“Mbak Nai mau pergi ke sana sendirian atau perlu diantar?”Pertanyaan dari Mira itu membuat Naina sedikit tersentak. “Diantar saja, saya takut kesasar. Tunggu, ya, Mbak. Saya bersiap-siap dulu.”Tak membutuhkan waktu lama, Naina sudah selesai. Ia menutup pintu kamarnya lalu mengikuti langkah Mira menuju arah kolam renang.Selama perjalanan, Naina memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan dihadapinya ketika bertemu dengan Oma Hira. Ia menjadi overthinking sendiri. Apakah Naina melakukan kesalahan lagi? Apakah Oma Hira akan berubah pikiran dan malah mengusirnya? Kalau itu beneran terjadi, bagaimana selanjutnya?“Mbak Nai nggak perlu khawatir. Oma nggak gigit kok. Saya tadi melihat raut wajah Oma kelihatannya bersahabat. Insyaallah, aman,” kata Mira.Naina tidak menyahut. Ia masih terlarut dalam pikirannya sendiri.Sampai di teras samping rumah, Mira menunjuk ke arah satu gazebo yang sudah ditempati Oma Hira.“Itu Oma di sana. Kalau gitu saya pamit, ya. Semangat, Mbak Nai,
“Saya merasa tidak aman, Oma. Sudah cukup putra saya yang menjadi korban.” Naina mengangkat kepala membalas tatapan Oma Hira.“Saya tidak ingin anak yang ada dalam kandungan saya ini bernasib sama dengan kakaknya. Saya ingin menyelamatkan diri dulu,” ujarnya seraya mengusap perut.Oma Hira menangguk paham. Sorot matanya terlihat sendu. “Apa karena itu kau ingin bercerai, Nak?”“Iya, Oma.”Oma Hira memegang tangan Naina. “Apa tidak bisa dibicarakan baik-baik? Apalagi kan kamu sedang hamil.” Naina menggeleng dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Saya merasa lelah, Oma. Mas Dhafin menerima perjodohan dengan Freya, mantannya.”“Mereka bahkan akan melangsungkan pertunangan dalam waktu dekat. Mas Dhafin sangat mencintai Freya.”“Saya ini hanya istri pengganti yang hanya dijadikan bayang-bayang masa lalunya. Saya tidak lagi dibutuhkan. Selain itu…”Dengan suara bergetar menahan tangis, Naina pun menceritakan semua perlakuan yang ia dapatkan selama berada di rumah mertuanya. Rasa sesak
“Naina, apa kamu yakin ingin bercerai dari Dhafin, Nak? Pikirkan sekali lagi. Oma nggak ingin kamu menyesal nantinya.”Naina menatap lekat-lekat kertas yang berisi gugatan cerai di tangannya. Ia membaca satu-perasatu kalimat yang tertera di sana. Hari yang dinanti pun tiba. Hari dimana Naina harus menandatangani surat perceraian yang dirinya ajukan beberapa hari yang lalu. Ia memejamkan mata sejenak lalu menarik napas dalam-dalam. “Yakin, Oma, karena ini kutunggu-tunggu.”Naina meletakkan kertas itu di atas meja kemudian meraih bolpoin bertinta hitam di dekatnya. Jantung yang berdetak sangat cepat membuatnya dilingkupi rasa gugup luar biasa.Saat akan membubuhkan tanda tangan, tangannya tremor dan gemetaran hebat. Keringat dingin membasahi wajahnya disertai napas yang terdengar memburu.Zelda segera memegang tangan Naina dan meletakkan bolpoin. “Ada apa denganmu, Nai?” tanyanya panik.Naina menggeleng. Ia juga tidak mengerti kenapa tubuhnya bereaksi sedemikian rupa. Perasaannya tib
“Taraaa....!”Zelda menunjukkan satu box berisi ponsel baru dengan merek terkenal lantas menyerahkannya pada Naina.Naina tentu saja sangat terkejut saat menerima box itu. “Ini....”“Ponsel baru untukmu. Biar kita bisa komunikasi lagi,” sahut Zelda penuh semangat dan antusias.Beberapa hari tinggal di sini Naina memang sama sekali tidak memegang ponsel. Ponsel lama sudah benar-benar ia nonaktifkan setelah selesai menghapus akun sosial medianya.“Suka nggak?”Naina mengangguk menjawab pertanyaan Zelda. “Ini pasti mahal banget. Berapa harganya? Nanti aku akan ganti.”Zelda menggeleng. “Nggak usah. Ini memang sengaja aku belikan untukmu.”“Nggak enak aku, Zel. Kamu udah bantu aku banyak banget. Pokoknya yang ini aku mau menggantinya.”Zelda menggenggam tangan Naina. “Aku ikhlas, Nai. Anggaplah ini sebagai hadiah atas kehamilanmu dan kamu yang udah bertahan sejauh ini.”Naina tetap menggeleng dan mengembalikan ponsel itu pada Zelda. “Aku nggak mau menerimanya dengan cuma-cuma.”“Udahlah,
“Jangan-jangan apa?” “Jangan-jangan memang bukan kamu yang mengidam, tapi si Dhafin,” tebak Zelda. Naina terperangah tidak percaya. “Hah?! Kok bisa?” “Bisa! Kan di luar sana, ada kasus yang seperti itu. Dimana istri yang hamil, tapi suami yang merasakan ngidam. Masa nggak tau?” “Ya, aku tau. Maksudnya, itu kan terjadi karena rasa empati suami pada istrinya. Sedangkan aku? Kamu tau sendiri hubunganku sama Mas Dhafin gimana.” Naina menyangkal perkataan Zelda yang menurutnya sangat tidak masuk akal itu. Namun, Zelda tetap keukeuh dengan praduganya. “Bisa jadi loh, Nai, buktinya kamu nggak merasakan apa-apa kan?” Naina menghela napas lelah. “Aku nggak merasa ngidam bukan berarti berpindah ke Mas Dhafin, Zelda. Mustahil Mas Dhafin mengalami yang namanya ngidam.” “Nggak ada yang mustahil kalau Allah udah berkehendak, Nak. Mungkin dari luar suamimu tampak cuek dan nggak peduli. Tapi dalam hatinya, siapa yang tahu?” Oma Hira yang sedari tadi hanya diam kini angkat suara mengemukakan
Semua pertanyaan itu sama sekali tidak berhasil ditemukan jawabannya. Dhafin berharap Naina akan baik-baik saja dimanapun wanita itu berada. Karena mau bagaimanapun Naina tengah mengandung buah hatinya, pewaris Wirabuana. Tak ingin larut dalam pikirannya, Dhafin memulai mengerjakan pekerjaannya. Ia mengecek berkas yang menumpuk di mejanya kemudian ditandatanganinya. Beberapa jam kemudian, Arvan masuk ke dalam ruangannya. Seketika, wangi parfum milik sahabatnya itu menguar memenuhi seluruh ruangan. Dhafin menutup hidung karena tidak kuat dengan aromanya yang sangat menyengat. Tiba-tiba ia merasa mual. Perutnya juga terasa diaduk-aduk. “Selamat pagi menjelang siang, Pak Bos. Saya ingin mengingatkan–” Belum selesai Arvan berkata, Dhafin langsung berlari ke kamar mandi yang ada di dalam ruangan kerjanya. Hoek! Lagi, Dhafin memuntahkan isi perutnya seperti waktu di rumah tadi. Bedanya ini karena mencium aroma parfum milik Arvan. Arvan yang khawatir mengikuti sahabatnya. Namun, Dh
Dhafin merasa tertampar dengan perkataan Arvan. Ia teringat dulu waktu pertama tahu Naina hamil, ia menolak. “Kenapa bisa hamil sih?” tanyanya ketus lalu melempar kasar testpack yang diberikan Naina. “Kan karena kamu juga, Mas,” jawab Naina takut-takut. “Itu hanya kecelakaan. Lagian kenapa kamu nggak mencegahnya sih? Minum obat atau apa kek biar nggak hamil.” “Maaf.” Naina hanya menunduk tanpa berani menatap Dhafin. “Aku belum siap jadi ayah!” Dhafin juga teringat ketika dirinya mengabaikan Naina waktu mual-muntah di awal kehamilan. “Mas, boleh minta tolong ambilkan minum sama minyak kayu putih?” pinta Naina dengan suara lemah. Wanita itu baru saja keluar dari kamar mandi sehabis muntah-muntah. “Nyusahin!” Dhafin tetap mengambilkan dua barang itu meskipun dengan tidak ikhlas. Ia bahkan pernah membiarkan Naina pingsan karena terlalu banyak kekurangan cairan hingga dibawa ke rumah sakit. Sejak itu, mereka pindah ke kediaman Wirabuana karena permintaan Bu Anita. Namun, bukanny
Freya menatap Dhafin heran. “Kenapa?” tanyanya sambil melangkah maju. Dhafin malah melangkah mundur dengan tangan menutup hidungnya sendiri. “Berhenti disitu!” Ia tidak tahan dengan aroma tubuh Freya yang lagi-lagi membuatnya mual. Padahal dulunya menjadi favorit. Terlebih ini Freya, orang yang dicintainya bukan orang lain. “Kenapa sih memangnya?” “Kamu bau banget.” Freya membelalakkan matanya terkejut. “Apanya yang bau?” Ia sampai mencium badannya sendiri yang menurutnya wangi. “Ini parfum kesukaanmu loh. Kamu yang membelikannya langsung.” Dhafin tahu itu. Namun, sekarang ini ia benar-benar tidak tahan dengan aromanya yang lebih menyengat dibanding milik Arvan. Pria itu bersandar di pintu. Ia mati-matian menahan diri agar tidak sampai muntah membuat kepalanya terasa pening. “Lebih baik kamu pulang,” usirnya terang-terangan. “Kamu mengusirku?” Freya terperangah tidak percaya. “Iya.” Freya memandang Dhafin dengan tatapan terluka. “Kamu tega mengusirku, Dhaf?” Dhafin mem
“Terus Mbak Mira jawab apa?”“Kalau yang ruangan, aku jawab iya. Tapi kalau untuk penyakitnya Dek Zora, aku nggak kasih tau. Kata Mbak Lora kan nggak boleh memberitahu apapun informasi tentang si kembar pada orang asing,” jelas Mira.“Bagus kalau Mbak Mira nggak memberitahu. Terus gimana?”“Aku tanya balik, Anda siapa? Gitu. Tapi belum sempat menjawab, dia dapat telepon. Ya udah, aku manfaatkan kesempatan itu untuk pergi.”“Kapan itu kejadiannya?”“Waktu hari kedua Dek Zora dirawat. Itu loh, Mbak, saat kita habis dari kantin. Siangnya mendekati jam sebelas waktu aku pamit mau ke restoran cabang. Nah, pas keluar kamar, aku bertemu dia.”Lora menjadi teringat, saat itu ia memang sendirian di kamar inap. Grissham pamit tak lama setelah menjemputnya dari toilet karena akan ada meeting penting di jam satu siang.Dirinya juga meminta Mira untuk datang ke cabang kedua restoran untuk melakukan kunjungan sekaligus mengecek.Siapa orang itu? Apa mungkin orang itu adalah Dhafin? Mengingat di h
Sudah tiga hari Zora dirawat inap. Kondisinya berangsur-angsur pulih. Kata dokter, besok sudah diperbolehkan pulang.Selama tiga hari ini, Lora senantiasa mendampingi Zora dan sama sekali tidak pulang ke rumah. Ia khawatir bila dirinya pulang, Zora akan mencarinya dan malah semakin memperburuk kesehatan gadis kecil itu.Untuk masalah Azhar, Lora merasa tenang meninggalkan putranya di rumah karena sudah ada Zelda yang menginap.Ada pula Evan dan Grissham yang setiap hari datang berkunjung sehingga membuat Azhar tidak merasa sendirian.Lora juga tidak serta merta mengabaikan Azhar begitu saja. Ia selalu melakukan video call guna memantau dan mengetahui apa saja kegiatan Azhar tanpa kehadiran dirinya sekaligus memberikan perhatian.Untung saja Azhar itu termasuk anak yang pintar dan penurut sehingga tidak memaksa menyusul ke rumah sakit untuk menjenguk kembarannya.Terkait dengan pekerjaan, Lora menyerahkan dan mempercayakan semuanya pada Mira. Ia meminta Mira memantau kondisi semua res
