“Terus, masih belum coba-coba buka hubungan baru abis cerai?” Gusti meletakkan ponsel.
Pelayan warung datang membawa sepiring udang goreng tepung, sepiring sambal petai, sepiring parkedel, dua piring nasi, dua porsi cah kangkung, dua gelas es teh manis dan air tawar. Hiruk pikuk selama jam makan siang memang selalu tidak bisa dihindari.
Riuh suara mesin kendaraan dan pelanggan warung memenuhi telinga kedua lelaki itu. Terutama di warung makan tempat mereka berada sekarang.
Pelayan tersebut kembali melayani pelanggan lainnya, usai Gusti mengucap terima kasih sembari tersenyum.
Pria itu dan Johan menuang lauk dan sayur ke piring nasi, mengambil sepotong perkedel dan sambal petai secukupnya. Gusti melirik jam tangan dan membalas pesan sebelum mengaduk nasi. Tersisa satu jam lagi sebelum balik ke kantor.
“Belum. Bukan aku gak mau atau gak bisa move on, tapi masih sakit, Gus. Gak tahu juga dech, tiap kali mau mulai coba, hatiku selalu terasa berat.” Johan menuang cah kangkung yang tersisa.
Gusti termenung mendengar pengakuan Johan. Dia hanya memandang Johan yang bahkan sudah menghabiskan sepiring petai. Gusti tidak habis pikir tentang kehidupan Johan yang menurutnya tragis.
Laki-laki yang bertanggung jawab, tidak ngadi-ngadi, perhatian pada istri, tidak kurang uang bulanan, tapi justru malah mendapatkan perempuan yang tidak bersyukur. Tidak tanggung-tanggung, istri Johan malah selingkuh dengan tetangga rumah mereka.
“Bukan apa-apa sih, udah tiga tahun soalnya. Udah waktunya buka lembaran baru. Mantan bini udah ngelehoi kemana-mana, anak udah dua. Lah, kamu? Gini-gini aja." Gusti mengunyah parkedel.
“Ibumu gak nanya-nanya, gitu? Kan, biasanya ser –"
“Makan!” bentak Johan cepat dengan suara tertahan.
Gusti yang duduk di depan Johan terkejut melihat mata Johan melotot. Johan tidak mau mendengar ocehan apa pun saat ini, apalagi membahas masa lalunya yang seharusnya sudah terlupakan. Laki-laki berambut hitam lurus itu hanya mau tenang di jam istirahat kantor.
“Biasa aja kali, Jo.” sungut Gusti yang mulai menyendok nasinya.
Johan menumpuk piring-piring kotor dan menggesernya ke tengah meja. Sesekali matanya mengamati sekitar yang masih ramai dengan pegawai kantoran yang datang dan pergi dari warung.
Johan dan Gusti sudah beberapa kali makan di warung itu. Letaknya lumayan jauh dari kantor. Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk menjangkaunya daripada warteg dekat kantor yang hanya butuh dua menit berjalan kaki.
Karena terlambat memesan tempat, mereka harus rela mencari warung lain sampai akhirnya tiba di warung MARJAN SOLID.
Johan menatap Gusti yang lahap menyantap makan siangnya. Dia tidak berbohong tentang perasaannya yang ingin memulai hidup baru. Menutup cerita lama memang bisa dilakukan, bahkan semudah lidah tak bertulang.
Tetapi, mengobati luka yang terlanjur menganga tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Johan tidak mau lagi teringat-ingat apalagi mengenang kisah rumah tangganya yang menyakitkan. Cukup sudah semua cerita yang tinggal kenangan. Tidak ada yang tersisa baginya.
Mata Johan jatuh pada es teh yang masih sedikit diminum. Mungkin tidak ada lagi rasa manisnya karena es batu yang terlanjur mencair. Johan membuang napas sembari mendongakkan kepala.
"Semuanya enam puluh tiga ribu, Bang."
Johan mengeluarkan selembar uang merah, sementara Gusti langsung menuju ke mobil saat melihat panggilan telepon dari istrinya.
Johan menerima uang kembalian dengan mengangguk dan membalas senyum ramah kasir. Dia segera keluar warung menuju mobil, ketika Gusti masih bergurau ria dengan istrinya yang sedang di luar kota.
"Kita ke SPBU dulu, Jo. Minyak hampir habis."
"Sisa tiga puluh menit. Semoga gak antri." Johan melirik jam tangan Gusti.
Lelaki itu mengangguk. Gusti melajukan mobilnya santai ke pom bensin yang hanya lima menit dari warung makan tersebut. Cukup sepi saat mereka tiba, dan Gusti langsung ambil posisi.
Dia meminta pengisian penuh beserta struk pada petugas pom bensin. Gusti mematikan mesin mobil, saat petugas akan membuka penutup tangki minyak.
Jendela yang terbuka membiarkan angin sepoi mengelus rambut dan wajah manusia yang ada di pom bensin. Gusti merasa ingin pulang dan bermanja di tempat tidur.
Pria itu terdiam di sebelah Johan yang memejam mata sesaat. Pikirannya kosong seperti berhenti berpikir. Johan terlena disentuh angin sejuk di siang yang terik itu.
"Eh, Jo ... Jo ... tolongin tuh. Kasian."
Gusti menepuk pundak Johan saat melihat seorang perempuan sedang kepayahan mendorong motornya memasuki gerbang SPBU. Mata Johan terbuka, menoleh ke belakang dan melihat perempuan itu berhenti sesaat untuk bernapas. Dia juga meminggirkan motornya dan menyangga cagak sebelum akhirnya mengelap keringat yang menetes.
"Tolongin, Jo. Kasian."
"Udah biasa kayak gitu tu, Gus."
"Ya, Allah, Jo. Gitu amat. Kasian anak orang."
Jarak dari gerbang ke booth pengisian bahan bakar minyak motor lumayan jauh dengan jalan kaki. Gusti tidak tega melihatnya sementara antrian mulai terlihat. