“Hai, Zelda. Udah lama sampainya?” Naina tiba di ruang tengah. Ia bercipika-cipiki dan memeluk sahabatnya sejenak.“Baru aja sampai kok.” Zelda merangkul Naina untuk duduk di sofa. Ia mengalihkan perhatiannya pada perut Naina.“Hallo, dedek twins, keponakan Aunty. Aunty datang nih. Kalian senang nggak?” sapanya seraya mengusap perut Naina.Naina merasakan calon anaknya menendang kecil seakan-akan merespon sapaan Zelda.“Nai….” Zelda menatap Naina dengan mata membulat terkejut. “Mereka nendang?”Naina mengangguk dan ikut mengusap perutnya. “Mulai aktif mereka. Gerakannya juga udah mulai terasa.”Zelda tersenyum senang lalu menempelkan telinganya pada perut Naina. “Ayo, dong, kalian nendang lagi.”Naina menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Zelda. “Btw, tadi kamu lunch bareng Freya, ya? Aku lihat di story-nya dia.”Zelda tampak berdecak kesal dan menegakkan tubuhnya. “Emang benar-benar, ya, tuh cewek. Bisa banget mencari kesempatan.”Ia menoleh ke arah Naina, tersenyum jahil. “Ce
Naina tersenyum malu-malu tidak menduga dengan respon mereka padahal ia sendiri merasa tidak percaya diri. “Mungkin efek bajunya yang cantik,” balasnya merendah.“Pada dasarnya kamu memang cantik, Nai, jadi dipakaikan apapun tetap cantik. Benar nggak, Mbak?” tanya Zelda ke tim MUA meminta persetujuan yang balas anggukan oleh mereka.Penampilan Naina sangat cantik dan anggun dengan balutan gamis beserta kerudung yang menutupi rambut. Kulitnya yang putih bersih sangat cocok dengan warna gamis sehingga membuatnya lebih bercahaya.“Coba cadarnya dipakai sekalian,” pinta Oma Hira. “Haruskah?” tanya Naina ragu. Ia saja belum terbiasa memakai kerudung. Ini malah diminta memakai cadar yang menurutnya sudah berada di level tertinggi.“Harus dong. Katanya nggak pengen mukanya terlihat. Jadi, harus ditutup dengan cadar. Cuma pemotretan aja kok,” sahut Zelda.Naina menghembuskan napasnya. “Baiklah.”MUA yang bertugas di bagian kerudung pun memakaikan cadar dengan warna senada pada wajah Naina.
“Kita ini sebenarnya mau kemana, Oma?”“Ada deh. Nanti juga kamu tau sendiri.”Itu adalah pertanyaan yang ke sekian kali Naina tanyakan kepada Oma Hira. Namun, jawaban yang diberikan sangat tidak jelas membuatnya semakin penasaran. Hingga akhirnya, Naina menyerah dan memilih menatap jalanan lewat jendela kaca samping mobil. Tangannya sesekali mengusap perut saat merasakan tendangan dari sang janin.Hari ini, Naina memakai atasan long tunik bercorak bunga-bunga warna merah bata dengan kombinasi warna krem. Bawahannya ia mengenakan celana kulot longgar warna coklat. Tak lupa kerudung segi empat dengan model simpel menutupi rambut panjangnya. Ya, Naina sudah memutuskan untuk berhijab setelah melalui banyak pertimbangan. Ia sudah sangat mantap tanpa ada keraguan sedikitpun.Bukan pula karena paksaan dari Oma Hira, melainkan memang dari hatinya sendiri yang menginginkan itu.Mungkin ini adalah jalan yang Allah tunjukkan untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Naina ak
Naina mengangguk antusias mendapatkan tawaran yang menakjubkan. “Aku mau, Oma.” Oma Hira tersenyum misterius. “Anggaplah restoran ini milikmu sendiri. Jangan sungkan.”Naina membalas senyuman Oma Hira. “Kapan kira-kira restoran ini akan mulai dibuka, Oma?”“Rencananya nanti sore akan dilakukan grand opening dengan makanan gratis sebagai promo. Jadi, hari ini kita menyiapkan bahan baku sekaligus memasak bumbu untuk acara nanti sore.”Naina manggut-manggut paham. Pantesan, ia melihat semua karyawan pada sibuk.“Keluar, yuk. Oma akan mengenalkanmu ke semua karyawan yang bekerja di sini,” ajak Oma Hira kemudian bangkit dari duduknya.Naina mengikuti langkah Oma Hira keluar ruangan tanpa menggunakan masker. Ia pikir tidak masalah menunjukkan wajah di hadapan karyawan yang nantinya akan bertemu setiap hari.“Selamat pagi semuanya. Perkenalkan ini Lora. Dia yang akan mengelola segala urusan dalam restoran ini,” kata Oma Hira mengenalkan Naina kepada seluruh karyawan yang sudah berkumpul sem
