Share

Madu Kujadikan Babu
Madu Kujadikan Babu
Author: Ricny

Part 1

MADU KUJADIKAN BABU

Part 1

"Mas, masa Mbak Intan cuma ngasih aku 20 ribu buat belanja, mana cukup, aku 'kan mau beli beras hari ini," rengek Nia yang tak lain adalah maduku sendiri.

Mas Iwan yang sedang menyelesaikan berkas kerjanya sebelum ke kantor langsung menoleh ke arahku yang tengah duduk santai sambil menonton acara televisi pagi.

"Duitnya gak ada lagi, udah tuh cukup-cukupin aja, udah syukur aku kasih duit tambahan buat belanja. Lagian boros amat, masa duit belanja buat sebulan udah habis aja, ini masih tanggal 27 loh, harusnya masih ada sisa buat 3 hari lagi," responku santai, sambil kugoyang-goyangkan kaki yang tengah bertumpang sebelah ini.

"Sekarang apa-apa serba mahal Mbak, jangankan jatah 20 ribu sehari, 50 ribu aja temenku masih suka ngeluh kurang. Segitu dia cuma belanja sayuran sama ikan doang, lah aku? Masa 20 ribu buat beli semuanya. Ya bumbulah, minyaklah, gas, galon, sayuran dan lainnya juga. Ngira-ngira dong Mbak, Mas Iwan 'kan ngasih duit itu nggak sedikit," protesnya kesal.

Sebenarnya ini bukan kali pertama dia protes. Nia maduku yang tak lain adalah sepupuku sendiri seringkali protes soal uang belanja yang kuserahkan padanya.

600 ribu. Tak kurang tak lebih. Sudah setahun ini kujatah dia sebesar itu. Cukup? Tentu saja tidak. Aku tahu sekarang apa-apa serba mahal. 600 ribu, jangankan untuk membeli semua kebutuhan dapur selama satu bulan, untuk dipakai beli sayur saja belum tentu cukup.

Tapi aku memang sengaja memberinya jatah sekecil mungkin. Aku ingin dia merasakan penyesalan karena sudah berani mengacau di dalam rumah tanggaku. Dia pikir enak jadi maduku?

Tepat satu tahun Nia hidup seatap denganku. Aku memang sengaja menyuruhnya tinggal di sini setelah dia sah menjadi istri kedua Mas Iwan, alasannya tentu saja agar aku bisa membalas rasa sakit yang aku rasakan di dalam sini.

Satu tahun lalu.

"Oh jadi ini kerjaan kalian selama di kedai? Pantas saja pelanggan sering protes karena katanya rolling kedai sering tutup di siang bolong, ternyata ini yang kalian lakukan di dalamnya!"

Mas Iwan langsung berhambur di kakiku.

"Maafkan Mas Tan, Mas khilaf."

Senyumku tersungging miring, walau aku tengah porak poranda, tapi aku berusaha menguatkan kaki agar tetap berdiri tegak, "khilaf katamu, Mas? Sudah sering kamu melakukan ini dan kamu bilang khilaf? Lebih parahnya kamu melakukan semua itu di tempat kita mengais rejeki, apa kamu nggak malu? Gak takut kamu rejekimu mati setelah kalian melakukan hubungan haram kalian itu, hah?!"

Aku baru saja tiba di kedai usaha bakso kami ketika kudapati mereka tengah memadu kasih tepat di atas meja pelanggan. Menjijikan.

"Iya Mas ngaku salah Tan, Mas janji gak akan melakukannya lagi."

Omong kosong! Muak, refleks kusiramkan saja sambal satu wadah penuh pada bagian 'aset' berharga mereka.

"Aaaww panaaas panas, Mbak!" Nia menjerit.

"Aku tunggu kalian di rumah!" tandasku sebelum akhirnya aku pergi meninggalkan kedai.

Tak lama aku sampai di rumah. Mereka juga datang dengan wajah meringis-ringis sambil terus memegangi aset mereka.

"Lihat itu Bibi, anak Bibi yang selama ini Bibi bangga-banggakan malah berani-beraninya menusuk di belakang dan bermain api dengan suamiku."

Bibi yang langsung kusuruh ke rumah ketika aku pulang dari kedai itu menatap sinis, "halah, kamu ini bisanya cuma nyalahin orang lain. Suami selingkuh itu karena ada alesannya. Kamu udah intropeksi diri belum?"

Aku menyeringai. Sungguh saudara yang tak tahu malu. Bibi malah menyalahkanku alih-alih mengakui kesalahan dan menghukum anaknya.

"Bener Bu, Mas Iwan juga ngomong begitu. Mas Iwan itu bosan sama Mbak Intan yang sehari-harinya cuma pakai daster dan kelihatan kucel kayak nenek-nenek, padahal umurnya 'kan cuma beda 2 tahun sama Nia," sambar Nia, ikut membela diri.

Ekor mata ini refleks menatapnya. Dia persis sekali seperti ibunya, sungguh tak tahu malu. Sudah salah bukannya minta maaf malah membenarkan perbuatannya.

"Udahlah Intan. Kamu itu gak usah membesar-besarkan masalah, toh semuanya udah terjadi 'kan? Ya udah, mau gimana lagi. Yang jelas Bibi mau suamimu itu bertanggung jawab karena sudah melakukan 'itu' dengan Nia."

Mas Iwan yang sejak tadi hanya tertunduk ciut kini mengangkat wajah.

"Tapi Bi, kami melakukannya atas dasar suka sama suka dan kami-"

"Baiklah," potongku cepat.

