Share

34. Menyesuaikan Diri

Author: Putri Cahaya
last update Last Updated: 2024-09-08 21:54:55

Naina terbungkam dengan kepala tertunduk. Tebakan Oma Hira sangat tepat sasaran.

Ia tidak tahu harus menjawab apa, takut salah bicara yang membuat Oma Hira semakin tidak menyukai.

Oma Hira mengangguk paham. “Baiklah, aku mengizinkanmu tinggal di sini selama beberapa hari. Setelah itu, kau harus kembali kepada suamimu. Kalau bisa secepatnya.”

Wanita tua itu lantas bangkit dari duduknya karena telah menyelesaikan makan malam. “Oma pamit ke kamar duluan. Selamat malam.”

“Tapi Oma–”

Ucapan Zelda terpotong ketika Oma mengangkat sebelah tangannya kemudian berlalu meninggalkan meja makan.

“Ibu memang sangat membenci yang namanya perceraian,” ucap Tuan Albern lantas ikut beranjak pergi.

Deg!

Naina semakin menunduk seraya meremas jemarinya yang berkeringat. Hatinya mencelos. Sama seperti Tuan Albern, Oma memintanya kembali kepada Dhafin.

Namun, dirinya sungguh-sungguh tidak ingin kembali. Mendengar namanya saja ia sudah bergetar ketakutan.

Zelda menggenggam tangan Naina. “Oma bilang sepert
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   35. Pagi Pertama

    “Kan Mbak Nai udah klarifikasi,” ucap Mira menyahuti ucapan Gayatri sebelumnya. “Tapi berita itu memang ndak bener kan, Mbak?” tanya Gayatri kepada Naina untuk mengonfirmasi langsung. “Tidak! Saya difitnah,” jawab Naina tegas membuat semuanya mengucapkan syukur serentak.“Iya, sih. Tuan Albern nggak mungkin membawa seseorang tanpa tau seluk-beluknya. Kita aja masuk ke sini pakai seleksi ketat,” timpal Arum.“Udah, nggak usah bahas masalah itu. Kasihan Mbak Nai jadi keingat,” kata Mira.Naina tersenyum. “Makasih pengertiannya.”“Sama-sama, Mbak Nai,” balas mereka bebarengan kemudian melanjutkan kegiatannya untuk memasak sarapan.“Kalian mau masak apa? Boleh saya membantu?” tanya Naina menawarkan bantuan. Ia melihat mereka yang sepertinya sudah memiliki tugas masing-masing.“Jangan, Mbak, ndak usah,” tolak Gayatri.Seketika, raut wajah Naina berubah sedih. “Kenapa? Apa kalian takut makanannya akan saya kasih racun?”Wanita itu kembali teringat kejadian dimana dirinya dituduh memasukka

    Last Updated : 2024-09-09
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   36. Sore Bersama Oma

    “Mbak Nai mau pergi ke sana sendirian atau perlu diantar?”Pertanyaan dari Mira itu membuat Naina sedikit tersentak. “Diantar saja, saya takut kesasar. Tunggu, ya, Mbak. Saya bersiap-siap dulu.”Tak membutuhkan waktu lama, Naina sudah selesai. Ia menutup pintu kamarnya lalu mengikuti langkah Mira menuju arah kolam renang.Selama perjalanan, Naina memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan dihadapinya ketika bertemu dengan Oma Hira. Ia menjadi overthinking sendiri. Apakah Naina melakukan kesalahan lagi? Apakah Oma Hira akan berubah pikiran dan malah mengusirnya? Kalau itu beneran terjadi, bagaimana selanjutnya?“Mbak Nai nggak perlu khawatir. Oma nggak gigit kok. Saya tadi melihat raut wajah Oma kelihatannya bersahabat. Insyaallah, aman,” kata Mira.Naina tidak menyahut. Ia masih terlarut dalam pikirannya sendiri.Sampai di teras samping rumah, Mira menunjuk ke arah satu gazebo yang sudah ditempati Oma Hira.“Itu Oma di sana. Kalau gitu saya pamit, ya. Semangat, Mbak Nai,

    Last Updated : 2024-09-10
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   37. Bayangan Masa Lalu

    “Saya merasa tidak aman, Oma. Sudah cukup putra saya yang menjadi korban.” Naina mengangkat kepala membalas tatapan Oma Hira.“Saya tidak ingin anak yang ada dalam kandungan saya ini bernasib sama dengan kakaknya. Saya ingin menyelamatkan diri dulu,” ujarnya seraya mengusap perut.Oma Hira menangguk paham. Sorot matanya terlihat sendu. “Apa karena itu kau ingin bercerai, Nak?”“Iya, Oma.”Oma Hira memegang tangan Naina. “Apa tidak bisa dibicarakan baik-baik? Apalagi kan kamu sedang hamil.” Naina menggeleng dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Saya merasa lelah, Oma. Mas Dhafin menerima perjodohan dengan Freya, mantannya.”“Mereka bahkan akan melangsungkan pertunangan dalam waktu dekat. Mas Dhafin sangat mencintai Freya.”“Saya ini hanya istri pengganti yang hanya dijadikan bayang-bayang masa lalunya. Saya tidak lagi dibutuhkan. Selain itu…”Dengan suara bergetar menahan tangis, Naina pun menceritakan semua perlakuan yang ia dapatkan selama berada di rumah mertuanya. Rasa sesak

    Last Updated : 2024-09-10
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   38. Tanda Tangan

    “Naina, apa kamu yakin ingin bercerai dari Dhafin, Nak? Pikirkan sekali lagi. Oma nggak ingin kamu menyesal nantinya.”Naina menatap lekat-lekat kertas yang berisi gugatan cerai di tangannya. Ia membaca satu-perasatu kalimat yang tertera di sana. Hari yang dinanti pun tiba. Hari dimana Naina harus menandatangani surat perceraian yang dirinya ajukan beberapa hari yang lalu. Ia memejamkan mata sejenak lalu menarik napas dalam-dalam. “Yakin, Oma, karena ini kutunggu-tunggu.”Naina meletakkan kertas itu di atas meja kemudian meraih bolpoin bertinta hitam di dekatnya. Jantung yang berdetak sangat cepat membuatnya dilingkupi rasa gugup luar biasa.Saat akan membubuhkan tanda tangan, tangannya tremor dan gemetaran hebat. Keringat dingin membasahi wajahnya disertai napas yang terdengar memburu.Zelda segera memegang tangan Naina dan meletakkan bolpoin. “Ada apa denganmu, Nai?” tanyanya panik.Naina menggeleng. Ia juga tidak mengerti kenapa tubuhnya bereaksi sedemikian rupa. Perasaannya tib

    Last Updated : 2024-09-10
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   39. Ingin Bekerja

    “Taraaa....!”Zelda menunjukkan satu box berisi ponsel baru dengan merek terkenal lantas menyerahkannya pada Naina.Naina tentu saja sangat terkejut saat menerima box itu. “Ini....”“Ponsel baru untukmu. Biar kita bisa komunikasi lagi,” sahut Zelda penuh semangat dan antusias.Beberapa hari tinggal di sini Naina memang sama sekali tidak memegang ponsel. Ponsel lama sudah benar-benar ia nonaktifkan setelah selesai menghapus akun sosial medianya.“Suka nggak?”Naina mengangguk menjawab pertanyaan Zelda. “Ini pasti mahal banget. Berapa harganya? Nanti aku akan ganti.”Zelda menggeleng. “Nggak usah. Ini memang sengaja aku belikan untukmu.”“Nggak enak aku, Zel. Kamu udah bantu aku banyak banget. Pokoknya yang ini aku mau menggantinya.”Zelda menggenggam tangan Naina. “Aku ikhlas, Nai. Anggaplah ini sebagai hadiah atas kehamilanmu dan kamu yang udah bertahan sejauh ini.”Naina tetap menggeleng dan mengembalikan ponsel itu pada Zelda. “Aku nggak mau menerimanya dengan cuma-cuma.”“Udahlah,

    Last Updated : 2024-09-10
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   40. Morning Sickness

    “Jangan-jangan apa?” “Jangan-jangan memang bukan kamu yang mengidam, tapi si Dhafin,” tebak Zelda. Naina terperangah tidak percaya. “Hah?! Kok bisa?” “Bisa! Kan di luar sana, ada kasus yang seperti itu. Dimana istri yang hamil, tapi suami yang merasakan ngidam. Masa nggak tau?” “Ya, aku tau. Maksudnya, itu kan terjadi karena rasa empati suami pada istrinya. Sedangkan aku? Kamu tau sendiri hubunganku sama Mas Dhafin gimana.” Naina menyangkal perkataan Zelda yang menurutnya sangat tidak masuk akal itu. Namun, Zelda tetap keukeuh dengan praduganya. “Bisa jadi loh, Nai, buktinya kamu nggak merasakan apa-apa kan?” Naina menghela napas lelah. “Aku nggak merasa ngidam bukan berarti berpindah ke Mas Dhafin, Zelda. Mustahil Mas Dhafin mengalami yang namanya ngidam.” “Nggak ada yang mustahil kalau Allah udah berkehendak, Nak. Mungkin dari luar suamimu tampak cuek dan nggak peduli. Tapi dalam hatinya, siapa yang tahu?” Oma Hira yang sedari tadi hanya diam kini angkat suara mengemukakan

    Last Updated : 2024-09-11
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   41. Ngidam

    Semua pertanyaan itu sama sekali tidak berhasil ditemukan jawabannya. Dhafin berharap Naina akan baik-baik saja dimanapun wanita itu berada. Karena mau bagaimanapun Naina tengah mengandung buah hatinya, pewaris Wirabuana. Tak ingin larut dalam pikirannya, Dhafin memulai mengerjakan pekerjaannya. Ia mengecek berkas yang menumpuk di mejanya kemudian ditandatanganinya. Beberapa jam kemudian, Arvan masuk ke dalam ruangannya. Seketika, wangi parfum milik sahabatnya itu menguar memenuhi seluruh ruangan. Dhafin menutup hidung karena tidak kuat dengan aromanya yang sangat menyengat. Tiba-tiba ia merasa mual. Perutnya juga terasa diaduk-aduk. “Selamat pagi menjelang siang, Pak Bos. Saya ingin mengingatkan–” Belum selesai Arvan berkata, Dhafin langsung berlari ke kamar mandi yang ada di dalam ruangan kerjanya. Hoek! Lagi, Dhafin memuntahkan isi perutnya seperti waktu di rumah tadi. Bedanya ini karena mencium aroma parfum milik Arvan. Arvan yang khawatir mengikuti sahabatnya. Namun, Dh

    Last Updated : 2024-09-11
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   42. Bakso Jumbo dan Es Jeruk

    Dhafin merasa tertampar dengan perkataan Arvan. Ia teringat dulu waktu pertama tahu Naina hamil, ia menolak. “Kenapa bisa hamil sih?” tanyanya ketus lalu melempar kasar testpack yang diberikan Naina. “Kan karena kamu juga, Mas,” jawab Naina takut-takut. “Itu hanya kecelakaan. Lagian kenapa kamu nggak mencegahnya sih? Minum obat atau apa kek biar nggak hamil.” “Maaf.” Naina hanya menunduk tanpa berani menatap Dhafin. “Aku belum siap jadi ayah!” Dhafin juga teringat ketika dirinya mengabaikan Naina waktu mual-muntah di awal kehamilan. “Mas, boleh minta tolong ambilkan minum sama minyak kayu putih?” pinta Naina dengan suara lemah. Wanita itu baru saja keluar dari kamar mandi sehabis muntah-muntah. “Nyusahin!” Dhafin tetap mengambilkan dua barang itu meskipun dengan tidak ikhlas. Ia bahkan pernah membiarkan Naina pingsan karena terlalu banyak kekurangan cairan hingga dibawa ke rumah sakit. Sejak itu, mereka pindah ke kediaman Wirabuana karena permintaan Bu Anita. Namun, bukanny

