"Ngapain sih kamu kerja capek-capek jika apa yang kamu hasilkan tidak sesuai harapan? Kamu bisa bekerja di toko milikku. Dimanapun kamu mau. Soal gaji, kamu tidak perlu khawatir. Aku bisa memberikannya lebih." Riki tersulut emosi saat mengetahui adiknya berniat bekerja di kota. Ia tahu adiknya hanya lulusan SMA, makanya Riki meminta Senja untuk bekerja di tokonya saja. "Aku malu jika harus terus merepotkanmu, Mas. Jadi aku ingin mandiri dengan usahaku sendiri." "Lalu, apakah kamu bisa menjamin kehidupan Bina akan terpenuhi?" Senja mengagguk mantap. "Aku akan berusaha memenuhi apa yang menjadi hak Bina. Aku ibunya, dan hanya aku yang dimilikinya." Riki mengusap wajahnya kasar. Jika Senja sudah memasang wajah sendu seperti ini, hatinya tiba-tiba luluh. Ia merasakan bagaimana tekanan adiknya yang terpuruk karena perpisahan dengan suaminya. Apalagi saat ia mendengar dari cerita ibunya jika ia menjadi bahan gunjingan para tetangga. Riki duduk di samping Senja. Ia akan berusah
"Bapak. Maafkan saya pak karena saya telah lancang." Senja kembali menundukkan wajahnya. Ia keceplosan saat melihat wajah yang tak asing baginya. Langit tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Aku juga sama terkejutnya denganmu." Langit berdehem. "Perkenalkan, aku Langit. Pimpinan hotel dimana kamu akan bekerja besok." Hampir saja Senja limbung mendengarnya. 'Jadi, orang yang dulu menolongku adalah pemilik hotel?' Senja memejamkan matanya tidak menyangka. Pantas saja para resepsionis itu tampak ketakutan saat Langit meminta mereka memberikan kunci kamar Han. Tubuh Senja semakin kaku. Bahkan bergerak sedikit saja seolah ia tidak mampu. "Kenapa kamu tegang begitu? Apakah aku terlihat sangat menakutkan?" Senja mendongak mendengar kalimat Langit. "Tidak, pak. Tidak sama sekali." Ia kembali menunduk sungkan. Berada di atmosfer yang sama dengan seorang pimpinan seperti Langit, seolah dadanya tiba-tiba merasa sesak. Hawa yang tadinya dingin berubah menjadi panas. Melihat Senja yang mulai
"Wah, ngapain di situ malam-malam? Open BO, ya?" tawa menyebalkan penuh hinaan. Vivi menatap sengit pada Sherly yang perlahan membuka pintu mobilnya. Sedangkan mata Senja menatap pada Han yang hanya diam saja melihat wanitanya menghinanya. Langkah kaki Sherly melangkah dengan anggun. Membuat Senja dan Vivi merasa muak dengan sandiwara yang diperankan oleh Sherly. Wanita itu berhenti tepat di hadapan Senja dan Vivi. Memasang tampang menyebalkan dengan tangan bersendekap di dada penuh keangkuhan. "Lagi nungguin siapa? Open BO kah?" tanya Sherly dengan seringai menghina. "Oh, aku tau, pasti kamu jadi miskin 'kan makanya open BO untuk menghidupi dirimu sendiri. Secara sekarang mas Han sudah fokus memberiku nafkah lahir dan batin." Sherly sengaja menyiramkan bensin agar perasaan Senja terbakar. Ia sangat senang melihat mantan sahabatnya itu menderita setelah kehilangan semuanya. Termasuk suaminya. Senja sama sekali tidak peduli dengan kalimat Sherl
