“Nainaaa….!”Zelda langsung memeluk Naina erat begitu pintu utama rumah megah milik keluarga Starward terbuka.“Aku kangen banget sama kamu, Nai.”Naina terkekeh kecil sembari membalas pelukan sang sahabat. “Baru juga seminggu nggak ketemu.”Zelda melepaskan pelukannya. “Tapi rasanya lama banget.”“Heleh! Mentang-mentang ada Naina di sini kamu sekarang jadi sering datang,” sahut Oma Hira dari arah belakang Naina dan berjalan mendekat.Zelda beralih menghampiri Oma Hira lalu mencium kedua pipi neneknya. “Dulu juga aku sering ke sini kok, Oma.”Mereka bertiga berjalan menuju ruang tengah. Zelda memeluk lengan sang nenek dengan manja.Oma Hira menjitak kepala cucunya. “Sering apanya? Cuma satu sekali setiap lebaran.”“Ya, habisnya di sini sepi. Aku nggak temannya,” balas Zelda dengan bibir mengerucut.Oma Hira memasang wajah garang dan melepaskan tangan Zelda di lengannya. “Terus nenek tua ini kamu anggap apa? Pajangan? Barang antik?” sewotnya lantas duduk di sofa panjang sambil bersedek
“Bantu aku, ya, please.”“Oma setuju dengan Zelda.” Oma Hira yang sejak tadi hanya diam dan menyimak mulai angkat suara.Ia menatap Naina. “Terimalah tawarannya, Nak. Biar kamu ada kegiatan dan nggak jenuh di rumah. Nggak ada salahnya mencoba hal baru. Dicoba aja dulu, jangan bilang nggak bisa.”Zelda mengangguk setuju. “Tuh, Oma aja setuju denganku. Pemotretannya nggak setiap hari kok, paling foto dengan beberapa baju sama kalau launching produk baru.”“Dicoba dulu. Kalau kamu merasa nggak nyaman, kamu boleh berhenti,” bujuknya tanpa menyerah.“Nah, betul itu.” Oma Hira tampak sumringah dan sangat antusias. “Kamu bisa sekalian mengembangkan skill kamu. Oma lihat kamu juga punya potensi untuk jadi modelling.”“Kamu itu punya bentuk badan yang sangat bagus, Nak. Tinggi, ideal, juga cara berjalanmu itu tampak elegan seperti sudah terlatih,” ungkapnya.Naina tersenyum malu sekaligus canggung ternyata sedetail itu Oma Hira memperhatikannya. “Oma terlalu berlebihan. Aku juga sama seperti pe
Zelda tidak langsung menjawab. Terlihat sekali dari raut wajahnya yang menahan rasa cemas dan gelisah. Perempuan itu menghela sejenak lantas mengangguk pelan. “Iya.”Deg! Untuk sejenak, jantung Naina terasa berhenti berdetak. Tubuhnya menegang kaku. Ia mengalihkan pandangannya ke arah depan dengan tatapan mata kosong.FreyaNama itu kembali terdengar di telinganya. Naina kembali teringat akan semua rasa sakit yang ditanggungnya apalagi kala mengingat kematian sang putra yang disebabkan oleh perempuan itu. Hatinya semakin teriris dan perih. Luka yang telah dibalut kini kembali berdarah. Dadanya sesak luar biasa. Udara di sekitarnya serasa menipis sehingga membuatnya sulit untuk bernapas. Mata cantiknya memburam tertutup oleh kabut air yang siap tumpah kapan saja.Ya Tuhan... dari sekian banyak orang yang berprofesi sebagai model, kenapa harus Freya? Orang yang telah menghadirkan penderitaan dalam hidupnya. Dan sekarang perempuan jahat itu menjadi model di butik Zelda.Entah apa tu
Zelda menatap ke arah Oma sejenak lantas beralih memandang ke arah lain. “Waktu itu aku masih punya satu model yang kukira akan tetap bertahan.”“Sayangnya, dia memilih resign karena hamil dan dilarang suaminya menjadi model lagi. Di hari yang sama Freya datang menawarkan kerja sama lalu seperti yang udah kuceritakan tadi.”Ia menghela napas berat lantas menunduk. “Aku didesak Papa untuk segera memberikan keputusan, Mama juga memberikan dukungan. Jadi, terpaksa aku menerimanya.”Oma Hira berdecak. “Aish! Memang dasar si Antonio Starward itu. Nggak pengertian sekali dengan keinginan anak.”Ia mengusap lengan Zelda. “Yaudah, nggak papa. Di sini kamu harus pintar-pintarnya memanfaatkan dia untuk memperoleh keuntungan besar.”Zelda mengangguk. “Iya, Oma, aku juga udah punya rencana seperti itu.”“Selain memanfaatkannya untuk kepentingan butik, kamu bisa gunakan untuk menyelidiki kasus kematian anaknya Naina. Bukan begitu, Naina?” Oma Hira menoleh ke arah Naina.Naina tersenyum dan mengang
Dhafin keluar dari mobil hitam miliknya setelah parkir di tempat yang tersedia. Tatapannya langsung tertuju pada gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Ia merapikan jas mahalnya sejenak, lalu melangkah masuk. “Selamat siang, Bapak, ada yang bisa kami bantu?”Dhafin menatap resepsionis di hadapannya dengan ekspresi datar. “Saya ingin bertemu dengan Bapak Bagas Angga Wijaya.”“Apakah sudah membuat janji?” tanya sang resepsionis.Dhafin menggeleng. “Tolong, sampaikan kepada beliau kalau saya, Dhafin Manggala Wirabuana ingin bertemu.”Resepsionis tersenyum ramah. “Baik, Pak. Mohon ditunggu lebih dahulu.”Dhafin melihat resepsionis itu yang sedang menelepon seseorang. Ia menunggu sambil memasukkan tangannya di dalam saku.Siang ini, Dhafin berniat untuk menemui pengacara yang telah ditunjuk Naina. Ada beberapa hal yang ingin ditanyakan kepadanya. Ia baru bisa datang hari ini karena disibukkan dengan pekerjaan yang menumpuk.Beberapa saat kemudian, seorang pria yang pernah datang ke r
Plak!“Dasar wanita pembunuh! Untuk apa kau di sini?!”Baru saja Naina tiba di acara pemakaman sang putra, ibu mertuanya sudah menghampiri dan menamparnya.Tak siap, Naina pun tersungkur di tanah. Hal ini membuat para tamu menatap penasaran akan pertengkaran mertua dan menantu itu.Naina menatap ibu dari suaminya itu dengan pandangan penuh luka. Air mata yang tadinya sudah mengering kembali lolos disertai rasa nyeri menghantam dada.“Tidak, Ma. Aku tidak mungkin membunuh putraku sendiri.” Naina menggeleng keras.Wanita itu telah berjuang membawa putranya ke dunia. Mana mungkin, ia melakukannya?Naina hendak meraih tangan sang mertua–mencoba menjelaskan.Sayangnya, ia justru didorong menjauh.Bugh!“Tidak mungkin?! Dokter bilang Altair meninggal karena ada racun dalam tubuhnya yang berasal dari makanan!” teriak sang mertua, “hanya kamu yang menyentuh makanan cucuku. Apa kamu mau menuduh orang lain?”Naina semakin terisak. Tubuhnya bergetar hebat mendengar perkataan menyakitkan dari ib
“Aku yang akan menggugat cerai.”“Kamu serius?” Terkejut, Zelda tampak tidak menyangka Naina akan menjawab seperti itu.“Jangan mengambil keputusan saat kamu sedang kacau, Nai. Meski aku berharap kalian berpisah, tapi jangan sampai kamu menyesal nantinya. Dan lagi, pikirkan juga tentang calon anakmu.”Naina kembali menghela napas panjang. “Aku udah mempertimbangkan baik-baik keputusan ini dengan segala resikonya termasuk masalah anak.”“Aku akan merawat dan membesarkannya sendirian. Menjadi single mom bukan pilihan yang buruk daripada bertahan di keluarga toxic itu,” paparnya.Zelda tersenyum. “Inilah yang kutunggu-tunggu darimu, Nai. Kamu mampu mengambil keputusan tegas. Aku akan membantumu lepas dari mereka.”Ia memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih condong ke arah Naina. “Tapi sebelum itu, hal pertama yang harus kamu lakukan adalah merubah sikap.”“Jangan terlalu patuh yang membuat dirimu ditindas terus. Buktikan kalau kamu nggak selemah yang mereka kira.” Naina menyimak denga
“Mas, aku ingin kita pisah.” Sekuat tenaga, Naina mengatakan kalimat yang ditahannya beberapa minggu ini.Namun, Dhafin hanya menatap Naina datar. “Jangan kekanakan, Naina. Lebih baik, istirahat saja,” balasnya dingin.Jantung Naina mencelos. Netranya berkaca-kaca membalas tatapan Dhafin. Kekanak-kanakan?Jadi, seperti itu penilaian Dhafin terhadapnya. Apa Dhafin tak melihat perjuangannya selama empat tahun ini?Naina telah melakukan segala hal agar kehadirannya dianggap oleh Dhafin. Ia berusaha semaksimal mungkin menjadi istri yang baik dan penurut.Wanita itu rela resign dari tempat kerja lalu mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk suami. Bahkan ketika dijadikan pembantu gratisan oleh ibu mertuanya, ia tetap patuh. Selain karena kewajiban, Naina ingin meluluhkan hati suami dan keluarganya. Namun, ternyata ketulusannya sama sekali tak terlihat. Semuanya sia-sia.Naina berdehem pelan. “Mas, aku udah mendengar pembicaraan kalian tadi.”Kali ini, Dhafin menghentikan gerakannya yang