    Last Updated : 2024-09-12

Latest chapter

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   194. Menjemput Azhar

    Dhafin mengetatkan gigi gerahamnya dengan napas yang memburu. Ia berusaha semaksimal mungkin agar amarahnya tidak meledak-ledak. “Inilah yang terjadi kalau kalian terlalu memaksa putraku! Kalau saja aku nggak pulang ke rumah ini, Azhar mungkin nggak akan berhenti menangis sampai pagi!” ujarnya.“Papa,” panggil Azhar dengan sedikit menjauhkan tubuh agar bisa menatap ayahnya. “Mau pulan.”Dhafin mengalihkan perhatiannya pada sang putra. “Azhar ingin pulang?”Azhar mengangguk sambil mengerucutkan bibirnya. “Njang mau ama Mama ama Dek Oya.”Dhafin tersenyum lebar lalu mencium kedua pipi gembul Azhar. “Baiklah, ayo, kita pulang. Papa akan antarkan Azhar ke Mama sama Dek Zora.” Pria itu berbalik badan lalu mulai melangkah keluar ruang tengah menuju pintu utama bersama Azhar yang masih berada di gendongannya.“Dhafin, tunggu!” cegah Bu Anita ketika sampai di ruang tamu. Pak Daniel juga ikutan menyusul. Dhafin menghentikan langkahnya dan menoleh tanpa berbalik. “Ada apa lagi, Ma? Aku ingin

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   193. Ternyata Ada di Rumah ini

    “Mama... huwaaaa....” Suara tangisan seorang anak kecil terdengar nyaring memenuhi seluruh penjuru rumah ini. Tiga orang dewasa yang menemani dibuat kelimpungan karena bingung bagaimana cara menenangkannya.Sudah sejak sore tadi, anak itu terus menangis tanpa berhenti dengan terus memanggil-manggil ibunya. Hingga sekarang saat malam semakin larut, tangisannya belum juga reda bahkan sampai melewatkan makan malam.“Sayang, sini sama Oma. Oma gendong, yuk. Mau?” ajak seorang wanita paruh baya sembari duduk berlutut di hadapan anak itu. Ia memegang tangan kecil milik cucunya dengan disertai sedikit tarikan.Anak kecil itu menggelengkan kepala ribut dan menepis kasar tangan orang yang mengaku neneknya. Ia menggeser tubuh menjauh seraya menghentak-hentakkan kakinya di lantai. Tangisannya pun semakin kencang tak terkendali. “Ndak mau… ndak mau… ndak mau…. Mau Mama… Mama….”Wanita itu kembali mundur untuk menghampiri suaminya yang duduk di sofa ruang tengah. “Bagaimana ini, Pa?”“Anak ini

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   192. Ikatan Batin Anak Kembar

    “Loh, Zora belum tidur rupanya?”Lora terkejut melihat putrinya yang masih terbangun lantas menghampiri Zora yang berbaring di tempat tidur bersama Amina. Ia mengalihkan tatapannya ke arah perempuan itu untuk meminta penjelasan.Amina beranjak duduk dengan tangan yang membawa buku dongeng. “Adek Zora dari tadi menanyakan Kakak Azhar terus, Mbak. Dia nggak mau tidur kalau nggak ada Kakak Azhar.”Zora beranjak bangun lantas mendekati ibunya di pinggir ranjang. “Mama….” rengeknya sambil mengulurkan kedua tangan minta digendong.Lora mengangkat putrinya dalam gendongan, memeluk, dan mengusap lembut punggung Zora. Ia berjalan sembari mengayun-ayunkan tubuhnya. “Zora kenapa belum tidur, Sayang? Zora mencari-cari Kakak Azhar, ya?”Zora yang menyandarkan kepalanya di pundak Lora mengangguk pelan. Matanya yang indah sesekali terpejam menahan kantuk, tetapi ia ingin bertemu kembarannya. “Njang mana, Mama? Oya mau ama Njang.”Lora tidak langsung menjawab. Hatinya terasa teriris melihat putrinya

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   191. Kemana Lagi Harus Mencari?

