Kisah seorang gadis yang terjebak dalam dunia malam. Mira tak pernah menyangka akan menjadi tulang punggung keluarga setelah kedua orang tuanya wafat. Tak pernah terbayangkan bahwa paman kaki panjang itu adalah maut baginya. Andres membuat dirinya hampir terjual di tangan lelaki hidung belang. Hampir saja semua itu membuatnya menyesali hidupnya. Hingga seorang pria muncul untuk menolongnya. Pria itu Ferdian. Dia mengira Ferdian tak ubahnya seperti yang lain. Tapi dia hanyalah berpura-pura menjadi pria brengsek untuk bisa membalaskan dendam atas kematian Vivin adiknya. Perjalanan pertemuan mereka menjadikan cerita ini menarik. Mira terselamatkan karena Ferdian yang jatuh cinta kepadanya. Pria kaya itu menyelamatkan hidupnya.
View MoreMira memandang dengan mata yang berkaca-kaca. Kedua orang tuanya berada dalam isolasi disebuah rumah sakit. Dengan ventilator yang terpasang di wajah mereka. Pemandangan sedemikian rupa hanya dilihatnya melalui handphone milik tetangganya yang keluarga mereka juga berada dalam satu rumah sakit yang sama. Sehingga Mira meminta tolong kepada mereka untuk memvideokan kedua orang tuanya. Mira tak mungkin untuk menjenguk mereka. Pertama, karena dirinya dicurigai juga terinfeksi virus mematikan itu. Sehingga ruang geraknya dibatasi. Kedua karena dia harus mengurus kedua adiknya berusia tujuh tahun dan dua tahun. Dan yang terakhir adalah Mira tak punya cukup uang untuk bisa datang ke rumah sakit itu.
Sebelumnya Mira sebagai mana kebanyakan orang yang tak percaya. Bagaimana virus yang seperti tak pernah ada ini tiba-tiba menjadi badai yang besar. Mira tidak terlalu menggubris kehebohan yang ada. Hingga suatu hari Ayahnya jatuh sakit. Semakin hari kondisi ayahnya tidak membaik dan berlanjut dirawat di Rumah Sakit. Tak lama kemudian Ibunya jatuh sakit dan berakhir dirawat di Rumah Sakit juga. Mereka dinyatakan positif terjangkit covid. Mira harus menerima kenyataan itu, mengurus semua keperluan dirinya dan kedua adiknya.
Gadis itu bahkan belum beranjak dewasa. Usianya masih 14 tahun. Wajahnya yang imut membuat siapapun suka melihatnya. Rambut indah menjuntai sepinggang menambah kecantikannya.
Gadis manis itu mengikat rambutnya dengan ikatan ekor kuda. Sementara adiknya menangis di atas dipan. Tangannya dengan sigap meraih adiknya dan menggendong dipinggangnya.
"Cup, cup , cup... sebentar kakak buatkan susu yah...Ais duduk sini dulu..." Mira mengambil botol susu dan mengisinya dengan susu formula, menambah air hangat dan mengocoknya sebentar. Ais menghisap silicon berwarna bening itu yang membuat tangisnya terhenti. Lalu Mira pun membawa Ais ke dipan kembali agar Ais bisa melanjutkan tidurnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. Mira telah membuat telur dadar dan meletakkannya diatas meja makan. Matanya menangkap Adel yang menggeliat ditempat tidur. Mira mendekati Adel dan menggerakkan tubuh kecil itu agar segera bangun.
"Adel...bangun yuk...!" Mira sedikit mengguncang tubuh Adel. Bukannya bangun Adel malah menggeliat lagi dan menyembunyikan wajahnya dibalik bantal.
"Adel...!" Mira menggeser bantal itu dan mencubit pelan pipi Adel. "Huuh, kakak..!" Adel menggerutu.
"Ayuk cepet bangun! Sarapan sama kakak yuk!"
Adel bangkit dan pergi ke kamar mandi.
"Kak! Odolnya habis..." Adel meneriaki Mira dari kamar mandi. Mira yang sedang menyuap ke mulutnya berhenti dan meletakkan kembali suapannya. Ia ingat jumlah uang disaku bajunya tidaklah cukup untuk membeli pasta gigi.
Mira menghampiri Adel.
"Sini dek odolnya!" Mira meminta bungkus odol yang sudah tipis itu. Iapun memencet pipih pembungkus odol sehingga pasta yang masih tersisa sedikit keluar. Lalu mengusap dengan sikat gigi yang dipegang Adel.
"Nah, masih ada kan?!" Mira memberikan sikat gigi itu. Adel tersenyum dan mulai menggosok gigi.
"Gosoklah yang bersih Adel!" Pesannya.
Mira masuk ke kamar orangtuanya. Ini adalah hari ke dua belas semenjak orangtuanya ada di Rumah Sakit. Mira membongkar lemari pakaian ibunya, barangkali menemukan sesuatu. Mira mencari sesuatu berupa uang atau barang berharga yang bisa dijualnya. Karena seluruh persediaan sudah menipis. Kalau soal bantuan, tadinya bantuan itu mengalir cukup banyak diawal musibah itu, tetapi semakin kebelakang hanya beberapa orang saja yang masih konsisten mengirimkan bantuan. Mereka adalah tetangga dan juga bantuan dari pemerintah. Bahkan sekarang uang itu tak lebih dari dua ribu rupiah lagi.
Mira menggigit bibirnya saat tak menemukan apapun. Karena penasaran, Mira mengangkat spring bed milik orang tuanya. Barangkali ada simpanan yang tersembunyi disana. Tapi nihil. Mira masih tak menemukan apapun.
Mira terpekur, tubuhnya merosot di dinding kamar. Ia mendekap lututnya menumpu dagunya diatas lututnya. Menatap bingung pada kamar yang telah porak poranda. Kelelahan menerpanya, ia sangat letih dan berat.
Menetes air matanya mengingat kedua orang tuanya. Selama ini dia hanya tahu meminta dan meminta. Tak pernah terfikirkan dari mana uang didapatkan. Baginya itu tampak mudah dan selalu tersedia. Sekarang barulah ia merasakan, uang tidaklah tersedia begitu saja.
Sekarang apa yang akan dia lakukan jika uang itu benar-benar tak ada?
Mira menggeleng. Bagaimana jika susu Ais habis? Bagaimana jika beras habis? Bagaimana jika .. bagaimana jika... Mira menangkup kepalanya dengan kedua lengannya. Dia tak sanggup berfikir.
Tak pernah terfikir hal-hal semacam itu.
Terdengar suara Ais yang merengek berjalan kearahnya. Mira melihat Ais dengan pandangan kosong. Hingga Ais memeluknya, mengelus air mata yang mengalir di pipinya.
Ais seperti mengerti apa yang dirasakan Mira. Tangan mungil itu mengelus lembut buliran air mata Mira.
"Kakak... Ais mau mamam..." Mira tersenyum, tadi dia belum menyuapi Ais karena Ais teridur lagi setelah minum susu."Ais mau mamam pake telol ya kak..." Mira geli dengan pelafalan Ais yang belum bisa melafalkan huruf "r". Diapun menangkup pipi Ais yang gendut dan menciumnya.
"Tok tok tok !"
Mira berlari ke ruang tamu. Biasanya ketukan itu memiliki arti rezeki yang akan memasuki pintu rumahnya. Mira mengintip lewat teralis jendela di samping pintu. Tante Vina ?
"Mira ?!"
"Sebentar Tante, Mira lagi buka pintunya nih..!"
Tante Mira masuk sesaat kemudian.
"Mira..." Tiba-tiba tante Vina memeluk Mira.
"Tante... Mira ODP Tante..." Mira mendorong tubuh Tante Vina agar menjauh. Tapi Tante Vina malah mendekapnya erat. Terdengar Tante Vina seperti menangis.
"Deg!" Apakah khabar buruk? Mira membatin. Mira membiarkan Tante Vina melanjutkan dekapannya hingga beberapa lama.
