Karena penghianatan mantan suami serta sahabatnya, membuat Senja trauma dan menutup hatinya pada semua pria. Namun siapa sangka pertemuannya dengan Langit yang menolongnya, perlahan membuatnya mulai goyah. Apalagi Langit sangat pandai mengambil hati dan perhatian sang anak, Bina. Tapi kebahagiaan yang mereka reguk harus terhalang oleh restu orang tua Langit yang menginginkan menantu yang sepadan dan terhormat. Belum lagi godaan mantan suami yang patah hati mengajaknya rujuk kembali karena dikhianati calon istri. Mampukan Senja melewati semua cobaan ini? Atau ia menyerah dan kembali ke mantan suaminya?
View More"Iya, sayang. Aku juga merindukanmu. Kamu sabar, ya. Sebentar lagi kita akan bertemu."
Deg.. Langkahnya terhenti karena mendengar kalimat suaminya yang seketika membuat darahnya berhenti mengalir. "Sa-sayang?!" Senja masih tak percaya dengan apa yang dia dengar. Ia baru menyadari jika ada yang tidak beres dengan suaminya saat ini. Karena selama ini suaminya selalu mengangkat telepon meskipun berada disampingnya. Dengan lancang dia menguping kembali pembicaraan sang suami karena rasa penasaran menyergapnya. Apalagi panggilan sayang masih membekas di ingatannya. "Dengan siapa Mas Han berbicara?" batin Senja yang masih menguping di sana. Dia bersembunyi dibalik korden yang biasanya menutup pintu balkon. "Iya, Sayang," ucap Han di sela tawanya. Mata Senja membulat sempurna ketika mendengar Han kembali memanggil sayang dengan lawan bicaranya. Senja meremas dadanya yang tiba-tiba sesak. Air matanya luruh begitu saja saat mendengar percakapannya suaminya yang entah dengan siapa. Apalagi panggilan sayang yang Han lontarkan telah mengusik hatinya. Ya, Han Sanjaya adalah pria yang sudah menemaninya selama delapan tahun terakhir. Pria yang dengan gagahnya memintanya pada ibunya untuk meminangnya sebagai istrinya. Tapi setelah delapan tahun bersama, dia tidak menyangka jika dia harus mendengar bibir suaminya memanggil sayang pada lain wanita. Curiga? Sangat. Karena sebagai seorang istri Senja tidak pernah mengecewakan suaminya. Ia selalu patuh dan melayani suaminya setulus hati. Lalu apa kesalahannya sampai suaminya berbuat seperti itu? Tapi dia harus memastikannya terlebih dahulu sebelum mengambil langkah selanjutnya. Bisa saja dia hanya salah sangka pada suaminya. Walau bukti nyata sudah di depan mata. Senja mengusap air matanya dan berniat keluar dari persembunyiannya. Ia menarik bibirnya mengulas senyuman agar suaminya tidak curiga kepadanya. "Mas.." Han gelagapan sekaligus kaget karena dengan tiba-tiba Senja muncul di belakangnya. "Senja, sayang. Sejak kapan kamu di situ?" Seketika Han menjadi gugup bukan main, karena takut sang istri mendengar apa yang dibicarakan ketika di balkon tadi. Segera Han langsung menyimpan ponselnya ke dalam saku celananya. Gegas ia mendekati Senja yang tengah berdiri di depan pintu balkon kamarnya. "Barusan saja, Mas. Memangnya kenapa? Kenapa kamu kaget seperti itu?" tanya Senja dengan senyum menggoda, memasang wajah yang biasa saja. Seolah tidak terjadi apa-apa dan tidak mendengar apa-apa. Han mengecup kening Senja berkali-kali. "Tidak. Aku hanya kaget saja saat kamu tiba-tiba muncul dari belakang." "Benarkah?" Menangkap sinyal kurang baik dari Senja, Han segera mengalihkan rasa curiga istrinya. "Sudahlah. Ayo kita sarapan. Aku sudah lapar." Han pun menggandeng tangan Senja untuk keluar dari kamar. Jangan sampai istrinya itu menanyakan sesuatu tentang siapa yang menelponnya tadi. Bisa gawat urusannya, pikir Han gusar Saat di depan pintu, suara cempreng menyambutnya dengan tawa lebarnya. "Mama!!" "Sayang." Senja berjongkok dan memeluk Bina. Ciuman hangat mendarat di pipi Senja dari Bina. Di susul oleh Han yang juga ingin di cium oleh sang putri. Senja berusaha keras mengontrol emosi di depan buah hatinya. Jangan sampai sang putri melihatnya