Mira mencoba menghubungi Tuan Albern dan Zelda karena hanya memiliki kontak mereka yang notabennya majikan. Namun sayang, mereka sama sekali tidak mengangkat panggilannya setelah beberapa kali mencoba.Evan, orang kepercayaan Oma Hira yang tinggal di paviliun juga sedang sangat sibuk dan jarang pulang semenjak Oma Hira meninggal. Pria itu bilang banyak hal yang perlu diurus dan meminta Mira menjaga Naina atas permintaan Oma Hira.Mira sangat bingung tak tahu harus melakukan apa. Namun, ia tidak juga bisa berdiam diri di sini menunggu mereka datang yang ada malah membahayakan nyawa Naina.Mira berjongkok dan menyentuh lengan Naina yang masih setia memejamkan mata. “Mbak Nai, Mbak mendengarkanku kan?”Naina membuka mata dengan pandangan yang sayu dan buram. Ia berusaha sekuat tenaga mempertahankan kesadarannya. “Tolong… sakit…” lirihnya.Mira membantu Naina bangkit dan memapahnya menuju ke ruang depan. Ia akan meminta tolong kepada siapapun yang datang ke rumah ini. Atau ia akan memesa
Sontak, Zelda membulatkan mata terkejut. Jantungnya berdegup kencang. Rasa khawatir langsung memenuhinya hatinya.Ia pun segera bangkit, menyambar tasnya, lantas menghampiri Grissham. “Kita harus ke rumah sakit sekarang,” ajaknya dengan raut wajah panik.“Ada apa?” tanya Grissham heran dan ikut berdiri.Zelda menunjukkan pesan Mira pada sepupunya. Tanpa menunggu lagi, ia menggandeng tangan Grissham keluar ruangan dengan tergesa-gesa.“Apa Pak Seto masih menunggu?” tanya Zelda di undakan tangga.“Tentu saja. Aku memintanya menungguku.”“Kalau gitu kau berangkat bersamaku saja.” Zelda terus melangkah lebar tanpa memedulikan sekitar dengan tangan yang masih setia menggandeng Grissham.Tiba di teras butik, perempuan itu menghampiri Pak Seto yang hendak memasuki mobil entah dari mana. “Pak, saya minta tolong. Nanti Bapak pulang ke rumah utama, ya, untuk mengambil perlengkapan bayi di kamar Naina.”“Semua udah disiapkan, kok tinggal mengambil aja. Atau Bapak bisa minta tolong sama ART di ru
“Saya memiliki golongan darah A negatif dan bersedia mendonorkan darah untuk pasien.” “Om Raynald?” gumam Zelda sambil menatap orang itu. Pak Raynald berjalan mendekat dengan senyuman yang terpatri di bibirnya. “Saya bersedia mendonorkan darah untuk pasien atas nama Naina Leonora.” “Baik, silakan Bapak mengikuti suster itu untuk dilakukan pengecekan dan tindakan lebih lanjut,” balas Dokter Yunita sembari menunjuk suster yang tadi ikit bersamanya. “Mari, Pak, ikut saya.” Pak Raynald hanya mengangguk dan mengikuti langkah sang suster. “Baiklah, kami akan segera melakukan tindakan operasi untuk Ibu Naina,” ucap Dokter Yunita hendak berbalik badan. “Tunggu, Dokter,” cegah Grissham membuat sang dokter mengurungkan niatnya. “Apakah boleh menemani pasien selama operasi berlangsung?” Pria itu tiba-tiba teringat dengan Naina yang selalu menagih janji Oma Hira yang akan menemaninya operasi. Ia ingin menepati janji Oma Hira kepada Naina supaya tidak menjadi beban untuk neneknya. “Moh
