Share

Part 2

MADU KUJADIKAN BABU

Part 2

"Loh Mbak, Mbak. Ini gimana duitnya kurang buat belanja!" teriaknya.

"Terserah."

"Heuh dasar Mak Lampir, aku racun baru tahu rasa kamu," dengusnya sambil kulihat dia buru-buru pergi keluar.

"Mas, kamu kok gitu sih?! Setiap aku minta dibela kenapa kamu selalu berakhir marah-marah dan seolah gak peduli gini? Aku tuh capek dan stres Mas, tiap hari cuma dijadiin babu dan cuma dijatah 20 ribu sehari. Kamu gak kasihan apa sama aku? Aku ini istrimu Mas, istrimu, bukan babu! Kamu jangan diem aja dong."

Aku yang berniat menghirup udara segar di balkon atas mendengar wanita itu tengah mengomel di teras rumah.

"Ya terus Mas harus gimana Nia? Kamu 'kan tahu sendiri kalau Mas gak diem, membantah atau andai Mas ngebela kamu di depan Intan, itu malah ribet urusannya. Dia bisa depak kita dari rumah ini, kamu paham?" respon Mas Iwan.

Suaranya terdengar kesal. Ya bagaimana tidak kesal? Kerjaan kantornya masih menumpuk, ditambah lagi si Nia yang mulai bawel nuntut ini itu.

"Terus maksud kamu semua ini salahku gitu?"

"Bukan salahmu, tapi ini pilihanmu. Udahlah Nia stop. Sana pergi belanja, bikin sarapan. Mas harus berangkat pagi-pagi."

"Gak Mas, 20 ribu cukup buat apa? Beras aja yang paling murah di warung harganya udah 12 ribu, bawang merah habis, garem habis, gula juga habis."

"Ck, ya udah beli apa aja. Bikin nasi goreng kek atau makan sama kerupuk seperti biasa juga gak apa-apa. Pusing amat. Sana, jangan bikin Mas tambah pusing nih, nanti kepala Mas bisa pecah."

Kesal tak direspon dengan baik, kulihat akhirnya Nia pergi membuka pagar rumah. Mungkin dia pergi ke warung karena tak lama si madu babu itu kembali lagi dengan sekantong beras di tangannya.

"Nah gitu dong, kalau kamu semangat dan gak bawel 'kan Mas juga semangat nanti kerjanya." Kudengar Mas Iwan bicara lagi.

"Iya tapi aku gak mau tahu ya Mas, nanti sore aku minta duit dari kamu buat beli baju baru. Besok aku mau berkunjung ke rumah ibu soalnya. Malu kalau baju-bajuku lusuh begini, belum lagi bedak sama lipstikku juga udah lama habis."

Mas Iwan tak merespon.

"Mas! Kamu denger aku gak sih? Kamu itu harus adil dan tegas mulai sekarang, aku ini juga istri kamu. Kalau kamu gak bisa ngasih semua duit gajimu sama aku, minimalnya kamu kasihlah aku duit buat nafkah pribadi, jangan cuma dijatah 600 ribu sebulan sama Mbak Intan. Kamu mau aku cepet tua gara-gara ngebatin terus, hah?!" Nia mengencangkan suaranya.

"Ya tapi gimana caranya Mas ngasih kamu duit Nia? Kamu 'kan tahu gaji dan duit lemburan Mas masuk ke rekening Intan semua," respon Mas Iwan akhirnya.

"Ya gimana aja caranya Mas, kamu pake akal dong. Kasbon dulu kek, pake uang kas kantor dulu kek, atau apa gitu, bayarnya 'kan bisa potong gaji, jadi gaji yang masuk ke rekening Mbak Intan sisa kamu bayar utang, kalau gitu 'kan gak bakal ribet. Gak perlu ketahuan Mbak Intan juga. Gak ngotak amat sih jadi laki," balas Nia makin menjadi.