    Lora terdiam sembari berpikir hingga tiba-tiba satu nama terlintas di otaknya apalagi pagi tadi baru saja bertemu. Dan bisa dikatakan pula pertemuannya itu tidak berakhir dengan baik. Kemungkinan besar orang itu akhirnya menjadi dendam sehingga dengan teganya menculik Azhar.“Freya. Iya, pasti dia yang menculik putraku,” ucapnya.“Apa kau yakin, Lora?” tanya Grissham tampak ragu-ragu.“Siapa lagi kalau bukan dia, Kak? Cuma dia yang nggak suka melihatku bahagia,” jawab Lora tanpa menoleh. Tangannya mengutak-atik ponsel lantas segera menghubungi Freya. “Ada apa lagi menghubungiku?” tanya Freya ketus setelah panggilan tersambung.“Dimana putraku?” sambar Lora langsung tanpa basa-basi.“Hah?” Suara Freya terdengar terkejut. “Ya, mana aku tau dimana anakmu. Kan kamu ibunya.” Lora berdecak kesal. “Nggak usah bohong! Kamu kan yang menculik anakku?” tanyanya disertai dengan desakan.“What?! Enak aja kamu menuduhku! Aku nggak tau, ya, dimana anakmu berada,” jawab Freya terdengar tidak terim

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   190. Kemungkinan Diculik

    Usapan lembut di pundak, membuat Lora menoleh ke arah Grissham yang tengah tersenyum seolah memberikan kekuatan. Ia berdehem setelah berhasil menguasai diri. “Bagaimana bisa sampai hilang?” tanyanya dengan suara pelan.Amina terdengar menarik napas dalam-dalam. “Tadi kan saya sama si kembar main di taman kompleks, Mbak. Awalnya mereka bermain dengan anteng menggunakan mainan masing-masing.”“Terus di tengah-tengah bermain, Adek Zora tantrum minta dibelikan makanan yang Mbak Lora larang. Saya fokus menenangkan Adek Zora yang nangis rewel.”“Saking fokusnya saya sampai nggak sadar kalau Kakak Azhar nggak ada ditempatnya. Saya udah cari-cari sekitaran taman, tapi nggak ada.”“Saya tanya sama orang-orang di sana juga bilangnya nggak tau. Saya benar-benar minta maaf, Mbak. Ini kesalahan saya yang lalai dalam menjaga Kakak Azhar,” jelasnya panjang lebar.“Ya Allah, Mbak Mina... bagaimana bisa kamu seceroboh itu? Astaghfirullahalazim.” Lora memejamkan mata sejenak untuk mengendalikan amara

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   189. Azhar Hilang?

    Lora menatap Freya tajam dengan raut wajah datar. “Jangan salahkan anak-anakku, Freya. Mas Dhafin sendiri yang mendekati mereka sehingga terbiasa dengan kehadirannya.” “Dari awal, aku nggak mengizinkan Mas Dhafin bertemu anak-anak, tapi dia tetap ngotot ingin bertemu dan dekat dengan mereka,” katanya dingin dan penuh penekanan.Ia menghela napas lalu mengubah ekspresinya menjadi lebih santai. “Lagi pula kamu nggak bisa melarang seorang ayah yang ingin bertemu dengan anak kandungnya.”“Meskipun aku dan Mas Dhafin udah resmi bercerai, tapi hubungan anak dengan ayahnya nggak akan pernah putus. Nggak ada yang namanya mantan anak kandung dan mantan ayah kandung.”“Mereka punya ikatan darah yang bahkan aku sendiri pun nggak bisa memutusnya. Apalagi kamu yang hanya sebatas tunangan,” paparnya panjang lebar.Lora tersenyum melihat ekspresi wajah Freya yang terdiam seolah-olah kehabisan kata-kata. “Beginilah resiko kalau kamu ingin menikahi seorang duda yang punya buntut.”“Kalau ingin menjad

