"Ini uang dari Tante dan ini uang dari bantuan orang-orang disini." Tante Vina menyerahkan dua buah amplop berisi uang, sepuluh hari yang lalu. Mira membuka amplop yang sudah kusut itu.
"Aduh, kok tinggal segini ya?" Mira menggigit bibir bawahnya.
"Kenapa kak?" Adel bertanya karena mengira Mira berbicara dengannya. Sejak tadi Adel bermain mobilan Truk bersama Ais, mobilan itu juga didapatkan dari pemberian tetangganya.
"Ah enggak dek, cuma uang kita kok sudah mulai habis ya? Adel besok gak usah jajan dulu ya?"
Adel memancungkan bibirnya.
"Kakak, kalau aku sudah besar aku akan bekerja kaya Ayah. Tapi, Ayah kok belum sembuh ya kak?" Mira sedikit kaget. Adel tidak tahu kalau Ayahnya tidak akan lagi kembali bersama mereka selamanya. Mira berjongkok mengelus kepala Adel.
"Adel akan sehat dan kuat, Adel pasti punya uang yang banyak jika sudah besar nanti." Hampir saja air bening menyembul diantara kelopak matanya, tapi ia bisa menahannya.
###
"Kak! Ada telefon!" Adel berlari memberikan telefon jadul ke tangan Mira yang sedang mengayun Ais yang sudah mengantuk.
"Hallo Tante?"
"Apa kabarmu Mira?"
"Sehat Tante, kami semuanya sehat," sahut Mira. Tubuhnya masih bergoyang-goyang mengikuti irama ayunan itu.
"Tante gak bisa ngomong banyak, cuma Tante yakin Mira kuat menghadapinya,"
Mira masih mendengarkan dengan tenang.
"Ibumu sudah kritis Mira, kemungkinan untuk selamat sangat tipis. Jadi Tante cuma ingin kamu bersabar dan berdo'a untuk kedua orang tuamu. Mira sekarang bertanggung jawab merawat adik-adikmu." belum sempat selesai bicara, Mira terjatuh kelantai. Entah kenapa lututnya terasa lemas. Mira sangat shok mendengar berita itu.
Mira menangis, dia tak bisa menahannya demi tidak terlihat Adel. Dia ingin menangis sepuasnya saat ini.
"Kakak... Kakak! Kakak kenapa nangis terus?" Adel menggoyangkan tubuh Mira yang telungkup mendekap lututnya. Bukan diam Mira malah menangis lebih keras
"Kakak! Jangan menangis kakak" Adel mendekap Mira, dia tidak tahu apa yang membuat Mira menangis.
"Kakak, Adel janji gak minta jajan lagi kak!" katanya sambil memeluk Mira. Ia ingin Mira berhenti menangis, Adel takut kalau Mira menangis karena kehabisan uang untuk membeli jajanan.
Mira mendongak, menatap wajah seorang anak yang belum mengerti apa-apa.
"Adel, Ayah ibu kita sudah meninggal." ucap Mira pelan di sela adiknya.
"Meninggal?" Mira mengangguk lalu mendekap Adel erat. Adel mengerti sekarang, dia mengerti bahwa mereka sekarang tidak memiliki orang tua.
Kehidupan berjalan mengiringi waktu. Manusia hidup dengan keadaan yang berbeda-beda. Begitu juga Mira dan kedua adiknya. Mereka menjalani hidup tanpa orang tua, tetapi mereka sungguh bertahan dalam kehidupan ini. Mereka bertahan dan menjalani kehidupan yang baik ditengah keluarga tantenya, Vina.
"Masak apa Tante?" Mira menyapa tantenya yang sedang memasak di dapur.
"Cuma sayur sop Mir, Ais paling suka sayur sop," kata Tante Vina sambil mengaduk masakannya di dalam panci.
"Tante,kalau boleh besok Om Andres mengajak Mira ke Bandung. Katanya ada pekerjaan bagus disana."
"Pekerjaan apa Mir?"
"Kata Om Andres sih kafe, saya kurang tahu pasti. Emang Om Andres selama ini kerja apa sih Te?" tanya Mira.
Vina tampak berfikir, selama ini dia tidak pernah bertanya tentang pekerjaan tetangganya itu. Selama dua tahun bertetangga, yang ia tahu Andres memang bekerja di luar kota. Penampilannya juga mentereng.
"Tante kurang tahu apa yang dikerjakan Andres di Bandung, kamu tanya lebih detil pekerjaan itu apakah aman atau tidak, trus masalah gajinya juga. Buat apa kerja jauh-jauh kalau gaji kecil mending disini," jelas tantenya.
"Baiklah Tante." Mira membantu menyusun makanan di atas meja makan. Setelah orang tuanya tiada empat tahun yang lalu Mira dan adik-adiknya tinggal dirumah Tante Vina. Untungnya Tante Vina hanya punya anak satu, itupun tinggal di kost-kostan karena sekolahnya jauh dari rumah.
Andres menunggu Mira di ruang tamu. Tadi Mira SMS akan datang menemuinya. Dimata Andres, Mira adalah sosok yang dicarinya. Mira gadis cantik dan polos. Seandainya dipoles sedikit saja, Mira akan tampak lebih cantik lagi. Begitu juga kalau ia menyulap pakaian lusuh yang selalu dikenakannya, Mira pasti akan menjadi gadis yang spesial. Mira juga tidak memiliki orang tua, dan dia tahu Mira membutuhkan pekerjaan setelah lulus sekolah.
"Selamat siang Om," sapa Mira.
"Hai Mira, masuklah!" Andres menyuruh Mira duduk. Andres mengambil sekeranjang apel dan anggur dari dalam kulkas dan menghidangkan di meja.
"Tidak usah repot Om, Mira cuma sebentar."
"Oke. Well, ada sesuatu yang ingin kamu katakan?" tanya Om Andres sambil duduk didepan Mira.
"Ehmm, masalah pekerjaan yang Om Andres tawarkan. Bisakah Om Andres menjelaskan lebih detil pekerjaan itu Om?"
"Itu cuma kafe Mir, tapi karena ramai pengunjung kamu pasti dapet bonus lumayan," jelas Andres. Mata Mira menatap heran, menunjukkan ia belum puas dengan jawaban itu.
"Kafe itu menjual aneka minuman, Mira hanya perlu mengantar pesanan pelanggan. Dan gajinya untuk pemula kisaran dua juta, dan akan bertambah kalau Mira punya kelebihan. Selain itu Mira tidak perlu membayar kontrakan karena rumah sudah disediakan."
Pekerjaan itu sangat mudah sepertinya. Uang dua juta cukup untuk membiayai Adel sekolah, dan masih ada harapan untuk mendapatkan uang tambahan. Lagipula Om Andres tampak bisa dipercaya, dia selalu baik kepada keluarganya selama ini. Sering memberikan uang untuk Adel, membelikan mainan untuk Ais dan sering mengirim makanan untuk mereka.
"Saya hanya membantu meringankan beban Mira dan adik-adiknya, tidak usah difikirkan." saat itu Tante Vina meminjam uang untuk menebus ijazah miliknya. Om Andres malah memberikan cuma-cuma uang itu.
Jadi ia memutuskan untuk percaya kepada Om Andres.
"Baiklah, kapan saya bisa bekerja Om?" Andres tersenyum, rencananya tampak berjalan mulus.
" Bersiaplah, saya akan menjemputmu dua hari lagi."
Mira menjelaskan informasi tersebut kepada tantenya. Vina tampak khawatir memikirkan tempat kerja Mira yang jauh darinya. Tapi dia tak kuasa menahan Mira. Adel sudah membutuhkan biaya sekolah dan ia tak mampu memberikan lebih dari kebutuhan sehari-hari seperti makan, minum dan sedikit uang saku.
"Maafkan Tante Mira, Tante tidak bisa memberimu yang terbaik. Om Wanto cuma buruh pabrik yang gajinya cuma pas-pasan,"
"Kenapa Tante bicara seperti itu? Mira memang sudah seharusnya bekerja. Mira harus bisa membiayai Adel sekolah. Tante sudah melakukan yang terbaik untuk kami."
