina dituduh sengaja memanfaatkan dedek twins untuk menarik simpati mereka,” jelasnya. Naina mengangguk paham dan membenarkan perkataan Zelda dalam hati. Dirinya juga sempat mempunyai pikiran seperti itu. Sebelum memutuskan, ia sudah melalui pertimbangan matang-matang tentang nama untuk dedek twins semenjak bangun dan siap menerima apapun konsekuensi kedepannya. Wanita itu menatap Zelda dengan senyuman lalu m
“Siang ini kita menjenguk Lora, yuk. Kebetulan jadwalku banyak yang kosong hari ini. Nanti sekalian kita mampir ke Restoran Star Shine,” ajak Pak Raynald ketika tiba di ruang tamu.Setelah mengadzani baby twins waktu itu, ia menjadi jarang pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Naina karena pekerjaan yang banyak.Hanya seminggu sekali dirinya berkunjung. Itu pun tidak menentu bahkan terkadang tidak datang sebab perjalanannya juga lumayan memakan waktu. Ia hanya mendengar kabar dari sahabatnya saja, Tuan Albern.“Maaf, Mas. Hari ini aku memiliki jadwal sangat padat,” balas sang istri.Pak Raynald meredupkan tatapannya. “Padahal aku berniat mengajakmu supaya bisa memeriksa baby girl yang mengalami BBLR.”“Duh… bagaimana, ya?” Sang istri terlihat bimbang dan merasa tidak enak. “Aku udah punya janji pada beberapa pasien anak yang kutangani.”“Andai kau bekerja di RSIA Kasih Bunda, mungkin kau yang menanganinya langsung, Sweetheart.”“Aku minta maaf, Mas. Aku benar-benar nggak bisa kalau har