Share

Part 5

MADU KUJADIKAN BABU

Part 5

Mas Iwan menyeringai. Dia baru akan bicara saat aku kembali menyelanya.

"Enak aja main minta, makanya suruh dong istri kamu itu nyari duit sendiri. Jangan bisanya cuma minta-minta, modal lobang doang mah kambing juga bisa," pungkasku sebelum akhirnya aku masuk ke kamar mandi.

Bikin gedeg aja emang. Aku yang belanja masa si madu babu yang harus pake bajunya. Idih amit-amit, walau andai semua baju si babu itu kebakar dan cuma ada bajuku di dunia ini yang tersisa, gak akan sudi aku minjemin dia bajuku, apalagi ngasih.

Lagipula gak peduli bajuku dibeli sama duit siapa, yang jelas duit yang udah masuk ke rekeningku haram hukumnya dikeluarkan untuk mereka berdua.

Tega? Biarin aja, salah siapa mereka berani mengkhianatiku?

Bar-bar? Biarin, yang pernah merasakan bagaimana sakitnya dikhianati tentu paham dengan kondisiku saat ini.

***

Esok hari.

"Panjang umurnya ... panjang umurnya ... panjang umurnya serta mulia, serta muuuliiiaaa serta muuuliiiaaa."

Kudengar dari kejauhan mereka mulai bernyanyi. Aku agak telat datang rupanya gara-gara tadi ikut kelas yoga dulu.

"Putri Sayang, maaf ya Kak Nia belum ngasih hadiah, tadi hadiahnya malah ketinggalan di rumah soalnya. Nanti kalau Kak Nia ke sini lagi Kak Nia bawa deh," kata si madu babu saat aku sedang membuka sandalku di teras.

Mereka belum menyadari kedatanganku karena di dalam riuh oleh anak-anak yang hadir di acara itu.

"Yaah. Iya deh nggak apa-apa."

"Assalamualaikum," ucapku.

"Waalaikumsalam," jawab mereka serentak.

Sontak saja kulihat si Nia dan ibunya terkejut.

"Mbak Intan? Ngapain kamu ke sini?" tanya si madu babu, wajahnya langsung terlihat tak santai.

"Kenapa? Gak boleh? Aku cuma mau ngasih hadiah buat Putri. Ini, Sayang." Kuserahkan kado berukuran besar yang sengaja kubawa itu.

"Waaah asiik hadiah dari Kak Intan besar banget." Putri bersorak senang.

"Duh, makasih ya Tan, repot-repot banget pake bawa kado segala, padahal mah datang ya datang aja." Bi Lina ibunya Putri berbasa-basi.

"Gak apa-apa cuma hadiah kecil kok, Bi," balasku pendek.

"Kirain Bi Lina kamu gak akan datang Tan, kemarin undangannya juga mendadak Bibi sampein lewat si Nia cuma di telepon, maaf ya," katanya lagi.

Aku manggut-manggut. Oh jadi Bi Lina sebenernya ngundang aku tapi gak disampein sama si madu babu itu toh? Hh dasar kurang ajar.

Bi Lina memang tak seperti Bi Kokom ibunya si madu babu, Bi Lina orangnya baik walau usianya masih belum tua-tua amat. Beda sama Bi Kokom yang meskipun lebih tua dia jahatnya keterlaluan.

Dan sialnya, saat kedua orang tuaku meninggal karena kecelakaan ketika usiaku masih SMP, aku dan adikku malah diurusnya sama Bi Kokom. Bukannya Bi Lina nggak mau ngurus, tapi emang Bi Kolomnya yang kekeuh mau ngurus kami. Alesannya sih karena kasihan sama almarhumah adiknya yang tak lain adalah ibuku sendiri, tapi belakangan, ketika dewasa ini aku tahu alesan dia kekeuh mau ngurus kami adalah karena harta peninggalan kedua orang tuaku lumayan banyak.

Semua itu atas nama aku dan adikku, dan hanya bisa cair atau bisa dijual untuk kepentingan kami berdua, sebab itulah sekarang harta peninggalan kedua orang tuaku sekarang habis, karena pelan-pelan dijual semua oleh Bi Kokom dengan alasan untuk biaya hidup dan sekolah kami.

"Gak apa-apa kok Bi, ini Intan datang juga karena tahu dari sosmed, Nia gak ada sampein undangan soalnya," balasku seraya menatap si madu babu dengan ekor mata.

"Oh ya?" Bi Lina langsung menoleh ke arah si madu babu yang tengah menatapku kecut.

"Maaf Nia lupa, Bi," responnya kemudian.

"Oalah kamu tuh Nia, untung Intan tahu dari sosmed, jadi bisa datang ke sini."

Si Nia mengerling.

"Kamu sepertinya banyak berubah ya Tan." Bi Lina bicara lagi sambil meneliti penampilanku dari atas hingga bawah.

"Iya ih, pangling banget kamu Tan, banyak duit nih pasti bos bakso," sahut Bu Romlah tetangga Bi Lina yang juga tengah duduk bersama kami.

"Masa sih, Bi? Perasaan Intan gini-gini aja deh."

"Enggak loh beda, badan kamu sekarang makin langsing berisi Tan."

"Oh ya? Syukur deh Bi, mungkin Intan lebih bahagia sekarang."

"Baju kamu juga bagus banget Tan, Bu Romlah bagi lungsurannya dong kalau ada, lumayan buat dipake anter cucu ke TK biar ganti-ganti," sahut Bu Romlah lagi.

"Hehe iya Bu, nanti Intan bawain ya yang udah gak kepakenya kalau ke sini lagi."

"Beneran loh, jangan lupa."

"Iya. Atau Bu Romlah kapan-kapan main aja ke rumah Intan, ajak Bi Lina juga, biar bisa milih langsung dari lemari."

"Eh beneran?" Mata Bu Romlah berbinar-binar.

Aku mengangguk, "beneran."

"Oke, nanti saya ke rumah ya. Kalau Bibimu gak bisa diajak, saya boleh kan ajak orang lain? Bu Ipah atau anak saya misalnya."

"Boleh boleh. Siapa aja boleh main ke rumah Intan."

Acara ulang tahun selesai. Semua tamu undangan bubar. Kecuali aku, si Nia dan ibunya.

"Nia, apa-apaan ini?"

"Apa sih, Bu? Pake tarik-tarik," protes si madu babu.

"Lihat itu si Intan. Kok bisa dia pake baju bagus sampe dimintain lungsurannya sama tetangga, sementara kamu pake yang lusuh, kucel, dekil begini? Gak malu kamu?"

Kudengar si madu babu tengah diomeli ibunya di ruang makan Bi Lina.

"Malulah Bu, tapi mau gimana lagi? Yang bagus cuma ini."

"Baju belel begitu kamu pake. Pake baju itu yang warnanya ngejreng biar kelihatan mahal dan mewah. Lihat itu si Intan, mana mukanya dia itu kinclong banget, sampe semua orang pada pangling lihatnya, lah kamu?"

"Nia juga 'kan udah bilang Bu, Mbak Intan itu banyak berubah sekarang, sejak Nia nikah sama Mas Iwan hidupnya jadi bebas. Gimana gak bebas? Yang ngerjain kerjaan rumah itu semua Nia. Mana Nia udah kayak babu aja, sehari juga cuma dijatah 20 ribu. Bayangin Bu, gimana pusingnya Nia ngatur duit segitu kecilnya di tengah harga-harga yang makin hari makin menjerit. Nia 'kan udah sering bilang sama Ibu kalau hidup Nia di sana itu udah kayak di neraka. Tiap hari isinya siksaan batin," terang si madu babu panjang lebar.

"Apa? Jadi selama ini kamu cerita itu serius?"

"Lah Ibu kira? Nia tuh serius Bu, Nia cerita karena gak ada lagi tempat bersandar. Mas Iwan juga gak bisa apa-apa karena kalau dia ngelawan bisa-bisa kami didepak dari rumah itu." Si Nia kesal.

"Ah parah kalau gitu urusannya. Terus satu tahun ini kamu kemana aja Nia? Udah tahu laki model begitu, kok kamu masih aja pertahanin sih? Udah mending cerai aja cerai, balik sini ke rumah Ibu. Ngapain juga kamu di sana kalau cuma jadi babunya si Intan," cerocosnya panjang lebar.

Aku ngikik. Kasihaaan, kenyataan tak sesuai harapan.

"Apa sih Ibu? Kok malah jadi nyuruh cerai? Ogah. Emang dikira gampang apa jadi janda? Lagian Nia juga udah terlanjur cinta sama Mas Iwan, Bu. Mas Iwan itu orangnya baik, cuma Mbak Intannya aja yang suka bikin kesel," tolak si madu babu.

Dih amit, bucin amat, pake ngata-ngatain aku pula.

"Cinta dan baik juga buat apa kalau dia sebagai laki gak bisa tegas dan adil Nia? Jangan bodoh dong kamu. Dulu Ibu setuju dia sama kamu karena Ibu pikir hidup kamu bakal enak. Biasanya 'kan istri kedua selalu jadi yang utama. Dalam cerita-cerita novel juga biasanya istri tua yang menderita, ini kok malah kebalikannya sih?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status