"Kalau Bibi mau anak Bibi ini menikah dengan Mas Iwan, silakan. Akan kuizinkan mereka menikah," lanjutku.

"Nah gitu dong. Masa gitu aja repot. Itung-itung balas Budi kamu tuh Intan. Sedari kecil kamu itu diurus sama Bibi, berbagilah sedikit kebahagiaan, dengan cara membiarkan Nia jadi istri kedua suamimu misalnya," cerocosnya lagi.

Hmm, rupanya ini yang bibi inginkan, pantas saja saat dulu aku akan menikah dia seolah tak ikut bahagia. Mungkin saat itu dia merasa anaknyalah yang lebih cocok menikah dengan Mas Iwan.

Tapi tak apa-apa, akan kukabulkan keinginannya itu sekarang, akan kuberikan suami tak tahu diri itu pada anaknya, dan akan kutunjukan bagaimana hidup anaknya nanti setelah dia menikah dengan suamiku yang dia pikir akan membawa kebahagiaan itu.

"Tapi dengan syarat. Nia harus tinggal seatap dengan Intan dan akan selalu tunduk juga patuh pada aturan yang Intan buat di rumah ini," tegasku.

Si Nia baru akan bicara saat ibunya menyela, "baiklah, Nia setuju."

-

-

"Kamu nggak usah banyak protes Nia, lupa kamu sama perjanjian kita dulu? Kamu akan selalu tunduk dan patuh pada apapun aturan yang aku buat di rumah ini," tegasku sambil terus menggoyang-goyangkan kaki dengan santainya.

"Tapi Mbak, aturan yang Mbak buat itu lama-lama bikin aku stres. Bukan cuma soal uang belanja, tapi soal kerjaan rumah yang semuanya harus kuhandle juga. Nyapu, ngepel, cuci baju, cuci piring, nyapu halaman dan lainnya yang bikin aku bener-bener stres. Padahal aku ini istrinya Mas Iwan loh Mbak, bukan babu yang seenaknya bisa Mbak suruh-suruh."

Hmmh bukan babu katanya? Dasar gak tahu diri. Dia belum sadar juga rupanya selama setahun ini dia memang kujadikan babu gratisan. Kasihan.

"Terus kamu maunya apa? Ongkang-ongkang kaki macam nyonya besar begitu? Ngaca dong Nia, kamu itu cuma istri kedua,"

Dia menyeringai, kulihat sekilas rahangnya mengeras sebelum akhirnya ia teriak pada Mas Iwan.

"Mas, kamu kok diem aja sih? Mbak Intan ini udah keterlaluan Mas, masa aku diperlakukan seperti ini kamu gak tegur dia? Yang adil dong Mas jadi suami, aku ini juga 'kan istrimu."

Pria yang sedang bekerja rodi itu menutup laptopnya.

"Udah diem! Pagi-pagi bikin rusuh aja, kamu tahu gak? Kepala Mas pusing dari semalem karena kerjaan gak beres-beres. Ini lagi, kamu malah bikin tambah pusing aja," responnya kesal sambil melengos pergi ke luar.

Aku cekikikan dalam hati. Puas rasanya. Rasain kau madu babu. Kena omel lakimu baru tahu rasa kau.

Aku memang menyuruh Mas Iwan bekerja di perusahaan temanku ketika mereka sudah menikah. Selain aku tak sudi lagi mempercayainya mengurus usaha kedai baksoku, alasan lainnya tentu agar aku bisa memeras tenaganya supaya pria itu terus bekerja rodi, mengumpulkan uang yang banyak untukku.

Gajinya selama satu bulan masuk ke rekeningku tanpa potongan sedikitpun, juga gaji lembur dan kerjaan tambahan lainnya. Semua jadi milikku, dan hanya kuserahkan 600 ribu pada Nia untuk kebutuhan makan. Makan untuk mereka berdua lebih tepatnya, karena aku seringkali makan di luar tanpa sepengetahuan mereka.

Maklumlah, si madu babu itu cuma mampu masak kangkung dan tempe setiap harinya, jadi aku kadang bosan juga.

Aku benar-benar menikmati hidup setelah mereka menikah. Merawat diri, olah raga, makan enak, pergi jalan-jalan, shopping dan bersantai ria seharian. Kerjaan rumah semuanya dihandle oleh Nia dan urusan nyari duit tugasnya Mas Iwan. Sementara bisnis baksoku kuserahkan pada adikku, aku hanya terima bersih dari bagi hasil saja. Hmm nikmatnya.

"Loh Mas, Maaas! Kamu mau kemana kok malah pergi sih?!" teriak Nia kesal. Sayang tak digubris oleh Mas Iwan.

"Heh Nia, kamu dengar 'kan tadi? Jangan berbuat onar yang bikin kepala pusing pagi-pagi begini. Jadi nggak usah banyak protes apalagi teriak-teriak. Kamu pikir rumahku ini hutan apa? Sana pergi belanja, bikin sarapan terus sikat tuh cucian yang masih menggunung di dekat pintu kamar mandi," ketusku.

"Tapi Mbak, aku capek. Aku bangun dari sebelum Subuh langsung gosek kamar mandi, terus nyapu, ngepel dan cuci piring. Masa iya sekarang aku harus nyuci juga, mana nggak pake mesin pula," tampiknya lagi.

"Ya itu sih risiko kamu, salah siapa mau jadi maduku?" balasku santai lalu bangkit dan melengos pergi dari hadapannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status