"Ada apa Tante ?" Mira membuka suara dengan sedikit bergetar. Tante Vina mengajak Mira duduk di kursi tamu sambil terus memegangi tangan Mira. "Tante...?"
"Ya Tuhaaan..., kenapa Tante susah sekali ngomong nya...ya Tuhaaan..." Bukan berbicara, Tante Vina justru lebih keras lagi menangis.
Sekarang Mira benar-benar yakin bahwa itu adalah berita buruk. Bisa jadi tentang orang tuanya? Air mata Mira mengucur kembali.
"Maafkan Tante sayang... maafkan Tante.." Mereka berpelukan dan menangis bersama.
"Kapan Tante, Ayah meninggal?" Mira mengusap air matanya.
"Tadi malam Mir, jam dua malam,"
"Kalau Ibu? Gimana keadaan Ibu Tante?" wajah Vina lebih muram dan sedih. Tentu saja itu membuatnya sedih, karena dia tahu kondisi kakak perempuannya tidak juga membaik.
"Kita hanya tinggal berdoa dan pasrah Mir.” katanya.
Mira memeluk Tante Vina, Tante Vina adalah orang yang sangat perhatian terhadap keluarganya. Saat ini, Tante Vina yang selalu disibukkan dengan mengurusi Mira dan adik-adiknya.
Mira termenung, ia memikirkan tawaran Ferdian untuk bertemu dengan Tantenya dan juga adiknya.'Haruskah aku ceritakan semuanya? Menceritakan bagaimana aku hampir diperkosa si Botak lalu berakhir dibeli Ferdian?' Mira mengucek matanya, bibir tipisnya beberapa kali menjadi sasaran gigitannya sendiri. "Hei! Jangan mikirin yang enggak-enggak, aku udah bilang khilaf, tapi kamu masih diinget terus.""Hah? Maksudnya?""Tadi..."Ferdian menunjuk bibir Mira. "Kau menggigiti bibirmu, apa itu ciuman pertama kamu? Seolah kamu mengingat kejadian tadi. Nggak usah baperan, itu tak akan terulang lagi!" Wajah Mira bersemu merah, apa hal itu biasa dikalangan orang dewasa? Sehingga tidak segan-segan lagi untuk membahasnya? Itu sungguh memalukan baginya.Mira melengos, lalu bangkit meninggalkan Ferdian. Tapi Ferdian mengatakan sesuatu yang membuatnya berbalik melihatnya. "Oh ya, ini gaji bulan pertama aku bayar di mu
"Lagi?"Ferdian mengangguk. Tak ada cara lain karena ia sudah terlanjur mengatakan kepada ayahnya, ibunya dan juga Suroya. Apa jadinya kalau tiba-tiba mengatakan bahwa mereka sudah putus."Itu karena kau sepakat mengembalikan uang seratus juta itu hanya dengan berpura-pura menjadi pacarku.""Tuan Ferdian, apakah tidak ada cara lain?""Tidak Nona Mira, hanya itu yang bisa menyelamatkan dirimu dari hutang. Atau aku akan mengembalikan dirimu kepada Nyonya Cherry."Mira menyerah, ia tak bisa mengelak lagi."Oh ya, bagaimana dengan pakaianmu yang berantakan itu? Jangan sampai orang mengira aku melakukan hal-hal yang melampaui batas," cicit Ferdian yang tentu saja hal itu membuat Mira memutar bola matanya. Bukankah baru saja Ferdian melecehkan dirinya?*Mira memainkan ponsel yang baru saja diterimanya dari Ferdian. Bahkan Nomor pria itu sudah berada disana.Andai saja waktu itu dirinya sempat mengemas pakaian yang ada di rumah Elis, mungkin di
