Naina terbungkam dengan kepala tertunduk. Tebakan Oma Hira sangat tepat sasaran. Ia tidak tahu harus menjawab apa, takut salah bicara yang membuat Oma Hira semakin tidak menyukai. Oma Hira mengangguk paham. “Baiklah, aku mengizinkanmu tinggal di sini selama beberapa hari. Setelah itu, kau harus kembali kepada suamimu. Kalau bisa secepatnya.”Wanita tua itu lantas bangkit dari duduknya karena telah menyelesaikan makan malam. “Oma pamit ke kamar duluan. Selamat malam.”“Tapi Oma–”Ucapan Zelda terpotong ketika Oma mengangkat sebelah tangannya kemudian berlalu meninggalkan meja makan. “Ibu memang sangat membenci yang namanya perceraian,” ucap Tuan Albern lantas ikut beranjak pergi.Deg!Naina semakin menunduk seraya meremas jemarinya yang berkeringat. Hatinya mencelos. Sama seperti Tuan Albern, Oma memintanya kembali kepada Dhafin. Namun, dirinya sungguh-sungguh tidak ingin kembali. Mendengar namanya saja ia sudah bergetar ketakutan.Zelda menggenggam tangan Naina. “Oma bilang sepert
“Kan Mbak Nai udah klarifikasi,” ucap Mira menyahuti ucapan Gayatri sebelumnya. “Tapi berita itu memang ndak bener kan, Mbak?” tanya Gayatri kepada Naina untuk mengonfirmasi langsung. “Tidak! Saya difitnah,” jawab Naina tegas membuat semuanya mengucapkan syukur serentak.“Iya, sih. Tuan Albern nggak mungkin membawa seseorang tanpa tau seluk-beluknya. Kita aja masuk ke sini pakai seleksi ketat,” timpal Arum.“Udah, nggak usah bahas masalah itu. Kasihan Mbak Nai jadi keingat,” kata Mira.Naina tersenyum. “Makasih pengertiannya.”“Sama-sama, Mbak Nai,” balas mereka bebarengan kemudian melanjutkan kegiatannya untuk memasak sarapan.“Kalian mau masak apa? Boleh saya membantu?” tanya Naina menawarkan bantuan. Ia melihat mereka yang sepertinya sudah memiliki tugas masing-masing.“Jangan, Mbak, ndak usah,” tolak Gayatri.Seketika, raut wajah Naina berubah sedih. “Kenapa? Apa kalian takut makanannya akan saya kasih racun?”Wanita itu kembali teringat kejadian dimana dirinya dituduh memasukka
“Mbak Nai mau pergi ke sana sendirian atau perlu diantar?”Pertanyaan dari Mira itu membuat Naina sedikit tersentak. “Diantar saja, saya takut kesasar. Tunggu, ya, Mbak. Saya bersiap-siap dulu.”Tak membutuhkan waktu lama, Naina sudah selesai. Ia menutup pintu kamarnya lalu mengikuti langkah Mira menuju arah kolam renang.Selama perjalanan, Naina memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan dihadapinya ketika bertemu dengan Oma Hira. Ia menjadi overthinking sendiri. Apakah Naina melakukan kesalahan lagi? Apakah Oma Hira akan berubah pikiran dan malah mengusirnya? Kalau itu beneran terjadi, bagaimana selanjutnya?“Mbak Nai nggak perlu khawatir. Oma nggak gigit kok. Saya tadi melihat raut wajah Oma kelihatannya bersahabat. Insyaallah, aman,” kata Mira.Naina tidak menyahut. Ia masih terlarut dalam pikirannya sendiri.Sampai di teras samping rumah, Mira menunjuk ke arah satu gazebo yang sudah ditempati Oma Hira.“Itu Oma di sana. Kalau gitu saya pamit, ya. Semangat, Mbak Nai,
“Saya merasa tidak aman, Oma. Sudah cukup putra saya yang menjadi korban.” Naina mengangkat kepala membalas tatapan Oma Hira.“Saya tidak ingin anak yang ada dalam kandungan saya ini bernasib sama dengan kakaknya. Saya ingin menyelamatkan diri dulu,” ujarnya seraya mengusap perut.Oma Hira menangguk paham. Sorot matanya terlihat sendu. “Apa karena itu kau ingin bercerai, Nak?”“Iya, Oma.”Oma Hira memegang tangan Naina. “Apa tidak bisa dibicarakan baik-baik? Apalagi kan kamu sedang hamil.” Naina menggeleng dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Saya merasa lelah, Oma. Mas Dhafin menerima perjodohan dengan Freya, mantannya.”“Mereka bahkan akan melangsungkan pertunangan dalam waktu dekat. Mas Dhafin sangat mencintai Freya.”“Saya ini hanya istri pengganti yang hanya dijadikan bayang-bayang masa lalunya. Saya tidak lagi dibutuhkan. Selain itu…”Dengan suara bergetar menahan tangis, Naina pun menceritakan semua perlakuan yang ia dapatkan selama berada di rumah mertuanya. Rasa sesak
“Naina, apa kamu yakin ingin bercerai dari Dhafin, Nak? Pikirkan sekali lagi. Oma nggak ingin kamu menyesal nantinya.”Naina menatap lekat-lekat kertas yang berisi gugatan cerai di tangannya. Ia membaca satu-perasatu kalimat yang tertera di sana. Hari yang dinanti pun tiba. Hari dimana Naina harus menandatangani surat perceraian yang dirinya ajukan beberapa hari yang lalu. Ia memejamkan mata sejenak lalu menarik napas dalam-dalam. “Yakin, Oma, karena ini kutunggu-tunggu.”Naina meletakkan kertas itu di atas meja kemudian meraih bolpoin bertinta hitam di dekatnya. Jantung yang berdetak sangat cepat membuatnya dilingkupi rasa gugup luar biasa.Saat akan membubuhkan tanda tangan, tangannya tremor dan gemetaran hebat. Keringat dingin membasahi wajahnya disertai napas yang terdengar memburu.Zelda segera memegang tangan Naina dan meletakkan bolpoin. “Ada apa denganmu, Nai?” tanyanya panik.Naina menggeleng. Ia juga tidak mengerti kenapa tubuhnya bereaksi sedemikian rupa. Perasaannya tib
“Taraaa....!”Zelda menunjukkan satu box berisi ponsel baru dengan merek terkenal lantas menyerahkannya pada Naina.Naina tentu saja sangat terkejut saat menerima box itu. “Ini....”“Ponsel baru untukmu. Biar kita bisa komunikasi lagi,” sahut Zelda penuh semangat dan antusias.Beberapa hari tinggal di sini Naina memang sama sekali tidak memegang ponsel. Ponsel lama sudah benar-benar ia nonaktifkan setelah selesai menghapus akun sosial medianya.“Suka nggak?”Naina mengangguk menjawab pertanyaan Zelda. “Ini pasti mahal banget. Berapa harganya? Nanti aku akan ganti.”Zelda menggeleng. “Nggak usah. Ini memang sengaja aku belikan untukmu.”“Nggak enak aku, Zel. Kamu udah bantu aku banyak banget. Pokoknya yang ini aku mau menggantinya.”Zelda menggenggam tangan Naina. “Aku ikhlas, Nai. Anggaplah ini sebagai hadiah atas kehamilanmu dan kamu yang udah bertahan sejauh ini.”Naina tetap menggeleng dan mengembalikan ponsel itu pada Zelda. “Aku nggak mau menerimanya dengan cuma-cuma.”“Udahlah,
“Jangan-jangan apa?” “Jangan-jangan memang bukan kamu yang mengidam, tapi si Dhafin,” tebak Zelda. Naina terperangah tidak percaya. “Hah?! Kok bisa?” “Bisa! Kan di luar sana, ada kasus yang seperti itu. Dimana istri yang hamil, tapi suami yang merasakan ngidam. Masa nggak tau?” “Ya, aku tau. Maksudnya, itu kan terjadi karena rasa empati suami pada istrinya. Sedangkan aku? Kamu tau sendiri hubunganku sama Mas Dhafin gimana.” Naina menyangkal perkataan Zelda yang menurutnya sangat tidak masuk akal itu. Namun, Zelda tetap keukeuh dengan praduganya. “Bisa jadi loh, Nai, buktinya kamu nggak merasakan apa-apa kan?” Naina menghela napas lelah. “Aku nggak merasa ngidam bukan berarti berpindah ke Mas Dhafin, Zelda. Mustahil Mas Dhafin mengalami yang namanya ngidam.” “Nggak ada yang mustahil kalau Allah udah berkehendak, Nak. Mungkin dari luar suamimu tampak cuek dan nggak peduli. Tapi dalam hatinya, siapa yang tahu?” Oma Hira yang sedari tadi hanya diam kini angkat suara mengemukakan
Semua pertanyaan itu sama sekali tidak berhasil ditemukan jawabannya. Dhafin berharap Naina akan baik-baik saja dimanapun wanita itu berada. Karena mau bagaimanapun Naina tengah mengandung buah hatinya, pewaris Wirabuana. Tak ingin larut dalam pikirannya, Dhafin memulai mengerjakan pekerjaannya. Ia mengecek berkas yang menumpuk di mejanya kemudian ditandatanganinya. Beberapa jam kemudian, Arvan masuk ke dalam ruangannya. Seketika, wangi parfum milik sahabatnya itu menguar memenuhi seluruh ruangan. Dhafin menutup hidung karena tidak kuat dengan aromanya yang sangat menyengat. Tiba-tiba ia merasa mual. Perutnya juga terasa diaduk-aduk. “Selamat pagi menjelang siang, Pak Bos. Saya ingin mengingatkan–” Belum selesai Arvan berkata, Dhafin langsung berlari ke kamar mandi yang ada di dalam ruangan kerjanya. Hoek! Lagi, Dhafin memuntahkan isi perutnya seperti waktu di rumah tadi. Bedanya ini karena mencium aroma parfum milik Arvan. Arvan yang khawatir mengikuti sahabatnya. Namun, Dh
Mira menyesap segelas jusnya yang tinggal setengah. Ia terdiam sejenak untuk merangkai kata-kata yang mudah dipahami. “Selain dari mimpi, yang sering digunakan itu kemantapan hati. Ada kecenderungan gitu loh. Dalam hal ini, kamu lebih condong pada siapa,” jawabnya. “Berarti ini berasal dari hati, ya, Mbak?” Lora menatap Mira sangat serius dengan tangan terlipat di atas meja seolah-olah sedang mendengarkan penjelasan guru. Mira menjentikkan jarinya. “Yups, bener banget. Kalau diibaratkan biarkan hati yang berbicara. Terus bisa juga pakai metode Al-Qur’an.” “Memakai Al-Qur'an?” Lora mengerutkan keningnya karena baru mendengar ada metode seperti itu. Kalau yang dua tadi ia pernah mendengar lewat video yang lewat. “Iya, ini juga bisa dibilang cara yang paling mudah. Caranya sama kayak yang kubilang tadi. Sholat Istikharah lalu doa. Habis itu kamu ambil Al-Qur’an.” Mira meraih sebuah buku yang ada di meja kerja Lora. Ia menepuk pelan buku di tangannya. “Anggaplah ini Al-Qur’an,
Lora lagi-lagi menghembuskan napas kasar. Ia tidak pernah menduga bahwa Dhafin akan menagih jawabannya hari ini. Rasanya baru kemarin permintaan rujuk itu terucap. Memang sudah terlewat beberapa hari, tetapi apakah harus secepat ini? Dirinya belum menyiapkan jawaban apapun! “Nggak salah Pak Dhafin menagih jawabanmu sekarang karena ingin mendapatkan kepastian darimu.” Mira mengembalikan ponsel Lora. “Kalau dari saranku, kamu lebih baik menjawab apa adanya sesuai dengan kondisimu saat ini,” ucapnya. Lora menggigit bibir bawahnya sambil menatap Mira. “Bukankah itu sama saja dengan mengecewakannya?” tanyanya ragu. “Bahkan saat kamu nggak langsung menjawab dan secara nggak langsung memintanya menunggu itu aja udah membuat Pak Dhafin kecewa banget,” jawab Mira telak. “Iya, juga, ya. Berarti aku harus bilang ke Mas Dhafin kalau aku belum bisa menjawab sekarang gitu?” Mira menganggukkan kepalanya. “Kamu berterus-terang padanya dan bilang kalau kamu masih butuh waktu dalam mengambil kep
