Seketika Senja merasa terbakar hatinya saat tangan Sherly bergelayut manja di lengan suaminya. "Lepaskan tangan terkutukmu itu dari lengan suamiku, Sherly," tegas Senja penuh penekanan di setiap kalimatnya. Bukannya takut, Sherly semakin mengeratkan pelukannya seraya tersenyum jumawah memprovokasi Senja. Ini kesempatan baginya untuk membuat Han langsung menceraikan Senja saat ini juga. "Kenapa, Nja? Kamu tidak suka?" Sherly tersenyum meremehkan. "Kamu tau 'kan kita sudah bertukar keringat bersama di atas ranjang, jadi apa salahnya jika aku hanya merangkul lengan suamimu." "Tutup mulutmu, Jalang!!" sentaknya penuh emosi. Bahkan ia sudah tidak perduli jika Han mencap-nya sebagai istri yang kasar. "SENJA, JAGA MULUTMU!!!! SHERLY BUKAN JALANG!!" bentak Han penuh emosi. Senja tersenyum penuh ironi. Hanya karena Sherly, Han berani membentak setelah apa yang ia lakukan untuk pria itu. "Kamu membela jalang ini, Mas?" Senja bertanya dengan nada l
Semalaman Senja hanya menangis dalam doanya. Ia menggelar sajadah dan menumpahkan segalanya di dalam sujudnya. Meminta pertolongan dan keikhlasan dalam menjalani takdirnya. Setelah sholat subuh, Senja melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Di dapur, sudah ada mbok Asih yang tengah menyiapkan sayuran. "Bu Senja," mbok Asih menunduk sungkan saat melihat mata sang majikan yang bengkak dan memerah. Bukan ia tidak tau. Bahkan dia melihat sendiri jika majikan pria yang selama ini ia kenal baik dan lembut, berubah menjadi pria kasar dan pemain wanita. "Selamat pagi, Mbok," sapa Senja ramah dengan senyuman manisnya. Saat ia akan mengupas wortel, dengan cepat mbok Asih melarangnya. "Biar mbok saja yang mengerjakan, Bu. Lebih baik ibu istirahat saja di kamar." "Kenapa, Mbok? Aku hanya ingin membantu." "Jangan, Bu. Lebih baik ibu istirahat saja di kamar. Kasihan semalam ibu tidak tidur." Senja baru tersadar dengan kalimat mbok Asih. "Mbok Asih melihatny
"Ini laporan yang bapak inginkan kemarin." Benji menyerahkan berkas itu di atas meja Langit, yang langsung diraih pria itu. Langit menghela nafas. Matanya sekilas melirik Benji yang berada di sampingnya. Perlahan ia membaca dengan seksama. Keningnya berkerut, tak lama kemudian air mukanya berubah seperti hendak marah dengan gigi yang menggertak geram. "Wanita baik-baik memang tidak pantas bersama pria brengsek seperti dia." Benji mengangguk, mengerti apa yang dimaksud oleh Langit. "Seharusnya pria seperti itu berakhir di tempat sampah. Sama seperti yang pria itu lakukan dengan wanita selingkuhannya. Sampah memang harusnya bersama sampah juga." "Lalu apa yang harus kita lakukan, Pak? Bukankah bapak sudah tidak sabar ingin meminangnya menjadi istri bapak?" goda Benji dengan senyum tertahan. Benji ikut bahagia saat rasa ketertarikan Langit pada wanita akhirnya muncul kembali setelah lama hilang. Langit menoleh sebentar. Kemudian menatap ke depan dengan senyum tip