bertengkar dengan suaminya karena masalah yang belum jelas keberadaannya. Rasa penasaran memenuhi otaknya untuk segera mencari tahu secepatnya agar tidak menjadi penyakit hati. Setelah sarapan bersama, Bina dan Han berpamitan untuk pergi ketujuan masing-masing. Tak lupa mereka mengecup pipi Senja bergantian. "Aku berangkat ya, Sayang. Hati-hati di rumah. Mungkin aku tiga sampai empat hari di sana. Karena ini klien penting dari luar kota," terang Han sesaat akan masuk ke dalam mobilnya. Walau penuh rasa curiga, Senja memaksakan senyumnya dan mengangguk. Setelah ini, ia akan mencari tau apa yang selama ini di sembunyikan oleh suaminya. Melihat mobil suaminya yang perlahan meninggalkan halaman, Senja bergerak cepat untuk mengambil tas dan kunci mobilnya. Kali ini jangan sampai ia kehilangan jejak suaminya. Saat ia hendak masuk ke dalam mobil, sebuah mobil berwarna putih memasuki pintu gerbang. Membuatnya bertanya-tanya siapa yang bertamu kali ini. Saat Senja tau siapa orang itu, dengan berjalan cepat ia menghampirinya. "Bagus mas kamu cepat kemari. Ayo ikut aku sekarang juga." Riki yang hendak keluar dari mobil pun bingung sendiri saat melihat Senja yang malah masuk ke dalam mobilnya. "Hey, kamu mau ngapain? Aku ingin bertemu Bina makanya aku kemari," protes Riki saat Senja memakai sabuk pengaman seolah bersiap untuk pergi. "Sudah, Ayo pergi!! Nanti aku kasih tau mau kemana." "Tapi_" "Mau jalan sekarang, atau kamu bukan abangku lagi," ancamnya tidak main-main dengan sorot mata yang tajam. Riki akhirnya menurut. Dia memutar kemudinya untuk kembali lagi keluar dari gerbang rumah Senja. Selama perjalanan hatinya tidak tenang. Pikirannya melayang saat mengingat pembicaraan suaminya saat di balkon kamarnya tadi. Apalagi samar-samar ia mendengar nama sebuah hotel di luar kota di sebut. Semakin kalut pikiran Senja saat ini. Bukan Ia tidak percaya dengan kesetiaan suaminya, tapi panggilan sayang itu yang membuat Senja waspada. "Mau kemana ini, Nja?" tanya Riki dengan fokus pada kemudinya. Karena sedari tadi Senja hanya diam dan sibuk menatap setiap mobil yang berada di depannya. Seperti sedang mengintai sesuatu. "Sudah. Jalan saja, Mas. Nanti aku kasih tau. Ayo cepat!!" ujar Senja yang masih fokus karena takut kehilangan jejak sang suaminya. Riki hanya mengangguk patuh. Ia menekan pedal gas semakin dalam untuk menuruti perintah adiknya. Matanya tiba-tiba menyipit ketika melihat sebuah mobil yang tak asing baginya. Ia juga memastikan nomer plat mobil itu, dan ternyata benar. Tidak di ragukan lagi jika itu adalah mobil suaminya. "Nah, itu mobil mas Han!! Ikuti, Kak. Cepat!!" tunjuk Senja pada sebuah mobil dengan plat nomor yang di hafalnya. Berhenti paling depan di sebuah lampu merah. Mata Riki pun memindai ke mana arah pandangan Senja. "Lalu?!" Riki masih belum mengerti kenapa Senja mengikuti mobil suaminya. Karena selama ini Senja tidak pernah bertindak seperti ini. "Ck!! Sudahlah, bang. Abang ikutin aja mobilnya mau ke mana. Nanti juga tahu tujuannya sebenarnya. Karena jujur aku pun tak tahu tujuan suamiku, karena pamitnya sama aku kerja ke luar kota," sentak Senja yang mulai terpancing emosi dengan pertanyaan sang abang. "Kan udah tahu ke luar kota, tapi kenapa kamu masih ngikutin dia? Apa kamu tidak percaya dengan suamimu, Nja?" tanya Riki lagi yang merasa heran karena tidak seperti biasanya adiknya itu menaruh curiga pada suaminya. Karena biasanya Senja akan selalu percaya apapun yang dilakukan suaminya di luaran sana. Percaya jika Han tidak akan pernah membuatnya kecewa. Lalu kenapa Senja bertindak seperti ini sekarang? Apakah ada sesuatu yang disembunyikan oleh Han pada Senja? Benak Riki ikut bertanya-tanya. Menerka apa yang sedang terjadi pada rumah tangga adiknya. Selama perjalanan Senja tampak gusar. Dia seolah tak tenang menanti ke mana arah tujuan suaminya tersebut. Dia