Share

Part 6

MADU KUJADIKAN BABU

Part 6

Aku ngikik sampe nyeri kulit perut. Apa dia kata? Biasanya istri pertama yang menderita? Ya itu 'kan biasanya, kalau dalam ceritaku ini nggak ada yang namanya istri pertama menderita. Yang ada istri kedua akan selalu tersiksa sampai gila. Hahaha.

"Apaan sih Ibu, Mas Iwan itu suami Nia, masa Ibu ngomongnya gitu." Si Nia protes.

"Ck susah emang ya ngomong sama kamu. Percuma. Dikasih tahu malah ngeyel, entar kalau kamu gila baru deh tuh nyesel."

Bi Kokom yang sedang kesal akhirnya bangkit. Aku buru-buru balik ke depan sebelum Ni Kokom lewat.

"Bi, kalau gitu Intan permisi dulu ya," pamitku pada Bi Lina.

"Oh iya Tan, hati-hati. Kamu yang kuat ya, gak usah banyak pikiran." Bi Lina menepuk pundakku.

Aku paham maksud ucapannya. Memang itu yang selalu Bi Lina ucapkan padaku tiap kali kami bertemu. Dia selalu menyuruhku sabar dan kuat karena Bi Lina paham, walau bagaimanapun tak ada yang namanya pernikahan poligami baik-baik saja. Salah satunya entah itu siapa pasti akan ada yang merasa berat, lebih-lebih suamiku berpoligami dengan sepupuku sendiri.

Bi Lina pasti sangat mencemaskanku. Aku sangat tahu itu. Dulu, saat Mas Iwan dan si Nia akan menikah, Bi Lina juga menentangnya bahkan sampai nggak datang ke rumah Bi Kokom saat Nia dan Mas Iwan akad.

Walau hanya pernikahan siri, tapi Bi Lina bilang dia akan sangat malu kalau datang ke sana.

"Bibi gak usah khawatir, Intan udah jauh lebih kuat kok." Ekor mataku menatap si madu babu yang baru saja keluar.

"Iya, Tan." Bi Lina mengulas senyum.

Aku gegas membuka pintu mobil. Sejurus dengan itu si madu babu juga nyerobot ke pintu sebelahnya.

"Eh eh, mau apa kamu, hah?"

"Ya baliklah, pake nanya lagi. Mbak Intan mau balik 'kan?"

"Iya, tapi awas awas awas." Aku berjalan memutari mobil lalu menyingkirkan tangan si madu babu dari pintu mobilku.

"Aku emang mau balik, tapi aku gak sudi ya kamu nebeng di mobilku."

Si Nia menyeringai, "emang kenapa sih, Mbak? Mobil ini juga 'kan mobil suamiku," katanya tak tahu malu.

"Ya terus kalau ini mobil suamimu kamu ngerasa berhak naik gitu? Sadar diri dong Nia, mobil ini dibeli saat Mas Iwan menikah denganku bukan dengan kamu."

Mulut si madu babu mengatup-ngatup.

"Heh Intan! Gitu amat sih kamu sama si Nia? Tinggal juga bawa, apa susahnya?" serobot Bi Kokom tak terima.

Aku menoleh padanya, "maaf Bi, tapi Intan baru aja cuci mobil, males kalau Intan harus cuci mobil lagi sepulang dari sini. Mana harus dicuci 7 kali pula biar najis mugholadohnya pada rontok."

Bi Kokom terbelalak, matanya spontan melotot, "maksud kamu apa? Dikira si Nia itu anj*ng atau ba*i apa pake dikatain najis mugholadoh?!" sentaknya.

"Yaaa nggak beda jauhlah ya," tandasku seraya menutup pintu mobil.

Blak!

"Mbak! Mbak! Aku ikut wooy!" Si Nia teriak sambil memukul-mukuli kaca mobilku.

Bodo amat. Cepat kunyalakan mesin mobil dan melajukannya.

-

-

Sampai di rumah kulihat motor butut Mas Iwan sudah terparkir di halaman.

"Tumben itu laki udah balik, biasanya 'kan sampai Maghrib di kantor."

Gegas aku masuk, dia tengah asik menonton televisi rupanya.

"Mas, kamu udah balik? Tumben."

"Oh iya nih Tan, kepala Mas pusing banget jadi balik duluan aja, kerjaan Mas bawa ke rumah."

Aku mengerling, amit deh manja amat nih laki, baru kepala pusing aja minta balik duluan.

"Kamu bisa ambilkan Mas minum gak Tan? Mas haus ini, dari tadi belum minum."

Keningku mengerut, "kamu haus dan dari tadi belum minum, Mas? Ya ambillah, ngapain nyuruh orang? Dikira aku babumu apa," tandasku seraya gegas naik ke atas.

Sampai di kamar aku langsung membersihkan diri. Setelah itu turun lagi karena perut terasa lapar. Di tudung saji ada masakan si madu babu tadi pagi, dia masak tumis labu sama tahu goreng. Tapi lagi-lagi aku tak selera melihatnya, kupesan saja makanan kesukaanku di aplikasi ojek online. Dan tak butuh waktu lama makananku pun datang.

"Permisiii Bu Intaan."

"Iyaa." Mas Iwan yang menyahut. Dia lalu gegas bangkit ke depan.

"Makanan pesenan Bu Intan, Pak," kata si abang driver. Aku mengintip saja dari jendela. Terlanjur Mas Iwan yang menemui driver itu, biarin ajalah.

"Oh iya, makasih, Mas."

Dengan wajah berseri-seri Mas Iwan membawa plastik makanan itu masuk.

"Taaan! Intaaan!"

"Apa? Aku di sini."

Dia berbalik, tak menyadari sejak tadi aku di dekat jendela rupanya.

"Eh ini makanan pesenan kamu. Kamu mau makan ya?"

"Iya, laper."

Kuambil plastik makanan itu dari tangannya dan gegas membawanya ke meja makan. Dia mengekor.

"Widiih pesen apa kamu Tan? Kebetulan nih Mas juga laper," tanyanya antusias sambil kemudian mengelus perut.

Aku yang tengah bersemangat membuka plastik akhirnya berhenti.

"Apa sih kamu? Ini makanan buat aku bukan buat kamu. Enak aja."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status