Setelah mendapatkan tempat parkir yang pas, mereka pun turun.“Ayo, Freya. Ngapain aja sih?” Zelda yang berjalan duluan menoleh ke belakang dengan kesal karena Freya jalannya sangat lelet.“Iya ya, sabar.” Freya berjalan lebih cepat dan menyamai langkah Zelda.Keduanya menempati meja di bagian tengah-tengah karena hanya itu yang kosong tanpa bergabung dengan pengunjung lain. Sambil menunggu pesanan, Freya terus berusaha mengakrabkan diri dengan Zelda meski ditanggapi dengan acuh tak acuh. Ia juga masih melanjutkan sesi curhatnya tentang Dhafin.“Aku nggak mengerti kenapa tiba-tiba Dhafin berubah. Padahal sebentar lagi kami akan tunangan loh,” ucapnya.Zelda yang awalnya sama sekali tidak tertarik dengan pembahasan Freya kini menatap Freya intens. Ia sekalian ingin mengorek informasi. “Emang jadi tunangan?”“Jadi dong. Cuma diundur aja sih waktunya.”“Kapan emang?”“Bulan depan tepat setelah seratus harinya Altair,” jawab Freya tanpa beban, “nanti aku undang kamu. Kamu harus datang, y
Zelda bungkam. Ia jadi teringat saat Naina pertama kali menginjakkan kaki di rumah neneknya. “Anggaplah sebagai simbiosis mutualisme. Kita saling memanfaatkan.”Perkataan pamannya waktu itu kembali terngiang. Sang paman bersedia menolong Naina dengan syarat Naina harus bersedia menemani neneknya.Namun, siapa sangka hidup Naina jauh lebih enak, nyaman, dan terarah. Oma Hira terlihat sangat menyayangi Naina layaknya cucu sendiri.Zelda kembali menatap Freya dingin. “Tapi bukan berarti kamu nggak berhak bicara yang enggak-enggak tentang Naina apalagi di hadapanku.”Freya ingin membalas lagi, tetapi tidak jadi ketika pelayan datang membawa pesanan mereka. Keduanya pun menikmati makan siang dengan hikmat dan melupakan perdebatan tadi.“Btw, aku baru ingat kalau aku belum memesan gaun atau kebaya untuk acara pertunanganku,” ujar Freya di sela-sela makannya.Zelda melirik sekilas. Ia masih gondok dengan Freya meski tak separah tadi. “Tinggal satu bulan loh,” balasnya datar.“Makanya itu,
“Maafkan aku, Ma. Aku janji akan mengambilnya lusa nanti.” Zelda meletakkan sesuatu di jok belakang mobil putih milik ibunya. Ia memastikan sekali lagi barang itu tidak terlihat dengan mudah. Setelah semuanya selesai, ia menutup pintu mobil. “Zelda?” Sontak, Zelda langsung berbalik badan. “Eh, Ma-mama,” katanya gugup, takut ketahuan. Apakah sang ibu melihat aksinya? Semoga saja tidak. “Kamu pulang? Katanya mau ke rumah Oma.” Bu Kayla berjalan mendekat hingga berhadapan dengan Zelda. “Habis ini mau berangkat, Ma,” jawab Zelda yang sudah lebih tenang. “Kamu habis ngapain di samping mobil Mama?” Bu Kayla tampak memicingkan mata menatap Zelda curiga. Masalahnya Zelda berdiri didekat pintu bagian kanan, sedangkan mobilnya ada di sisi kiri mobil Bu Kayla. “Ini, Ma. Zelda mengambil barang yang ketinggalan di mobil Mama.” Zelda menunjukkan barang yang dimaksud di hadapan ibunya. “Kemarin kan belum sempat mengambilnya waktu habis pinjam,” lanjutnya disertai cengiran. Bu Kayla meng