juga mengultimatum Riki agar tidak sampai kehilangan jejak suaminya kali ini. Karena ia penasaran apa yang dilakukan Han sebenarnya. "Kamu kenapa sih tidak percaya begitu sama suamimu? Kalian bertengkar?" "Apakah Senja harus menjawabnya, Mas?" " Bukan karena aku mau ikut campur atas rumah tangga kamu, tapi apapun yang terjadi, kamu adalah adik aku yang harus aku jaga dan lindungi, Senja. Jadi aku mohon jangan ada yang kamu tutupi dariku." Senja menghela nafas berat. "Apakah aku salah jika mengikuti suamiku karena aku mendengar dia memanggil seseorang di telepon dengan sebutan sayang." Refleks Riki langsung menoleh ke arah Senja yang berada di sampingnya. Masih tak percaya dengan apa yang dikatakan barusan. "Kamu jangan ngaco ya, Nja? Mana mungkin Han seperti itu?" Riki terkekeh tak percaya. Senja tersenyum hambar. "Berarti apa yang dipikiran mas Riki sekarang juga sama dengan yang ada di pikiran aku. Aku pun tidak percaya ketika mas Han memanggil sayang pada lawan bicaranya di telepon pagi tadi. Tapi aku tidak bisa menyangkal kebenaran itu. Aku sudah berusaha membuang jauh pikiran buruk itu, tapi semakin aku membuangnya, semakin pula menyiksaku, Mas." Mata Senja sudah berkaca-kaca. Hingga akhirnya air mata itu pun tumpah juga. Senja tergugu dalam tangisnya, meratapi nasib rumah tangga yang entah akan kemana membawanya bermuara. Tangan Riki mencengkram kemudi dengan kuat. Dadanya bergemuruh menahan emosi, tidak terima jika adiknya dipermainkan seperti itu. Tapi dia juga tidak boleh gegabah dalam mengambil kesimpulan. Karena dia juga belum tahu seperti apa kejadian yang sebenarnya. "Sudah. Lebih baik kamu jangan berpikiran aneh-aneh. Semoga tidak terjadi dengan apa yang kamu pikirkan saat ini. Jika sampai itu terjadi, aku sendiri yang akan memberi pelajaran pada suamimu itu." Senja bungkam. Ia pun berharap demikian. Pikirannya melayang, namun matanya menatap fokus pada mobil suaminya yang masih setia berjalan di depannya. Suasana mobil menjadi hening. Riki masih fokus pada mobil Han. Sedangkan Senja tak hentinya mengusap air matanya, karena pikiran buruknya mendominasi otaknya saat ini. Ia tak ingin dikhianati, karena perasaannya sangat dalam untuk suaminya. Apalagi memikirkan nasib Bina yang entah bagaimana jika kehilangan sosok papa yang selalu diidolakannya. Hingga akhirnya mereka sampai di sebuah pelataran hotel di luar kota. Senja dan Riki masih menunggu pergerakan dari Han yang masih berada di dalam mobil. Entah apa yang dia lalukan hingga tak kunjung keluar dari mobilnya. Ketika mata Senja melihat sekitaran hotel, mata sayunya tak sengaja melihat sosok wanita yang dia kenal baru turun dari taksi online dan langsung menghampiri suaminya. "I_itu?""Kenapa dia cantik sekali saat tidur begini?' tanya Langit dalam hati. Memang Senja terlihat lebih manis dan kalem saat menutup matanya. "Tidak salah aku menjadikanmu istriku, Nja," sambungnya yang lagi-lagi dalam hati saja. Merasakan sapuan lembut di wajahnya, membuat Senja perlahan menggerakkan matanya. Ia menutup mulutnya yang menguap lebar seraya berusaha membuka matanya yang seolah masih merekat. "Nyenyak sekali tidurmu, Sayang. Sampai membuatku harus menunggu lama hanya untuk melihatmu membuka mata untuk pertama kalinya." Suara Langit membuat Senja menoleh ke arah suaminya. "Kamu sudah bangun, Mas?" tanya Senja, menyipitkan kedua matanya yang masih melihat dengan buram. Langit hanya berdehem. Kemudian ia kembali memeluk Senja dengan erat dan membau aroma dari tubuh istrinya yang entah sejak kapan menjadi candu baru baginya. Senja yang mengendus aroma bahaya, berniat bergegas untuk bangkit dari tidurnya. Karena jika tidak, akan ada olahraga lagi menantiny