“Terus kamu jawab apa?”Lora menggeleng pelan menjawab pertanyaan dari Mira yang duduk di depannya. “Aku belum memberikan jawaban apapun.”“Termasuk jawaban untuk Pak Dhafin?” tanya Mira lagi yang terdengar seperti menebak.Lora mengangguk dengan bibir melengkung ke bawah. “Iya, belum juga. Bagaimana mau ngasih jawaban? Beberapa hari setelah Mas Dhafin meminta rujuk, tiba-tiba aku dijodohkan sama Kak Sham. Aku kan jadi tambah pusing.”“Kalau kamu belum memberikan jawaban, artinya kamu sama saja meminta mereka menunggu dong?” balas Mira dengan mengerutkan kening.Lora menghela napas panjang. “Tanpa harus meminta menunggu, mereka tetap akan menunggu bahkan memintaku memikirkannya secara matang-matang.”Mira meletakkan sebelah tangan di dagu dan mengusapnya. “Hm… rumit juga, ya.”“Nah, kan….” Lora menutup wajahnya dengan kedua tangan yang bertumpu pada meja kerja. “Semua ini terlalu tiba-tiba untukku, Mbak Mira. Aku benar-benar nggak tau bagaimana menyikapinya,” keluhnya disertai rengek
Assalamu'alaikum, teman-teman, pembaca setia cerita "Mari Berpisah, Aku Menyerah." Di sini saya ingin memberikan pengumuman penting bahwa mulai hari ini sampai seminggu ke depan, saya tidak update bab baru. Atau dengan kata lain hiatus karena ingin istirahat sejenak sekalian mengumpulkan ide yang sekarang sedang macet dan juga menyusun kembali alur cerita agar lebih tertata. Bisa dibilang saya butuh jeda sebentar sebelum menulis lagi. InsyaAllah, saya akan kembali update minggu depan. Untuk para pembaca buku ini, terima kasih sudah mampir dan menjadi pembaca setia. Terima kasih banyak atas komentar-komentarnya. Dan maaf, saya tidak bisa membaca satu-persatu karena keterbatasan 🙏🏻 Saya juga sangat-sangat berterimakasih atas dukungan untuk buku ini dengan memberikan beberapa Gem dan hadiah. MasyaAllah... saya bahagia sekali. Semoga kalian semua sehat selalu dan dilimpahkan rizkinya. Terima kasih banyak, ya, teman-teman 🥰 Saya juga minta maaf kalau diantara kalian merasa cerita i
“Apa Kakak turut andil dalam perjodohan ini?” Grissham menggeleng menjawab pertanyaan Lora. Ia bisa melihat dengan jelas raut menuduh di wajah cantik wanita itu yang tersorot lampu teras. “Aku bahkan baru tahu ketika sudah tiba di sini. Kau jangan salah sangka dulu, Lora. Sungguh, aku tak tahu apapun tentang perjodohan ini.”“Pulang kerja, Ayah tiba-tiba mengajakku kemari tanpa memberitahu tujuannya. Aku mengira mungkin ingin membahas pekerjaan atau proyek baru.”“Tiba di rumah ini aku langsung bermain dengan Twins, sedangkan Ayah sedang membahas sesuatu dengan orang tuamu. Aku tak tahu apa yang mereka bahas.”“Setelah anak-anak masuk kamar karena jadwalnya tidur, aku pun bergabung dengan mereka dan barulah aku tahu tentang perjodohan ini,” jelasnya runtut.Lora mendengus keras dan memalingkan wajahnya menghadap depan. “Bohong banget! Tadi Om Albern bilang udah membicarakannya padamu. Nggak usah mengelak, Kak!”Grissham tersenyum tipis tanpa mengalihkan perhatiannya dari Lora. “Ay
“Nah, ini anaknya udah datang,” ucap Bu Radha yang tersenyum menyambut kedatangan putri-putrinya. Lora mencium tangan Pak Albern dan bersalaman biasa dengan Grissham diikuti oleh Florence. “Kak Sham dari kapan ke sininya? Udah lama?” tanyanya bermaksud menyapa dengan posisi yang masih berdiri.“Sudah dari tadi bahkan aku sempat bermain dengan Twins. Kau terlalu asyik menyendiri sampai-sampai tak tahu kedatanganku,” jawab Grissham. Lora menyengir hingga menampilkan giginya yang rapi. “Nggak menyendiri juga. Aku tadi ada perlu sama Florence.”Mendengar itu, Grissham beralih menatap Florence yang terlihat menempel pada Lora. “Wah… kalian sudah akur ceritanya ini?”Florence mengangguk dengan penuh senyum seraya memeluk lengan Lora yang memiliki postur tubuh lebih tinggi darinya.“Tentu saja, kami kan saudara. Ya kan, Lora?” tanyanya yang dijawab anggukan kecil oleh Lora. Grissham mengacungkan jempolnya ke arah dua perempuan itu. “Bagus bagus, begitu kek dari kemarin. Jadi lebih enak d
"Kenapa? Apa kamu nggak setuju aku pulang besok? Kamu maunya aku pulang malam ini juga?" Lora menatap sejenak tangannya yang masih ditahan oleh Florence. Raut wajahnya berubah menjadi tidak enak. "Maaf, Flo, aku nggak bisa kalau harus pulang malam ini. Aku nggak pulang sendirian, tapi bersama anak-anakku.”“Nggak baik membawa mereka pulang malam-malam begini apalagi kan perjalannya jauh. Ayah sama Ibun juga pastinya nggak akan mengizinkan. Tolong pengertiannya, ya, Flo," ucapnya.Florence langsung melepaskan cekalannya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali sambil menggerakkan tangan. "Enggak enggak, bukan begitu, Lora. Kamu nggak harus pergi dari sini baik sekarang maupun besok atau ke depannya. Tinggallah di rumah ini, Lora.”“Kamu jauh lebih pantas dan berhak dibandingkan aku yang bukan siapa-siapa. Bahkan hubungan darah pun aku nggak punya." Perempuan itu maju selangkah dengan tatapan sendu. "Aku minta maaf atas keegoisanku selama ini. Ya, kamu benar. Kehadiranmu di ru
"Apa kamu mau rujuk kembali dengan Dhafin?" Pertanyaan itu terus saja terngiang-ngiang dalam benaknya walaupun sudah lewat beberapa hari. Lora tidak memberikan jawaban apapun. Ia sendiri bingung bagaimana menyikapinya. Ini terlalu mendadak untuknya. Permintaan maaf dari sang mantan mertua saja sudah membuatnya tercengang apalagi ditambah dengan tawaran itu. Atau mungkin bisa disebut sebagai lamaran? Mengingat Bu Anita sendiri yang mengutarakan hal tersebut. "Kamu nggak harus menjawabnya sekarang, Nak. Dipikirkan dulu matang-matang. Kami nggak akan memaksa," ujar ibunya Dhafin waktu itu. Bu Anita dan yang lainnya memang tidak menuntut jawaban detik itu juga. Namun, tetap saja mereka pasti menunggu jawaban darinya. Ia bisa melihat ada harapan besar yang terpancar di wajah mereka khususnya bagi Dhafin. Rasanya jadi tidak enak bila memberikan jawaban yang mengecewakan.RujukSatu kata yang tak pernah terlintas sedikitpun dalam pikirannya. Sekarang Dhafin sendiri yang menginginkan r
Bu Anita memandang ke arah bawah, tidak berani menatap Lora. Dirinya merasa bersalah pernah menuduh wanita itu selingkuh. Ia sebenarnya tidak ingin membahas hal ini yang malah membuat Lora sulit memaafkannya. Namun, Dhafin sendiri yang malah memancing sehingga mau tak mau mereka harus menjelaskan semuanya. “Maafkan Mama, Lora. Waktu itu Mama terpengaruh dengan perkataan Freya.”Lora mengeraskan rahangnya dengan tangan terkepal kuat. Tatapan matanya berubah dingin. Freya sudah benar-benar kelewatan dengan membuat tuduhan tak bermutu. Bukan hanya dirinya yang kena, tetapi juga menyangkut putrinya. Tuduhan itu pastinya membuat orang tua Dhafin ikut membenci Zora karena dikira bukan cucu kandung mereka. Jelas, Lora tidak terima!Wanita itu memejamkan mata sejenak berusaha menekan emosinya kuat-kuat lalu kembali menatap serius orang tua Dhafin. “Ma, Pa, aku sama sekali nggak pernah selingkuh sama siapapun. Dengan segala sikapnya Mas Dhafin kepadaku, aku nggak berniat menduakan dan me