“Hai, Zelda. Udah lama sampainya?” Naina tiba di ruang tengah. Ia bercipika-cipiki dan memeluk sahabatnya sejenak.“Baru aja sampai kok.” Zelda merangkul Naina untuk duduk di sofa. Ia mengalihkan perhatiannya pada perut Naina.“Hallo, dedek twins, keponakan Aunty. Aunty datang nih. Kalian senang nggak?” sapanya seraya mengusap perut Naina.Naina merasakan calon anaknya menendang kecil seakan-akan merespon sapaan Zelda.“Nai….” Zelda menatap Naina dengan mata membulat terkejut. “Mereka nendang?”Naina mengangguk dan ikut mengusap perutnya. “Mulai aktif mereka. Gerakannya juga udah mulai terasa.”Zelda tersenyum senang lalu menempelkan telinganya pada perut Naina. “Ayo, dong, kalian nendang lagi.”Naina menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Zelda. “Btw, tadi kamu lunch bareng Freya, ya? Aku lihat di story-nya dia.”Zelda tampak berdecak kesal dan menegakkan tubuhnya. “Emang benar-benar, ya, tuh cewek. Bisa banget mencari kesempatan.”Ia menoleh ke arah Naina, tersenyum jahil. “Ce
Naina tersenyum malu-malu tidak menduga dengan respon mereka padahal ia sendiri merasa tidak percaya diri. “Mungkin efek bajunya yang cantik,” balasnya merendah.“Pada dasarnya kamu memang cantik, Nai, jadi dipakaikan apapun tetap cantik. Benar nggak, Mbak?” tanya Zelda ke tim MUA meminta persetujuan yang balas anggukan oleh mereka.Penampilan Naina sangat cantik dan anggun dengan balutan gamis beserta kerudung yang menutupi rambut. Kulitnya yang putih bersih sangat cocok dengan warna gamis sehingga membuatnya lebih bercahaya.“Coba cadarnya dipakai sekalian,” pinta Oma Hira. “Haruskah?” tanya Naina ragu. Ia saja belum terbiasa memakai kerudung. Ini malah diminta memakai cadar yang menurutnya sudah berada di level tertinggi.“Harus dong. Katanya nggak pengen mukanya terlihat. Jadi, harus ditutup dengan cadar. Cuma pemotretan aja kok,” sahut Zelda.Naina menghembuskan napasnya. “Baiklah.”MUA yang bertugas di bagian kerudung pun memakaikan cadar dengan warna senada pada wajah Naina.
“Kita ini sebenarnya mau kemana, Oma?”“Ada deh. Nanti juga kamu tau sendiri.”Itu adalah pertanyaan yang ke sekian kali Naina tanyakan kepada Oma Hira. Namun, jawaban yang diberikan sangat tidak jelas membuatnya semakin penasaran. Hingga akhirnya, Naina menyerah dan memilih menatap jalanan lewat jendela kaca samping mobil. Tangannya sesekali mengusap perut saat merasakan tendangan dari sang janin.Hari ini, Naina memakai atasan long tunik bercorak bunga-bunga warna merah bata dengan kombinasi warna krem. Bawahannya ia mengenakan celana kulot longgar warna coklat. Tak lupa kerudung segi empat dengan model simpel menutupi rambut panjangnya. Ya, Naina sudah memutuskan untuk berhijab setelah melalui banyak pertimbangan. Ia sudah sangat mantap tanpa ada keraguan sedikitpun.Bukan pula karena paksaan dari Oma Hira, melainkan memang dari hatinya sendiri yang menginginkan itu.Mungkin ini adalah jalan yang Allah tunjukkan untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Naina ak
Naina mengangguk antusias mendapatkan tawaran yang menakjubkan. “Aku mau, Oma.” Oma Hira tersenyum misterius. “Anggaplah restoran ini milikmu sendiri. Jangan sungkan.”Naina membalas senyuman Oma Hira. “Kapan kira-kira restoran ini akan mulai dibuka, Oma?”“Rencananya nanti sore akan dilakukan grand opening dengan makanan gratis sebagai promo. Jadi, hari ini kita menyiapkan bahan baku sekaligus memasak bumbu untuk acara nanti sore.”Naina manggut-manggut paham. Pantesan, ia melihat semua karyawan pada sibuk.“Keluar, yuk. Oma akan mengenalkanmu ke semua karyawan yang bekerja di sini,” ajak Oma Hira kemudian bangkit dari duduknya.Naina mengikuti langkah Oma Hira keluar ruangan tanpa menggunakan masker. Ia pikir tidak masalah menunjukkan wajah di hadapan karyawan yang nantinya akan bertemu setiap hari.“Selamat pagi semuanya. Perkenalkan ini Lora. Dia yang akan mengelola segala urusan dalam restoran ini,” kata Oma Hira mengenalkan Naina kepada seluruh karyawan yang sudah berkumpul sem