Ia tak mungkin membebani Om dan Tantenya terus. "Aku pasti bisa melakukannya!" tekat Mira.
Mira memasukkan beberapa setel pakaian yang dimilikinya. Tidak lupa handuk, sabun mandi dan pasta gigi. Inilah pertama kali ia akan menempuh perjalanan jauh. Jakarta - Bandung baginya perjalanan terjauh seumur hidupnya."Jam berapa Andres akan menjemputmu?" tanya Tante Vina."Satu jam lagi Tante," Mira duduk disamping tantenya di tepi dipan. Tangannya meraih Ais yang sejak tadi memperhatikannya mengemas pakaian. Adel kemudian ikut duduk disampingnya."Kakak, kakak harus hati-hati ya!" ucap Adel yang kini usianya menginjak dua belas tahun."Iya. Adel juga harus hati-hati dalam bergaul. Ingat, kakak bekerja untuk kepentingan Adel bukan?" Adel mengangguk.Mereka berpelukan sebelum berpisah. Tante Vina tak hentinya meneteskan air mata melihat Mira mengangkat tas pakainnya. Terdengar suara mesin mobil yang berhenti di depan rumahnya. Itu pasti suara mo ol Om Andres."Sudah siap?" Andres menyapa mereka dari dalam mobil, dan membuka bagasinya. Mira
"Apa yang kita kerjakan di klub malam itu?" Mira mendesak Lilis untuk menceritakan seperti apa klub malam itu. Lilis yang sedang mengenakan stoking melirik Mira sebentar."Nanti kau akan tahu sendiri," jawabnya santai."Tapi aku ingin tau sekarang!" Mira memohon."Tentu saja melayani tamu yang ingin minum sambil menikmati musik atau tarian kalau ada yang menari.""Hanya mengantar minuman bukan?" Lilis mengangguk."Ayo, cepatlah pakai stokingmu dan baju yang sudah aku pilihkan tadi!"Mira akhirnya diam dan menuruti perintah Lilis. Lilis telah meriasnya dengan riasan yang lebih ringan dari dirinya.Lilis mendekati Mira berhadapan dengannya "Aku akan membocorkan sesuatu kepadamu. Kita sudah berada disini, jadi usahakan untuk tidak membuat keributan kalau kamu tidak mau dapat masalah!" Mata Lilis menjurus kearah Mira. Tampaknya itu adalah hal yang harus Mira ingat.Mira memperhatikan cara Lilis membawa dan menyajikan mi
Ferdian mengeluarkan seluruh uang dan dompet yang ada di dalam pakaian Bobby pria botak itu."Apa yang kau lakukan?" Mira heran dengan apa yang dilakukan Ferdian terhadap temannya sendiri."Apakah kau baik baik saja?" tanyanya.Mira mengangguk lemah."Ingatlah kata-kataku dengan baik, katakan pada Cherry bahwa ada seseorang yang merampoknya. Setelah itu tunggulah aku besok malam di meja yang sama!" Ferdian mengucapkan perlahan, dan menatap Mira yang sudah lemah."Kamu harus mengingat kata-kata ini dengan baik, percayalah padaku! Kamu tidak akan bisa keluar dari sini begitu saja, jadi berhati-hatilah!" Mira hanya mengangguk. Dia hanya membutuhkan sedikit harapan untuk bisa selamat malam ini. Dan dia akan mencoba mempercayai pria itu.Ferdian mengenakan topeng itu lagi. Mira terpaku melihat pria botak yang masih pingsan di lantai. Namun tak lama kemudian ia ingat pesan Ferdian untuk segera melaporkan kejadian ini sebagai perampokan