Mereka sontak menoleh. Senja terkejut, tapi buru-buru menetralkan wajahnya agar tidak terlalu kentara. Begitu juga dengan Vivi yang sampai menahan nafas melihat Bos besarnya yang tiba-tiba di depan matanya saat ini. "Siapa kamu?" tanya Sherly dengan tatapan tidak suka. Pria itu melepaskan cengkraman tangannya di tangan Sherly. "Kamu tidak perlu tahu aku siapa. Tapi satu hal yang kamu harus tahu jika aku tidak suka kamu menyakiti Senja." Sherly meringis kesakitan. Tangan yang satunya lagi mengusap tangannya yang memerah karena cengkraman pria di depannya. Han tidak tinggal diam. Ia mendorong pria itu hingga mundur ke belakang. "Kamu siapa? Berani-beraninya kamu membuat calon istriku terluka seperti itu." Senyuman sinis terbit di bibir Langit. Ya, dia adalah Langit. Saat Langit hendak pulang ke rumah, ia tidak sengaja melihat Senja berada di taman dengan calon mantan suaminya. Tentu ia tidak akan tinggal diam dan meminta Benji untuk memutar mobilnya demi melihat apa yang t
Setelah kejadian itu, Langit mengantar keduanya untuk pulang. Selama perjalanan, bibir mereka tertutup rapat, begitu juga dengan Langit yang kembali ke asal, angkuh dan tak terjamah. Vivi dan Senja menghirup udara banyak-banyak setelah mobil yang mereka tumpangi sudah hilang di telan malam. "Hah, lega. Akhirnya. Di dalam mobil dengan pak Langit, membuat dadaku sesak," cerocos Vivi. Itu juga yang dirasakan Senja. Seolah bernafas saja susah saat tanpa sengaja matanya bersitatap dengan mata tajam itu melalui kaca spion depan. Sungguh, itu membuat jantungnya seolah berhenti berdetak saat itu juga. Ketika Senja akan melangkah masuk, Vivi menahan lengannya. "Sikap pak Langit aneh ya, Nja. Kayaknya dia pernah kenal gitu sama kamu. Apa iya?" tanya Vivi kepo. Karena kejadian ini di luar nalarnya. Ia yang hafal sifat boss nya itu mendadak terkejut dnegan perubahan sikap yang terkesan mendadak saat bersama Senja. Dulu jangankan berbicara pada karyawan, melirik sa
"Senja, apa yang kamu lakukan?" Tiba-tiba Han sudah berdiri di belakang mereka. Senja menoleh dan menggeser tubuhnya untuk memberi jalan pada Han untuk menolong calon istrinya yang terlihat mengenaskan. "Kamu tidak apa-apa, Sayang?" tanya Han yang tampak khawatir melihat kondisi Sherly. Senja membuang muka seraya ingin muntah mendengar panggilan sayang yang ditujukan untuk Sherly. Meski dulu Han memanggilnya dengan sebutan seperti itu, tapi ingatan kenangan manis sudah ia buang jauh-jauh. Yang tersisa hanya rasa benci yang mendalam pada mantan suaminya. "Lihatlah, Mas. Ini semua Senja yang melakukan. Aku tidak melakukan apapun, tapi Senja membuatku terlihat mengenaskan," adu Sherly dengan pura-pura menangis. Senja berdecih. Pandai sekali Sherly memutar balikkan fakta. Ia tidak akan sampai keluar batas jika wanita itu tidak mencari gara-gara terlebih dahulu. Han menoleh ke arah Senja dan menatapnya tajam. "Apa yang kamu lakukan pada Sherly, Nja? Apa kamu b
"Oh, pacar kamu datang lagi, Senja? Wah, hebat!!!" Han bertepuk tangan. Padahal terbakar hatinya sekarang melihat pria yang ia temui kemarin malam, sekarang tiba-tiba berada di depan mereka. Ada sejumput rasa tak rela menyelinap di hatinya. Langit melangkahkan kakinya dengan angkuh. Membuat manager dan Vivi membelah, memberi jalan untuknya demi bisa mendekat ke arah Senja. Senja menahan nafas. Kenapa bosnya itu kembali datang di saat yang tidak tepat. Ia sedang bekerja, tapi kenapa tiba-tiba ada sidak di saat ia terkena masalah seperti ini. Apakah ini tandanya ia akan di pecat. Saat ini Senja hanya bisa pasrah pada sang pencipta. Greep!! Sebuah tarikan membuat tubuhnya bergeser dan menempel sempurna di tubuh Langit. Ada perasaan tak nyaman, hingga ia bergerak pelan untuk melepaskan diri. "Lalu kenapa jika aku kekasih, Senja? Ada masalah?" Mata Vivi dan Sherly membulat sempurna. Bahkan, Vivi sampai kehilangan oksigen saking kagetnya. Langit y
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Senja langsung pergi untuk menepati janjinya pada Langit untuk bertemu di cafe hotel tempatnya bekerja. Saat memasuki cafe, banyak pasang mata yang menatap ke arahnya apalagi yang menjadi pusat perhatian mereka jika bukan seragam yang ia kenakan saat ini. Ia sengaja tidak berganti pakaian agar Langit menyadari siapa mereka sebenarnya. Kalimat kalimat yang Langit lontarkan seolah membuatnya sadar jika bosnya tersebut memendam rasa kepadanya. Inilah penolakan yang Senja lakukan tanpa mengucapkan kalimat. Senyum lebar langsung terpancar dari wajah Langit ketika melihat Senja yang melangkah menghampirinya. Walau Senja saat ini masih memakai seragam kerjanya, tapi itu tidak melunturkan rasa yang bersemi di hatinya. Langit langsung berdiri menyambut tamu spesialnya kali ini. "Maaf, Pak. Saya telat." Senja tetap bersikap sopan pada atasannya itu. "Tidak apa-apa senja Aku juga baru sampai satu menit yang lalu. Ayo silakan duduk."
"Kenapa dia cantik sekali saat tidur begini?' tanya Langit dalam hati. Memang Senja terlihat lebih manis dan kalem saat menutup matanya. "Tidak salah aku menjadikanmu istriku, Nja," sambungnya yang lagi-lagi dalam hati saja. Merasakan sapuan lembut di wajahnya, membuat Senja perlahan menggerakkan matanya. Ia menutup mulutnya yang menguap lebar seraya berusaha membuka matanya yang seolah masih merekat. "Nyenyak sekali tidurmu, Sayang. Sampai membuatku harus menunggu lama hanya untuk melihatmu membuka mata untuk pertama kalinya." Suara Langit membuat Senja menoleh ke arah suaminya. "Kamu sudah bangun, Mas?" tanya Senja, menyipitkan kedua matanya yang masih melihat dengan buram. Langit hanya berdehem. Kemudian ia kembali memeluk Senja dengan erat dan membau aroma dari tubuh istrinya yang entah sejak kapan menjadi candu baru baginya. Senja yang mengendus aroma bahaya, berniat bergegas untuk bangkit dari tidurnya. Karena jika tidak, akan ada olahraga lagi menantiny
Percintaan yang terjadi di antara mereka beberapa jam yang lalu diakhiri dengan sebuah kecupan yang cukup lama. Rasa lelah dan lega yang semula tertahankan kini sudah tumpah menjadi satu. Ya, dengan susah payah Langit membujuk Senja untuk kembali bertukar keringat di atas ranjang untuk yang kesekian kalinya. Meski sempat mendapatkan penolakan dari Senja dengan alasan lelah, tapi akhirnya Senja menerimanya setelah Langit mengeluarkan dalil-dalil panjang yang membuat Senja berubah pikiran. Dada mereka kembang kempis saling berebut oksigen untuk mengisi paru-parunya agar pernafasan mereka teratur seperti sedia kala. Senyum manis tersungging di sana. Tangan Langit menarik selimut tebal untuk menutupi sebagian tubuhnya dan juga tubuh istrinya. Rasa lelah karena penyatuan yang menguras tenaga, membuat mereka enggan beranjak walau hanya untuk memakai pakaian mereka saja. Mereka lebih memilih mengistirahatkan tubuh mereka. Walau itu tidak mudah karena sisa-sisa kenikmatan
"Sayang, buka pintunya!!" Langit mengetuk pintu dengan lesu. Beberapa kali ia mencoba membuka pintu, tapi terkunci. Langit dibuat frustasi karenanya. Apalagi ketika melihat baju yang dikenakan Senja, ia yakin jika itu sebuah kode dari istrinya. Sekarang, karena kebodohannya, hal ternikmat yang dia idam-idamkan melayang dengan sia-sia. Tubuhnya merosot, terduduk di depan pintu dengan wajah sendu. Jika bisa, ia ingin menangis saat ini. "Sayang!!!" Tangannya mencoba menggapai pintu, tapi tubuhnya sudah lemas. Kepalanya bersandar di daun pintu, matanya terpejam karena rasa lelah yang mendera setelah jutaan bujuk rayuan tidak mempan membuat Senja luluh. Baru saja ia akan menuju ke alam mimpi, terasa pintu tiba-tiba terbuka. Hampir saja tubuh Langit terguling jika saja ia tidak cepat-cepat sadar dan mengendalikan tubuhnya. "Sayang." Langit langsung beranjak berdiri ketika melihat Senja yang sudah berdiri dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya belum juga ted
"Ayo buka bajunya. Biar aku periksa." Perkataan Langit itu tentu saja membuat Senja mendelik tak terima. Tangannya langsung menutup area dadanya. "Kamu jangan ngawur ya, Mas!!" Senja menatap galak ketika mendapati tatapan Langit yang mesum. Langit tertawa. Pria itu semakin gemas melihat istrinya. Pletak.. Langit menyentil pelan kening Senja. "Memangnya apa yang kamu pikirkan, Sayang? Aku hanya ingin mengobati lukamu, bukan yang lain." Senja gelagapan. Ternyata Langit salah tangkap atas sikapnya. "Bukan itu, Mas. Tapi aku malu jika harus buka baju. Kamu sendiri tau jika luka itu lebih banyak di dada dan bagian pundakku." Tangannya terangkat dan membelai wajah istrinya. "Tidak usah malu, Sayang. Aku akan lebih senang jika kamu mau menuruti apa yang aku katakan. Semua ini untukmu. Demi kesembuhanmu." Senja terdiam. Benar apa kata suaminya. Luka lebam masih butuh diberi obat agar tidak membengkak. Tapi jujur dia malu jika Langit harus melihat tubuh polosnya. "Aku j
"Kamu sudah yakin akan keputusan kamu, Sayang?" tanya Langit yang tengah duduk di sisi ranjang. Matanya menatap lekat pada sang istri yang tengah berkemas. Senja menatap sekilas, kemudian fokus memasukkan bajunya untuk dimasukkan ke dalam koper. "Aku serius, mas!" "Kamu tega ninggalin Bina?" Gerakan Senja terhenti. Ia menghela nafas panjang. Sebagai ibu Ia pun tidak tega jika harus meninggalkan anaknya yang masih membutuhkan dirinya. Belum juga nanti para omongan tetangga yang mungkin akan menjelekkan suaminya yang dikira ingin ibunya saja tapi anaknya enggan diterima. "Kamu sendiri sudah mendengar ibu berbicara seperti apa tadi pagi. Aku sudah berusaha membawa Bina untuk pergi bersama kita tapi Ibu melarangnya bukan? Lalu aku harus bagaimana, Mas?" Mata Senja mulai berkaca-kaca. Pagi itu setelah sarapan, Senja menemui ibunya secara langsung untuk meminta izin membawa Bina ke rumah yang sudah disiapkan Langit untuknya. Tapi jawaban ibunya sungguh m
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Senja Kamila Binti Ahmad Arhandi dengan mas kawin satu set perhiasan, uang seratus juta dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!!" "Bagaimana para saksi? Sah?" "Saahh!!!" Lantunan doa mengalun merdu mengiringi pergantian status mereka secara agama dan negara. Setelah menggelar acara ijab qobul, mereka melakukan sungkem pada ibu mereka masing-masing. Tangis haru tidak bisa dihindari ketika anak-anak mereka bersimpuh untuk memohon doa restu. Bahkan, Yuke sampai tergugu dalam tangisnya yang sampai membuat beberapa hadirin yang datang ikut menitikkan air mata. Seolah ikut terseret dalam alur penuh keharuan. "Mama, maafkan Langit yang selama ini belum bisa menjadi putra yang baik bagi mama. Belum bisa membahagiakan mama sebagai mestinya. Mah, berilah doa restu untuk Langit, agar Langit bisa mengarungi samudra kehidupan rumah tangga dengan baik bersama wanita pilihan Langit." Jujur, inilah hal yang paling membuat dirinya emosional
Senja mendesis ketika pundaknya disentuh oleh Langit. Langit yang penasaran langsung membukanya meski Senja awalnya menolak. Seketika matanya memerah ketika melihat bekas luka yang masih terlihat ada bekas darah. Di periksanya lagi di bagian dada. Seketika giginya bergemelutuk melihat bekas apa yang dilakukan oleh Han. "Apakah ini sakit?" Senja menggelengkan kepala. "Sama sekali tidak, Mas. " "Jangan bohong." Senja terdiam. Lebih sakit ia melihat Langit yang terluka seperti itu. Semenjak kenal dengan Langit, baru kali ini ia melihat Langit yang menahan amarah seperti itu. Ia takut jika dia akan menyakiti Han dan membuat Langit harus terjerat kasus hukum karena dirinya. "Aku mohon, jangan lagi berurusan dengan dia, Mas. Aku takut kamu terjerat hukum karena dia." Senja langsung memeluk Langit dengan erat. Ia berharap pria itu akan mengerti apa yang Ia maksud. Tangan Langit terangkat dan membalas pelukan Senja tak kalah erat. "Dia harus membay
Senja memaku ketika melihat seseorang datang menolongnya. Dengan cepat Langit menutup tubuh Senja menggunakan selimut. "Brengsek lo!!" Benji menendang perut Han dengan brutal. Pria yang biasanya kalem, berubah bringas bak hewan buas. Han tak berkutik karena tiba-tiba mendapatkan serangan bertubi-tubi. Sementara Langit melepaskan ikatan tali di kaki dan tangan Senja. Setelah itu mengangkat tubuh calon istrinya untuk keluar dari sana. "Tolong bawa dia pergi, Rik," kata Langit pada Riki. Setelah itu ia langsung berlari menuju ke dalam untuk melampiaskan amarahnya. Mobil polisi datang setelah mobil Senja bergerak pergi meninggalkan tempat kejadian. Di dalam mobil, Senja menangis dalam pelukan Melly. Melly tak kuasa menahan air matanya melihat adik iparnya yang nampak berantakan. Tangan Riki mencengkeram erat kemudinya, merasakan amarah yang membuncah ketika melihat adiknya disakiti untuk yang kedua kali dengan pria yang sama. "Akan aku pastikan dia
Sementara di tempat kerja, perasaan Langit mendadak tidak tenang. Entah kenapa pikirannya hanya tertuju pada Senja. Terlebih pagi ini Senja sama sekali belum menghubunginya sekedar menanyakan sudah sarapan atau belum seperti biasanya. "Bapak kenapa? Atau perlu sesuatu?" tanya Benji yang melihat gelagat Langit yang aneh menurutnya. Langit hanya menggeleng. Lantas ia meraih ponselnya untuk menghubungi Senja sekedar menanyakan kabarnya hari ini agar hatinya bisa kembali tenang. Tapi sayangnya ponsel Senja tidak aktif. "Kenapa ponselnya tidak aktif? Tumben!!" "Kenapa, Pak?" Benji yang tengah duduk di depan Langit mendengarnya bergumam. "Aku telepon Senja tapi kenapa nomornya tidak aktif." "Bapak bisa menghubungi pak Riki untuk menanyakan kabar bu Senja. Siapa tahu Pak Riki bisa menjawab kegelisahan anda hari ini." Langit segera menghubungi Riki untuk menanyakan kabar Senja. Dan Riki mengatakan jika Senja sedang ke pasar serta membawa ponselnya. "Sial, kenapa pe