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   188. Sebuah Peringatan dari Lora

    Lora menghentikan mobilnya di area parkir salah satu cafe untuk bertemu dengan seseorang. Ia melepaskan seat belt, tetapi tidak langsung turun. Wanita itu masih bergeming di tempatnya seraya menarik napasnya dalam-dalam untuk mengurangi rasa gugup yang tiba-tiba melanda. Tangannya meraih tas di kursi samping ketika mendengar ponselnya berdenting. Ternyata Grissham yang mengirim pesan. Ia pun segera mengetik balasannya.Grissham: [Kau serius ingin menemui Freya sendirian?] Lora: [Iya, ini aku udah sampai di tempat janjian] Grissham: [Perlu kutemani?] Lora: [Nggak usah, Kak. Aku bisa sendiri kok] Grissham: [Aku khawatir dia berbuat macam-macam padamu] Lora: [Aku jamin itu nggak akan terjadi. Kakak tenang aja, aku bisa jaga diri. Oke?] Grissham: [Baiklah, aku percaya padamu. Kalau ada sesuatu yang terjadi, langsung menghubungiku, hm?] Lora: [Iya, Kak Sham] Grissham: [Jangan lama-lama. Ingat, hari ini ada konferensi pers dan kau harus datang. Jangan sampai telat] Lora: [Iya, Ka

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   187. Video Klarifikasi

    Ting!Dhafin beranjak dari posisi berbaringnya lantas mengambil ponselnya yang berdenting dalam tas kerjanya. Ia melihat ada beberapa pesan dari Arvan, salah satunya link video dari salah satu sosmed.[Tonton video itu sampai habis][Di situ Lora klarifikasi]Tanpa menunggu lama, Dhafin menekan tautan yang dikirim oleh sahabatnya dan langsung terhubung ke aplikasi TikTik.Video berdurasi lima menit itu mulai terputar. Diawali dengan Lora yang menjelaskan tentang hubungannya dengan Dhafin secara singkat. Lalu dilanjut dengan penjelasan mengenai kronologi sebernarnya waktu liburan bersama dengan dirinya. Di sana, Lora juga mencantumkan bukti berupa percakapannya bersama pengasuh si kembar.“Saya dengan Mas Dhafin tidak mempunyai hubungan apa-apa. Hubungan kami hanya berkaitan dengan kepentingan anak-anak. Saya tidak melarang dan membatasi Mas Dhafin bertemu dengan mereka.”“Saya tidak ingin menjadi ibu jahat yang memisahkan anak dengan ayahnya. Mau bagaimana pun Mas Dhafin itu ayah kan

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   186. Perkara Liburan

    “Oh… atau jangan-jangan semua masalah yang terjadi di restorannya Lora itu juga karena ulahmu?”“Kamu menuduhku, Dhaf? Hanya demi Lora kamu tega menuduhku?” tanya Freya dengan mata yang kembali berkabut.Dhafin mendengus keras. “Aku cuma bertanya. Melihat tingkahmu yang kelewatan ini, aku jadi berpikir kalau kamulah yang menjadi dalangnya.”Plak!Freya menampar pipi Dhafin hingga tertoleh ke samping. “Tega kamu menuduhku seperti itu! Aku nggak mungkin menyakiti diriku sendiri sampai masuk rumah sakit. Aku nggak segila itu, Dhaf!”Dhafin kembali menoleh ke arah Freya sambil mengusap pipinya. “Terserah apa katamu, yang pasti berhenti mengusik hidup Lora!”“Jika sekali lagi aku mendengar berita nggak bener tentang Lora dan kamulah penyebabnya, aku nggak akan tinggal diam. Kau akan berurusan denganku!” balasnya tajam.Freya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan air mata yang berjatuhan. “Kamu berubah, Dhaf. Kamu bukan Dhafin yang kukenal.”Dhafin tertawa keras hingga suaranya terdengar me

DMCA.com Protection Status