“Kamu datang ke sini kok nggak ngabari dulu sih, Zel?” Naina mengambil tempat duduk di hadapan Zelda setelah dari ruang kerjanya. Zelda menyengir menampakkan giginya yang rapi. “Aku sengaja ngasih kejutan buat kamu. Aku juga tadi habis bertemu klien di daerah sekitar sini jadi sekalian mampir.” Naina manggut-manggut paham. Ia sudah menebak kalau Zelda pasti ada urusan lebih dulu sebelum datang ke sini karena bukan weekend. “Kamu mau pesan apa? Aku akan membuatkannya untukmu,” tawarnya. Zelda menahan tangan Naina, mencegah agar tidak beranjak. “No no no! Kamu duduk aja di sini temani aku.” Naina mengangguk lantas memanggil salah satu karyawannya. Zelda mulai menyebutkan pesanannya. “Kamu nggak pesan, Lora?” “Aku sudah makan tadi tepat sehabis sholat Dzuhur,” jawab Naina kemudian beralih menatap karyawannya. “Aku pesan jus apel aja deh. Terima kasih.” Karyawan itu mencatat lalu membacakan ulang pesanan agar tidak terjadi kesalahan. Setelahnya, ia pamit undur diri. “Ramai bang
Naina dilanda gugup luar biasa. Keringat dingin mulai membasahi tubuh. Jemarinya semakin meremas kuat-kuat gamisnya. Dadanya naik-turun menahan segala perasaan yang membuncah. Naina bisa saja melanjutkan langkahnya dan melewati Dhafin begitu saja. Namun, entah kenapa kakinya terasa sulit gerakkan seolah ada sesuatu yang manahan kakinya. Suasana berubah tegang. Kedua mata yang masih setia menatap ke bawah itu sampai berkaca-kaca. Ia tidak tahu sampai kapan dirinya akan terjebak dalam situasi ini. “Kau itu….” Suara Dhafin kembali terdengar dan terkesan menggantungkan ucapannya. Entah disengaja atau bagaimana. Namun, hal itu sukses membuat jantung Naina berdegup dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Ia memejamkan mata sambil menggigit bibir bawahnya. Apakah Dhafin mengenalinya sebagai Naina? “Kau–” “Mbak Lora!” Naina mengangkat kepalanya. Beberapa meter di depan sana, terlihat Mira yang berjalan ke arahnya seraya melambaikan tangan. Ia sedikit lega melihat Mira yang datang tepat
Sebuah rasa sesak menghantam kuat dada Dhafin ketika melihat tatapan itu. Jantungnya kembali berdebar-debar. Namun, kali ini diikuti dengan rasa nyeri seakan-akan ada ribuan belati yang menembus jantungnya.Detik berikutnya, wanita bercadar itu perlahan mundur dan menghilang dari pandangannya. Dhafin sangat panik. Ia langsung meletakkan kembali cincin itu lalu mengejar wanita yang ia ketahui bernama Lora.“Dhafin, kamu mau kemana?”Dhafin mengabaikan pertanyaan Freya dengan terus berjalan masuk ke dalam rumah.“Dhafin!” Freya ingin menyusul Dhafin, tetapi rok kebayanya yang lipit membuat ia tidak bergerak dengan leluasa.“Kamu di sini aja. Biar aku aja yang menyusul Dhafin.” Davira menahan lengan Freya.Bu Anita datang menghampiri calon menantunya. Ia merangkul Freya sambil mengusap pundaknya lembut. “Iya, Sayang. Lebih baik kamu tunggu di sini. Tenang aja, Dhafin pasti balik kok,” timpalnya.Sementara itu, Dhafin masih terus mengejar sambil menengok kanan-kiri memindai seluruh pen
