“Namamu susah. Aku memanggilmu Lora saja, ya.” “Hai, Lora.” “Lora.” “Selamat pagi, Lora.” “Hai, Lora, mau bareng sekalian? Hari ini aku membawa mobil.” “Lora, pulang bareng, yuk!” “Aku mencintamu, Lora, sangat.” “Naina!” Panggilan disertai tepukan cukup keras di pahanya menyadarkan Naina dari lamunan masa lalunya. Ia menatap Zelda dengan sebelah alis terangkat. “Hm?” “Gimana? Kamu mau nggak nama Lora dijadikan nama panggungmu?” Naina berpikir sejenak. “Boleh.” Toh, nama itu juga terdengar asing. Tidak ada seorang pun yang tahu, kecuali si Dia. Bahkan sahabatnya sendiri pun tidak mengetahuinya. Hanya si Dia yang memanggilnya seperti itu. Dulu, orang itu selalu mengejarnya secara terang-terangan dan memberikan perhatian lebih. Naina tidak ingin terlalu berharap karena sadar diri yang hanya seorang anak pembantu. Hingga pada suatu ketika, orang itu menyatakan perasaannya. Namun, ia tolak karena tidak ingin menjadi orang ketiga. Sejak itu, si Dia tak pernah lagi menampakkan
Zelda melunturkan senyumnya melihat respon Naina yang diluar ekspektasinya. “Kamu nggak senang?” Naina menggeleng ribut. “Nggak nggak, bukan gitu. Aku cuma khawatir Freya akan mencari tahu tentang Lora karena merasa tersaingi.” “Aku mengenal karakter Freya yang nggak mau kalah apalagi dalam bidang permodelan, hal yang menjadi impiannya dari dulu,” ungkapnya. Zelda menggenggam tangan Naina seraya tersenyum menenangkan. “Semua data pribadi tentang Lora aman terkendali. Freya nggak akan mampu menjangkau kita. Aku udah mengantisipasi semuanya, Nai.” Naina menghela napas berat dan menunduk. “Aku cuma belum siap kalau harus bertemu dengan Freya. Ya, paling nggak setelah aku melahirkan.” Zelda ingin membalas, tetapi urung ketika ponselnya berdering nyaring. Tanpa meninggalkan tempat, ia mengangkat telepon itu. Naina sempat melihat nama kontak dan nomor ponsel yang bukan dari berasal negara ini di ponsel Zelda. Kontak itu tertulis…. Kak Grisham My Lovely Cousin😘 ‘Oh, dari sepupunya,’
“Waw…. ini bagus banget, Bu.”Sinta yang baru saja masuk ke dalam ruangan langsung dibuat kagum saat melihat hasil rancangan Zelda yang sudah jadi dan dipajang di manekin tanpa kepala.“Bagaimana menurutmu?” tanya Zelda meminta pendapat.“Seperti biasa, baju rancangan Bu Zelda selalu menakjubkan.” Sinta mengacungkan dua jempol.Zelda tersenyum dengan tatapan tak pernah lepas dari sebuah gamis yang sudah dirancangnya beberapa hari ini. Setelah melalui banyak pertimbangan sebelum eksekusi, akhirnya produk ini menjadi nyata. Ia merasa puas dengan hasil karyanya.“Makasih atas penilaiannya, Sinta.” Zelda lantas menepuk-nepuk tempat kosong di sisinya dan meminta Sinta untuk duduk.“Sama-sama, Bu.” Sinta tersenyum dan duduk di samping ibu bosnya. Ia ikut menatap produk baru itu. Zelda menyandarkan tubuhnya masih dengan senyum yang mengembang. “Jujur, saya tidak menyangka sekali berhasil menciptakan sebuah produk yang berbeda dari biasanya.”“Meski sudah pernah ada sebelumnya, tapi gamis i
Setelah mendapatkan tempat parkir yang pas, mereka pun turun.“Ayo, Freya. Ngapain aja sih?” Zelda yang berjalan duluan menoleh ke belakang dengan kesal karena Freya jalannya sangat lelet.“Iya ya, sabar.” Freya berjalan lebih cepat dan menyamai langkah Zelda.Keduanya menempati meja di bagian tengah-tengah karena hanya itu yang kosong tanpa bergabung dengan pengunjung lain. Sambil menunggu pesanan, Freya terus berusaha mengakrabkan diri dengan Zelda meski ditanggapi dengan acuh tak acuh. Ia juga masih melanjutkan sesi curhatnya tentang Dhafin.“Aku nggak mengerti kenapa tiba-tiba Dhafin berubah. Padahal sebentar lagi kami akan tunangan loh,” ucapnya.Zelda yang awalnya sama sekali tidak tertarik dengan pembahasan Freya kini menatap Freya intens. Ia sekalian ingin mengorek informasi. “Emang jadi tunangan?”“Jadi dong. Cuma diundur aja sih waktunya.”“Kapan emang?”“Bulan depan tepat setelah seratus harinya Altair,” jawab Freya tanpa beban, “nanti aku undang kamu. Kamu harus datang, y
Zelda bungkam. Ia jadi teringat saat Naina pertama kali menginjakkan kaki di rumah neneknya. “Anggaplah sebagai simbiosis mutualisme. Kita saling memanfaatkan.”Perkataan pamannya waktu itu kembali terngiang. Sang paman bersedia menolong Naina dengan syarat Naina harus bersedia menemani neneknya.Namun, siapa sangka hidup Naina jauh lebih enak, nyaman, dan terarah. Oma Hira terlihat sangat menyayangi Naina layaknya cucu sendiri.Zelda kembali menatap Freya dingin. “Tapi bukan berarti kamu nggak berhak bicara yang enggak-enggak tentang Naina apalagi di hadapanku.”Freya ingin membalas lagi, tetapi tidak jadi ketika pelayan datang membawa pesanan mereka. Keduanya pun menikmati makan siang dengan hikmat dan melupakan perdebatan tadi.“Btw, aku baru ingat kalau aku belum memesan gaun atau kebaya untuk acara pertunanganku,” ujar Freya di sela-sela makannya.Zelda melirik sekilas. Ia masih gondok dengan Freya meski tak separah tadi. “Tinggal satu bulan loh,” balasnya datar.“Makanya itu,
“Maafkan aku, Ma. Aku janji akan mengambilnya lusa nanti.” Zelda meletakkan sesuatu di jok belakang mobil putih milik ibunya. Ia memastikan sekali lagi barang itu tidak terlihat dengan mudah. Setelah semuanya selesai, ia menutup pintu mobil. “Zelda?” Sontak, Zelda langsung berbalik badan. “Eh, Ma-mama,” katanya gugup, takut ketahuan. Apakah sang ibu melihat aksinya? Semoga saja tidak. “Kamu pulang? Katanya mau ke rumah Oma.” Bu Kayla berjalan mendekat hingga berhadapan dengan Zelda. “Habis ini mau berangkat, Ma,” jawab Zelda yang sudah lebih tenang. “Kamu habis ngapain di samping mobil Mama?” Bu Kayla tampak memicingkan mata menatap Zelda curiga. Masalahnya Zelda berdiri didekat pintu bagian kanan, sedangkan mobilnya ada di sisi kiri mobil Bu Kayla. “Ini, Ma. Zelda mengambil barang yang ketinggalan di mobil Mama.” Zelda menunjukkan barang yang dimaksud di hadapan ibunya. “Kemarin kan belum sempat mengambilnya waktu habis pinjam,” lanjutnya disertai cengiran. Bu Kayla meng
“Hai, Zelda. Udah lama sampainya?” Naina tiba di ruang tengah. Ia bercipika-cipiki dan memeluk sahabatnya sejenak.“Baru aja sampai kok.” Zelda merangkul Naina untuk duduk di sofa. Ia mengalihkan perhatiannya pada perut Naina.“Hallo, dedek twins, keponakan Aunty. Aunty datang nih. Kalian senang nggak?” sapanya seraya mengusap perut Naina.Naina merasakan calon anaknya menendang kecil seakan-akan merespon sapaan Zelda.“Nai….” Zelda menatap Naina dengan mata membulat terkejut. “Mereka nendang?”Naina mengangguk dan ikut mengusap perutnya. “Mulai aktif mereka. Gerakannya juga udah mulai terasa.”Zelda tersenyum senang lalu menempelkan telinganya pada perut Naina. “Ayo, dong, kalian nendang lagi.”Naina menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Zelda. “Btw, tadi kamu lunch bareng Freya, ya? Aku lihat di story-nya dia.”Zelda tampak berdecak kesal dan menegakkan tubuhnya. “Emang benar-benar, ya, tuh cewek. Bisa banget mencari kesempatan.”Ia menoleh ke arah Naina, tersenyum jahil. “Ce
Naina tersenyum malu-malu tidak menduga dengan respon mereka padahal ia sendiri merasa tidak percaya diri. “Mungkin efek bajunya yang cantik,” balasnya merendah.“Pada dasarnya kamu memang cantik, Nai, jadi dipakaikan apapun tetap cantik. Benar nggak, Mbak?” tanya Zelda ke tim MUA meminta persetujuan yang balas anggukan oleh mereka.Penampilan Naina sangat cantik dan anggun dengan balutan gamis beserta kerudung yang menutupi rambut. Kulitnya yang putih bersih sangat cocok dengan warna gamis sehingga membuatnya lebih bercahaya.“Coba cadarnya dipakai sekalian,” pinta Oma Hira. “Haruskah?” tanya Naina ragu. Ia saja belum terbiasa memakai kerudung. Ini malah diminta memakai cadar yang menurutnya sudah berada di level tertinggi.“Harus dong. Katanya nggak pengen mukanya terlihat. Jadi, harus ditutup dengan cadar. Cuma pemotretan aja kok,” sahut Zelda.Naina menghembuskan napasnya. “Baiklah.”MUA yang bertugas di bagian kerudung pun memakaikan cadar dengan warna senada pada wajah Naina.