Grissham beralih memeluk Zelda dari samping dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang satunya digunakan untuk menggenggam tangan sang sepupu yang terasa dingin. “Kau tak boleh berkata seperti itu, Zee. Berpikirlah positif. Kita doakan semoga mereka semua selamat. Lora dan si kembar dalam keadaan sehat, hm?” balasnya. Zelda yang menyandarkan kepalanya di dada Grissham hanya mengangguk. Tangannya melingkar di pinggang sang sepupu dan memeluknya erat berusaha mencari ketenangan di sana. Grissham sendiri sebenarnya juga merasakan hal yang sama seperti Zelda. Namun, ia berusaha mengontrol perasaannya agar tetap tenang dan menjadi penguat untuk mereka. Jika dirinya ikutan panik, malahan akan membuat suasana semakin kacau. Beberapa jam kemudian setelah sekian lama menunggu, akhirnya Dokter Yunita keluar masih memakai pakaian khas operasi berwarna biru. Semuanya pun berdiri menyambut kedatangan dokter itu. Dokter Yunita melepaskan maskernya dan menatap mereka satu-persatu. “Bayi kembar
Zelda menatap haru pemandangan di hadapannya dengan air mata yang terus berjatuhan. Bukan suami yang menemani Naina melahirkan, bukan pula seorang ayah yang pertama kali menggendong dan mengazani si kembar. Melainkan orang lain yang notabennya baru dikenal yang melakukan semua itu. Zelda menggigit bibirnya menahan isakan yang hampir lolos mengingat nasib Naina yang kurang beruntung sejak kecil. “Naina nggak sendirian. Ada kita yang selalu menemani dan menyayanginya,” ucapnya disertai sesenggukan. Grissham merangkul pundak Zelda dan mengusapnya. Sedikit banyak ia mulai mengerti tentang kehidupan Naina yang sekarang. “Lora adalah keluarga kita.” Tak lama, pintu terbuka dan muncullah Pak Raynald yang berjalan mendekat. “Bayinya sangat lucu dan menggemaskan. Apa kalian tidak ingin melihatnya?” “Nanti saja, Uncle. Kami cukup melihatnya dari sini. Yang terpenting kami sudah tahu bahwa bayinya sehat,” jawab Grissham yang dibalas anggukan oleh Zelda. Zelda menatap Pak Raynald dengan ma
Zelda menggigit kukunya merasa sangat gelisah dan bingung. Ia tidak bisa meninggalkan Naina sendirian, tetapi ia juga ingin sekali melihat kondisi baby girl. Tidak mungkin dirinya mengandalkan bodyguard. Dokter pasti akan mencari keluarga pasien atau orang yang bertanggung jawab atas pasien.Perempuan itu bangkit dari duduknya dan berjalan mondar-mandir sambil berpikir keras untuk mengambil keputusan yang tepat. Hingga akhirnya ia memilih ke ruang NICU sebentar lalu kembali ke sini lagi. Iya, sepertinya itu pilihan yang tepat.Zelda menghampiri ranjang Naina. “Nai, aku tinggal sebentar nggak papa, ya? Aku ingin menengok baby girl yang katanya sedang kritis. Aku tinggal, ya. Sebentaaar aja.” Ia lantas berjalan ke arah pintu. Beberapa langkah sebelum sampai, pintu dibuka dari luar dan menampakkan Grissham dengan raut wajah yang sama paniknya. “Apa kau ingin ke ruang NICU?” tanyanya.Zelda mengangguk. “Aku ingin melihat kondisinya baby girl.”“Sebaiknya kau menunggu di sini sambil me
Naina menatap sekeliling tempatnya berpijak yang terasa sangat asing. Ia berdiri di sebuah taman yang luas dan indah. Tidak seorang pun di sini, kecuali dirinya.Hamparan berbagai macam bunga warna-warni terbentang luas di berbagai sudut. Ada pula berapa pohon yang tumbuh di sekitar taman semakin menyejukkan mata.Cuaca cerah, tetapi tidak panas menambah suasana yang damai. Angin berhembus pelan menerbangkan gamis putih yang dikenakannya.Naina memejamkan mata sambil menarik napas dalam-dalam untuk menghirup udara segar yang bercampur dengan wangi bunga. Ia merasakan ketenangan yang luar biasa di sini. Meski hanya sendiri, dirinya sama sekali tidak merasa takut.“Mama!”Naina membuka matanya dan menoleh. Sontak, ia langsung berkaca-kaca melihat sosok yang baru saja memanggilnya ‘Mama’. “Altair….”Beberapa meter dari posisinya, ada Altair yang berlari kencang ke arahnya. Wanita itu berlutut sambil merentangkan tangannya menyambut sang anak. “Altair, putraku.” Naina memeluk erat anakn
Tangis Naina langsung pecah ketika dua orang itu telah benar-benar menghilang dari penglihatannya. Ia terisak diikuti oleh bayi di gendongannya yang juga ikut menangis kencang. Naina menenangkan putrinya hingga terlelap. Ia mengusap pipi lalu mengedarkan pandangannya. Ia sendirian bersama putrinya di sini. Dirinya tidak tahu bagaimana cara agar bisa kembali.Dalam sekejap tempat ini berubah menjadi di sebuah rumah yang tidak diketahui oleh Naina, masih dengan menggendong putrinya. Ia berada di dalam ruang tamu yang sangat luas dan mewah. “Naina….”Lagi, panggilan itu membuat Naina menoleh ke belakang. Matanya membulat melihat seseorang yang sudah lama tidak ditemuinya. “Mas Dhafin.”Dhafin berjalan mendekat. “Bayi siapa yang kau gendong itu, Naina?”Naina tidak menjawab melainkan semakin memeluk erat putrinya seolah akan ada yang merebut. Ia menggerakkan kakinya melangkah mundur saat Dhafin terus berjalan maju.“Kembalilah bersamaku, Naina,” ucap Dhafin dengan raut wajah sendu dan m
Dhafin menatap Lora dalam-dalam. Mantan istrinya sudah banyak berubah. Tidak seperti dulu yang terlihat lemah dan manut-manut saja yang mudah sekali dimanfaatkan. Sekarang wanita itu jauh lebih berani mengutarakan hal yang tidak sejalan dengan prinsipnya sekaligus tegas. Namun, satu karakter yang masih sama. Lora tidak akan tinggal diam bila anaknya disakiti ataupun dikecewakan. Ia akan menjadi garda terdepan tanpa pandang bulu sekalipun itu ayah kandung dari anaknya sendiri. Dhafin menghela napas panjang. “Aku mengaku salah. Aku minta maaf, Lora.”Lora mendengus keras. “Kamu memang salah! Jangan minta maaf padaku. Minta maaflah kepada anak-anak yang berkali-kali kamu kecewakan,” balasnya ketus. Dhafin mengangguk dengan raut wajah semringah. Namun, detik berikutnya ia kembali murung. “Tapi mereka lagi nggak mau bertemu denganku.”Lora tersenyum mengejek. “Baru segitu kamu langsung menyerah? Cemen banget!” Dhafin membulatkan mata mendengar itu, agak tersinggung. “Terus bagaimana
Beberapa hari telah berlalu. Lora pun sudah kembali ke rumahnya sendiri. Ia hanya seminggu menginap di rumah orang tuanya untuk perkenalan sekaligus adaptasi. Lora merasa tidak enak dengan Florence yang terang-terangan tidak menyukai kehadirannya di sana. Perempuan itu menganggap ia merebut semua yang dimilikinya. Jadi, ia yang merupakan orang baru memilih mengalah daripada merasa tidak nyaman selama tinggal di sana. Meskipun begitu, Lora sangat bersyukur karena yang menjadi kekhawatirannya tidak terjadi. Seluruh anggota keluarga besar Kusuma ternyata bisa menerima kehadirannya. Mereka bersikap ramah bahkan terlihat sangat menyayangi si kembar. Mereka juga tidak mempermasalahkan statusnya yang seorang janda malahan memberikan dukungan agar tetap kuat dan mampu berdiri tegak demi anak-anak.Mungkin hal itulah yang membuat Florence semakin membencinya. Namun, menurut cerita dari Grissham, Florence itu perempuan baik yang bersedia membantunya dalam penyelidikan.Hanya saja sifat cemb
Dokter Radha terus menceritakan sekaligus mengenalkan keluarga besarnya kepada Lora sambil memperlihatkan album foto.Hingga tanpa terasa hari sudah beranjak sore. Keduanya pun menyudahi dan memutuskan untuk turun ke lantai bawah.Namun, sebelum itu Lora meminta tolong pada Amina untuk menjaga si kembar bila sewaktu-waktu terbangun. “Ibun lihat bisnis restoranmu berkembang pesat setelah diterpa masalah fitnah kemarin,” ujar Dokter Radha yang berjalan menuruni tangga bersama Lora. “Alhamdulillah, Bun. Masalah kemarin itu untuk pembelajaran kedepannya agar nggak keulang lagi. Udah diantisipasi juga kok,” balas Lora. Dokter Radha tersenyum bangga sembari mengusap lengan Lora. “Kamu mewarisi jiwa bisnis dari ayahmu. Kelak kamu akan menjadi pewaris perusahaan Brighton Group milik keluarga Ayah.” Lora hanya membalas dengan senyuman saja dan terus melangkah sampai di ruang tamu. Di sana ternyata masih ada Grissham dan Pak Raynald yang sepertinya sedang membicarakan hal penting. Keduanya
“Ini foto siapa, Bun?”Dokter Radha ikut menatap foto itu dengan mengulas senyum. “Dia kembaran Ibun. Namanya Anarva Raharja Kusuma.” Lora menatap Dokter Radha dengan mata berbinar-binar. “Wah... Ibun juga punya kembaran. Jadi pengen bertemu dan berkenalan. Bolehkan, Bun?” Dokter Radha mengubah raut wajahnya menjadi sendu dan menggeleng pelan. Tangannya mengusap foto dibagian laki-laki kecil itu. “Sayangnya nggak bisa karena dia udah meninggal.”Lora seketika melunturkan senyumnya dan merasa tidak enak. “Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Maaf, Bun. Aku nggak tau.” Dokter Radha menatap Lora dan tersenyum maklum. “Nggak papa, Sayang. Ibun mengerti.” Ia kembali membuka halaman album selanjutnya. Di situ terdapat beberapa foto kenangan Dokter Radha dengan kembarannya saat usia balita. “Meskipun kembar, Ibun dan Arva dilahirkan dalam keadaan yang berbeda. Arva memiliki penyakit jantung bawaan sama seperti Zora.”“Bedanya Arva penyakitnya lebih kronis dan nggak bisa bertahan lama. Se
[Aku nggak bisa datang. Aku sibuk]Tidak lama kemudian, pesannya yang semula centang dua abu-abu berubah warna menjadi centang biru. Nama kontak ‘Lora❤’ itu tampak mengetikkan balasan.[Aku tau kamu sibuk mempersiapkan pernikahanmu dengan Freya. Tapi apa kamu nggak bisa meluangkan waktu sedikit aja untuk anak-anak? Ini demi anak-anakmu sendiri loh, Mas. Apa sesusah itu?][Maaf, Lora. Dalam waktu dekat ini aku memang nggak bisa datang. Tolong, sampaikan maafku untuk si kembar] [Baik, terserah kamu! Kamu udah berhasil membuat anak-anak dekat denganmu, tapi begini balasanmu? Ingat, ya, aku nggak akan memintamu datang kalau bukan demi anak-anak]Dhafin tahu Lora bukan tipe orang yang mengemis perhatian. Wanita itu menghubungi dirinya semata-mata hanya untuk si kembar dan itu pun saat mereka yang meminta. Jika tidak, Lora tidak pernah mengirimkan pesan padanya kalau bukan ia duluan yang ngechat.[Ini terakhir kalinya aku mengganggu waktumu. Kedepannya jangan salahkan aku kalau si kembar
“Tante cuma dapat hikmahnya aja,” timpal Zelda.Dokter Radha mengangguk dengan memasang wajah sedih. “Iya, nih. Padahal kan Tante yang merasakan susahnya hamil sembilan bulan sama sakitnya melahirkan.” Pak Raynald tertawa pelan lantas menatap istrinya dalam-dalam. “Meskipun dari segi fisik tak ada kemiripan denganmu, tetapi jangan salah. Kebaikan dan kecerdasan dalam diri Lora sudah pasti menurun darimu, Sayang.”Dokter Radha tersenyum malu hingga menciptakan semburat merah di pipinya yang terlihat samar-samar. Ia berdehem pelan untuk mengurangi salah tingkahnya. “Lora, bagaimana kabarnya Dek Zora?” tanyanya mengalihkan pembicaraan. “Zora sehat, Bun. Akhir-akhir ini udah jarang kambuhan,” jawab Lora sambil tersenyum melihat keharmonisan orang tuanya di usia yang tak lagi muda.“Alhamdulillah….” Dokter Radha kembali memegang kedua tangan Lora dengan mata berbinar-binar. “Ibun nggak nyangka banget udah punya cucu darimu. Kembar lagi, masyaallah….”“Sebenarnya ada tiga, Bun. Tapi putr
