“Naina, apa kamu yakin ingin bercerai dari Dhafin, Nak? Pikirkan sekali lagi. Oma nggak ingin kamu menyesal nantinya.”Naina menatap lekat-lekat kertas yang berisi gugatan cerai di tangannya. Ia membaca satu-perasatu kalimat yang tertera di sana. Hari yang dinanti pun tiba. Hari dimana Naina harus menandatangani surat perceraian yang dirinya ajukan beberapa hari yang lalu. Ia memejamkan mata sejenak lalu menarik napas dalam-dalam. “Yakin, Oma, karena ini kutunggu-tunggu.”Naina meletakkan kertas itu di atas meja kemudian meraih bolpoin bertinta hitam di dekatnya. Jantung yang berdetak sangat cepat membuatnya dilingkupi rasa gugup luar biasa.Saat akan membubuhkan tanda tangan, tangannya tremor dan gemetaran hebat. Keringat dingin membasahi wajahnya disertai napas yang terdengar memburu.Zelda segera memegang tangan Naina dan meletakkan bolpoin. “Ada apa denganmu, Nai?” tanyanya panik.Naina menggeleng. Ia juga tidak mengerti kenapa tubuhnya bereaksi sedemikian rupa. Perasaannya tib
“Taraaa....!”Zelda menunjukkan satu box berisi ponsel baru dengan merek terkenal lantas menyerahkannya pada Naina.Naina tentu saja sangat terkejut saat menerima box itu. “Ini....”“Ponsel baru untukmu. Biar kita bisa komunikasi lagi,” sahut Zelda penuh semangat dan antusias.Beberapa hari tinggal di sini Naina memang sama sekali tidak memegang ponsel. Ponsel lama sudah benar-benar ia nonaktifkan setelah selesai menghapus akun sosial medianya.“Suka nggak?”Naina mengangguk menjawab pertanyaan Zelda. “Ini pasti mahal banget. Berapa harganya? Nanti aku akan ganti.”Zelda menggeleng. “Nggak usah. Ini memang sengaja aku belikan untukmu.”“Nggak enak aku, Zel. Kamu udah bantu aku banyak banget. Pokoknya yang ini aku mau menggantinya.”Zelda menggenggam tangan Naina. “Aku ikhlas, Nai. Anggaplah ini sebagai hadiah atas kehamilanmu dan kamu yang udah bertahan sejauh ini.”Naina tetap menggeleng dan mengembalikan ponsel itu pada Zelda. “Aku nggak mau menerimanya dengan cuma-cuma.”“Udahlah,
“Jangan-jangan apa?” “Jangan-jangan memang bukan kamu yang mengidam, tapi si Dhafin,” tebak Zelda. Naina terperangah tidak percaya. “Hah?! Kok bisa?” “Bisa! Kan di luar sana, ada kasus yang seperti itu. Dimana istri yang hamil, tapi suami yang merasakan ngidam. Masa nggak tau?” “Ya, aku tau. Maksudnya, itu kan terjadi karena rasa empati suami pada istrinya. Sedangkan aku? Kamu tau sendiri hubunganku sama Mas Dhafin gimana.” Naina menyangkal perkataan Zelda yang menurutnya sangat tidak masuk akal itu. Namun, Zelda tetap keukeuh dengan praduganya. “Bisa jadi loh, Nai, buktinya kamu nggak merasakan apa-apa kan?” Naina menghela napas lelah. “Aku nggak merasa ngidam bukan berarti berpindah ke Mas Dhafin, Zelda. Mustahil Mas Dhafin mengalami yang namanya ngidam.” “Nggak ada yang mustahil kalau Allah udah berkehendak, Nak. Mungkin dari luar suamimu tampak cuek dan nggak peduli. Tapi dalam hatinya, siapa yang tahu?” Oma Hira yang sedari tadi hanya diam kini angkat suara mengemukakan
Semua pertanyaan itu sama sekali tidak berhasil ditemukan jawabannya. Dhafin berharap Naina akan baik-baik saja dimanapun wanita itu berada. Karena mau bagaimanapun Naina tengah mengandung buah hatinya, pewaris Wirabuana. Tak ingin larut dalam pikirannya, Dhafin memulai mengerjakan pekerjaannya. Ia mengecek berkas yang menumpuk di mejanya kemudian ditandatanganinya. Beberapa jam kemudian, Arvan masuk ke dalam ruangannya. Seketika, wangi parfum milik sahabatnya itu menguar memenuhi seluruh ruangan. Dhafin menutup hidung karena tidak kuat dengan aromanya yang sangat menyengat. Tiba-tiba ia merasa mual. Perutnya juga terasa diaduk-aduk. “Selamat pagi menjelang siang, Pak Bos. Saya ingin mengingatkan–” Belum selesai Arvan berkata, Dhafin langsung berlari ke kamar mandi yang ada di dalam ruangan kerjanya. Hoek! Lagi, Dhafin memuntahkan isi perutnya seperti waktu di rumah tadi. Bedanya ini karena mencium aroma parfum milik Arvan. Arvan yang khawatir mengikuti sahabatnya. Namun, Dh
Dhafin merasa tertampar dengan perkataan Arvan. Ia teringat dulu waktu pertama tahu Naina hamil, ia menolak. “Kenapa bisa hamil sih?” tanyanya ketus lalu melempar kasar testpack yang diberikan Naina. “Kan karena kamu juga, Mas,” jawab Naina takut-takut. “Itu hanya kecelakaan. Lagian kenapa kamu nggak mencegahnya sih? Minum obat atau apa kek biar nggak hamil.” “Maaf.” Naina hanya menunduk tanpa berani menatap Dhafin. “Aku belum siap jadi ayah!” Dhafin juga teringat ketika dirinya mengabaikan Naina waktu mual-muntah di awal kehamilan. “Mas, boleh minta tolong ambilkan minum sama minyak kayu putih?” pinta Naina dengan suara lemah. Wanita itu baru saja keluar dari kamar mandi sehabis muntah-muntah. “Nyusahin!” Dhafin tetap mengambilkan dua barang itu meskipun dengan tidak ikhlas. Ia bahkan pernah membiarkan Naina pingsan karena terlalu banyak kekurangan cairan hingga dibawa ke rumah sakit. Sejak itu, mereka pindah ke kediaman Wirabuana karena permintaan Bu Anita. Namun, bukanny
Freya menatap Dhafin heran. “Kenapa?” tanyanya sambil melangkah maju. Dhafin malah melangkah mundur dengan tangan menutup hidungnya sendiri. “Berhenti disitu!” Ia tidak tahan dengan aroma tubuh Freya yang lagi-lagi membuatnya mual. Padahal dulunya menjadi favorit. Terlebih ini Freya, orang yang dicintainya bukan orang lain. “Kenapa sih memangnya?” “Kamu bau banget.” Freya membelalakkan matanya terkejut. “Apanya yang bau?” Ia sampai mencium badannya sendiri yang menurutnya wangi. “Ini parfum kesukaanmu loh. Kamu yang membelikannya langsung.” Dhafin tahu itu. Namun, sekarang ini ia benar-benar tidak tahan dengan aromanya yang lebih menyengat dibanding milik Arvan. Pria itu bersandar di pintu. Ia mati-matian menahan diri agar tidak sampai muntah membuat kepalanya terasa pening. “Lebih baik kamu pulang,” usirnya terang-terangan. “Kamu mengusirku?” Freya terperangah tidak percaya. “Iya.” Freya memandang Dhafin dengan tatapan terluka. “Kamu tega mengusirku, Dhaf?” Dhafin mem
“Naina....”Cukup lama Dhafin bertahan di posisi itu–memeluk baju Naina hingga akhirnya tersadar. Sontak, ia melepaskan pelukannya pada baju itu.Ada apa dengan dirinya? Kenapa ia memeluk baju seperti orang yang sedang rindu?Sungguh, Dhafin melakukan semua itu di luar kendalinya. Benar-benar bukan keinginannya sendiri. Ia menggelengkan kepalanya berkali-kali.Tidak! Ia tidak merindukan Naina. Sama sekali tidak!Dhafin bangkit dan melempar kasar baju Naina ke dalam lemari kemudian menutup pintunya dengan keras. Ia menyandarkan tubuhnya di sana lantas menghela napas panjang.Tiba-tiba ingatan Dhafin tertuju pada kejadian tadi siang tepatnya ketika ia mengusir Freya. Ada rasa bersalah yang bersemayam dalam hatinya.Dengan segera, Dhafin mengambil ponselnya di dalam tas kerja. Ia mencoba menghubungi Freya, tetapi tidak diangkat. Pasti perempuan itu sedang marah.Tidak menyerah, Dhafin kembali menelpon hingga panggilan ke empat barulah teleponnya tersambung. “Kenapa nggak diangkat? Mar
Zelda sedang memeriksa laporan keuangan di ruangan pribadinya. Beberapa hari ini penjualan butik menurun. Untungnya tidak sampai rugi karena masih mempunyai pelanggan setia. Berita tentang Naina ternyata berdampak pada butiknya. Ia yang sedari awal memasang badan untuk Naina ikut diserang oleh netizen. Bukan hanya dirinya, tetapi para modelnya juga ikut diserang yang membuat mereka satu-persatu mengundurkan diri bahkan di saat masa kontrak kerjanya belum habis. Mereka lebih memilih membayar penalti daripada mentalnya hancur karena hujatan.Zelda bisa mengerti dan memaklumi itu karena tidak semua orang mampu bertahan dari serangan warga net yang menghujat. Kini, tersisa satu model yang sudah bergabung sejak awal butik ini diresmikan. Ia berharap orang itu tetap bertahan dan tidak resign seperti yang lain.Tok tok tokPintu ruangannya diketuk dan masuklah salah satu pegawai dengan tergesa-gesa. Zelda menatap pegawainya yang bernama Sinta itu duduk di kursi berhadapan dengannya.Dari