Percintaan yang terjadi di antara mereka beberapa jam yang lalu diakhiri dengan sebuah kecupan yang cukup lama. Rasa lelah dan lega yang semula tertahankan kini sudah tumpah menjadi satu. Ya, dengan susah payah Langit membujuk Senja untuk kembali bertukar keringat di atas ranjang untuk yang kesekian kalinya. Meski sempat mendapatkan penolakan dari Senja dengan alasan lelah, tapi akhirnya Senja menerimanya setelah Langit mengeluarkan dalil-dalil panjang yang membuat Senja berubah pikiran. Dada mereka kembang kempis saling berebut oksigen untuk mengisi paru-parunya agar pernafasan mereka teratur seperti sedia kala. Senyum manis tersungging di sana. Tangan Langit menarik selimut tebal untuk menutupi sebagian tubuhnya dan juga tubuh istrinya. Rasa lelah karena penyatuan yang menguras tenaga, membuat mereka enggan beranjak walau hanya untuk memakai pakaian mereka saja. Mereka lebih memilih mengistirahatkan tubuh mereka. Walau itu tidak mudah karena sisa-sisa kenikmatan
"Sayang, buka pintunya!!" Langit mengetuk pintu dengan lesu. Beberapa kali ia mencoba membuka pintu, tapi terkunci. Langit dibuat frustasi karenanya. Apalagi ketika melihat baju yang dikenakan Senja, ia yakin jika itu sebuah kode dari istrinya. Sekarang, karena kebodohannya, hal ternikmat yang dia idam-idamkan melayang dengan sia-sia. Tubuhnya merosot, terduduk di depan pintu dengan wajah sendu. Jika bisa, ia ingin menangis saat ini. "Sayang!!!" Tangannya mencoba menggapai pintu, tapi tubuhnya sudah lemas. Kepalanya bersandar di daun pintu, matanya terpejam karena rasa lelah yang mendera setelah jutaan bujuk rayuan tidak mempan membuat Senja luluh. Baru saja ia akan menuju ke alam mimpi, terasa pintu tiba-tiba terbuka. Hampir saja tubuh Langit terguling jika saja ia tidak cepat-cepat sadar dan mengendalikan tubuhnya. "Sayang." Langit langsung beranjak berdiri ketika melihat Senja yang sudah berdiri dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya belum juga ted
"Ayo buka bajunya. Biar aku periksa." Perkataan Langit itu tentu saja membuat Senja mendelik tak terima. Tangannya langsung menutup area dadanya. "Kamu jangan ngawur ya, Mas!!" Senja menatap galak ketika mendapati tatapan Langit yang mesum. Langit tertawa. Pria itu semakin gemas melihat istrinya. Pletak.. Langit menyentil pelan kening Senja. "Memangnya apa yang kamu pikirkan, Sayang? Aku hanya ingin mengobati lukamu, bukan yang lain." Senja gelagapan. Ternyata Langit salah tangkap atas sikapnya. "Bukan itu, Mas. Tapi aku malu jika harus buka baju. Kamu sendiri tau jika luka itu lebih banyak di dada dan bagian pundakku." Tangannya terangkat dan membelai wajah istrinya. "Tidak usah malu, Sayang. Aku akan lebih senang jika kamu mau menuruti apa yang aku katakan. Semua ini untukmu. Demi kesembuhanmu." Senja terdiam. Benar apa kata suaminya. Luka lebam masih butuh diberi obat agar tidak membengkak. Tapi jujur dia malu jika Langit harus melihat tubuh polosnya. "Aku j
"Kamu sudah yakin akan keputusan kamu, Sayang?" tanya Langit yang tengah duduk di sisi ranjang. Matanya menatap lekat pada sang istri yang tengah berkemas. Senja menatap sekilas, kemudian fokus memasukkan bajunya untuk dimasukkan ke dalam koper. "Aku serius, mas!" "Kamu tega ninggalin Bina?" Gerakan Senja terhenti. Ia menghela nafas panjang. Sebagai ibu Ia pun tidak tega jika harus meninggalkan anaknya yang masih membutuhkan dirinya. Belum juga nanti para omongan tetangga yang mungkin akan menjelekkan suaminya yang dikira ingin ibunya saja tapi anaknya enggan diterima. "Kamu sendiri sudah mendengar ibu berbicara seperti apa tadi pagi. Aku sudah berusaha membawa Bina untuk pergi bersama kita tapi Ibu melarangnya bukan? Lalu aku harus bagaimana, Mas?" Mata Senja mulai berkaca-kaca. Pagi itu setelah sarapan, Senja menemui ibunya secara langsung untuk meminta izin membawa Bina ke rumah yang sudah disiapkan Langit untuknya. Tapi jawaban ibunya sungguh m
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Senja Kamila Binti Ahmad Arhandi dengan mas kawin satu set perhiasan, uang seratus juta dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!!" "Bagaimana para saksi? Sah?" "Saahh!!!" Lantunan doa mengalun merdu mengiringi pergantian status mereka secara agama dan negara. Setelah menggelar acara ijab qobul, mereka melakukan sungkem pada ibu mereka masing-masing. Tangis haru tidak bisa dihindari ketika anak-anak mereka bersimpuh untuk memohon doa restu. Bahkan, Yuke sampai tergugu dalam tangisnya yang sampai membuat beberapa hadirin yang datang ikut menitikkan air mata. Seolah ikut terseret dalam alur penuh keharuan. "Mama, maafkan Langit yang selama ini belum bisa menjadi putra yang baik bagi mama. Belum bisa membahagiakan mama sebagai mestinya. Mah, berilah doa restu untuk Langit, agar Langit bisa mengarungi samudra kehidupan rumah tangga dengan baik bersama wanita pilihan Langit." Jujur, inilah hal yang paling membuat dirinya emosional
Senja mendesis ketika pundaknya disentuh oleh Langit. Langit yang penasaran langsung membukanya meski Senja awalnya menolak. Seketika matanya memerah ketika melihat bekas luka yang masih terlihat ada bekas darah. Di periksanya lagi di bagian dada. Seketika giginya bergemelutuk melihat bekas apa yang dilakukan oleh Han. "Apakah ini sakit?" Senja menggelengkan kepala. "Sama sekali tidak, Mas. " "Jangan bohong." Senja terdiam. Lebih sakit ia melihat Langit yang terluka seperti itu. Semenjak kenal dengan Langit, baru kali ini ia melihat Langit yang menahan amarah seperti itu. Ia takut jika dia akan menyakiti Han dan membuat Langit harus terjerat kasus hukum karena dirinya. "Aku mohon, jangan lagi berurusan dengan dia, Mas. Aku takut kamu terjerat hukum karena dia." Senja langsung memeluk Langit dengan erat. Ia berharap pria itu akan mengerti apa yang Ia maksud. Tangan Langit terangkat dan membalas pelukan Senja tak kalah erat. "Dia harus membay
Senja memaku ketika melihat seseorang datang menolongnya. Dengan cepat Langit menutup tubuh Senja menggunakan selimut. "Brengsek lo!!" Benji menendang perut Han dengan brutal. Pria yang biasanya kalem, berubah bringas bak hewan buas. Han tak berkutik karena tiba-tiba mendapatkan serangan bertubi-tubi. Sementara Langit melepaskan ikatan tali di kaki dan tangan Senja. Setelah itu mengangkat tubuh calon istrinya untuk keluar dari sana. "Tolong bawa dia pergi, Rik," kata Langit pada Riki. Setelah itu ia langsung berlari menuju ke dalam untuk melampiaskan amarahnya. Mobil polisi datang setelah mobil Senja bergerak pergi meninggalkan tempat kejadian. Di dalam mobil, Senja menangis dalam pelukan Melly. Melly tak kuasa menahan air matanya melihat adik iparnya yang nampak berantakan. Tangan Riki mencengkeram erat kemudinya, merasakan amarah yang membuncah ketika melihat adiknya disakiti untuk yang kedua kali dengan pria yang sama. "Akan aku pastikan dia
Sementara di tempat kerja, perasaan Langit mendadak tidak tenang. Entah kenapa pikirannya hanya tertuju pada Senja. Terlebih pagi ini Senja sama sekali belum menghubunginya sekedar menanyakan sudah sarapan atau belum seperti biasanya. "Bapak kenapa? Atau perlu sesuatu?" tanya Benji yang melihat gelagat Langit yang aneh menurutnya. Langit hanya menggeleng. Lantas ia meraih ponselnya untuk menghubungi Senja sekedar menanyakan kabarnya hari ini agar hatinya bisa kembali tenang. Tapi sayangnya ponsel Senja tidak aktif. "Kenapa ponselnya tidak aktif? Tumben!!" "Kenapa, Pak?" Benji yang tengah duduk di depan Langit mendengarnya bergumam. "Aku telepon Senja tapi kenapa nomornya tidak aktif." "Bapak bisa menghubungi pak Riki untuk menanyakan kabar bu Senja. Siapa tahu Pak Riki bisa menjawab kegelisahan anda hari ini." Langit segera menghubungi Riki untuk menanyakan kabar Senja. Dan Riki mengatakan jika Senja sedang ke pasar serta membawa ponselnya. "Sial, kenapa pe
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments