Ferdian mengeluarkan seluruh uang dan dompet yang ada di dalam pakaian Bobby pria botak itu.
"Apa yang kau lakukan?" Mira heran dengan apa yang dilakukan Ferdian terhadap temannya sendiri.
"Apakah kau baik baik saja?" tanyanya.
Mira mengangguk lemah.
"Ingatlah kata-kataku dengan baik, katakan pada Cherry bahwa ada seseorang yang merampoknya. Setelah itu tunggulah aku besok malam di meja yang sama!" Ferdian mengucapkan perlahan, dan menatap Mira yang sudah lemah.
"Kamu harus mengingat kata-kata ini dengan baik, percayalah padaku! Kamu tidak akan bisa keluar dari sini begitu saja, jadi berhati-hatilah!" Mira hanya mengangguk. Dia hanya membutuhkan sedikit harapan untuk bisa selamat malam ini. Dan dia akan mencoba mempercayai pria itu.
Ferdian mengenakan topeng itu lagi. Mira terpaku melihat pria botak yang masih pingsan di lantai. Namun tak lama kemudian ia ingat pesan Ferdian untuk segera melaporkan kejadian ini sebagai perampokan sebelum si botak itu bangun. Mira bergegas keluar setelah merapikan pakaiannya yang berantakan karena ulah pria botak itu.
"Dirampok?" Nyonya Cherry menyelidik kearah Mira yang tampak berantakan.
"Periksa kamar itu!" Ia memerintah bawahannya untuk memeriksa kamar itu. Setelah kembali para penjaga itu telah membawa pria botak yang dituntun kedua tangannya.
Sesekali pria itu melirik Mira, yang membuat Mira bergidik ngeri mengingat apa yang telah dilakukannya dikamar tadi.
"Kami tidak pernah mengalami kejadian perampokan seperti ini," ujar wanita itu kepada si botak. "Jadi kamu tahu apa maksudku bukan?"
Pria botak itu hanya mengangguk.
"Kami akan mengembalikan uang muka yang sudah kamu bayarkan dengan syarat kamu tidak melaporkan kejadian perampokan ini kepada polisi!" Lagi-lagi pria itu mengangguk.
Nyonya Cherry melempar sejumlah uang keatas meja dan pria itupun memungutinya. Sampai pria itu pergi, Mira tetap berdiri ditempat itu.
Nyonya Cherry lalu mendekati Mira. Menyentuh wajah Mira yang tertunduk
"Kamu baik-baik saja bukan? Apakah dia telah melakukan sesuatu kepadamu?" Mira menggeleng. Wanita jahat ini sungguh menanyakan apakah dirinya baik-baik saja? Bahkan dengan suaranya yang lembut. Tak tahukah dia bahwa dirinya hampir saja mati ketakutan kalau saja bukan karena Ferdian yang menolongnya. Dasar Munafik! Umpat Mira dalam hati.
"Kamu sungguh bernilai, jadi kamu tidak usah khawatir tidak mendapatkan uang." Ia berjalan memutari Mira, persis memutari sebuah karya seni.
Mira hanya mengingat Ferdian. Ia ingin percaya pria itu akan melakukan sesuatu untuknya.
###
"Apakah benar kalian dirampok?" Lilis antusias ingin mendengar cerita yang sebenarnya dari Mira.Mira mengangguk.
"Aneh sekali, bukankah penjaga ada dimana-mana? Tapi bagaimana bisa tidak ketahuan?"
"Entahlah Lis, aku cuma orang baru disini."
"Dan kamu melihat bagaimana perampok itu mengambil seluruh uangnya?" Mira manggut-manggut.
"Padahal pak Bobby adalah pelanggan lama yang selalu membayar mahal," keluh Lilis.
"Sudah berapa lama kamu melakukan hal semacam ini?" tanya Mira kepada Lilis.
Lilis membalikkan badannya dan menghadap kearah Mira." Aku? Hemmm, mungkin tiga tahun, sejak umurku tujuh belas tahun," jawabnya santai.
"Kamu sungguh menyukainya?" Mira sangat penasaran. Tapi Lilis cepat menggeleng.
"Akan tetapi aku lebih tidak suka jika menjadi miskin dan kelaparan"
Mira merinding, kenapa tiba-tiba hidupnya mendengar hal-hal seperti ini? Apakah dirinya sejenis pelac*r? Sejenis wanita malam? Ya Tuhan...Air matanya mengalir perlahan.
Mira menyiapkan dirinya. Dia tahu, pasti Ferdian akan berlagak seperti tamu hidung belang. Tapi benarkah pria itu akan datang? Lalu apa yang akan terjadi selanjutnya? Pria seperti apakah Ferdian? Oh tidak! Dia bahkan tidak tahu siapa sebenarnya pria itu! Bagaimana kalau nasibnya lebih buruk?
Didalam perjalanan menuju Club, pikirannya menjadi kacau dan campur aduk. Akan tetapi yang paling ia takutkan adalah Ferdian tidak datang seperti yang ia janjikan.
"Mira! Meja dua puluh satu menunggumu!" Lilis membisik kepada Mira.
"Deg! Ferdian?" Mira bergegas ke arah meja itu. Benar saja disana Ferdian telah menunggu.
"Duduklah disini, lebih dekat sedikit."
Mira mengernyitkan dahinya. "Apakah dia sama saja?" Mira ragu-ragu.
Tangan Ferdian menyambar Mira. "Lakukan seperti yang mereka lakukan agar Cherry tidak curiga."
Mira tak mengerti. Hingga tangan Ferdian melingkar di pinggang Mira membuat Mira terkejut.
"Maafkan aku," bisik Ferdian. "Kamu siap?" tanya Ferdian kemudian.
"Apa maksudmu?" Mira tambah tak mengerti.
"Baiklah, kamu menurut saja oke?" Ferdian menggandeng Mira ke sebuah tempat di lantai dua. Disana terdapat kamar-kamar dengan pintu tertutup. Sesekali Mira mendengar suara Wanita atau pria tertawa. Ruangan apa sebenarnya? batin Mira.
Sudah terlanjur. Ia harus mempercayai Ferdian bukan? Lalu bagaimana kalau Ferdian lebih jahat dari si botak itu?
"Selamat datang tuan Ferdian," Ferdian membuka salah satu pintu paling ujung. Bukankah itu suara Cherry?
"Aku sudah membawa gadis yang kumaksud."
"Kau biasanya tak pernah cocok dengan gadis-gadis sebelumnya. Tapi matamu memang punya selera bagus. Dia gadis kami yang sepesial."
"Sepertinya aku harus membayar mahal?!" Ferdian menyeringai lalu memeluk pinggang Mira lagi. Mira meronta agar Ferdian melepaskan tangannya.
"Dia tidak ubahnya seperti di botak bukan?" batin Mira mulai berperang.
"Aku akan membawanya selama seminggu." Ferdian mengeluarkan segepok uang dan menyerahkan kepada Nyonya Cherry yang kemudian Nyonya Cherry menghitungnya.
"Baiklah, aku setuju."
Sekarang Mira benar-benar yakin bahwa dirinya hanyalah serupa barang yang diperjual belikan. Setelah dijual kepada paman botak, sekarang dia adalah barang yang dijual kepada Ferdian. Dan semakin membuatnya kesal karena Ferdian sama seperti tuan botak itu.
Alih alih menyelamatkan dirinya sekarang malah dia yang membeli dirinya. Mira sangat sedih. Tamatlah riwayatku! bisik hatinya.
Ferdian mengajak Mira keluar dari Club itu. Dia hampir saja berniat untuk kabur setelah keluar dari pintu Club.
"Kalau mau kabur jangan disini, semua penjaga pintu Club ini mengawasimu. Lihatlah!" Mata Mira mengitari sekeliling Club dan Ferdian tidak berbohong dengan ucapannya. Terpaksa ia mengikuti langkah Ferdian memasuki BMW i8 di pelataran parkir.
"Tenanglah sedikit, dan maafkan aku tadi." Ferdian minta maaf karena terpaksa menyentuh Mira untuk membuat Cherry percaya.
"Kamu memang tampak brengsek!" Umpat Mira.
Ferdian tertawa, itu memang benar bahwa dirinya tampak seperti orang brengsek tadi.
"Sekarang kita mau kemana?" canda Ferdian, dia sangat khawatir jika sampai Mira tak mempercayainya maka semua rencananya akan gagal.
"Huh, terserah saja. Bukankah kau tadi sudah membayar untuk Nyonya Cherry? Tapi aku tidak mau kalau kejadian sibotak itu terulang. Aku pasti akan membunuhmu!" kesal Mira.
"Baiklah, percalah padaku!"
BMW dengan bandrol 3,5 milyar itu melesat menembus kegelapan malam. Suasana syahdu didalam mobil itu membuat Mira mengantuk. Walaupun tak sepenuhnya mempercayai Ferdian, tapi rasa aman membuat hatinya tenang. Pada akhirnya dia benar-benar terlelap.
Ferdian melirik gadis disampingnya. Dia sangat cantik alami. Tetapi itu membuatnya teringat dengan Vivin adiknya. Malam itu di club Cherry, Ferdian mencari Vivin setelah mendapat khabar seseorang membawanya kesana. Betapa terkejutnya Ferdian saat menemukan adiknya dalam keadaan tanpa busana.
"Vivin?" Ferdian mengguncang tubuh Vivin di atas kasur di salah satu Club itu.
"Kakak?" Tiba-tiba Vivin tersadar.
"Vin, ini kakak. Siapa yang melakukan ini? Katakan Vin, katakan."
Vivin menangis, badannya sudah lemah.
"Andres kak, Andres..." Vivin pingsan setelah mengatakan itu. Ferdian terkejut, tapi melihat tubuh adiknya yang melemah Ferdian tak bisa pasrah, ia membawa Vivin ke rumah sakit segera.
Ia terus mengingat nama itu, tapi ia belum bisa mendapatkan dimana Andres berada, yang dia tahu Andres adalah kaki tangan Cherry untuk mendapatkan mangsa gadis-gadis belia untuk mengeruk keuntungan.
Vivin meregang nyawa setelah melakukan perawatan seminggu lamanya. Menurut autopsi Vivin overdosis narkotika. Dan itu membuatnya semakin marah. Adiknya yang lembut dan jarang bergaul, bagaimana mungkin mengenal narkotika. Itu adalah tanda tanya besar.
Dia harus menemukan Andres.
Mira terusik dengan suara dengkuran seseorang. Badannya juga terasa pegal karena duduk terlalu lama tertidur di dalam mobil. Perlahan Mira membuka matanya mencari arah suara dengkuran seorang pria. Mira tersadar bahwa dia sedang bersama seorang pria bernama Ferdian. Sayup-sayup terdengar suara deburan ombak dihadapannya, ia tak bisa melihat dengan jelas karena masih gelap. Mira melihat angka yang tertera didalam jam digital di mobil itu. Waktu masih menunjukkan pukul tiga dini hari.Emmmhhh!Mira pura-pura memejamkan mata saat melihat gerakan pada tubuh Ferdian. Dia tidak mau kepergok sedang memperhatikan tidurnya."Kalau capek, kamu bisa tidur di belakang," tiba-tiba Ferdian berkata.Mira terpaksa membuka mata dan melihat ke arah Ferdian. "Tidak perlu, sepertinya aku sudah tak mengantuk lagi." mereka terdiam."Kemana kita akan pergi?" tanya Mira."Kerumahku," jawab Ferdian singkat."Kerumahmu? Jangan bercanda Om, tolong turunkan saja
Ferdian membuka sebuah pintu dengan nomor sandi. Mira melihat kesana kemari. Kenapa lorong disana-sini sangat sepi. Di lift tadi mereka bertemu dengan penghuni lantai atas, tapi Ferdian tidak bertegur sapa dengan mereka."Pemukiman apakah ini?" Mira membatin."Tinit tinit" pintu terbuka."Masuklah!" Perintah Ferdian.Mira berjalan pelan memasuki pintu apartemen Ferdian. Hatinya hanya serasa galau saat pintu itu tertutup kembali."Itu ruanganmu!" Ferdian menunjuk pada sebuah pintu yang terbuka. "Diruangan itu ada almari yang banyak pakaian seukuranmu, pakailah sesukamu," lalu Ferdian berlalu dari hadapan Mira.Mira memasuki kamar dengan nuansa pastel itu, banyak foto-foto bergantungan disana. Mira bisa memastikan bahwa foto itu foto adik Ferdian karena mereka tampak sangat mirip. Di ujung kamar tersebut masih ada sebuah pintu lagi. Mira membukanya perlahan, iapun mengagumi semua yang terpajang didalam sana hingga tak terasa kakinya menu
Mira mengganti pakaiannya, sekarang ia mengenakan celana selutut dengan kaos berwarna putih. Padahal cacing diperutnya sudah meronta sejak tadi, tetapi siapakah yang bisa mengerti keadaannya saat ini? Mira berdiam di tepi tempat tidur, ia takut disalahkan jika keluar tanpa ijin. Tapi mana mungkin ia membiarkan dirinya mati kelaparan? Tidak! Aku harus berani menuntut hak mendapatkan makanan yang layak di dalam rumah ini! Tekadnya. "Mira! Ini makananmu!" Mira kegirangan di dalam hati. "Kenapa nggak dari tadi?" Ia ingin menjawab seperti itu, tapi nggak mungkin. Sepiring nasi lengkap dengan ayam goreng sudah menantinya. Mira bisa melihat Ferdian menyelesaikan sendokan terakhir di mulutnya. Lalu meneguk air putih dan bangkit dari kursinya saat Mira baru saja mendaratkan bokongnya. Ferdian bahkan bersendawa dengan suara keras setelah itu, membuat selera makan Mira menurun. "Menjijikkan!" Gumamnya. Mira sangat membenci orang yang bersenda
Ferdian merapikan kemejanya yang berwarna biru Turkish, lalu melepaskan satu anak kancing di bagian dada. Rambut coklat bergelombang hanya ia sela dengan jari-jari tangannya. Aroma parfum menguar ke seluruh walk and closed miliknya saat ia menyemprotkan parfum keluaran Lancome yang mengeluarkan aroma segar bunga Lilac dan lemon.Di kamar, Mira melihat jam yang menunjukkan pukul enam pagi."Haruskah aku mandi? Jam segini pastilah masih sangat dingin," gumam Mira. Ia sangat malas mandi sepagi itu, namun ia sangat takut dengan Ferdian. Sementara ia juga butuh untuk ke kamar mandi menyelesaikan hajatnya setiap pagi."Sial! Sudah jam enam lewat lima menit, masih tersisa lima menit lagi! Aku harus segera ke kamar mandi!" Mira berlari keluar kamarnya menuju kamar mandi. Syukurlah Ferdian belum keluar dari kamarnya. Dengan berjinjit Mira melewati pintu kamar Ferdian."Yaah, tahan dulu dong...," desakan ingin keluar sudah sangat terasa di ujung. Mira berusaha sekuat t
"Ah sial banget karena harus ngurusin yang beginian," gerutunya sambil memilih pembalut mana yang harus dia beli. Terlalu banyak merk yang berjajar di sana. Iapun mengambil keranjang dan memasukkan semua merek yang ada. Dia menghitung ada sekitar tujuh pack pembalut yang ia beli.Seorang wanita yang berdiri di sudut swalayan tampak memperhatikan Ferdian yang masih sibuk berbelanja. Ia juga membeli beberapa produk kecantikan yang barangkali dibutuhkan Mira. Sebab Ferdian tahu Mira tak membawa apa-apa."Kamu kayak emak-emak, Fer," sapa wanita itu yang ternyata Gea, teman masa kecilnya."Bisa dibilang begitu," jawabnya singkat."Apa yang kamu beli?" Gea mengintip isi kantong belanja Ferdian. "Pembalut? Emang kamu..." Gea melihatnya penasaran."Kenapa? Penasaran?" Ferdian berjalan cepat. Wajahnya datar tak bersahabat. Ia tak mau Gea semakin kepo."Fer, buat siapa?" teriaknya. Tapi Ferdian tak bergeming. Ia harus cepat sampai di rumah karena takut
Mira yang ditanya begitu hanya bisa menatap Ferdian kaget. Ia tak menyangka Ferdian ada di rumah dan melihat apa yang dilakukannya."Itu karena, eh..Mira nggak pernah pakai mesin cuci Om," katanya sambil menunduk."Kamu selalu memanggilku Om,""Oh, maaf. Ferdian.""Ambil bed cover itu, aku akan mengajarimu menggunakannya," katanya kemudian.Mira berusaha mengangkat bed cover tersebut, tapi ia tak menyangka kalau bed cover tersebut sangat berat setelah bercampur air. Mira kewalahan mengangkatnya."Astaga! Air apa ini" Ferdian terkejut saat aliran air yang keluar dari bed cover membanjiri area mesin cuci."MIRAAA!!" teriaknya kesal. Betapa bodohnya gadis ini, dan betapa sialnya hidupnya kini.Kekacauan demi kekacauan telah tercipta seperti petaka baginya."Astaga! Aku tak pernah merasakan kekacauan ketika hidup bersama Vivin, tapi denganmu?" Ferdian mengambil bed cover yang diangkat Mira lalu memasukkannya kedalam mesin cu
"Kau memang tampak lelah sejak tadi, kenapa memaksakan diri? Pulanglah saja kalau merasa kurang fokus atau tidak enak badan," ayahnya memberikan saran."Ah, tidak Yah. Aku sudah terlalu lama mengambil cuti, bagaimana bisa aku libur terus?" ujarnya."Hem, terserah padamu. Akan tetapi jangan sampai kesibukanmu membuat tubuhmu letih dan jadi sakit karenanya.""Ayah terlalu berlebih-lebihan, aku bisa menjaga diri Yah," ujarnya sambil membenarkan dasinya yang terbalik."Apa proyek ayah sekarang ini?""Benar, ayah mau memberi tahu kepadamu tentang brand yang sekarang di garap kita.""Apa itu Yah?""Itu adalah milik Suroya fashion, mantan kekasihmu."Ferdian melirik malas. Kenapa masih juga berkaitan dengan wanita itu?"Apa yang menarik? Aku bahkan merasa muak. Sebaiknya dia mencari agensi lain yang bisa mengurusinya. Dan bukan kita!" Ferdian mendengkus kesal. Ia tak bisa hidup tenang jika wanita itu masih ada kesempatan menemu
Kalau dulu memang perjodohan hal biasa, tapi sekarang? Ferdian nggak terima kalau harus dijodohkan."Bu, aku sudah ada pacar kok. Please nggak usah bingung sendiri. Cuma sekarang ini kita lagi nggak bagus hubungannya," kilahnya, ia berbohong supaya ibunya tidak mencarikan jodoh untuknya."Benarkah? Coba bawa sini gadis itu, ibu pengen berkenalan dengannya. Apa dia cantik?"Astaga! Apa dia salah mengambil langkah?"Bu, kapan-kapan saja ya, Ferdian masih sangat sibuk dengan pekerjaan. Dan dia juga masih sibuk dengan pekerjaan. Lain kali Ferdian bawa kesini.""Baiklah, dalam sebulan kalau kamu tidak membawanya kesini ibu akan menjodohkan kamu dengan Vina anak Tante Zeya, kamu ingat kan? Lagipula dia cantik dan baik, Vina juga menyukaimu. Jadi, tinggal kamu saja yang harus membuktikan apakah kamu beneran punya pacar atau tidak!"Ferdian merapatkan bibirnya. Situasi semakin tak kondusif.Dia mengenal Vina, gadis itu sempat menj
Mira termenung, ia memikirkan tawaran Ferdian untuk bertemu dengan Tantenya dan juga adiknya.'Haruskah aku ceritakan semuanya? Menceritakan bagaimana aku hampir diperkosa si Botak lalu berakhir dibeli Ferdian?' Mira mengucek matanya, bibir tipisnya beberapa kali menjadi sasaran gigitannya sendiri. "Hei! Jangan mikirin yang enggak-enggak, aku udah bilang khilaf, tapi kamu masih diinget terus.""Hah? Maksudnya?""Tadi..."Ferdian menunjuk bibir Mira. "Kau menggigiti bibirmu, apa itu ciuman pertama kamu? Seolah kamu mengingat kejadian tadi. Nggak usah baperan, itu tak akan terulang lagi!" Wajah Mira bersemu merah, apa hal itu biasa dikalangan orang dewasa? Sehingga tidak segan-segan lagi untuk membahasnya? Itu sungguh memalukan baginya.Mira melengos, lalu bangkit meninggalkan Ferdian. Tapi Ferdian mengatakan sesuatu yang membuatnya berbalik melihatnya. "Oh ya, ini gaji bulan pertama aku bayar di mu
"Lagi?"Ferdian mengangguk. Tak ada cara lain karena ia sudah terlanjur mengatakan kepada ayahnya, ibunya dan juga Suroya. Apa jadinya kalau tiba-tiba mengatakan bahwa mereka sudah putus."Itu karena kau sepakat mengembalikan uang seratus juta itu hanya dengan berpura-pura menjadi pacarku.""Tuan Ferdian, apakah tidak ada cara lain?""Tidak Nona Mira, hanya itu yang bisa menyelamatkan dirimu dari hutang. Atau aku akan mengembalikan dirimu kepada Nyonya Cherry."Mira menyerah, ia tak bisa mengelak lagi."Oh ya, bagaimana dengan pakaianmu yang berantakan itu? Jangan sampai orang mengira aku melakukan hal-hal yang melampaui batas," cicit Ferdian yang tentu saja hal itu membuat Mira memutar bola matanya. Bukankah baru saja Ferdian melecehkan dirinya?*Mira memainkan ponsel yang baru saja diterimanya dari Ferdian. Bahkan Nomor pria itu sudah berada disana.Andai saja waktu itu dirinya sempat mengemas pakaian yang ada di rumah Elis, mungkin di
"Mira," Ferdian tercekat melihat Mira yang kacau balau. Matanya bengkak dan merah, begitu juga bibirnya seperti tersengat tawon. Rambutnya berantakan dan sebagian basah karena membasuh wajah, begitu juga pakaiannya terdapat noda lipstik di ujung kemeja dan lengannya, itupun sebagian basah karena air yang terciprat."Mira, maafkan aku," Ferdian menghampiri Mira dan menggenggam tangannya lembut. Tangan itu sangat dingin."Astaga, ayolah kemari aku buatkan minuman hangat untukmu," ajaknya sambil membimbing Mira ke meja kerjanya.Secangkir teh hangat telah berada di tangannya, lalu ia mengambil sendok untuk menyuapi Mira."Aku terlalu egois tadi, aku tidak bermaksud melecehkanmu tadi, itu karena aku tak punya cara untuk membuatnya pergi."Mira menerima suapan Ferdian."Bisakah aku kembali ke rumah tanteku? Aku sungguh ingin kembali," lirih Mira kepada Ferdian.Kalau Mira kembali ke rumah tantenya, bukankah peluang untuk bertemu Andres juga
"Aku memang berkepala batu untuk mencintaimu, dan aku akan lebih keras lagi dalam mencintaimu Ferdian, bukankah itu adil? Adil karena aku dulu pernah bersalah kepadamu."MataSuroya melirik Mira, ia bisa tahu bahwa Mira masih gadis ingusan dan akan merasa minder kalau ia memprovokasi gadis itu. Ia akan melakukan apapun untuk membuat gadis itu menyerah."Cinta macam apa kalau bertepuk sebelah tangan?""Hmm, kita lihat saja nanti. Kalian sepertinya masih baru saling mengenal. Lihatlah gadis itu, sangat gugup di dekatmu." celoteh Suroya. "Aku rasa kau hanya bisa menyentuh tangannya bukan?" Suroya malah ingin tahu sedekat apakah mereka."Benarkah?"Kali ini Ferdian berbuat nekat, dengan sekali gerakan ia memeluk Mira dan mencium bibirnya. Ia bahkan dengan sengaja melumatnya dengan rakus di depan Suroya. Ferdian memamerkan bagaimana ciumannya sangat intens kepada kekasih barunya.Mira yang terkejut tak bisa berbuat apa-apa karena kua
Ferdian menoleh kearah suara itu. Ah, ternyata adalah ibunda tersayang yang sedang mengalunkan suaranya. Padahal ia mengira bahwa Suroya yang akan datang menemuinya, ia sungguh sedang berakting seolah Mira adalah kekasihnya."Ehem, ehem," ibunya berdehem membuat Ferdian tersipu malu. Ini seperti senjata makan tuan."Kenapa ibu datang nggak nelpon dulu?" Ferdian mengomel."Emangnya Ibu harus selalu laporan kemana Ibu pergi, hah?" katanya sambil meletakkan kotak berisi kue-kue buatannya. Matanya mulai mencari sosok yang tadi dilihatnya sedang bermesraan dengan putranya. Ia sungguh datang disaat yang sangat tepat."Siapa namamu, Nduk?" Ibunya mendekati Mira."Saya Mira, Ibu.""Kamu bekerja disini?""Iya, Bu," jawabnya malu-malu, sesekali sudut matanya melirik Ferdian."Ooh begitu. Saya ibunya Ferdian, tidak perlu sungkan ya," katanya kemudian."Terimakasih, Bu," ujar Mira sedikit bergidik karena teringat bagaimana ibu Ferdian mendesak putran
Turun dari mobil, mata Mira tertumpu pada bangunan megah di hadapannya. Entahlah berapa lantai dan milik siapa gedung ini dia belum tahu pasti. Beberapa layar besar menghiasi sisi depan gedung tersebut. Sepertinya tayangan iklan beberapa produk ternama tampil dalam tayangan tersebut."Ayo, jalanlah dengan cepat!" Ferdian memerintah Mira.Mira mengikuti langkah lebar Ferdian setengah berlari. 'Katanya, dia harus berpura-pura seperti kekasihnya, tapi lihat saja cara berjalannya yang nggak tahu aturan' batinnya."Ah ya, kesini sebentar!" Ferdian menunggu langkahnya, lalu dengan cepat tangannya meraih telapak tangan Mira. Ia menggandengnya dengan santai. Beberapa orang yang melihatnya seperti mengalihkan pandangannya pada genggaman tangan mereka membuat Mira sedikit risih."Kak, aku malu," lirih Mira kepada pria itu."Kau malu, atau mau?" godanya.Mira menarik tangannya, memberengut karena kesal. "Apa yang akan mereka pikirkan nanti?"
"Ibu, kenapa aku harus menikahi dia?""Hai! Jangan sembarangan ngomong ya! Apa kamu masih mau bermain-main? Ingat umur Ferdian? Usiamu sudah tak muda lagi. Apa kamu nggak kasian dengan ayah dan ibumu?"Ferdian jadi semakin frustasi."Apa kamu tidak memikirkan kami? Kamu adalah anak satu-satunya, seharusnya kamu sudah memberikan cucu untuk kami." Ibunya semakin mendesaknya."Ibu, ibu nggak ngerti apa-apa. Kenapa sih Ibu terus ngomong? Coba ibu dengar dulu alasanku.""Tidak. Ibu sudah tidak mau dengar alasan apapun lagi. Kalau kamu masih tidak ada keseriusan dengan gadis ini, kamu akan ibu nikahkan dengan Vina. Oke?"Ferdian mendengkus kesal. Bagaimana bisa nama itu disebutkan lagi?"Ibu, dia masih baru mulai meniti karir. Jadi tolong beri dia waktu," ujarnya asal-asalan."Jadi, dimana dia bekerja?"Ferdian mendapatkan pertanyaan yang bertubi-tubi. Sungguh menyebalkan. Bahkan jawaban yang ia berikan semakin membuat ibunya
"Oke, kamu sudah tenang ya sekarang."Mira melirik Ferdian. Sebenarnya ia juga kasihan melihat Ferdian yang panik tadi, makanya ia berhenti menangis. Padahal lagi enak banget menangis meluapkan rasa kesal.Mengingat nama Andres dua benar-benar kesal dan trauma. Karenanya ia terpisah dengan keluarganya."Kak, aku rindu dengan Tante dan kedua adikku. Aku ingin sekali bertemu dengan mereka. Tapi Mira tahu Kakak nggak mengijinkan aku bertemu mereka. Dan lagi, Mira berjanji untuk memberi uang setelah mendapatkan kerja," ujarnya."Jadi kamu pergi dari rumah memang berniat untuk bekerja di kelab Cherry?" tanya Ferdian setengah membentak.Mira menunduk dalam. "Mira nggak tahu Kak, yang Mira tahu itu adalah kafe biasa.""Apakah Andres yang telah membawamu?"Mira mengangguk."Dimana kamu bertemu Andres?""Om Andres tinggal tidak jauh dari rumah Tante, Kak. Dia sudah seperti keluarga sendiri.""Bangsa*t! Jadi dia selal
"Berapa saudaramu?"Ferdian mengajak Mira ke sebuah minimarket. Ia kasihan dengan gadis itu dengan isi dompetnya yang hanya sepuluh ribu."Emm, kami tiga bersaudara Om," pelannya."Kau memanggilku Om lagi! Turunlah dari mobilku!" Ferdian menghentikan secara tiba-tiba karena Mira memanggilnya Om.Mira terhuyung, hampir saja terbentur dashboard."Tidak bisakah aku memanggilmu Kakak?" pinta Mira sedikit ragu.Ferdian menautkan alisnya. Panggilan itu membuatnya mengingat Vivin adiknya. Tapi mungkin itu masih lumayan daripada dipanggil Om, dia membenci Om Om yang identik dengan pria nakal'. Sebab, Mira memang bukan keponakannya."Baiklah, panggil aku Kakak. Aku benci dipanggil Om, kau tahu? Aku masih sangat muda."'Nggak nanya,' batin Mira."Apa yang akan kau beli?" tanya Ferdian kepadanya saat Mira sampai di depan minimarket."Aku?" Mira sedikit terkejut. Ia ingat uang itu hanya sepuluh ribu di dompetnya.