Share

Part 7

MADU KUJADIKAN B4BU

Part 7

"Loh tapi Tan, Mas juga laper ini, belum makan siang karena tadi pagi duit bensin Mas malah dipinta sama si Nia buat ongkos ke rumah ibunya. Bagi dikit ya Tan, Mas mohon."

"Enggak! Enak aja. Mau kamu udah makan kek, mau belum makan kek, aku gak peduli. Salah sendiri duit jatah bensin dikasih ke si Nia, jadinya rasain tuh akibatnya."

"Ya ampun Tan, kamu kok tega sama, Mas? Mas lagi sakit ini."

"Dih bodo amat, lagian kalau kamu laper makan aja tuh tumis labu siam bikinan istri mudamu, katanya masakan dia paling enak sedunia 'kan?" ketusku sambil mulai makan rice bowl pesananku.

"Emmm, ya ampun ini sih rasa sapi bakarnya enak banget, ah nyesel cuma pesen dua, tahu gitu aku pesen tiga tadi," seruku. Sengaja aku menunjukan ekspresi yang agak lebay biar pria gak tahu malu itu ngeces.

Dan benar saja, Mas Iwan yang masih mematung di dekatku meneguk ludah sambil memegangi perutnya.

"Bagi dikitlah Tan, Mas pengen nyobain."

"Ogah, tuh makan aja tumis labu siem." Kuseret mangkuk tumis labu siam itu ke depannya.

"Tapi Mas bosen makan makanan begitu terus Tan, sekali-kali kasihlah Mas makan rice bowl, itu juga 'kan rice bowlnya ada dua," bujuknya lagi.

"Nggak. Aku bilang nggak ya nggak. Kamu paham gak sih?" Aku ngegas.

Akhirnya Mas Iwan diam. Mau tak mau juga akhirnya dia mengambil nasi dan tumis labu itu ke dalam piringnya. Aku senyum kecut saja, rasain kamu Mas.

Andai kamu setia dan bisa memegang erat janji kita, mungkin sekarang kamu masih kulayani dan kuperlakukan dengan baik seperti saat awal menikah.

Sayangnya kamu malah membuat penyakit dalam rumah tangga kita, jadi sekarang kamu terimalah akibatnya.

"Hoeekk! Cuih cuih cuih. Tan, ini kok rasanya gini?" Mas Iwan melepeh makanan yang baru saja dimasukannya ke mulut.

"Apaan sih jorok amat. Gini gimana sih?" Aku kesal.

"Ini gak kayak tadi pagi, apa basi kali ya Tan."

"Masa?"

"Iya, coba deh kamu cicipi sedikit," katanya sambil mendorong mangkuk tumis labu siam itu ke dekatku.

"Dih, ogah." Kudorong lagi mangkuk itu ke dekatnya.

"Asem banget Tan, iya nih kayaknya udah basi ini tumis labu siamnya."

"Telat ngangetin kali, ini 'kan udah sore, istri kamu itu masak tadi pagi, ya iyalah wajar basi," responku santai, sambil terus kulahap makananku.

"Apa iya iya? Hhh lagian kemana sih itu si Nia? Masa pergi ke acara ulang tahun belum datang juga sampe sekarang. " Mas Iwan mulai menggerutu kesal. Dia lalu membuka ponselnya dan mulai mengetik sesuatu. Mungkin dia mau mengirim pesan pada si madu babu itu.

Ah bodo amat. Kuteruskan saja melahap makananku hingga habis tak tersisa.

"Aaaah kenyaaang." Aku bersender ke badan kursi sambil memegangi perut yang sudah penuh.

Mas Iwan menoleh, "kamu beneran habisin semuanya Tan? Cepet amat."

"Ya iyalah dihabisin semua, buat apa juga di sisain?" ketusku.

"Kirain kamu mau sisain buat Mas Tan, beneran laper banget ini, gimana ya?"

"Ya gimana? Masaklah sendiri, selingkuh aja kamu bisa masa masak gak bisa."

Mas Iwan menarik napas panjang, tanpa bicara lagi ia lalu bangkit dan gegas jalan ke arah kulkas.

"Tapi di kulkas gak ada apa-apa Tan, cuma ada air putih doang. Terus Mas masak apa ya?"

Aku mengerling, "ya apa kek cari, bawel amat. Di belakang rumah 'kan banyak rumput Jepang sama daun Akasia, masak tuh buat lauk kamu."

"Ya ampun Tan, kamu kalau ngomong kok gitu. Sa-dis amat," protesnya.

"Lah terus?" tandasku seraya gegas bangkit dan melengos pergi dari hadapannya setelah merguk segelas air.

Baru saja aku sampai di tengah-tengah anak tangga, si madu babu datang.

"Maas, kamu udah di rumah?!" teriaknya.

Mas Iwan langsung muncul dari dapur.

"Nia, lama amat sih kamu pergi. Mas hampir ma*i tahu karena kelaparan."

"Apa sih baru aja dateng udah diomelin. Tadi itu aku juga pengen balik buru-buru Mas, tapi Mbak Intannya malah ogah ngasih tebengan. Alhasil aku jadi harus naik angkot, kamu 'kan tahu jarak rumah Ibu ke sini lumayan jauh."

"Ah alesan terus. Buruan masak buat Mas, laper ini."

"Loh bukannya di meja ada tumis labu siam, Mas?"

"Gak ada, basi. Kamu sih dibilangin jangan lama-lama malah sampe sore begini. Ngapain aja sih di sana?"

"Iya iya maaf. Tapi aku gak bisa masak karena bahannya udah gak ada, Mas."

Mas Iwan menggosok kepala, "hadeeh terus ini perut Mas gimana?"

"Ish ya udah bentar."

Si Nia pun tiba-tiba muncul di bawah tangga. Dia cepat naik menghampiriku.

"Nah kebetulan kamu ada di sini, Mbak. Minta duit buat beli lauk, Mas Iwan laper katanya." Tanpa basa-basi si madu babu membuka telapak tangannya padaku.

"Duit katamu? Jangan harap!" sengitku.

Aku berbalik badan hendak meneruskan langkah tapi cepat ditarik lagi oleh si madu babu.

"Tunggu dulu Mbak, aku mau minta duit ini, Mas Iwan laper, tumis labunya basi, jadi aku harus masak masakan baru," katanya.

"Gak. Enak aja, salah siapa kamu telat balik? Basi 'kan tuh makanan, mubazir."

"Halah udahlah Mbak, aku males debat. Minta goceng aja sini, aku mau beli telor dua biji," paksanya sambil terus membuka telepak tangan di depanku.

Kesal karena terus dipaksa, akhirnya kurogoh saku celanaku.

"Tuh cuma ada seribu perak," ketusku sambil kutaruh seribu perak itu di atas telapak tangannya.

Dia melotot, "seribu perak? Kamu gila apa gimana sih, Mbak? Masa seribu perak sih. Cukup buat apaan seribu perak?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status