"Mira," Ferdian tercekat melihat Mira yang kacau balau. Matanya bengkak dan merah, begitu juga bibirnya seperti tersengat tawon. Rambutnya berantakan dan sebagian basah karena membasuh wajah, begitu juga pakaiannya terdapat noda lipstik di ujung kemeja dan lengannya, itupun sebagian basah karena air yang terciprat."Mira, maafkan aku," Ferdian menghampiri Mira dan menggenggam tangannya lembut. Tangan itu sangat dingin."Astaga, ayolah kemari aku buatkan minuman hangat untukmu," ajaknya sambil membimbing Mira ke meja kerjanya.Secangkir teh hangat telah berada di tangannya, lalu ia mengambil sendok untuk menyuapi Mira."Aku terlalu egois tadi, aku tidak bermaksud melecehkanmu tadi, itu karena aku tak punya cara untuk membuatnya pergi."Mira menerima suapan Ferdian."Bisakah aku kembali ke rumah tanteku? Aku sungguh ingin kembali," lirih Mira kepada Ferdian.Kalau Mira kembali ke rumah tantenya, bukankah peluang untuk bertemu Andres juga
"Aku memang berkepala batu untuk mencintaimu, dan aku akan lebih keras lagi dalam mencintaimu Ferdian, bukankah itu adil? Adil karena aku dulu pernah bersalah kepadamu."MataSuroya melirik Mira, ia bisa tahu bahwa Mira masih gadis ingusan dan akan merasa minder kalau ia memprovokasi gadis itu. Ia akan melakukan apapun untuk membuat gadis itu menyerah."Cinta macam apa kalau bertepuk sebelah tangan?""Hmm, kita lihat saja nanti. Kalian sepertinya masih baru saling mengenal. Lihatlah gadis itu, sangat gugup di dekatmu." celoteh Suroya. "Aku rasa kau hanya bisa menyentuh tangannya bukan?" Suroya malah ingin tahu sedekat apakah mereka."Benarkah?"Kali ini Ferdian berbuat nekat, dengan sekali gerakan ia memeluk Mira dan mencium bibirnya. Ia bahkan dengan sengaja melumatnya dengan rakus di depan Suroya. Ferdian memamerkan bagaimana ciumannya sangat intens kepada kekasih barunya.Mira yang terkejut tak bisa berbuat apa-apa karena kua
Ferdian menoleh kearah suara itu. Ah, ternyata adalah ibunda tersayang yang sedang mengalunkan suaranya. Padahal ia mengira bahwa Suroya yang akan datang menemuinya, ia sungguh sedang berakting seolah Mira adalah kekasihnya."Ehem, ehem," ibunya berdehem membuat Ferdian tersipu malu. Ini seperti senjata makan tuan."Kenapa ibu datang nggak nelpon dulu?" Ferdian mengomel."Emangnya Ibu harus selalu laporan kemana Ibu pergi, hah?" katanya sambil meletakkan kotak berisi kue-kue buatannya. Matanya mulai mencari sosok yang tadi dilihatnya sedang bermesraan dengan putranya. Ia sungguh datang disaat yang sangat tepat."Siapa namamu, Nduk?" Ibunya mendekati Mira."Saya Mira, Ibu.""Kamu bekerja disini?""Iya, Bu," jawabnya malu-malu, sesekali sudut matanya melirik Ferdian."Ooh begitu. Saya ibunya Ferdian, tidak perlu sungkan ya," katanya kemudian."Terimakasih, Bu," ujar Mira sedikit bergidik karena teringat bagaimana ibu Ferdian mendesak putran
Turun dari mobil, mata Mira tertumpu pada bangunan megah di hadapannya. Entahlah berapa lantai dan milik siapa gedung ini dia belum tahu pasti. Beberapa layar besar menghiasi sisi depan gedung tersebut. Sepertinya tayangan iklan beberapa produk ternama tampil dalam tayangan tersebut."Ayo, jalanlah dengan cepat!" Ferdian memerintah Mira.Mira mengikuti langkah lebar Ferdian setengah berlari. 'Katanya, dia harus berpura-pura seperti kekasihnya, tapi lihat saja cara berjalannya yang nggak tahu aturan' batinnya."Ah ya, kesini sebentar!" Ferdian menunggu langkahnya, lalu dengan cepat tangannya meraih telapak tangan Mira. Ia menggandengnya dengan santai. Beberapa orang yang melihatnya seperti mengalihkan pandangannya pada genggaman tangan mereka membuat Mira sedikit risih."Kak, aku malu," lirih Mira kepada pria itu."Kau malu, atau mau?" godanya.Mira menarik tangannya, memberengut karena kesal. "Apa yang akan mereka pikirkan nanti?"
