“Nai, beneran kamu mau pulang sendirian?”Naina mengangguk menjawab pertanyaan Zelda. “Lebih baik kamu kembali ke acara itu, Zel.” “Nggak deh. Aku ikut kamu pulang aja.”Naina menggeleng sambil menggenggam tangan sahabatnya. “Jangan, Zelda. Kamu harus kembali supaya nggak ada yang sadar kalau sebenarnya aku datang.”“Aku tadi sempat melihat Mas Dhafin menatapku. Kamu yang menghilang kayak gini pasti membuat Mas Dhafin curiga,” jelasnya.Sekarang ini, mereka berada di dalam mobil bersama dengan supir yang standby di kursi kemudi.“Aku minta maaf, Nai, udah membawamu ke tempat yang menjadi sumber kesakitanmu selama ini.” Zelda menatap Naina sendu dan merasa bersalah.“Nggak papa, ini juga atas kemauanku sendiri.” Naina tersenyum di balik cadarnya, berusaha terlihat baik-baik saja. Namun, suaranya yang bergetar menahan tangis tak mampu menutupinya.Zelda langsung menarik Naina ke dalam dekapannya. Ia mengusap lembut punggung sang sahabat. “Maaf… nggak seharusnya aku membawamu ke sini la
Arvan memegang dagunya sambil berpikir. “Hm… sepertinya ada konspirasi di sini. Apa kamu nggak curiga?” Dhafin menghela napas panjang masih dengan posisi yang bersandar di kursi. Benar, ia juga sempat curiga kalau orang tuanya sengaja membuat siasat itu. Namun kembali lagi, dirinya terus didesak dan tidak mempunyai waktu banyak. Ia hanya tidak ingin Naina kenapa-kenapa di manapun istrinya berada. Itu saja. “Entahlah…. Setahuku, Papa nggak pernah berbohong dengan ucapannya,” jawabnya. “Ya, terserah sih. Aku cuma mengingatkan aja,” balas Arvan seraya mengedikkan bahu. Untuk sejenak, suasana menjadi hening. Arvan sibuk dengan iPadnya sedang membuat dan mengirim undangan rapat untuk tim pemasaran. Sedangkan Dhafin sibuk dengan pikirannya sendiri sembari mengetukkan jari-jarinya di atas meja. Ia menegakkan tubuhnya lalu menatap Arvan. “Ngomong-ngomong, semalam Lora datang ke acara pertunanganku,” katanya. Sontak, Arvan langsung mendongak. “Lah, kenapa tiba-tiba jadi membahas Lora
“Dhafin, kamu dengar sendiri kan tadi? Mereka menganggapku pelakor,” kata Freya mengadu setelah duduk di dalam mobil Dhafin. Ia memasang wajah sendu. “Biarkan saja,” balas Dhafin cuek lalu menjalankan mobilnya keluar area kantor. “Tapi kamu beneran udah menceraikan Naina kan?” “Hm.” Dhafin tidak menanggapi terlalu jauh dan fokus menyetir. “Makan dimana?” “Di restoran Star Shine,” jawab Freya semangat. “Nggak, jaraknya jauh,” tolak Dhafin langsung. “Tapi aku pengen banget makan di sana. Dengar-dengar makanannya enak-enak.” Dhafin menggeleng tanpa menoleh. “Pilih restoran yang lebih dekat aja.” “Ayolah, Dhafin, sekali-sekali kita cari suasana baru. Di sana makanannya sangat enak. Aku pengen mencobanya. Aku jamin, kamu nggak akan menyesal makan di sana,” bujuk Freya sambil menggoyangkan lengan Dhafin. Dhafin mengeraskan rahangnya dan mencengkram setir kuat-kuat menahan emosi. Ia menghentikan mobilnya di pinggir jalan lantas menatap Freya. “Bukan masalah menyesal atau nggaknya
“Permisi, ini pesanannya.”Naina meletakkan satu-persatu pesanan di atas meja yang diisi oleh tiga orang ibu-ibu.“Terima kasih, Mbak.”“Sama-sama, Bu. Selamat menikmati.” Naina menangkupkan kedua tangan disertai dengan senyum ramahnya. Ia hendak pergi, tetapi suara salah satu dari mereka mengurungkan niatnya.“Mbaknya yang mengelola restoran ini, ya?” tanya ibu yang memakai baju batik. Mungkin karena Naina yang tidak mengenakan seragam karyawan membuatnya menebak seperti itu.Naina mengangguk sopan sebagai jawaban. “Iya, Bu.”“Wah, nggak nyangka bisa bertemu langsung dengan manajernya,” kata ibu yang mengenakan kerudung hitam, menatap Naina dengan mata berbinar-binar. “Bahkan dilayani lagi,” sambung ibu yang memakai gamis.“Makanan di sini tuh enak-enak banget tau, Mbak. Citra rasanya punya ciri khas tersendiri yang bikin nagih,” puji ibu berbaju batik.Ibu bergami mengangguk setuju. “Betul, sesuailah sama gambar yang dipajang.”“Nggak rugi kita jauh-jauh ke sini. Udah makanannya e
Tak berbeda jauh dengan Naina, Pak Raynald pun merasakan hal yang sama. Ada rasa hangat yang mengalir dalam dada ketika tangannya dicium oleh Naina. Perasaan yang asing, tetapi ia merasa bahagia.Sebelum ini, belum pernah ada yang mencium tangan Pak Reynald dengan hikmat seperti yang Naina lakukan, kecuali istrinya. Bahkan anaknya sendiri pun tidak pernah melakukan itu.Naina melepaskan genggaman tangannya. Wajah cantiknya sudah tidak lagi tertutup masker sejak tiba tadi. “Saya Naina, Pak. Atau bisa juga dipanggil Lora,” ucapnya memperkenalkan diri.Pak Raynald ikut tersenyum. Ada rasa tidak rela saat Naina melepaskan tangannya. “Lora, senang berkenalan denganmu,” balasnya dengan logat khas orang asing.“Terima kasih.” Naina membalas senyuman Pak Raynald yang tak pernah ia sangka sebelumnya karena raut muka pria itu tampak kaku. Naina lantas menghampiri Oma Hira yang sudah kembali duduk. “Aku pamit ke kamar dulu, ya, Oma. Mau bersih-bersih.”“Iya, sana. Pakai air hangat aja mandinya
“MasyaAllah tabarakallah, anakku….”Naina menatap haru layar monitor USG yang menampilkan wajah salah satu anaknya. Wajah itu terlihat jelas karena hari ini dokter melakukan USG 4D. Setetes air jatuh dari sudut mata saking terharunya.“Lucu banget,” sahut Oma Hira yang ikut menemani Naina check-up kandungan. “Kira-kira mirip siapa, ya?”“Mirip Altair,” gumam Naina dengan tatapan tak pernah lepas dari layar. Ia tidak berbohong, wajah calon bayinya yang satu ini benar-benar mirip dengan Altair waktu bayi.“Kita cek detak jantungnya, ya,” ucap sang dokter sambil mengutak-atik alat USG di depannya. Ia juga menggerakkan pelan transduser di perut Naina. “Ini bayi pertama.”Seketika, suara detak jantung terdengar nyaring memenuhi ruangan. Naina tak mampu lagi menahan tangis bahagia. Hatinya berdesir hebat. Ucap syukur tak berhenti mengalir dari bibirnya melihat sang anak yang tumbuh sehat.“Kalau ini bayi yang kedua.”Dokter dengan name tag dr. Yunita itu sedikit mengerutkan kening sesaat s
Naina menghela napas berat lantas mengangguk pelan. “Aku sangat takut, Oma. Aku nggak bisa membayangkan bagaimana nanti perutku akan dibedah untuk mengeluarkan dedek twins.”“Kan tadi dokter bilang kalau masih bisa diusahakan melahirkan normal.”“Tapi tetap aja resiko untuk operasi caesar lebih banyak apalagi dedek twins sekarang posisinya belum pas. Aku khawatir waktunya nggak cukup,” ungkap Naina.Oma Hira mengusap lengan Naina untuk menenangkan. “Kalau memang harus operasi, berarti itulah yang terbaik. Dokter melakukan tindakan pastinya sudah mempertimbangkan baik-buruknya.”“Seperti yang dikatakan dokter tadi, kehamilan kembar lebih besar resikonya dibanding kehamilan tunggal. Kita ikuti aja saran dokter, ya,” jelasnya.Naina mengangguk pasrah. “Iya, Oma.”“Nanti kita pakai metode yang sedang trending sekarang. Apa sih namanya? Yang biasa digunakan artis-artis itu loh.” Oma Hira tampak berpikir keras terlihat dari keningnya yang mengerut dalam. “Metode eracs,” sahut Naina.“Nah,
Dhafin berdiri tepat di belakang Naina. Jantungnya berdegup kencang. Entah kenapa, ia merasa sangat gugup seolah sedang bertemu pujaan hati.Dhafin berdehem pelan kemudian mengulurkan tangannya dan memegang pundak wanita itu. “Naina,” panggilnya.Perlahan tapi pasti, wanita di hadapannya menoleh. Sontak, Dhafin langsung menurunkan tangannya. Untuk beberapa saat, ia mematung seraya menatap wanita yang dirinya sangka Naina.Namun, ternyata bukan!“Ada apa, ya?” tanya wanita itu dengan menaikkan sebelah alisnya.Dhafin dengan cepat menguasai diri. “Maaf, saya salah orang.”Wanita itu hanya mengangguk lantas pergi dari sana.Dhafin menghembuskan napas kesal. Ia berjalan menyusuri setiap sudut toko guna mencari keberadaan Naina yang dirinya yakini masih ada di sini.Ternyata tidak ada. Rata-rata pengunjung di sini tidak mengenakan hijab. Bahkan wanita hamil yang memakai gamis, ya, hanya wanita tadi. Ada pula orang yang berpenampilan sama, tetapi sudah berumur. Jelas, itu bukan Naina.Dhaf
Mira menyesap segelas jusnya yang tinggal setengah. Ia terdiam sejenak untuk merangkai kata-kata yang mudah dipahami. “Selain dari mimpi, yang sering digunakan itu kemantapan hati. Ada kecenderungan gitu loh. Dalam hal ini, kamu lebih condong pada siapa,” jawabnya.“Berarti ini berasal dari hati, ya, Mbak?” Lora menatap Mira sangat serius dengan tangan terlipat di atas meja seolah-olah sedang mendengarkan penjelasan guru.Mira menjentikkan jarinya. “Yups, bener banget. Kalau diibaratkan biarkan hati yang berbicara. Terus bisa juga pakai metode Al-Qur’an.”“Memakai Al-Qur'an?” Lora mengerutkan keningnya karena baru mendengar ada metode seperti itu. Kalau yang dua tadi ia pernah mendengar lewat video yang lewat.“Iya, ini juga bisa dibilang cara yang paling mudah. Caranya sama kayak yang kubilang tadi. Sholat Istikharah lalu doa. Habis itu kamu ambil Al-Qur’an.” Mira meraih sebuah buku yang ada di meja kerja Lora.Ia menepuk pelan buku di tangannya. “Anggaplah ini Al-Qur’an, ya. Kamu b
Lora lagi-lagi menghembuskan napas kasar. Ia tidak pernah menduga bahwa Dhafin akan menagih jawabannya hari ini. Rasanya baru kemarin permintaan rujuk itu terucap. Memang sudah terlewat beberapa hari, tetapi apakah harus secepat ini? Dirinya belum menyiapkan jawaban apapun! “Nggak salah Pak Dhafin menagih jawabanmu sekarang karena ingin mendapatkan kepastian darimu.” Mira mengembalikan ponsel Lora. “Kalau dari saranku, kamu lebih baik menjawab apa adanya sesuai dengan kondisimu saat ini,” ucapnya. Lora menggigit bibir bawahnya sambil menatap Mira. “Bukankah itu sama saja dengan mengecewakannya?” tanyanya ragu. “Bahkan saat kamu nggak langsung menjawab dan secara nggak langsung memintanya menunggu itu aja udah membuat Pak Dhafin kecewa banget,” jawab Mira telak. “Iya, juga, ya. Berarti aku harus bilang ke Mas Dhafin kalau aku belum bisa menjawab sekarang gitu?” Mira menganggukkan kepalanya. “Kamu berterus-terang padanya dan bilang kalau kamu masih butuh waktu dalam mengambil kep
“Terus kamu jawab apa?”Lora menggeleng pelan menjawab pertanyaan dari Mira yang duduk di depannya. “Aku belum memberikan jawaban apapun.”“Termasuk jawaban untuk Pak Dhafin?” tanya Mira lagi yang terdengar seperti menebak.Lora mengangguk dengan bibir melengkung ke bawah. “Iya, belum juga. Bagaimana mau ngasih jawaban? Beberapa hari setelah Mas Dhafin meminta rujuk, tiba-tiba aku dijodohkan sama Kak Sham. Aku kan jadi tambah pusing.”“Kalau kamu belum memberikan jawaban, artinya kamu sama saja meminta mereka menunggu dong?” balas Mira dengan mengerutkan kening.Lora menghela napas panjang. “Tanpa harus meminta menunggu, mereka tetap akan menunggu bahkan memintaku memikirkannya secara matang-matang.”Mira meletakkan sebelah tangan di dagu dan mengusapnya. “Hm… rumit juga, ya.”“Nah, kan….” Lora menutup wajahnya dengan kedua tangan yang bertumpu pada meja kerja. “Semua ini terlalu tiba-tiba untukku, Mbak Mira. Aku benar-benar nggak tau bagaimana menyikapinya,” keluhnya disertai rengek
Assalamu'alaikum, teman-teman, pembaca setia cerita "Mari Berpisah, Aku Menyerah." Di sini saya ingin memberikan pengumuman penting bahwa mulai hari ini sampai seminggu ke depan, saya tidak update bab baru. Atau dengan kata lain hiatus karena ingin istirahat sejenak sekalian mengumpulkan ide yang sekarang sedang macet dan juga menyusun kembali alur cerita agar lebih tertata. Bisa dibilang saya butuh jeda sebentar sebelum menulis lagi. InsyaAllah, saya akan kembali update minggu depan. Untuk para pembaca buku ini, terima kasih sudah mampir dan menjadi pembaca setia. Terima kasih banyak atas komentar-komentarnya. Dan maaf, saya tidak bisa membaca satu-persatu karena keterbatasan 🙏🏻 Saya juga sangat-sangat berterimakasih atas dukungan untuk buku ini dengan memberikan beberapa Gem dan hadiah. MasyaAllah... saya bahagia sekali. Semoga kalian semua sehat selalu dan dilimpahkan rizkinya. Terima kasih banyak, ya, teman-teman 🥰 Saya juga minta maaf kalau diantara kalian merasa cerita i
“Apa Kakak turut andil dalam perjodohan ini?” Grissham menggeleng menjawab pertanyaan Lora. Ia bisa melihat dengan jelas raut menuduh di wajah cantik wanita itu yang tersorot lampu teras. “Aku bahkan baru tahu ketika sudah tiba di sini. Kau jangan salah sangka dulu, Lora. Sungguh, aku tak tahu apapun tentang perjodohan ini.”“Pulang kerja, Ayah tiba-tiba mengajakku kemari tanpa memberitahu tujuannya. Aku mengira mungkin ingin membahas pekerjaan atau proyek baru.”“Tiba di rumah ini aku langsung bermain dengan Twins, sedangkan Ayah sedang membahas sesuatu dengan orang tuamu. Aku tak tahu apa yang mereka bahas.”“Setelah anak-anak masuk kamar karena jadwalnya tidur, aku pun bergabung dengan mereka dan barulah aku tahu tentang perjodohan ini,” jelasnya runtut.Lora mendengus keras dan memalingkan wajahnya menghadap depan. “Bohong banget! Tadi Om Albern bilang udah membicarakannya padamu. Nggak usah mengelak, Kak!”Grissham tersenyum tipis tanpa mengalihkan perhatiannya dari Lora. “Ay
“Nah, ini anaknya udah datang,” ucap Bu Radha yang tersenyum menyambut kedatangan putri-putrinya. Lora mencium tangan Pak Albern dan bersalaman biasa dengan Grissham diikuti oleh Florence. “Kak Sham dari kapan ke sininya? Udah lama?” tanyanya bermaksud menyapa dengan posisi yang masih berdiri.“Sudah dari tadi bahkan aku sempat bermain dengan Twins. Kau terlalu asyik menyendiri sampai-sampai tak tahu kedatanganku,” jawab Grissham. Lora menyengir hingga menampilkan giginya yang rapi. “Nggak menyendiri juga. Aku tadi ada perlu sama Florence.”Mendengar itu, Grissham beralih menatap Florence yang terlihat menempel pada Lora. “Wah… kalian sudah akur ceritanya ini?”Florence mengangguk dengan penuh senyum seraya memeluk lengan Lora yang memiliki postur tubuh lebih tinggi darinya.“Tentu saja, kami kan saudara. Ya kan, Lora?” tanyanya yang dijawab anggukan kecil oleh Lora. Grissham mengacungkan jempolnya ke arah dua perempuan itu. “Bagus bagus, begitu kek dari kemarin. Jadi lebih enak d
"Kenapa? Apa kamu nggak setuju aku pulang besok? Kamu maunya aku pulang malam ini juga?" Lora menatap sejenak tangannya yang masih ditahan oleh Florence. Raut wajahnya berubah menjadi tidak enak. "Maaf, Flo, aku nggak bisa kalau harus pulang malam ini. Aku nggak pulang sendirian, tapi bersama anak-anakku.”“Nggak baik membawa mereka pulang malam-malam begini apalagi kan perjalannya jauh. Ayah sama Ibun juga pastinya nggak akan mengizinkan. Tolong pengertiannya, ya, Flo," ucapnya.Florence langsung melepaskan cekalannya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali sambil menggerakkan tangan. "Enggak enggak, bukan begitu, Lora. Kamu nggak harus pergi dari sini baik sekarang maupun besok atau ke depannya. Tinggallah di rumah ini, Lora.”“Kamu jauh lebih pantas dan berhak dibandingkan aku yang bukan siapa-siapa. Bahkan hubungan darah pun aku nggak punya." Perempuan itu maju selangkah dengan tatapan sendu. "Aku minta maaf atas keegoisanku selama ini. Ya, kamu benar. Kehadiranmu di ru
"Apa kamu mau rujuk kembali dengan Dhafin?" Pertanyaan itu terus saja terngiang-ngiang dalam benaknya walaupun sudah lewat beberapa hari. Lora tidak memberikan jawaban apapun. Ia sendiri bingung bagaimana menyikapinya. Ini terlalu mendadak untuknya. Permintaan maaf dari sang mantan mertua saja sudah membuatnya tercengang apalagi ditambah dengan tawaran itu. Atau mungkin bisa disebut sebagai lamaran? Mengingat Bu Anita sendiri yang mengutarakan hal tersebut. "Kamu nggak harus menjawabnya sekarang, Nak. Dipikirkan dulu matang-matang. Kami nggak akan memaksa," ujar ibunya Dhafin waktu itu. Bu Anita dan yang lainnya memang tidak menuntut jawaban detik itu juga. Namun, tetap saja mereka pasti menunggu jawaban darinya. Ia bisa melihat ada harapan besar yang terpancar di wajah mereka khususnya bagi Dhafin. Rasanya jadi tidak enak bila memberikan jawaban yang mengecewakan.RujukSatu kata yang tak pernah terlintas sedikitpun dalam pikirannya. Sekarang Dhafin sendiri yang menginginkan r
Bu Anita memandang ke arah bawah, tidak berani menatap Lora. Dirinya merasa bersalah pernah menuduh wanita itu selingkuh. Ia sebenarnya tidak ingin membahas hal ini yang malah membuat Lora sulit memaafkannya. Namun, Dhafin sendiri yang malah memancing sehingga mau tak mau mereka harus menjelaskan semuanya. “Maafkan Mama, Lora. Waktu itu Mama terpengaruh dengan perkataan Freya.”Lora mengeraskan rahangnya dengan tangan terkepal kuat. Tatapan matanya berubah dingin. Freya sudah benar-benar kelewatan dengan membuat tuduhan tak bermutu. Bukan hanya dirinya yang kena, tetapi juga menyangkut putrinya. Tuduhan itu pastinya membuat orang tua Dhafin ikut membenci Zora karena dikira bukan cucu kandung mereka. Jelas, Lora tidak terima!Wanita itu memejamkan mata sejenak berusaha menekan emosinya kuat-kuat lalu kembali menatap serius orang tua Dhafin. “Ma, Pa, aku sama sekali nggak pernah selingkuh sama siapapun. Dengan segala sikapnya Mas Dhafin kepadaku, aku nggak berniat menduakan dan me