"Senja!! Senja!!" Han mencoba untuk menghentikan Senja yang hendak masuk ke mobil. Dia menyeret tangan Senja hingga Senja hampir saja jatuh tersungkur. "Apalagi sih, Mas? Kenapa kamu melarangku pergi?" hardik Senja. Habis sudah kesabaran Senja selama ini. Bahkan, ia sudah tidak peduli saat ada beberapa pasang mata menatap ke arah mereka. "Kamu tidak bisa pergi begitu saja membawa Bina. Dia juga anakku." Han hendak meraih tangan Bina, tapi dengan cepat Senja menepisnya. Ia membawa Bina ke belakang tubuhnya, melindungi dari papanya yang hendak meraihnya. "Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menyerahkan Bina padamu, Mas. Aku tidak rela jika dia hidup bersama jalang itu. Aku tidak rela, Mas!!" Semakin banyak orang yang menatap ke arah mereka. Bahkan ada beberapa orang yang berani mendekat, seolah ingin melerai. Tapi lebih dominan rasa keingintahuan yang tinggi dengan masalah mereka. Mendengar itu, tentu saja Sherly tidak bisa menerimanya. Ia mengambil kesempatan emas ini untuk me
"Bercerai, Bu?" Fatimah mengangguk. "Iya, Nja. Buat apa mempertahankan pria yang dengan mudahnya menduakan istri yang sudah menemaninya dari Nol hanya untuk wanita yang baru ia kenal?" Fatimah menghela nafas berat. Nampak ia juga memikirkan nasib putrinya. "Jangan kira ibu tidak tau bagaimana kata-kata kasar yang diucapkan Han padamu, Nja. Ibu tau semuanya." "Mas Riki yang bilang sama ibu?" Fatimah hanya diam. Tapi Senja tau jawaban keterdiaman ibunya. Memang Han sangat keterlaluan saat mengatakan alasan ia selingkuh. Sebagai wanita dan seorang istri, tentu ia sangat sakit hati. Dan mungkin benar apa yang dikatakan ibunya, lebih baik ia berpisah. "Jangan ragu. Ibu akan mendukungmu. Masalah Bina, biar kita yang jaga. In Shaa Allah dia akan baik-baik saja walau tanpa papanya. Jika Bina tau papanya seperti itu, ia akan lebih tersakiti." Senja mengangguk mantap. Ia sudah tidak ragu lagi untuk berpisah dari Han karena restu ibunya bersamanya. Memang Ibu mana ya
"Mau ngapain kamu kesini, Mas? Apa belum puas kamu menyakiti aku?" Dada Senja bergemuruh saat melihat pria yang telah menyakitinya kembali hadir di depan matanya. Entah apa yang di inginkan Han darinya. "Aku hanya ingin kamu kembali ke rumah, Nja." "Rumah mana yang kamu maksud, Mas?" tanya Senja dengan nada mengejek. Bahkan, sampai Han bersujud di kakinya pun, ia tidak akan sudi menginjakkan kakinya di rumah itu lagi. "Rumah kita, Nja." Senja pura-pura terkejut. "Oh, ya. Rumah kita, Mas? Bukankah rumah itu sudah milik Sherly sekarang? Lalu mau ngapain lagi ke sini, Mas? Sampai kapanpun, aku tidak akan ke rumah itu lagi." Saat Senja akan menutup pintunya, Han menahan pintu itu dengan kakinya. Hingga pintu itu tidak bisa tertutup sempurna. "Tolong izinkan aku meminta maaf, Nja. Aku ingin kita rujuk," pinta Han seraya menahan pintu itu. Senja diam saja dan berusaha untuk menutup pintu itu rapat. Tapi apa daya, tenaganya tak cukup besar melawan tenaga H
Langit menyambut pelukan itu disertai cium pipi kanan dan kiri. Tentu, Melissa risih melihatnya. Apalagi saat mereka berdua tadi, langit sama sekali tidak menunjukkan senyum lebarnya. Dan tak mengapa saat bertemu dengan pria gemulai itu langit terlihat sangat bahagia. "Apa jangan-jangan?" Melissa menebak sendiri dari cara interaksi keduanya. Karena dunia ini sudah semakin tua rumah banyak pria tampan yang juga menyukai sesama jenis. "Apa kalian sepasang_" "Iya," jawab mereka serentak. Membuat Melissa seketika merinding. "Ayo duduk sebentar. Kita tidak pernah bertemu sebelumnya," ajak Langit pada pria itu. "Ah, terima kasih, Langit." Melissa mual saat melihat pria gemulai itu. Ia ingin pergi, tapi masih ia tahan. Ia berharap jika ini hanya mimpi, tidak nyata. "Bagaimana kabarmu, Say? Aku dengar kamu mau menikah ya?" Langit berdehem seraya melirik Melissa. Ia tersenyum tipis. "Iya. Sama dia." Melissa terlihat sumringah. "Ternyata itu hany
Langit melangkahkan kaki dengan ringan masuk ke dalam rumah. Tanpa ia tau ada seseorang yang tengah menunggunya dengan tatapan tak terbaca. Saat kakinya menapaki anak tangga, sebuah teriakan nyaring menyapa indra pendengarannya. "Langiiit!!!!!" Langkah Langit terhenti. Ia menarik nafas panjang sebelum memutar tubuhnya untuk kembali menemui sang empu suara. Harus menyiapkan hatinya untuk menerima sebuah petuah. Memutar tumit, Langit membawa langkahnya menuju ke wanita parubaya yang tengah menatapnya dengan nyalang dan penuh dendam. "Ada apa, Ma?" Langit tanpa basa-basi langsung menghadap ke arah sang mama, Yuke. "Melissa kamu apain?" "Melissa?" Langit pura-pura tidak tau. "Memangnya apa yang sudah Langit lakukan pada Melissa, Ma?" "Jangan pura-pura tidak tau. Dia nangis-nangis telepon mama bilang kamu homo," Yuke tidak bisa menahan rasa geramnya karena kelakuan Langit membuatnya kehilangan muka di mata sahabatnya. Langit menggembungkan pipinya. H
"Kenapa dia cantik sekali saat tidur begini?' tanya Langit dalam hati. Memang Senja terlihat lebih manis dan kalem saat menutup matanya. "Tidak salah aku menjadikanmu istriku, Nja," sambungnya yang lagi-lagi dalam hati saja. Merasakan sapuan lembut di wajahnya, membuat Senja perlahan menggerakkan matanya. Ia menutup mulutnya yang menguap lebar seraya berusaha membuka matanya yang seolah masih merekat. "Nyenyak sekali tidurmu, Sayang. Sampai membuatku harus menunggu lama hanya untuk melihatmu membuka mata untuk pertama kalinya." Suara Langit membuat Senja menoleh ke arah suaminya. "Kamu sudah bangun, Mas?" tanya Senja, menyipitkan kedua matanya yang masih melihat dengan buram. Langit hanya berdehem. Kemudian ia kembali memeluk Senja dengan erat dan membau aroma dari tubuh istrinya yang entah sejak kapan menjadi candu baru baginya. Senja yang mengendus aroma bahaya, berniat bergegas untuk bangkit dari tidurnya. Karena jika tidak, akan ada olahraga lagi menantiny
Percintaan yang terjadi di antara mereka beberapa jam yang lalu diakhiri dengan sebuah kecupan yang cukup lama. Rasa lelah dan lega yang semula tertahankan kini sudah tumpah menjadi satu. Ya, dengan susah payah Langit membujuk Senja untuk kembali bertukar keringat di atas ranjang untuk yang kesekian kalinya. Meski sempat mendapatkan penolakan dari Senja dengan alasan lelah, tapi akhirnya Senja menerimanya setelah Langit mengeluarkan dalil-dalil panjang yang membuat Senja berubah pikiran. Dada mereka kembang kempis saling berebut oksigen untuk mengisi paru-parunya agar pernafasan mereka teratur seperti sedia kala. Senyum manis tersungging di sana. Tangan Langit menarik selimut tebal untuk menutupi sebagian tubuhnya dan juga tubuh istrinya. Rasa lelah karena penyatuan yang menguras tenaga, membuat mereka enggan beranjak walau hanya untuk memakai pakaian mereka saja. Mereka lebih memilih mengistirahatkan tubuh mereka. Walau itu tidak mudah karena sisa-sisa kenikmatan
"Sayang, buka pintunya!!" Langit mengetuk pintu dengan lesu. Beberapa kali ia mencoba membuka pintu, tapi terkunci. Langit dibuat frustasi karenanya. Apalagi ketika melihat baju yang dikenakan Senja, ia yakin jika itu sebuah kode dari istrinya. Sekarang, karena kebodohannya, hal ternikmat yang dia idam-idamkan melayang dengan sia-sia. Tubuhnya merosot, terduduk di depan pintu dengan wajah sendu. Jika bisa, ia ingin menangis saat ini. "Sayang!!!" Tangannya mencoba menggapai pintu, tapi tubuhnya sudah lemas. Kepalanya bersandar di daun pintu, matanya terpejam karena rasa lelah yang mendera setelah jutaan bujuk rayuan tidak mempan membuat Senja luluh. Baru saja ia akan menuju ke alam mimpi, terasa pintu tiba-tiba terbuka. Hampir saja tubuh Langit terguling jika saja ia tidak cepat-cepat sadar dan mengendalikan tubuhnya. "Sayang." Langit langsung beranjak berdiri ketika melihat Senja yang sudah berdiri dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya belum juga ted
"Ayo buka bajunya. Biar aku periksa." Perkataan Langit itu tentu saja membuat Senja mendelik tak terima. Tangannya langsung menutup area dadanya. "Kamu jangan ngawur ya, Mas!!" Senja menatap galak ketika mendapati tatapan Langit yang mesum. Langit tertawa. Pria itu semakin gemas melihat istrinya. Pletak.. Langit menyentil pelan kening Senja. "Memangnya apa yang kamu pikirkan, Sayang? Aku hanya ingin mengobati lukamu, bukan yang lain." Senja gelagapan. Ternyata Langit salah tangkap atas sikapnya. "Bukan itu, Mas. Tapi aku malu jika harus buka baju. Kamu sendiri tau jika luka itu lebih banyak di dada dan bagian pundakku." Tangannya terangkat dan membelai wajah istrinya. "Tidak usah malu, Sayang. Aku akan lebih senang jika kamu mau menuruti apa yang aku katakan. Semua ini untukmu. Demi kesembuhanmu." Senja terdiam. Benar apa kata suaminya. Luka lebam masih butuh diberi obat agar tidak membengkak. Tapi jujur dia malu jika Langit harus melihat tubuh polosnya. "Aku j
"Kamu sudah yakin akan keputusan kamu, Sayang?" tanya Langit yang tengah duduk di sisi ranjang. Matanya menatap lekat pada sang istri yang tengah berkemas. Senja menatap sekilas, kemudian fokus memasukkan bajunya untuk dimasukkan ke dalam koper. "Aku serius, mas!" "Kamu tega ninggalin Bina?" Gerakan Senja terhenti. Ia menghela nafas panjang. Sebagai ibu Ia pun tidak tega jika harus meninggalkan anaknya yang masih membutuhkan dirinya. Belum juga nanti para omongan tetangga yang mungkin akan menjelekkan suaminya yang dikira ingin ibunya saja tapi anaknya enggan diterima. "Kamu sendiri sudah mendengar ibu berbicara seperti apa tadi pagi. Aku sudah berusaha membawa Bina untuk pergi bersama kita tapi Ibu melarangnya bukan? Lalu aku harus bagaimana, Mas?" Mata Senja mulai berkaca-kaca. Pagi itu setelah sarapan, Senja menemui ibunya secara langsung untuk meminta izin membawa Bina ke rumah yang sudah disiapkan Langit untuknya. Tapi jawaban ibunya sungguh m
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Senja Kamila Binti Ahmad Arhandi dengan mas kawin satu set perhiasan, uang seratus juta dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!!" "Bagaimana para saksi? Sah?" "Saahh!!!" Lantunan doa mengalun merdu mengiringi pergantian status mereka secara agama dan negara. Setelah menggelar acara ijab qobul, mereka melakukan sungkem pada ibu mereka masing-masing. Tangis haru tidak bisa dihindari ketika anak-anak mereka bersimpuh untuk memohon doa restu. Bahkan, Yuke sampai tergugu dalam tangisnya yang sampai membuat beberapa hadirin yang datang ikut menitikkan air mata. Seolah ikut terseret dalam alur penuh keharuan. "Mama, maafkan Langit yang selama ini belum bisa menjadi putra yang baik bagi mama. Belum bisa membahagiakan mama sebagai mestinya. Mah, berilah doa restu untuk Langit, agar Langit bisa mengarungi samudra kehidupan rumah tangga dengan baik bersama wanita pilihan Langit." Jujur, inilah hal yang paling membuat dirinya emosional
Senja mendesis ketika pundaknya disentuh oleh Langit. Langit yang penasaran langsung membukanya meski Senja awalnya menolak. Seketika matanya memerah ketika melihat bekas luka yang masih terlihat ada bekas darah. Di periksanya lagi di bagian dada. Seketika giginya bergemelutuk melihat bekas apa yang dilakukan oleh Han. "Apakah ini sakit?" Senja menggelengkan kepala. "Sama sekali tidak, Mas. " "Jangan bohong." Senja terdiam. Lebih sakit ia melihat Langit yang terluka seperti itu. Semenjak kenal dengan Langit, baru kali ini ia melihat Langit yang menahan amarah seperti itu. Ia takut jika dia akan menyakiti Han dan membuat Langit harus terjerat kasus hukum karena dirinya. "Aku mohon, jangan lagi berurusan dengan dia, Mas. Aku takut kamu terjerat hukum karena dia." Senja langsung memeluk Langit dengan erat. Ia berharap pria itu akan mengerti apa yang Ia maksud. Tangan Langit terangkat dan membalas pelukan Senja tak kalah erat. "Dia harus membay
Senja memaku ketika melihat seseorang datang menolongnya. Dengan cepat Langit menutup tubuh Senja menggunakan selimut. "Brengsek lo!!" Benji menendang perut Han dengan brutal. Pria yang biasanya kalem, berubah bringas bak hewan buas. Han tak berkutik karena tiba-tiba mendapatkan serangan bertubi-tubi. Sementara Langit melepaskan ikatan tali di kaki dan tangan Senja. Setelah itu mengangkat tubuh calon istrinya untuk keluar dari sana. "Tolong bawa dia pergi, Rik," kata Langit pada Riki. Setelah itu ia langsung berlari menuju ke dalam untuk melampiaskan amarahnya. Mobil polisi datang setelah mobil Senja bergerak pergi meninggalkan tempat kejadian. Di dalam mobil, Senja menangis dalam pelukan Melly. Melly tak kuasa menahan air matanya melihat adik iparnya yang nampak berantakan. Tangan Riki mencengkeram erat kemudinya, merasakan amarah yang membuncah ketika melihat adiknya disakiti untuk yang kedua kali dengan pria yang sama. "Akan aku pastikan dia
Sementara di tempat kerja, perasaan Langit mendadak tidak tenang. Entah kenapa pikirannya hanya tertuju pada Senja. Terlebih pagi ini Senja sama sekali belum menghubunginya sekedar menanyakan sudah sarapan atau belum seperti biasanya. "Bapak kenapa? Atau perlu sesuatu?" tanya Benji yang melihat gelagat Langit yang aneh menurutnya. Langit hanya menggeleng. Lantas ia meraih ponselnya untuk menghubungi Senja sekedar menanyakan kabarnya hari ini agar hatinya bisa kembali tenang. Tapi sayangnya ponsel Senja tidak aktif. "Kenapa ponselnya tidak aktif? Tumben!!" "Kenapa, Pak?" Benji yang tengah duduk di depan Langit mendengarnya bergumam. "Aku telepon Senja tapi kenapa nomornya tidak aktif." "Bapak bisa menghubungi pak Riki untuk menanyakan kabar bu Senja. Siapa tahu Pak Riki bisa menjawab kegelisahan anda hari ini." Langit segera menghubungi Riki untuk menanyakan kabar Senja. Dan Riki mengatakan jika Senja sedang ke pasar serta membawa ponselnya. "Sial, kenapa pe