"Ck kamu nih kalau ngomong sembarangan aja."

"Ya habis kamunya ngeselin sih, Mas."

"Ya udah iya iya sana, entar Mas coba pinjem ke bos. Gak usah pake marah-marah 'kan bisa. Kalau Intan denger bukannya kamu dapet duit malah jadi ribet urusannya."

"Nah gitu dong Mas, itu baru namanya laki."

Si Nia terdengar membuka pintu dan masuk ke dalam. Sementara aku cepat mengirim pesan pada Ikram.

[Kram, entar kalau suami aku minta kasbon atau minjem duit dari kantor jangan dikasih ya, oke.]

[Oke, nyonya besar.]

[Jangan lupa juga, kalau banyak kerjaan tambahan, kasih job ke suamiku lagi.]

[Gila. Kerjaan yang kemarin aja banyak Tan, belum dia setorin.]

[Makanya itu biar dia kerjanya gak males-malesan, kasih terus kerjaan tambahan, tapi inget, duitnya selalu transferan ke aku. Oke]

[Oke dah. Emang susah ngadepin emak-emak.]

Aku ngikik.

Setelah memastikan Mas Iwan gak akan dapat duit buat si Nia. Gegas aku turun ke bawah.

"Iya entar Nia dateng Bu, tenang aja. Tapi kalau untuk bawa kado mahal siiih ... kayaknya Nia gak bisa deh, Bu. Jangankan buat beli kado mahal, buat beli baju aja tadi Nia mesti ribut dulu sama Mas Iwan."

Kudengar si Nia sedang menelepon di dapur. Kuat dugaan sih pasti dia sedang menelepon dengan ibunya, siapa lagi?

"Ya beneran Bu, ngapain Nia bohong sih? Jadi maaf deh kayaknya Nia gak bakal bawa kado mahal buat si Putri, palingan bawa mainan 10 rebuan dari pasar, itupun kalau ada sisa duit, kalau nggak ya gak tahu deh," katanya lagi.

Oh si putri mau ulang tahun kayaknya. Putri itu adalah sepupuku juga. Usianya masih 5 tahunan kalau nggak salah. Tapi aku kok nggak diundang ya? Apa mereka sengaja gak undang aku?

Aku kembali naik akhirnya. Hari ini aku ada kelas Yoga tapi masih kepagian, alhasil aku rebahan lagi aja sebentar di atas kasur sambil membuka majalah fashion. Tak lama Mas Iwan masuk, dia lekas pergi ke kamar mandi setelah membereskan berkas-berkas kerjanya ke dalam tas.

"Tan, bisa tolong ambilkan kemeja Mas yang warna dongker? Masih di tempat setrikaan kayaknya. Mas mau ada rapat hari ini," titahnya enteng sambil menggosok rambut yang basah.

Aku mengecap bibir, "loh kok aku sih, Mas? Yang ngerjain semua kerjaan rumah 'kan si Nia, jadi suruh aja istri mudamu itu buat ngambil baju, ngapain nyuruh aku?"

Mas Iwan menarik napas panjang, "ayolah Tan, tolonglah, Nia lagi sibuk di dapur itu. Sedang masak buat sarapan."

"Terus?"

"Bisa tolong ambilkan kemejanya? Mas harus buru-buru ini."

"Nggak! Aku males. Lagian kedua kaki dan tanganmu juga masih kuat 'kan? Ngapain nyuruh-nyuruh aku? Ambil sendiri dong," ketusku.

"Loh kok kamu sekarang gini Tan? Dulu kamu paling semangat kalau nyiapin kemeja buat Mas kerja."

Aku menoleh dengan senyuman miring, "ya tapi itu 'kan dulu Mas. Lupa kamu kalau udah setahun yang lalu semuanya berubah? Tepatnya sejak belut buntetmu itu masuk ke lobang yang lain," tandasku sebelum akhirnya aku bangkit dan melengos pergi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status