Share

Part 4

MADU KUJADIKAN BABU

Part 4

Aku lalu gegas naik ke atas.

"Argggh beneran bisa gila aku lama-lama di sini," dengusnya kesal.

Aku cekikikan di balkon. Rasain kau madu babu, emang enak hidup di rumahku?

Setahun ke belakang mungkin dia masih ngerasa biasa saja karena masih merasa cinta buta dan semangat-semangatnya ngurusin Mas Iwan. Tapi sekarang, setelah satu tahun kucekoki dia terus menerus dengan berbagai pekerjaan dan tugas yang berat, mungkin dia akan mulai sadar kalau semua ini sudah membuatnya gila secara perlahan-lahan.

-

-

Tidur siang sampai sore, aku turun ketika bangun karena ingin mengambil air ke dapur. Pas saja kulihat Mas Iwan juga baru pulang kerja, dan seperti biasa dia pergi ke dapur menemui istri keduanya.

"Mas, mana?" tagih si madu babu.

"Maaf Ni, tapi Mas gak berhasil. Bos Mas gak bisa minjemin."

"Hah gak berhasil katamu? Terus aku gimana dong? Besok 'kan aku mau ke rumah Ibu Mas, aku malu kalau cuma pakai daster begini, terus aku juga 'kan mesti bawa oleh-oleh, apa kek. Masa iya aku ke sana cuma bawa tangan kosong," protesnya.

"Ya gimana Nia, Mas juga gak bisa apa-apa. Masa iya Mas harus maksa."

"Ah kamu sih lagian duit gaji pake diserahin semua ke Mbak Intan. Tegas kenapa sih Mas? Kamu itu suami, kamu yang harusnya ngatur rumah tangga kita, bukan dia. Kamu tahu? Tadi Mbak Intan habis belanja banyak banget, Mas. Sementara aku? Masa minta duit buat beli sepotong baju aja kamu gak bisa kasih."

Hmmm ngadu rupanya dia. Tapi biarin, mau ngadu sampe mulutnya berbusa pun gak akan ada gunanya, karena Mas Iwan tentu lebih takut padaku.

Untunglah dulu aku pintar. Sehari setelah Mas Iwan dan si madu babu itu menikah kualihkan surat kepemilikan rumah ini jadi atas namaku. Dia kubawa ke notaris dan tanda tangan dalam keadaan sadar sesadar-sadarnya karena dia tahunya saat itu aku sedang membuat surat perjanjian pernikahan bukan sedang membuat surat pengalihan kepemilikan rumah.

Setelah surat balik nama itu keluar barulah kutunjukan pada mereka, dan kujadikan senjata supaya Mas Iwan tak banyak tingkah atau membantahku, karena risikonya ya ... dia harus siap didepak dari rumah ini.

"Ck udahlah Nia. Gak usah nyenggol-nyenggol Intan, biarin aja dia mau belanja kek atau mau apa kek. Males Mas debat sama dia. Kamu ke rumah ibunya entar ajalah, bulan depan. Bisa 'kan?"

"Gak bisa Mas, di sana mau ada acara ulang tahun anaknya sodaraku besok, masa iya aku gak dateng."

"Udahlah cuma acara ulang tahun ini, gak penting-penting amat, bilang aja kamu sibuk ada acara di sini."

"Nggak, pokoknya aku mau dateng Mas. Enak aja kamu nyuruh-nyuruh aku gak usah dateng," tegas si madu babu.

"Oh ya udah. Terserah, kalau kamu maksa mau dateng ya silakan, Mas angkat tangan," pungkas Mas Iwan, dia terdengar menaruh gelas dengan kencang sebelum akhirnya naik ke atas.

Haha rasain. Pecah-pecah deh itu kepala. Kamu kira enak Mas punya istri dua?

Aku yang sedang sembunyi di dekat tangga gegas ke dapur setelah punggung Mas Iwan tak terlihat lagi.

Si Nia yang sedang kesal tengah menggerutu di dekat meja makan.

"Apa sih gak guna amat punya laki, masa minjem duit aja gak becus."

Aku tertawa kencang.

"Hahahaha kaciaaan deh, ada yang lagi kesel niih gara-gara gak dapat pinjaman, aduuh pusing banget pasti, padahal 'kan duitnya mau dipake buat beli baju bayuu hahaha. Makanya kalau gak punya duit itu ya kerja Nia, bukannya rebut laki orang terus suruh minjem duit ke orang lain, ck Niaaa ... Nia ...," sinisku seraya cepat pergi setelah mengambil segelas air.

"Mbak Intan, awas kamu ya. Tunggu pembalasnkuu!" teriaknya.

Bodo amat. Dasar madu babu.

Sampai di kamar kulihat Mas Iwan tengah duduk di ranjang sambil membuka kancing kemejanya.

"Tan, kamu habis beli baju apa? Banyak amat kayaknya," tanyanya. Entah cuma basa-basi atau memang beneran nanya.

"Iya, emang kenapa? Masalah?"

"Pas banget Tan, itu si Nia ngerengek mau beli baju baru katanya karena besok mau berkunjung ke rumah Bibimu, kasih dia sepotong kalau kamu beli banyak. Atau pinjemin aja gak apa-apa, biar dia gak ngoceh terus, pusing Mas dengernya."

"Apa? Gak salah kamu, Mas? Enak aja. Baju-baju itu sengaja aku beli buat dipake sama aku. Ngapain aku harus kasih atau pinjemin ke si Nia? Dih, ogah."

Mas Iwan menarik napas panjang, mungkin ia sedang berusaha untuk sabar.

"Loh apa salahnya Tan? Kalian ini 'kan sodara. Dan sama-sama istri Mas juga, itu artinya kalian punya hak yang sama," ucapnya pelan.

Aku menoleh tajam, "hak yang sama? Maksud kamu apa? Maaf ya Mas jangan pernah kamu samakan aku sama dia," tegasku.

"Tapi Tan, kenyataannya emang gitu 'kan? Kamu gak bisa gini terus Tan, Mas tahu kamu marah dan gak suka sama Nia, tapi itu gak bisa merubah kenyataan kalau sekarang Nia udah jadi adik madumu, uang yang kamu belanjakan itu ada hak Nia juga. Kamu kasihlah dia sedikit, gak apa-apa meski kamu lebih besar asal dia diberikan haknya," tetangnya panjang lebar.

Aku menyeringai, "apa katamu, Mas? Duit yang aku belanjakan ini ada hak si Nia juga? Kamu pikir aku belanja pake duit kamu apa?"

"Lah terus? Selama ini aku 'kan yang nyari duit? Kalau bukan duitku, duit siapa lagi?"

Aku menggeleng-geleng sambil menarik satu sudut bibirku, "ck ck ck, hebat kamu Mas, hebaaat. Dasar gak tahu malu. Asal kamu tahu ya Mas, selama ini aku belanja, aku seneng-seneng, aku pergi ke sana kemari, healing, jalan-jalan dan sebagainya itu bukan pake duti kamu, tapi pake duitku sendiri, duitku sendiri, Mas! Hasil dari usaha kedai bakso. Jadi apa haknya si Nia atas itu? Makanya kamu tuh kalau mau selingkuh atau kalau mau kawin lagi tuh ngotak Mas, minimal carilah yang lebih pinteran dikit dari aku, biar kamu gak kebawa bodoh sama dia!" pekikku tajam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status