"Ibu, kenapa aku harus menikahi dia?""Hai! Jangan sembarangan ngomong ya! Apa kamu masih mau bermain-main? Ingat umur Ferdian? Usiamu sudah tak muda lagi. Apa kamu nggak kasian dengan ayah dan ibumu?"Ferdian jadi semakin frustasi."Apa kamu tidak memikirkan kami? Kamu adalah anak satu-satunya, seharusnya kamu sudah memberikan cucu untuk kami." Ibunya semakin mendesaknya."Ibu, ibu nggak ngerti apa-apa. Kenapa sih Ibu terus ngomong? Coba ibu dengar dulu alasanku.""Tidak. Ibu sudah tidak mau dengar alasan apapun lagi. Kalau kamu masih tidak ada keseriusan dengan gadis ini, kamu akan ibu nikahkan dengan Vina. Oke?"Ferdian mendengkus kesal. Bagaimana bisa nama itu disebutkan lagi?"Ibu, dia masih baru mulai meniti karir. Jadi tolong beri dia waktu," ujarnya asal-asalan."Jadi, dimana dia bekerja?"Ferdian mendapatkan pertanyaan yang bertubi-tubi. Sungguh menyebalkan. Bahkan jawaban yang ia berikan semakin membuat ibunya
"Oke, kamu sudah tenang ya sekarang."Mira melirik Ferdian. Sebenarnya ia juga kasihan melihat Ferdian yang panik tadi, makanya ia berhenti menangis. Padahal lagi enak banget menangis meluapkan rasa kesal.Mengingat nama Andres dua benar-benar kesal dan trauma. Karenanya ia terpisah dengan keluarganya."Kak, aku rindu dengan Tante dan kedua adikku. Aku ingin sekali bertemu dengan mereka. Tapi Mira tahu Kakak nggak mengijinkan aku bertemu mereka. Dan lagi, Mira berjanji untuk memberi uang setelah mendapatkan kerja," ujarnya."Jadi kamu pergi dari rumah memang berniat untuk bekerja di kelab Cherry?" tanya Ferdian setengah membentak.Mira menunduk dalam. "Mira nggak tahu Kak, yang Mira tahu itu adalah kafe biasa.""Apakah Andres yang telah membawamu?"Mira mengangguk."Dimana kamu bertemu Andres?""Om Andres tinggal tidak jauh dari rumah Tante, Kak. Dia sudah seperti keluarga sendiri.""Bangsa*t! Jadi dia selal
"Berapa saudaramu?"Ferdian mengajak Mira ke sebuah minimarket. Ia kasihan dengan gadis itu dengan isi dompetnya yang hanya sepuluh ribu."Emm, kami tiga bersaudara Om," pelannya."Kau memanggilku Om lagi! Turunlah dari mobilku!" Ferdian menghentikan secara tiba-tiba karena Mira memanggilnya Om.Mira terhuyung, hampir saja terbentur dashboard."Tidak bisakah aku memanggilmu Kakak?" pinta Mira sedikit ragu.Ferdian menautkan alisnya. Panggilan itu membuatnya mengingat Vivin adiknya. Tapi mungkin itu masih lumayan daripada dipanggil Om, dia membenci Om Om yang identik dengan pria nakal'. Sebab, Mira memang bukan keponakannya."Baiklah, panggil aku Kakak. Aku benci dipanggil Om, kau tahu? Aku masih sangat muda."'Nggak nanya,' batin Mira."Apa yang akan kau beli?" tanya Ferdian kepadanya saat Mira sampai di depan minimarket."Aku?" Mira sedikit terkejut. Ia ingat uang itu hanya sepuluh ribu di dompetnya.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments