“By the way, Tante Mahira pernah mengatakan bahwa kita ini mirip. Benarkah? Memangnya kita semirip apa?”Naina tertawa kecil. “Saya juga tidak tahu.”“Tetapi warna mata kita sama.”“Mungkin hanya kebetulan saja.”Pak Raynald menggeleng tidak setuju. “Saya merasa ini bukan sebuah kebetulan semata. Saya yakin pasti ada sesuatu dibaliknya.”“Iya, kata Oma setiap pertemuan pasti ada hikmahnya.”“Ck! Bukan itu yang saya maksud, Loraaa. Kau ini menyebalkan sekali.”Naina menanggapinya dengan tertawa apalagi waktu Pak Raynald ingin membuktikan sendiri melalui kamera untuk bercermin. Dan pada akhirnya jadi foto bersama.Di sisi lain, Zelda tersenyum lega melihat Naina yang sudah bisa tersenyum bahkan sampai tertawa. Entah apa yang mereka bicarakan, terlihat sangat seru. “Ternyata Uncle Raynald berhasil membujuk dan menghibur Lora. Tahu begitu, aku minta tolong kepadanya dari kemarin,” ujar Grissham dengan tatapan mengarah ke Naina.“Nggak nyangka sih kalau Naina bakal luluh dengan Om Ray,” t
Mira mencoba menghubungi Tuan Albern dan Zelda karena hanya memiliki kontak mereka yang notabennya majikan. Namun sayang, mereka sama sekali tidak mengangkat panggilannya setelah beberapa kali mencoba.Evan, orang kepercayaan Oma Hira yang tinggal di paviliun juga sedang sangat sibuk dan jarang pulang semenjak Oma Hira meninggal. Pria itu bilang banyak hal yang perlu diurus dan meminta Mira menjaga Naina atas permintaan Oma Hira.Mira sangat bingung tak tahu harus melakukan apa. Namun, ia tidak juga bisa berdiam diri di sini menunggu mereka datang yang ada malah membahayakan nyawa Naina.Mira berjongkok dan menyentuh lengan Naina yang masih setia memejamkan mata. “Mbak Nai, Mbak mendengarkanku kan?”Naina membuka mata dengan pandangan yang sayu dan buram. Ia berusaha sekuat tenaga mempertahankan kesadarannya. “Tolong… sakit…” lirihnya.Mira membantu Naina bangkit dan memapahnya menuju ke ruang depan. Ia akan meminta tolong kepada siapapun yang datang ke rumah ini. Atau ia akan memesa
Sontak, Zelda membulatkan mata terkejut. Jantungnya berdegup kencang. Rasa khawatir langsung memenuhinya hatinya.Ia pun segera bangkit, menyambar tasnya, lantas menghampiri Grissham. “Kita harus ke rumah sakit sekarang,” ajaknya dengan raut wajah panik.“Ada apa?” tanya Grissham heran dan ikut berdiri.Zelda menunjukkan pesan Mira pada sepupunya. Tanpa menunggu lagi, ia menggandeng tangan Grissham keluar ruangan dengan tergesa-gesa.“Apa Pak Seto masih menunggu?” tanya Zelda di undakan tangga.“Tentu saja. Aku memintanya menungguku.”“Kalau gitu kau berangkat bersamaku saja.” Zelda terus melangkah lebar tanpa memedulikan sekitar dengan tangan yang masih setia menggandeng Grissham.Tiba di teras butik, perempuan itu menghampiri Pak Seto yang hendak memasuki mobil entah dari mana. “Pak, saya minta tolong. Nanti Bapak pulang ke rumah utama, ya, untuk mengambil perlengkapan bayi di kamar Naina.”“Semua udah disiapkan, kok tinggal mengambil aja. Atau Bapak bisa minta tolong sama ART di ru
“Saya memiliki golongan darah A negatif dan bersedia mendonorkan darah untuk pasien.” “Om Raynald?” gumam Zelda sambil menatap orang itu. Pak Raynald berjalan mendekat dengan senyuman yang terpatri di bibirnya. “Saya bersedia mendonorkan darah untuk pasien atas nama Naina Leonora.” “Baik, silakan Bapak mengikuti suster itu untuk dilakukan pengecekan dan tindakan lebih lanjut,” balas Dokter Yunita sembari menunjuk suster yang tadi ikit bersamanya. “Mari, Pak, ikut saya.” Pak Raynald hanya mengangguk dan mengikuti langkah sang suster. “Baiklah, kami akan segera melakukan tindakan operasi untuk Ibu Naina,” ucap Dokter Yunita hendak berbalik badan. “Tunggu, Dokter,” cegah Grissham membuat sang dokter mengurungkan niatnya. “Apakah boleh menemani pasien selama operasi berlangsung?” Pria itu tiba-tiba teringat dengan Naina yang selalu menagih janji Oma Hira yang akan menemaninya operasi. Ia ingin menepati janji Oma Hira kepada Naina supaya tidak menjadi beban untuk neneknya. “Moh
Grissham beralih memeluk Zelda dari samping dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang satunya digunakan untuk menggenggam tangan sang sepupu yang terasa dingin. “Kau tak boleh berkata seperti itu, Zee. Berpikirlah positif. Kita doakan semoga mereka semua selamat. Lora dan si kembar dalam keadaan sehat, hm?” balasnya. Zelda yang menyandarkan kepalanya di dada Grissham hanya mengangguk. Tangannya melingkar di pinggang sang sepupu dan memeluknya erat berusaha mencari ketenangan di sana. Grissham sendiri sebenarnya juga merasakan hal yang sama seperti Zelda. Namun, ia berusaha mengontrol perasaannya agar tetap tenang dan menjadi penguat untuk mereka. Jika dirinya ikutan panik, malahan akan membuat suasana semakin kacau. Beberapa jam kemudian setelah sekian lama menunggu, akhirnya Dokter Yunita keluar masih memakai pakaian khas operasi berwarna biru. Semuanya pun berdiri menyambut kedatangan dokter itu. Dokter Yunita melepaskan maskernya dan menatap mereka satu-persatu. “Bayi kembar
Zelda menatap haru pemandangan di hadapannya dengan air mata yang terus berjatuhan. Bukan suami yang menemani Naina melahirkan, bukan pula seorang ayah yang pertama kali menggendong dan mengazani si kembar. Melainkan orang lain yang notabennya baru dikenal yang melakukan semua itu. Zelda menggigit bibirnya menahan isakan yang hampir lolos mengingat nasib Naina yang kurang beruntung sejak kecil. “Naina nggak sendirian. Ada kita yang selalu menemani dan menyayanginya,” ucapnya disertai sesenggukan. Grissham merangkul pundak Zelda dan mengusapnya. Sedikit banyak ia mulai mengerti tentang kehidupan Naina yang sekarang. “Lora adalah keluarga kita.” Tak lama, pintu terbuka dan muncullah Pak Raynald yang berjalan mendekat. “Bayinya sangat lucu dan menggemaskan. Apa kalian tidak ingin melihatnya?” “Nanti saja, Uncle. Kami cukup melihatnya dari sini. Yang terpenting kami sudah tahu bahwa bayinya sehat,” jawab Grissham yang dibalas anggukan oleh Zelda. Zelda menatap Pak Raynald dengan ma
Zelda menggigit kukunya merasa sangat gelisah dan bingung. Ia tidak bisa meninggalkan Naina sendirian, tetapi ia juga ingin sekali melihat kondisi baby girl. Tidak mungkin dirinya mengandalkan bodyguard. Dokter pasti akan mencari keluarga pasien atau orang yang bertanggung jawab atas pasien.Perempuan itu bangkit dari duduknya dan berjalan mondar-mandir sambil berpikir keras untuk mengambil keputusan yang tepat. Hingga akhirnya ia memilih ke ruang NICU sebentar lalu kembali ke sini lagi. Iya, sepertinya itu pilihan yang tepat.Zelda menghampiri ranjang Naina. “Nai, aku tinggal sebentar nggak papa, ya? Aku ingin menengok baby girl yang katanya sedang kritis. Aku tinggal, ya. Sebentaaar aja.” Ia lantas berjalan ke arah pintu. Beberapa langkah sebelum sampai, pintu dibuka dari luar dan menampakkan Grissham dengan raut wajah yang sama paniknya. “Apa kau ingin ke ruang NICU?” tanyanya.Zelda mengangguk. “Aku ingin melihat kondisinya baby girl.”“Sebaiknya kau menunggu di sini sambil me
Naina menatap sekeliling tempatnya berpijak yang terasa sangat asing. Ia berdiri di sebuah taman yang luas dan indah. Tidak seorang pun di sini, kecuali dirinya.Hamparan berbagai macam bunga warna-warni terbentang luas di berbagai sudut. Ada pula berapa pohon yang tumbuh di sekitar taman semakin menyejukkan mata.Cuaca cerah, tetapi tidak panas menambah suasana yang damai. Angin berhembus pelan menerbangkan gamis putih yang dikenakannya.Naina memejamkan mata sambil menarik napas dalam-dalam untuk menghirup udara segar yang bercampur dengan wangi bunga. Ia merasakan ketenangan yang luar biasa di sini. Meski hanya sendiri, dirinya sama sekali tidak merasa takut.“Mama!”Naina membuka matanya dan menoleh. Sontak, ia langsung berkaca-kaca melihat sosok yang baru saja memanggilnya ‘Mama’. “Altair….”Beberapa meter dari posisinya, ada Altair yang berlari kencang ke arahnya. Wanita itu berlutut sambil merentangkan tangannya menyambut sang anak. “Altair, putraku.” Naina memeluk erat anakn
Mira menyesap segelas jusnya yang tinggal setengah. Ia terdiam sejenak untuk merangkai kata-kata yang mudah dipahami. “Selain dari mimpi, yang sering digunakan itu kemantapan hati. Ada kecenderungan gitu loh. Dalam hal ini, kamu lebih condong pada siapa,” jawabnya. “Berarti ini berasal dari hati, ya, Mbak?” Lora menatap Mira sangat serius dengan tangan terlipat di atas meja seolah-olah sedang mendengarkan penjelasan guru. Mira menjentikkan jarinya. “Yups, bener banget. Kalau diibaratkan biarkan hati yang berbicara. Terus bisa juga pakai metode Al-Qur’an.” “Memakai Al-Qur'an?” Lora mengerutkan keningnya karena baru mendengar ada metode seperti itu. Kalau yang dua tadi ia pernah mendengar lewat video yang lewat. “Iya, ini juga bisa dibilang cara yang paling mudah. Caranya sama kayak yang kubilang tadi. Sholat Istikharah lalu doa. Habis itu kamu ambil Al-Qur’an.” Mira meraih sebuah buku yang ada di meja kerja Lora. Ia menepuk pelan buku di tangannya. “Anggaplah ini Al-Qur’an,
Lora lagi-lagi menghembuskan napas kasar. Ia tidak pernah menduga bahwa Dhafin akan menagih jawabannya hari ini. Rasanya baru kemarin permintaan rujuk itu terucap. Memang sudah terlewat beberapa hari, tetapi apakah harus secepat ini? Dirinya belum menyiapkan jawaban apapun! “Nggak salah Pak Dhafin menagih jawabanmu sekarang karena ingin mendapatkan kepastian darimu.” Mira mengembalikan ponsel Lora. “Kalau dari saranku, kamu lebih baik menjawab apa adanya sesuai dengan kondisimu saat ini,” ucapnya. Lora menggigit bibir bawahnya sambil menatap Mira. “Bukankah itu sama saja dengan mengecewakannya?” tanyanya ragu. “Bahkan saat kamu nggak langsung menjawab dan secara nggak langsung memintanya menunggu itu aja udah membuat Pak Dhafin kecewa banget,” jawab Mira telak. “Iya, juga, ya. Berarti aku harus bilang ke Mas Dhafin kalau aku belum bisa menjawab sekarang gitu?” Mira menganggukkan kepalanya. “Kamu berterus-terang padanya dan bilang kalau kamu masih butuh waktu dalam mengambil kep
“Terus kamu jawab apa?”Lora menggeleng pelan menjawab pertanyaan dari Mira yang duduk di depannya. “Aku belum memberikan jawaban apapun.”“Termasuk jawaban untuk Pak Dhafin?” tanya Mira lagi yang terdengar seperti menebak.Lora mengangguk dengan bibir melengkung ke bawah. “Iya, belum juga. Bagaimana mau ngasih jawaban? Beberapa hari setelah Mas Dhafin meminta rujuk, tiba-tiba aku dijodohkan sama Kak Sham. Aku kan jadi tambah pusing.”“Kalau kamu belum memberikan jawaban, artinya kamu sama saja meminta mereka menunggu dong?” balas Mira dengan mengerutkan kening.Lora menghela napas panjang. “Tanpa harus meminta menunggu, mereka tetap akan menunggu bahkan memintaku memikirkannya secara matang-matang.”Mira meletakkan sebelah tangan di dagu dan mengusapnya. “Hm… rumit juga, ya.”“Nah, kan….” Lora menutup wajahnya dengan kedua tangan yang bertumpu pada meja kerja. “Semua ini terlalu tiba-tiba untukku, Mbak Mira. Aku benar-benar nggak tau bagaimana menyikapinya,” keluhnya disertai rengek
Assalamu'alaikum, teman-teman, pembaca setia cerita "Mari Berpisah, Aku Menyerah." Di sini saya ingin memberikan pengumuman penting bahwa mulai hari ini sampai seminggu ke depan, saya tidak update bab baru. Atau dengan kata lain hiatus karena ingin istirahat sejenak sekalian mengumpulkan ide yang sekarang sedang macet dan juga menyusun kembali alur cerita agar lebih tertata. Bisa dibilang saya butuh jeda sebentar sebelum menulis lagi. InsyaAllah, saya akan kembali update minggu depan. Untuk para pembaca buku ini, terima kasih sudah mampir dan menjadi pembaca setia. Terima kasih banyak atas komentar-komentarnya. Dan maaf, saya tidak bisa membaca satu-persatu karena keterbatasan 🙏🏻 Saya juga sangat-sangat berterimakasih atas dukungan untuk buku ini dengan memberikan beberapa Gem dan hadiah. MasyaAllah... saya bahagia sekali. Semoga kalian semua sehat selalu dan dilimpahkan rizkinya. Terima kasih banyak, ya, teman-teman 🥰 Saya juga minta maaf kalau diantara kalian merasa cerita i
“Apa Kakak turut andil dalam perjodohan ini?” Grissham menggeleng menjawab pertanyaan Lora. Ia bisa melihat dengan jelas raut menuduh di wajah cantik wanita itu yang tersorot lampu teras. “Aku bahkan baru tahu ketika sudah tiba di sini. Kau jangan salah sangka dulu, Lora. Sungguh, aku tak tahu apapun tentang perjodohan ini.”“Pulang kerja, Ayah tiba-tiba mengajakku kemari tanpa memberitahu tujuannya. Aku mengira mungkin ingin membahas pekerjaan atau proyek baru.”“Tiba di rumah ini aku langsung bermain dengan Twins, sedangkan Ayah sedang membahas sesuatu dengan orang tuamu. Aku tak tahu apa yang mereka bahas.”“Setelah anak-anak masuk kamar karena jadwalnya tidur, aku pun bergabung dengan mereka dan barulah aku tahu tentang perjodohan ini,” jelasnya runtut.Lora mendengus keras dan memalingkan wajahnya menghadap depan. “Bohong banget! Tadi Om Albern bilang udah membicarakannya padamu. Nggak usah mengelak, Kak!”Grissham tersenyum tipis tanpa mengalihkan perhatiannya dari Lora. “Ay
“Nah, ini anaknya udah datang,” ucap Bu Radha yang tersenyum menyambut kedatangan putri-putrinya. Lora mencium tangan Pak Albern dan bersalaman biasa dengan Grissham diikuti oleh Florence. “Kak Sham dari kapan ke sininya? Udah lama?” tanyanya bermaksud menyapa dengan posisi yang masih berdiri.“Sudah dari tadi bahkan aku sempat bermain dengan Twins. Kau terlalu asyik menyendiri sampai-sampai tak tahu kedatanganku,” jawab Grissham. Lora menyengir hingga menampilkan giginya yang rapi. “Nggak menyendiri juga. Aku tadi ada perlu sama Florence.”Mendengar itu, Grissham beralih menatap Florence yang terlihat menempel pada Lora. “Wah… kalian sudah akur ceritanya ini?”Florence mengangguk dengan penuh senyum seraya memeluk lengan Lora yang memiliki postur tubuh lebih tinggi darinya.“Tentu saja, kami kan saudara. Ya kan, Lora?” tanyanya yang dijawab anggukan kecil oleh Lora. Grissham mengacungkan jempolnya ke arah dua perempuan itu. “Bagus bagus, begitu kek dari kemarin. Jadi lebih enak d
"Kenapa? Apa kamu nggak setuju aku pulang besok? Kamu maunya aku pulang malam ini juga?" Lora menatap sejenak tangannya yang masih ditahan oleh Florence. Raut wajahnya berubah menjadi tidak enak. "Maaf, Flo, aku nggak bisa kalau harus pulang malam ini. Aku nggak pulang sendirian, tapi bersama anak-anakku.”“Nggak baik membawa mereka pulang malam-malam begini apalagi kan perjalannya jauh. Ayah sama Ibun juga pastinya nggak akan mengizinkan. Tolong pengertiannya, ya, Flo," ucapnya.Florence langsung melepaskan cekalannya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali sambil menggerakkan tangan. "Enggak enggak, bukan begitu, Lora. Kamu nggak harus pergi dari sini baik sekarang maupun besok atau ke depannya. Tinggallah di rumah ini, Lora.”“Kamu jauh lebih pantas dan berhak dibandingkan aku yang bukan siapa-siapa. Bahkan hubungan darah pun aku nggak punya." Perempuan itu maju selangkah dengan tatapan sendu. "Aku minta maaf atas keegoisanku selama ini. Ya, kamu benar. Kehadiranmu di ru
"Apa kamu mau rujuk kembali dengan Dhafin?" Pertanyaan itu terus saja terngiang-ngiang dalam benaknya walaupun sudah lewat beberapa hari. Lora tidak memberikan jawaban apapun. Ia sendiri bingung bagaimana menyikapinya. Ini terlalu mendadak untuknya. Permintaan maaf dari sang mantan mertua saja sudah membuatnya tercengang apalagi ditambah dengan tawaran itu. Atau mungkin bisa disebut sebagai lamaran? Mengingat Bu Anita sendiri yang mengutarakan hal tersebut. "Kamu nggak harus menjawabnya sekarang, Nak. Dipikirkan dulu matang-matang. Kami nggak akan memaksa," ujar ibunya Dhafin waktu itu. Bu Anita dan yang lainnya memang tidak menuntut jawaban detik itu juga. Namun, tetap saja mereka pasti menunggu jawaban darinya. Ia bisa melihat ada harapan besar yang terpancar di wajah mereka khususnya bagi Dhafin. Rasanya jadi tidak enak bila memberikan jawaban yang mengecewakan.RujukSatu kata yang tak pernah terlintas sedikitpun dalam pikirannya. Sekarang Dhafin sendiri yang menginginkan r
Bu Anita memandang ke arah bawah, tidak berani menatap Lora. Dirinya merasa bersalah pernah menuduh wanita itu selingkuh. Ia sebenarnya tidak ingin membahas hal ini yang malah membuat Lora sulit memaafkannya. Namun, Dhafin sendiri yang malah memancing sehingga mau tak mau mereka harus menjelaskan semuanya. “Maafkan Mama, Lora. Waktu itu Mama terpengaruh dengan perkataan Freya.”Lora mengeraskan rahangnya dengan tangan terkepal kuat. Tatapan matanya berubah dingin. Freya sudah benar-benar kelewatan dengan membuat tuduhan tak bermutu. Bukan hanya dirinya yang kena, tetapi juga menyangkut putrinya. Tuduhan itu pastinya membuat orang tua Dhafin ikut membenci Zora karena dikira bukan cucu kandung mereka. Jelas, Lora tidak terima!Wanita itu memejamkan mata sejenak berusaha menekan emosinya kuat-kuat lalu kembali menatap serius orang tua Dhafin. “Ma, Pa, aku sama sekali nggak pernah selingkuh sama siapapun. Dengan segala sikapnya Mas Dhafin kepadaku, aku nggak berniat menduakan dan me