“Nai, beneran kamu mau pulang sendirian?”Naina mengangguk menjawab pertanyaan Zelda. “Lebih baik kamu kembali ke acara itu, Zel.” “Nggak deh. Aku ikut kamu pulang aja.”Naina menggeleng sambil menggenggam tangan sahabatnya. “Jangan, Zelda. Kamu harus kembali supaya nggak ada yang sadar kalau sebenarnya aku datang.”“Aku tadi sempat melihat Mas Dhafin menatapku. Kamu yang menghilang kayak gini pasti membuat Mas Dhafin curiga,” jelasnya.Sekarang ini, mereka berada di dalam mobil bersama dengan supir yang standby di kursi kemudi.“Aku minta maaf, Nai, udah membawamu ke tempat yang menjadi sumber kesakitanmu selama ini.” Zelda menatap Naina sendu dan merasa bersalah.“Nggak papa, ini juga atas kemauanku sendiri.” Naina tersenyum di balik cadarnya, berusaha terlihat baik-baik saja. Namun, suaranya yang bergetar menahan tangis tak mampu menutupinya.Zelda langsung menarik Naina ke dalam dekapannya. Ia mengusap lembut punggung sang sahabat. “Maaf… nggak seharusnya aku membawamu ke sini la
Ruangan luas nan mewah itu terdiam bisu, seolah ikut menahan napas. Hembusan lembut dari pendingin ruangan menyusup ke sela-sela, membuat udara di dalamnya terasa membeku. Detik demi detik terdengar jelas dari dentingan jarum jam di dinding, mengisi keheningan yang seakan menanti sang pemilik ruangan untuk angkat bicara. Lora duduk diam. Matanya tak berkedip, menatap Grissham lekat-lekat. Tatapan itu menyimpan rasa penasaran yang terus menggelembung di dalam dada. Jemarinya saling menggenggam, mengguratkan kegelisahan yang coba ia redam lewat kehangatan dari dirinya sendiri. Grissham menghembuskan napas panjang. Matanya tak menoleh, tetap terpaku ke satu titik di hadapan, seolah dinding polos itu lebih pantas ia tatap daripada wanita yang duduk di sampingnya. Kedua tangannya bertumpu di lutut, jari-jarinya mengepal lalu mengendur, seirama dengan napas yang berat. “Aku sedang banyak pekerjaan yang harus segera kuselesaikan dalam waktu dekat ini,” ucapnya datar, seperti seda
Beberapa hari berlalu tanpa terasa. Kini, hanya tersisa dua bulan lagi menuju hari pernikahan Lora dan Grissham.Segala persiapan nyaris rampung, dibantu penuh oleh keluarga besar yang turut antusias menyambut hari bahagia mereka.Gedung hotel megah milik keluarga Kusuma telah dipastikan dan dijadwalkan menjadi tempat berlangsungnya momen sakral itu.Gaun pengantin berpotongan anggun tergantung rapi di balik tirai kaca LaCia Boutique, menanti hari di mana Lora akan mengenakannya. Seragam keluarga pun telah selesai dijahit, lengkap dalam berbagai ukuran. MUA ternama yang menjadi incaran para pengantin sudah dibooking sejak beberapa bulan lalu. Jadwalnya dikunci, tak bisa diganggu gugat.Dan yang tak kalah penting, mereka memutuskan untuk mempercayakan seluruh rangkaian acara kepada wedding organizer profesional. Mulai dari acara siraman hingga resepsi, semua diserahkan kepada tangan-tangan berpengalaman.Rapat demi rapat digelar. Lora dan Grissham selalu hadir, duduk berdampingan den
Wajah Bu Anita seketika berubah. Ada gurat kecewa yang perlahan menyusup. Sorot matanya tampak meredup, senyum yang tadi sempat mengembang perlahan menghilang. “Kamu udah memikirkan keputusan ini matang-matang, Nak?” tanyanya pelan dengan mata yang menatap lurus. “Udah, Ma,” jawab Lora dengan lirih tapi tegas. “Bahkan sejak awal aku memilih Kak Sham.” Ia menunduk sejenak, menahan tarikan emosi yang bergolak di dadanya. “Sekali lagi, aku minta maaf, Ma.” Keheningan menggantung beberapa saat. Lora menanti, menebak-nebak reaksi yang akan keluar. Raut datar di wajah Bu Anita membuat pikirannya mulai liar, mencari-cari makna dari setiap helaan napas wanita itu. Ia tahu betul watak ibunya Dhafin. Kini, muncul satu pertanyaan. Apakah keputusan ini akan diterima… atau akan menjadi awal dari jarak yang semakin renggang? Lora menunggu tanggapan Bu Anita dengan sedikit cemas. Melihat dari ekspresinya, sudah pasti beliau akan sangat marah, lalu memaksa agar permintaannya dipenuhi.
Pertanyaan itu menggantung di udara. Dhafin tak langsung menjawab, dan dari keheningannya itu saja Lora sudah tahu jawabannya.“Aku nggak menyangkal,” akhirnya Dhafin bicara, suaranya tenang tapi berat. “Tapi itu juga bukan alasan utama. Aku beneran kangen anak-anak. Bukan cuma karena kamu, tapi karena aku ayah mereka.” Ia menarik napas lagi, lalu memalingkan wajah, menatap ke arah rumah tempat tawa si kembar kini terdengar samar. “Kejadian kemarin… bikin aku sadar. Aku nggak cuma kehilangan kamu, tapi juga mereka. Rasanya hampa banget.”Dhafin kembali menatap Lora, sorot matanya kali ini serius dan penuh harap. “Aku nggak minta banyak. Aku cuma pengen kamu izinkan aku tetap ada di hidup mereka. Walau kamu udah punya kehidupan sendiri.”Lora terkekeh pelan, suara tawanya lirih namun mengandung makna. Sudut bibirnya terangkat, tetapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar geli.“Aku dari awal udah membebaskanmu bertemu anak-anak. Aku nggak pernah membatasi,” ujarnya
“Papa!”Dua bocah kembar itu melesat turun dari mobil. Kaki-kaki mungil mereka menapak cepat di jalan setapak.Suara langkah kecil berpadu dengan teriakan riang, menciptakan simfoni rindu yang tak terbendung.Mereka langsung menghambur ke dalam pelukan ayahnya yang berdiri di teras dengan tangan terbuka dan mata yang tampak sedikit berembun.Begitu tubuh kecil itu memeluknya, Dhafin menunduk dan mendekap mereka erat seolah tak ingin melepaskan.Tangannya membelai rambut keduanya, mencium pipi mereka satu per satu dengan tawa kecil yang tertahan. Hatinya mencelos, penuh sesak oleh rasa bersalah yang belum juga reda. Terakhir ia melihat wajah mereka adalah di rumah sakit saat menjenguk ibunya.Sejak pertengkaran panas itu, Lora benar-benar menjauh. Dan ia... hanya bisa menyesali semuanya dalam diam.“Papa kangen banget sama kalian.” Suaranya bergetar, tetapi hangat.Ia mendaratkan ciuman bertubi-tubi di wajah mereka, membuat anak-anak itu tertawa geli sambil memegangi pipi mereka. “Kal
Grissham tak langsung menanggapi. Matanya tak lepas dari jalanan yang padat. Tampak di depan sana, mobil-mobil merayap, saling berebut celah di bawah langit sore yang mulai menguning.Lampu sein berdetak pelan, menyatu dengan musik dari radio yang mengalun lembut dari speaker mobil.Beberapa menit kemudian, ia memutar kemudi ke kanan, memasuki jalan menuju kawasan perumahan elit—tempat keluarga Brighton tinggal.Dering ponsel yang sejak tadi bersenandung akhirnya berhenti. Lora menatap layar yang kini berubah gelap, jemarinya masih menggenggam erat perangkat itu.Grissham melirik sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. Ia sempat mengira telepon itu tak akan datang lagi karena sang penelepon sudah menyerah. Namun hanya selang beberapa detik, getaran itu kembali menggema di dalam mobil. Nada dering yang sama, nama yang sama—masih bertahan di layar.Grissham menarik napas panjang, menahan jeda sebelum bersuara. “Angkat saja, siapa tahu penting,” ucapnya datar, tetapi lembut.Lora hanya me
Senyum di wajah Zelda perlahan meredup. Masih ada lengkungan manis di bibirnya, tetapi tak lagi semeriah tadi. Pandangannya turun, jatuh pada jemarinya yang saling menggenggam di atas pangkuan, seolah mencari pegangan pada dirinya sendiri. Lora yang duduk di sampingnya mencuri pandang, lalu menatap lekat perut sahabatnya yang kini membulat jelas di balik dress selutut berwarna pastel itu. “Pemeriksaan terakhir? Emangnya kenapa?” tanyanya pelan tetapi penuh curiga setelah ada jeda sejenak. Zelda tidak langsung menjawab. Hanya diam, membiarkan hening mengambang beberapa detik. Kemudian, seperti tersadar, ia menarik napas dan kembali memasang senyum cerah hingga terasa agak dipaksakan. “Bukan apa-apa kok. Semuanya aman.” Lora tidak sepenuhnya percaya. Tatapannya menyapu wajah Zelda yang terlihat terlalu tenang untuk seseorang yang barusan tampak ragu. Namun, ia memilih menahan diri. Tangannya terulur untuk menyentuh perut sahabatnya yang terasa hangat dan hidup di bawah telapaknya
Berbeda dengan Dhafin yang tenggelam dalam penyesalan tak berujung, Lora berdiri tegak di depan cermin besar di LaCia Boutique milik sahabatnya. Cahaya lembut dari lampu gantung kristal memantulkan siluetnya di permukaan kaca. Kebaya putih dengan detail payet halus melekat sempurna di tubuhnya, mengikuti lekuk tanpa cela.Kainnya jatuh anggun, sementara ekor kebaya menjuntai panjang hingga menyapu lantai dengan gerakan pelan setiap kali ia berpindah posisi. Kerudung segi empat yang menjuntai menutup dada, warnanya senada dengan kebaya, menjadikan tampilannya anggun tanpa harus berlebihan.Lora merapikan kerudungnya perlahan, jemarinya menyusuri kain lembut yang menjuntai menutup dada. Sebuah senyum tipis mengembang di bibirnya.Bukan karena merasa paling cantik, bukan pula karena penampilan yang nyaris sempurna. Melainkan ada rasa hangat yang menjalari dadanya, sebuah rasa utuh sekaligus layak.Untuk pertama kalinya, ia menjalani proses ini dengan penuh kesadaran dan penghargaan. Ti
“Gobl*k!”Suara Arvan memantul di dinding ruang kerja yang sunyi.Dhafin langsung menoleh, matanya menyipit tajam ke arah sahabatnya yang bersandar santai di sofa single, satu kaki bersilang di atas lutut. Sorot matanya menyala, seperti ingin melemparkan kursi ke arah lawan bicaranya.Pria itu menggertakkan rahangnya. Umpatan itu bukan sekedar suara, melainkan terasa seperti tamparan dingin yang menghantam dadanya.Baru saja Dhafin menceritakan semua masalah antara dirinya dan Lora baru-baru ini pada Arvan, berharap sedikit pengertian. Namun, yang ia dapat, justru sebuah kalimat kasar yang mengguncang ego dan harga dirinya.Arvan tak bergeming hanya menaikkan satu alis, tanpa gentar. Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, kedua siku bertumpu di lutut.“Wajar Lora bersikap begitu,” katanya tanpa menurunkan volume suara. “Kamu secara terang-terangan mengusirnya cuma karena nolak satu permintaan.”Matanya membulat, ekspresinya semakin sengit. “Kurang baik apa Lora? Dia bolak-balik ke r