“Kamu datang ke sini kok nggak ngabari dulu sih, Zel?” Naina mengambil tempat duduk di hadapan Zelda setelah dari ruang kerjanya. Zelda menyengir menampakkan giginya yang rapi. “Aku sengaja ngasih kejutan buat kamu. Aku juga tadi habis bertemu klien di daerah sekitar sini jadi sekalian mampir.” Naina manggut-manggut paham. Ia sudah menebak kalau Zelda pasti ada urusan lebih dulu sebelum datang ke sini karena bukan weekend. “Kamu mau pesan apa? Aku akan membuatkannya untukmu,” tawarnya. Zelda menahan tangan Naina, mencegah agar tidak beranjak. “No no no! Kamu duduk aja di sini temani aku.” Naina mengangguk lantas memanggil salah satu karyawannya. Zelda mulai menyebutkan pesanannya. “Kamu nggak pesan, Lora?” “Aku sudah makan tadi tepat sehabis sholat Dzuhur,” jawab Naina kemudian beralih menatap karyawannya. “Aku pesan jus apel aja deh. Terima kasih.” Karyawan itu mencatat lalu membacakan ulang pesanan agar tidak terjadi kesalahan. Setelahnya, ia pamit undur diri. “Ramai bang
Lora menegakkan tubuhnya dan menatap Dhafin sengit. “Kenapa memangnya?! Mau bilang kalau aku bukan ibu yang baik? Ibu yang nggak becus jaga anaknya sampai bisa sakit? Iya?!”“Aku nggak bilang seperti itu,” balas Dhafin dengan santai.“Iya, tapi kamu pasti akan menuduhku kan? Seperti dulu, kamu yang selalu menyalahkanku atas apa yang terjadi sama Altair tanpa mau mendengar penjelasanku.”“Suudzon mulu.”“Bukan suudzon, tapi memang fakta!”Dhafin memilih diam tanpa membalas perkataan Lora lagi. Jika diteruskan, pasti akan merembet kemana-mana yang berujung mengungkit kesalahannya di masa lalu.Bukan tidak ingin mengakui kesalahan, tetapi bila diungkit terus-menerus membuatnya semakin merasa bersalah dan merutuki kebodohannya dulu.“Zora, putri Papa tidurnya nyenyak sekali. Kapan bangun, Sayang? Papa ingin memeluk dan mengajak Zora bermain,” ucapnya dengan tangan yang masih setia mengusap kepala Zora.Pria itu mengamati putrinya dengan seksama. Ia mengerutkan kening ketika menyadari sesu
Lora menarik kasar tangannya dari genggaman Dhafin. Wajah yang selalu menampilkan ekspresi datar itu tampak memelas dan sendu. Ada sorot mata penyesalan dalam mata tajam milik mantan suaminya.Ia tidak tahu apakah semua itu dari dalam lubuk hati atau hanya pura-pura agar keinginannya tercapai. Namun, yang pasti dirinya tidak akan mudah tertipu oleh sikap Dhafin yang kadang berubah-ubah.“Lebih baik sekarang kamu pulang, Mas,” ucapnya seraya memalingkan wajah.“Lora… tolong.” Dhafin tidak tahu harus bagaimana lagi membujuk Lora. Wanita itu sangat keras kepala yang tidak mudah digoyahkan.“Apa sebegitu fatalkah kesalahanku sampai-sampai kamu nggak memberiku kesempatan?” tanyanya.“Sudahlah, Mas, mending pulang aja.” Lora masih berpaling muka untuk menyembunyikan air mata yang mulai luruh. Ia pun mengusapnya supaya tidak ketahuan.Dhafin menghela napas panjang untuk mengisi stok kesabarannya. “Lora, aku punya hak atas anakku. Kau tak bisa melarang seorang ayah yang ingin bertemu dengan a
“Terus Mbak Mira jawab apa?”“Kalau yang ruangan, aku jawab iya. Tapi kalau untuk penyakitnya Dek Zora, aku nggak kasih tau. Kata Mbak Lora kan nggak boleh memberitahu apapun informasi tentang si kembar pada orang asing,” jelas Mira.“Bagus kalau Mbak Mira nggak memberitahu. Terus gimana?”“Aku tanya balik, Anda siapa? Gitu. Tapi belum sempat menjawab, dia dapat telepon. Ya udah, aku manfaatkan kesempatan itu untuk pergi.”“Kapan itu kejadiannya?”“Waktu hari kedua Dek Zora dirawat. Itu loh, Mbak, saat kita habis dari kantin. Siangnya mendekati jam sebelas waktu aku pamit mau ke restoran cabang. Nah, pas keluar kamar, aku bertemu dia.”Lora menjadi teringat, saat itu ia memang sendirian di kamar inap. Grissham pamit tak lama setelah menjemputnya dari toilet karena akan ada meeting penting di jam satu siang.Dirinya juga meminta Mira untuk datang ke cabang kedua restoran untuk melakukan kunjungan sekaligus mengecek.Siapa orang itu? Apa mungkin orang itu adalah Dhafin? Mengingat di h
Sudah tiga hari Zora dirawat inap. Kondisinya berangsur-angsur pulih. Kata dokter, besok sudah diperbolehkan pulang.Selama tiga hari ini, Lora senantiasa mendampingi Zora dan sama sekali tidak pulang ke rumah. Ia khawatir bila dirinya pulang, Zora akan mencarinya dan malah semakin memperburuk kesehatan gadis kecil itu.Untuk masalah Azhar, Lora merasa tenang meninggalkan putranya di rumah karena sudah ada Zelda yang menginap.Ada pula Evan dan Grissham yang setiap hari datang berkunjung sehingga membuat Azhar tidak merasa sendirian.Lora juga tidak serta merta mengabaikan Azhar begitu saja. Ia selalu melakukan video call guna memantau dan mengetahui apa saja kegiatan Azhar tanpa kehadiran dirinya sekaligus memberikan perhatian.Untung saja Azhar itu termasuk anak yang pintar dan penurut sehingga tidak memaksa menyusul ke rumah sakit untuk menjenguk kembarannya.Terkait dengan pekerjaan, Lora menyerahkan dan mempercayakan semuanya pada Mira. Ia meminta Mira memantau kondisi semua res
“What?! Seriously? Kamu bertemu dengan Lora yang ternyata adalah Naina?”“Iya, aku akan menceritakannya nanti.”“Kenapa Naina–maksudku Lora bisa ada di sana? Sedang menjenguk orang sakit atau–”“Aozora, Putriku yang sakit,” potong Dhafin.“Sakit apa?” tanya Arvan.“Aku nggak tau. Makanya aku ingin mencari tau semuanya. Ini adalah kesempatanku mumpung bertemu mereka,” jawab Dhafin lantas mengalihkan pandangannya pada bunga bougenville di depan sana.“Benar, gunakan kesempatan ini dengan sebaik mungkin. Jangan sia-siakan,” saran Arvan.Dhafin menghela napas berat. “Tapi aku nggak yakin Lora mau menemuiku apalagi mengizinkanku bertemu Aozora.”“Dicoba aja dulu. Diterima atau ditolak itu urusan belakangan. Mau bagaimanapun kamu adalah ayahnya yang berhak bertemu.”Dhafin mengangguk. “Ya, mungkin besok.”Pria itu melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul sebelas. Terlalu mepet bila harus mencari tahu tentang penyakit Aozora karena ia juga harus kembali ke kantor. “Setengah dua belas ak
Dhafin bingung harus menjawab apa. Haruskah dirinya mengaku bahwa ia adalah ayahnya Aozora? Tetapi bukankah akan terkesan sangat aneh? Ia yang tidak pernah muncul dalam kehidupan Lora tiba-tiba mengaku sebagai ayahnya Aozora. Mana ada orang yang percaya, kecuali Lora sendiri yang bilang.“Halo... Pak. Anda belum jawab pertanyaan saya.” Mira melambaikan tangannya di depan wajah Dhafin yang tampak sedang melamun.Dhafin tersentak. Namun, ia segera menguasai diri. “Anda tidak mengenal saya?”Mira menatap Dhafin datar. “Memangnya Anda siapa yang harus saya kenal?”Benar juga, tetapi Dhafin ini kan dikenal dengan CEO Wirabuana Group. Hampir semua orang mengenalnya. Masa perempuan ini sama sekali tidak mengetahui siapa dirinya? Ia merasa harga dirinya sedikit tergores.Dhafin mendadak gugup hingga membuatnya tergagap. Ingin membuat perempuan itu mati kutu, malah dirinya yang dibuat tidak berkutik. “Eee… saya... Saya itu–” Belum sempat melanjutkan, suara dering ponsel di saku celana memoto
Tiba di depan ruangan sang keponakan, Dhafin tidak langsung masuk, melainkan berhenti sejenak lalu menatap Freya tajam. “Diamlah!”Pria itu merasa pusing mendengarkan segala omongan Freya. Saat ini, ia sedang tidak ingin memikirkan mana yang benar dan mana yang salah. Ia akan mencari tahu kebenarannya sendiri nanti.Dhafin kembali melanjutkan jalannya memasuki ruangan bersama Freya yang mendampingi.“Kalian ini dari mana saja sih? Kenapa baru sampai?” tanya Davira langsung sesaat setelah keduanya tiba.“Itu, Kak, tadi kami sempat bertemu–”“Rekan kerja. Aku menyapanya dan mengobrol sedikit,” potong Dhafin sebelum Freya sempat menyelesaikan ucapannya. Ia tidak sepenuhnya berbohong karena dirinya memang benar-benar bertemu dengan Grissham yang merupakan rekan kerjanya. Ya, anggaplah seperti itu.Davira mengangguk percaya. “Ya udah, aku titip Daisha sebentar. Aku mau membersihkan diri dulu.”“Mas Sean belum ke sini?” tanya Dhafin karena tidak melihat batang hidung kakak iparnya di ruan
Plak!Lora menampar keras pipi Freya. “Keterlaluan kamu! Kau boleh menuduhku yang tidak-tidak, tapi jangan pernah menuduh anak-anakku!” marahnya dengan napas memburu. Tatapan matanya menyorot sangat tajam.Freya terkejut dan memegang pipinya yang terasa panas. Namun, beberapa detik kemudian, ia kembali mengendalikan ekspresinya seolah tidak terjadi apapun.“Aku kan cuma bertanya. Wajar dong,” balasnya membela diri.“Mereka jelas anak-anakku. Aku ayahnya. Jangan menuduh sembarangan,” sahut Dhafin ketus karena tidak terima. Enak saja dituduh anak orang lain. Ia sendiri yang membuatnya.Lora yang mendapatkan pembelaan dari Dhafin diam-diam tersenyum dalam hati. Sejak awal, pria itu sudah mengetahui kehamilannya. Ia yakin Dhafin tidak akan mudah percaya dengan omong kosong Freya.“Atas dasar apa kau menuduh anak-anakku seperti itu, hah?” tanyanya sengit dengan mengangkat dagu tanpa rasa takut.Freya menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman. “Gini, ya, Lora. Kamu pergi dari rumah da
Dhafin menoleh ketika mendengar Freya yang juga memanggil Lora dengan nama Naina. Itu artinya wanita di hadapannya ini memang benar-benar Naina. Kecurigaannya dahulu terbukti bahwa sebenarnya Naina dan Lora adalah orang yang sama. Perasaannya untuk Lora pun tidak salah karena ternyata wanita itu merupakan mantan istrinya. Setelah bercerai, rasa ketertarikannya kepada Lora semakin besar. Ia sempat merasa bersalah sebab dirinya bisa secepat itu melupakan Naina dan berpindah hati pada Lora.Sekarang semuanya sudah jelas. Perasaannya kepada Lora berasal dari alam bawah sadar dan ikatan batinnya yang mengatakan bahwa Lora adalah Naina.Sementara itu, Freya terkejut melihat keberadaan wanita yang paling dibencinya berada di rumah sakit ini. Lebih mengejutkannya lagi, ia mendengar Naina dipanggil Lora oleh laki-laki di samping wanita itu. Tanpa bertanya pun dirinya sudah bisa membaca situasi.“Aku nggak menyangka akan bertemu kamu lagi setelah tiga tahun lamanya. Dan apa tadi? Lora? Tern