“Bila kau tidak kuat, lebih baik kita tunda dulu penjelasannya,” kata Grissham.Lora mengalihkan pandangannya pada Grissham lalu menggeleng pelan. “Lanjut aja. Aku ingin semuanya tuntas hari ini,” balasnya lirih. Ia sekarang duduk di antara dua orang yang mengaku sebagai orang tua kandungnya. Grissham menghela napas, menatap Lora yang terlihat sudah baik-baik saja. “Lora, seperti yang sudah kau dengar dari penjelasanku tadi, Uncle Raynald dan Aunty Radha sebenarnya adalah orang tua kandungmu.”“Kau merupakan putri yang ditukar oleh Ibu Linda dengan putri kandung Ibu Sekar yang selama ini diasuh oleh keluarga Brighton,” jelasnya.Pak Raynald mengangguk setuju menimpali perkataan Grissham. “Kami sudah melakukan tes DNA dan hasilnya memang benar kau adalah putri kandungku, Lora.”Dokter Radha mengeluarkan sebuah kertas yang memiliki logo rumah sakit ternama dari dalam tas kemudian menyerahkannya pada Lora. “Ini hasil tes DNA-nya.”Lora menegakkan tubuh dan mulai membaca isi dalam kertas
Di ruang tamu, Zelda beranjak dari duduknya menghampiri mereka yang masih berdiri di ambang pintu.Sedikit banyak dirinya bisa mendengar pembicaraan mereka dan ikut terkejut sama seperti Lora.Ia berdehem pelan begitu tiba di samping sahabatnya. “Lora, alangkah baiknya kalau mereka dipersilahkan duduk dulu biar enak ngobrolnya.”Lora menepuk dahinya pelan. “Oh iya, sampai lupa. Mari masuk, Om, Dokter, Kak Sham.” Ia memiringkan tubuh untuk memberikan akses jalan pada tamunya. “Loh, Zee. Kau di sini?” tanya Grissham saat melangkah masuk dan melihat sepupunya yang berada di rumah Lora. “Udah dari tadi,” balas Zelda datar lalu berjalan bersisian di samping Grissham.“Di mana si kembar? Tumben tidak kelihatan?” tanya Pak Raynald sambil menatap sekeliling. Ia melihat beberapa mainan dua bocil itu berserakan, tetapi tidak ada pemiliknya. “Lagi main sama Evan di taman samping, Om.” Lora mengekor di belakang mereka semua tanpa menutup pintu kembali. Ia menunjuk ke arah jendela besar di ruan
Lora menoleh sejenak ke arah sahabatnya lalu kembali menatap ke depan. Ia menghela napas panjang dengan raut wajah yang datar. Wanita itu tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaannya sekarang. Semuanya terasa campur aduk dan tak karuan setelah mendengar kabar berita itu. Sedikit banyak ia berharap bahwa berita itu tidaklah benar. Entahlah, ada rasa kecewa dalam hatinya apalagi mengingat Dhafin yang sudah mengetahui bagaimana kebusukan Freya. Ia merasa dikhianati karena telah menaruh kepercayaan yang lebih pada ayah kandung dari anak-anaknya itu. Lora juga merasakan ada rasa nyeri dan sesak dalam dadanya. Walaupun selama ini sikapnya pada Dhafin terkesan ketus dan ogah-ogahan, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada sisa rasa yang terpendam dalam hatinya yang paling dalam."Lora," panggil Zelda berusaha menyadarkan sahabatnya yang tampak larut dalam lamunannya. Ia jadi berpikir tentang apa yang membuat Lora terlihat menanggung beban berat. Seakan menyadari sesuatu, dirinya