Mira terusik dengan suara dengkuran seseorang. Badannya juga terasa pegal karena duduk terlalu lama tertidur di dalam mobil. Perlahan Mira membuka matanya mencari arah suara dengkuran seorang pria. Mira tersadar bahwa dia sedang bersama seorang pria bernama Ferdian. Sayup-sayup terdengar suara deburan ombak dihadapannya, ia tak bisa melihat dengan jelas karena masih gelap. Mira melihat angka yang tertera didalam jam digital di mobil itu. Waktu masih menunjukkan pukul tiga dini hari.Emmmhhh!Mira pura-pura memejamkan mata saat melihat gerakan pada tubuh Ferdian. Dia tidak mau kepergok sedang memperhatikan tidurnya."Kalau capek, kamu bisa tidur di belakang," tiba-tiba Ferdian berkata.Mira terpaksa membuka mata dan melihat ke arah Ferdian. "Tidak perlu, sepertinya aku sudah tak mengantuk lagi." mereka terdiam."Kemana kita akan pergi?" tanya Mira."Kerumahku," jawab Ferdian singkat."Kerumahmu? Jangan bercanda Om, tolong turunkan saja
Ferdian membuka sebuah pintu dengan nomor sandi. Mira melihat kesana kemari. Kenapa lorong disana-sini sangat sepi. Di lift tadi mereka bertemu dengan penghuni lantai atas, tapi Ferdian tidak bertegur sapa dengan mereka."Pemukiman apakah ini?" Mira membatin."Tinit tinit" pintu terbuka."Masuklah!" Perintah Ferdian.Mira berjalan pelan memasuki pintu apartemen Ferdian. Hatinya hanya serasa galau saat pintu itu tertutup kembali."Itu ruanganmu!" Ferdian menunjuk pada sebuah pintu yang terbuka. "Diruangan itu ada almari yang banyak pakaian seukuranmu, pakailah sesukamu," lalu Ferdian berlalu dari hadapan Mira.Mira memasuki kamar dengan nuansa pastel itu, banyak foto-foto bergantungan disana. Mira bisa memastikan bahwa foto itu foto adik Ferdian karena mereka tampak sangat mirip. Di ujung kamar tersebut masih ada sebuah pintu lagi. Mira membukanya perlahan, iapun mengagumi semua yang terpajang didalam sana hingga tak terasa kakinya menu
Mira mengganti pakaiannya, sekarang ia mengenakan celana selutut dengan kaos berwarna putih. Padahal cacing diperutnya sudah meronta sejak tadi, tetapi siapakah yang bisa mengerti keadaannya saat ini? Mira berdiam di tepi tempat tidur, ia takut disalahkan jika keluar tanpa ijin. Tapi mana mungkin ia membiarkan dirinya mati kelaparan? Tidak! Aku harus berani menuntut hak mendapatkan makanan yang layak di dalam rumah ini! Tekadnya. "Mira! Ini makananmu!" Mira kegirangan di dalam hati. "Kenapa nggak dari tadi?" Ia ingin menjawab seperti itu, tapi nggak mungkin. Sepiring nasi lengkap dengan ayam goreng sudah menantinya. Mira bisa melihat Ferdian menyelesaikan sendokan terakhir di mulutnya. Lalu meneguk air putih dan bangkit dari kursinya saat Mira baru saja mendaratkan bokongnya. Ferdian bahkan bersendawa dengan suara keras setelah itu, membuat selera makan Mira menurun. "Menjijikkan!" Gumamnya. Mira sangat membenci orang yang bersenda
Ferdian merapikan kemejanya yang berwarna biru Turkish, lalu melepaskan satu anak kancing di bagian dada. Rambut coklat bergelombang hanya ia sela dengan jari-jari tangannya. Aroma parfum menguar ke seluruh walk and closed miliknya saat ia menyemprotkan parfum keluaran Lancome yang mengeluarkan aroma segar bunga Lilac dan lemon.Di kamar, Mira melihat jam yang menunjukkan pukul enam pagi."Haruskah aku mandi? Jam segini pastilah masih sangat dingin," gumam Mira. Ia sangat malas mandi sepagi itu, namun ia sangat takut dengan Ferdian. Sementara ia juga butuh untuk ke kamar mandi menyelesaikan hajatnya setiap pagi."Sial! Sudah jam enam lewat lima menit, masih tersisa lima menit lagi! Aku harus segera ke kamar mandi!" Mira berlari keluar kamarnya menuju kamar mandi. Syukurlah Ferdian belum keluar dari kamarnya. Dengan berjinjit Mira melewati pintu kamar Ferdian."Yaah, tahan dulu dong...," desakan ingin keluar sudah sangat terasa di ujung. Mira berusaha sekuat t
"Ah sial banget karena harus ngurusin yang beginian," gerutunya sambil memilih pembalut mana yang harus dia beli. Terlalu banyak merk yang berjajar di sana. Iapun mengambil keranjang dan memasukkan semua merek yang ada. Dia menghitung ada sekitar tujuh pack pembalut yang ia beli.Seorang wanita yang berdiri di sudut swalayan tampak memperhatikan Ferdian yang masih sibuk berbelanja. Ia juga membeli beberapa produk kecantikan yang barangkali dibutuhkan Mira. Sebab Ferdian tahu Mira tak membawa apa-apa."Kamu kayak emak-emak, Fer," sapa wanita itu yang ternyata Gea, teman masa kecilnya."Bisa dibilang begitu," jawabnya singkat."Apa yang kamu beli?" Gea mengintip isi kantong belanja Ferdian. "Pembalut? Emang kamu..." Gea melihatnya penasaran."Kenapa? Penasaran?" Ferdian berjalan cepat. Wajahnya datar tak bersahabat. Ia tak mau Gea semakin kepo."Fer, buat siapa?" teriaknya. Tapi Ferdian tak bergeming. Ia harus cepat sampai di rumah karena takut
Mira termenung, ia memikirkan tawaran Ferdian untuk bertemu dengan Tantenya dan juga adiknya.'Haruskah aku ceritakan semuanya? Menceritakan bagaimana aku hampir diperkosa si Botak lalu berakhir dibeli Ferdian?' Mira mengucek matanya, bibir tipisnya beberapa kali menjadi sasaran gigitannya sendiri. "Hei! Jangan mikirin yang enggak-enggak, aku udah bilang khilaf, tapi kamu masih diinget terus.""Hah? Maksudnya?""Tadi..."Ferdian menunjuk bibir Mira. "Kau menggigiti bibirmu, apa itu ciuman pertama kamu? Seolah kamu mengingat kejadian tadi. Nggak usah baperan, itu tak akan terulang lagi!" Wajah Mira bersemu merah, apa hal itu biasa dikalangan orang dewasa? Sehingga tidak segan-segan lagi untuk membahasnya? Itu sungguh memalukan baginya.Mira melengos, lalu bangkit meninggalkan Ferdian. Tapi Ferdian mengatakan sesuatu yang membuatnya berbalik melihatnya. "Oh ya, ini gaji bulan pertama aku bayar di mu
"Lagi?"Ferdian mengangguk. Tak ada cara lain karena ia sudah terlanjur mengatakan kepada ayahnya, ibunya dan juga Suroya. Apa jadinya kalau tiba-tiba mengatakan bahwa mereka sudah putus."Itu karena kau sepakat mengembalikan uang seratus juta itu hanya dengan berpura-pura menjadi pacarku.""Tuan Ferdian, apakah tidak ada cara lain?""Tidak Nona Mira, hanya itu yang bisa menyelamatkan dirimu dari hutang. Atau aku akan mengembalikan dirimu kepada Nyonya Cherry."Mira menyerah, ia tak bisa mengelak lagi."Oh ya, bagaimana dengan pakaianmu yang berantakan itu? Jangan sampai orang mengira aku melakukan hal-hal yang melampaui batas," cicit Ferdian yang tentu saja hal itu membuat Mira memutar bola matanya. Bukankah baru saja Ferdian melecehkan dirinya?*Mira memainkan ponsel yang baru saja diterimanya dari Ferdian. Bahkan Nomor pria itu sudah berada disana.Andai saja waktu itu dirinya sempat mengemas pakaian yang ada di rumah Elis, mungkin di
"Mira," Ferdian tercekat melihat Mira yang kacau balau. Matanya bengkak dan merah, begitu juga bibirnya seperti tersengat tawon. Rambutnya berantakan dan sebagian basah karena membasuh wajah, begitu juga pakaiannya terdapat noda lipstik di ujung kemeja dan lengannya, itupun sebagian basah karena air yang terciprat."Mira, maafkan aku," Ferdian menghampiri Mira dan menggenggam tangannya lembut. Tangan itu sangat dingin."Astaga, ayolah kemari aku buatkan minuman hangat untukmu," ajaknya sambil membimbing Mira ke meja kerjanya.Secangkir teh hangat telah berada di tangannya, lalu ia mengambil sendok untuk menyuapi Mira."Aku terlalu egois tadi, aku tidak bermaksud melecehkanmu tadi, itu karena aku tak punya cara untuk membuatnya pergi."Mira menerima suapan Ferdian."Bisakah aku kembali ke rumah tanteku? Aku sungguh ingin kembali," lirih Mira kepada Ferdian.Kalau Mira kembali ke rumah tantenya, bukankah peluang untuk bertemu Andres juga
"Aku memang berkepala batu untuk mencintaimu, dan aku akan lebih keras lagi dalam mencintaimu Ferdian, bukankah itu adil? Adil karena aku dulu pernah bersalah kepadamu."MataSuroya melirik Mira, ia bisa tahu bahwa Mira masih gadis ingusan dan akan merasa minder kalau ia memprovokasi gadis itu. Ia akan melakukan apapun untuk membuat gadis itu menyerah."Cinta macam apa kalau bertepuk sebelah tangan?""Hmm, kita lihat saja nanti. Kalian sepertinya masih baru saling mengenal. Lihatlah gadis itu, sangat gugup di dekatmu." celoteh Suroya. "Aku rasa kau hanya bisa menyentuh tangannya bukan?" Suroya malah ingin tahu sedekat apakah mereka."Benarkah?"Kali ini Ferdian berbuat nekat, dengan sekali gerakan ia memeluk Mira dan mencium bibirnya. Ia bahkan dengan sengaja melumatnya dengan rakus di depan Suroya. Ferdian memamerkan bagaimana ciumannya sangat intens kepada kekasih barunya.Mira yang terkejut tak bisa berbuat apa-apa karena kua
Ferdian menoleh kearah suara itu. Ah, ternyata adalah ibunda tersayang yang sedang mengalunkan suaranya. Padahal ia mengira bahwa Suroya yang akan datang menemuinya, ia sungguh sedang berakting seolah Mira adalah kekasihnya."Ehem, ehem," ibunya berdehem membuat Ferdian tersipu malu. Ini seperti senjata makan tuan."Kenapa ibu datang nggak nelpon dulu?" Ferdian mengomel."Emangnya Ibu harus selalu laporan kemana Ibu pergi, hah?" katanya sambil meletakkan kotak berisi kue-kue buatannya. Matanya mulai mencari sosok yang tadi dilihatnya sedang bermesraan dengan putranya. Ia sungguh datang disaat yang sangat tepat."Siapa namamu, Nduk?" Ibunya mendekati Mira."Saya Mira, Ibu.""Kamu bekerja disini?""Iya, Bu," jawabnya malu-malu, sesekali sudut matanya melirik Ferdian."Ooh begitu. Saya ibunya Ferdian, tidak perlu sungkan ya," katanya kemudian."Terimakasih, Bu," ujar Mira sedikit bergidik karena teringat bagaimana ibu Ferdian mendesak putran
Turun dari mobil, mata Mira tertumpu pada bangunan megah di hadapannya. Entahlah berapa lantai dan milik siapa gedung ini dia belum tahu pasti. Beberapa layar besar menghiasi sisi depan gedung tersebut. Sepertinya tayangan iklan beberapa produk ternama tampil dalam tayangan tersebut."Ayo, jalanlah dengan cepat!" Ferdian memerintah Mira.Mira mengikuti langkah lebar Ferdian setengah berlari. 'Katanya, dia harus berpura-pura seperti kekasihnya, tapi lihat saja cara berjalannya yang nggak tahu aturan' batinnya."Ah ya, kesini sebentar!" Ferdian menunggu langkahnya, lalu dengan cepat tangannya meraih telapak tangan Mira. Ia menggandengnya dengan santai. Beberapa orang yang melihatnya seperti mengalihkan pandangannya pada genggaman tangan mereka membuat Mira sedikit risih."Kak, aku malu," lirih Mira kepada pria itu."Kau malu, atau mau?" godanya.Mira menarik tangannya, memberengut karena kesal. "Apa yang akan mereka pikirkan nanti?"
"Ibu, kenapa aku harus menikahi dia?""Hai! Jangan sembarangan ngomong ya! Apa kamu masih mau bermain-main? Ingat umur Ferdian? Usiamu sudah tak muda lagi. Apa kamu nggak kasian dengan ayah dan ibumu?"Ferdian jadi semakin frustasi."Apa kamu tidak memikirkan kami? Kamu adalah anak satu-satunya, seharusnya kamu sudah memberikan cucu untuk kami." Ibunya semakin mendesaknya."Ibu, ibu nggak ngerti apa-apa. Kenapa sih Ibu terus ngomong? Coba ibu dengar dulu alasanku.""Tidak. Ibu sudah tidak mau dengar alasan apapun lagi. Kalau kamu masih tidak ada keseriusan dengan gadis ini, kamu akan ibu nikahkan dengan Vina. Oke?"Ferdian mendengkus kesal. Bagaimana bisa nama itu disebutkan lagi?"Ibu, dia masih baru mulai meniti karir. Jadi tolong beri dia waktu," ujarnya asal-asalan."Jadi, dimana dia bekerja?"Ferdian mendapatkan pertanyaan yang bertubi-tubi. Sungguh menyebalkan. Bahkan jawaban yang ia berikan semakin membuat ibunya
"Oke, kamu sudah tenang ya sekarang."Mira melirik Ferdian. Sebenarnya ia juga kasihan melihat Ferdian yang panik tadi, makanya ia berhenti menangis. Padahal lagi enak banget menangis meluapkan rasa kesal.Mengingat nama Andres dua benar-benar kesal dan trauma. Karenanya ia terpisah dengan keluarganya."Kak, aku rindu dengan Tante dan kedua adikku. Aku ingin sekali bertemu dengan mereka. Tapi Mira tahu Kakak nggak mengijinkan aku bertemu mereka. Dan lagi, Mira berjanji untuk memberi uang setelah mendapatkan kerja," ujarnya."Jadi kamu pergi dari rumah memang berniat untuk bekerja di kelab Cherry?" tanya Ferdian setengah membentak.Mira menunduk dalam. "Mira nggak tahu Kak, yang Mira tahu itu adalah kafe biasa.""Apakah Andres yang telah membawamu?"Mira mengangguk."Dimana kamu bertemu Andres?""Om Andres tinggal tidak jauh dari rumah Tante, Kak. Dia sudah seperti keluarga sendiri.""Bangsa*t! Jadi dia selal
"Berapa saudaramu?"Ferdian mengajak Mira ke sebuah minimarket. Ia kasihan dengan gadis itu dengan isi dompetnya yang hanya sepuluh ribu."Emm, kami tiga bersaudara Om," pelannya."Kau memanggilku Om lagi! Turunlah dari mobilku!" Ferdian menghentikan secara tiba-tiba karena Mira memanggilnya Om.Mira terhuyung, hampir saja terbentur dashboard."Tidak bisakah aku memanggilmu Kakak?" pinta Mira sedikit ragu.Ferdian menautkan alisnya. Panggilan itu membuatnya mengingat Vivin adiknya. Tapi mungkin itu masih lumayan daripada dipanggil Om, dia membenci Om Om yang identik dengan pria nakal'. Sebab, Mira memang bukan keponakannya."Baiklah, panggil aku Kakak. Aku benci dipanggil Om, kau tahu? Aku masih sangat muda."'Nggak nanya,' batin Mira."Apa yang akan kau beli?" tanya Ferdian kepadanya saat Mira sampai di depan minimarket."Aku?" Mira sedikit terkejut. Ia ingat uang itu hanya sepuluh ribu di dompetnya.