“What?! Seriously? Kamu bertemu dengan Lora yang ternyata adalah Naina?”“Iya, aku akan menceritakannya nanti.”“Kenapa Naina–maksudku Lora bisa ada di sana? Sedang menjenguk orang sakit atau–”“Aozora, Putriku yang sakit,” potong Dhafin.“Sakit apa?” tanya Arvan.“Aku nggak tau. Makanya aku ingin mencari tau semuanya. Ini adalah kesempatanku mumpung bertemu mereka,” jawab Dhafin lantas mengalihkan pandangannya pada bunga bougenville di depan sana.“Benar, gunakan kesempatan ini dengan sebaik mungkin. Jangan sia-siakan,” saran Arvan.Dhafin menghela napas berat. “Tapi aku nggak yakin Lora mau menemuiku apalagi mengizinkanku bertemu Aozora.”“Dicoba aja dulu. Diterima atau ditolak itu urusan belakangan. Mau bagaimanapun kamu adalah ayahnya yang berhak bertemu.”Dhafin mengangguk. “Ya, mungkin besok.”Pria itu melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul sebelas. Terlalu mepet bila harus mencari tahu tentang penyakit Aozora karena ia juga harus kembali ke kantor. “Setengah dua belas ak
Dhafin bingung harus menjawab apa. Haruskah dirinya mengaku bahwa ia adalah ayahnya Aozora? Tetapi bukankah akan terkesan sangat aneh? Ia yang tidak pernah muncul dalam kehidupan Lora tiba-tiba mengaku sebagai ayahnya Aozora. Mana ada orang yang percaya, kecuali Lora sendiri yang bilang.“Halo... Pak. Anda belum jawab pertanyaan saya.” Mira melambaikan tangannya di depan wajah Dhafin yang tampak sedang melamun.Dhafin tersentak. Namun, ia segera menguasai diri. “Anda tidak mengenal saya?”Mira menatap Dhafin datar. “Memangnya Anda siapa yang harus saya kenal?”Benar juga, tetapi Dhafin ini kan dikenal dengan CEO Wirabuana Group. Hampir semua orang mengenalnya. Masa perempuan ini sama sekali tidak mengetahui siapa dirinya? Ia merasa harga dirinya sedikit tergores.Dhafin mendadak gugup hingga membuatnya tergagap. Ingin membuat perempuan itu mati kutu, malah dirinya yang dibuat tidak berkutik. “Eee… saya... Saya itu–” Belum sempat melanjutkan, suara dering ponsel di saku celana memoto
Tiba di depan ruangan sang keponakan, Dhafin tidak langsung masuk, melainkan berhenti sejenak lalu menatap Freya tajam. “Diamlah!”Pria itu merasa pusing mendengarkan segala omongan Freya. Saat ini, ia sedang tidak ingin memikirkan mana yang benar dan mana yang salah. Ia akan mencari tahu kebenarannya sendiri nanti.Dhafin kembali melanjutkan jalannya memasuki ruangan bersama Freya yang mendampingi.“Kalian ini dari mana saja sih? Kenapa baru sampai?” tanya Davira langsung sesaat setelah keduanya tiba.“Itu, Kak, tadi kami sempat bertemu–”“Rekan kerja. Aku menyapanya dan mengobrol sedikit,” potong Dhafin sebelum Freya sempat menyelesaikan ucapannya. Ia tidak sepenuhnya berbohong karena dirinya memang benar-benar bertemu dengan Grissham yang merupakan rekan kerjanya. Ya, anggaplah seperti itu.Davira mengangguk percaya. “Ya udah, aku titip Daisha sebentar. Aku mau membersihkan diri dulu.”“Mas Sean belum ke sini?” tanya Dhafin karena tidak melihat batang hidung kakak iparnya di ruan
Plak!Lora menampar keras pipi Freya. “Keterlaluan kamu! Kau boleh menuduhku yang tidak-tidak, tapi jangan pernah menuduh anak-anakku!” marahnya dengan napas memburu. Tatapan matanya menyorot sangat tajam.Freya terkejut dan memegang pipinya yang terasa panas. Namun, beberapa detik kemudian, ia kembali mengendalikan ekspresinya seolah tidak terjadi apapun.“Aku kan cuma bertanya. Wajar dong,” balasnya membela diri.“Mereka jelas anak-anakku. Aku ayahnya. Jangan menuduh sembarangan,” sahut Dhafin ketus karena tidak terima. Enak saja dituduh anak orang lain. Ia sendiri yang membuatnya.Lora yang mendapatkan pembelaan dari Dhafin diam-diam tersenyum dalam hati. Sejak awal, pria itu sudah mengetahui kehamilannya. Ia yakin Dhafin tidak akan mudah percaya dengan omong kosong Freya.“Atas dasar apa kau menuduh anak-anakku seperti itu, hah?” tanyanya sengit dengan mengangkat dagu tanpa rasa takut.Freya menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman. “Gini, ya, Lora. Kamu pergi dari rumah da
Dhafin menoleh ketika mendengar Freya yang juga memanggil Lora dengan nama Naina. Itu artinya wanita di hadapannya ini memang benar-benar Naina. Kecurigaannya dahulu terbukti bahwa sebenarnya Naina dan Lora adalah orang yang sama. Perasaannya untuk Lora pun tidak salah karena ternyata wanita itu merupakan mantan istrinya. Setelah bercerai, rasa ketertarikannya kepada Lora semakin besar. Ia sempat merasa bersalah sebab dirinya bisa secepat itu melupakan Naina dan berpindah hati pada Lora.Sekarang semuanya sudah jelas. Perasaannya kepada Lora berasal dari alam bawah sadar dan ikatan batinnya yang mengatakan bahwa Lora adalah Naina.Sementara itu, Freya terkejut melihat keberadaan wanita yang paling dibencinya berada di rumah sakit ini. Lebih mengejutkannya lagi, ia mendengar Naina dipanggil Lora oleh laki-laki di samping wanita itu. Tanpa bertanya pun dirinya sudah bisa membaca situasi.“Aku nggak menyangka akan bertemu kamu lagi setelah tiga tahun lamanya. Dan apa tadi? Lora? Tern
“Jadi benar, kamu adalah Naina yang menyamar menjadi Lora?” Dhafin berjalan mendekat dengan tatapan tak pernah lepas dari wanita di depannya ini.Lora menatap heran ke arah Dhafin seraya mengerutkan kening. “Saya tidak mengerti maksud Anda. Saya permisi.”Wanita itu kembali menghadap depan dan mulai melangkah menjauh. Sungguh, ia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan Dhafin di sini. Di antara banyaknya orang yang ada di rumah sakit terkenal ini, kenapa harus Dhafin yang ia temui? Lora hanya belum siap bertemu kembali meski sebelumnya sudah mewanti-wanti bila sewaktu-waktu dipertemukan lagi. Namun, ia tak menduga akan secepat ini.Dhafin buru-buru menahan tangan wanita yang ia yakini sebagai Naina untuk mencegah kepergiannya. “Tunggu, Naina, aku belum selesai bicara.”Lora menatap sejenak tangan Dhafin yang memegang tangannya kemudian berbalik badan. Ia menarik tangannya kuat hingga pegangan itu terlepas. “Maaf, Anda salah orang. Saya bukan Naina,” ujarnya diakhiri dengan seny
Aritmia Itulah yang dikatakan dokter setelah hasil pemeriksaan keluar. Betapa hancurnya hati Lora sebagai seorang ibu ketika mendengar diagnosa itu. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain berusaha memberikan pengobatan yang terbaik untuk putrinya. Rumah sakit sudah menjadi rumah kedua bagi Zora bahkan sampai memiliki dokter langganan yang pada akhirnya menjadi dokter tetap. Setiap kontrol langsung mendatangi dokter itu atau bisa juga dengan membuat janji. “Mama jangan sedih. Zora pasti sembuh.” Ucapan Grissham itu membuat Lora tersadar dari lamunannya. Ia kembali mendekati sang putri yang tengah menatapnya. “Anan dih, Mama. Oya embuh (Jangan sedih, Mama. Zora sembuh),” kata Zora menirukan perkataan Grissham dengan bahasa sederhananya. Lora menarik sudut bibirnya membentuk senyuman haru. Ia mencium pipi Zora dengan gemas. “Iya, Sayang. Zora pasti sembuh.” Waktu bergulir dengan cepat. Tak terasa, hari sudah berganti menjadi sore mendekati senja. Zora juga tertidur pulas sete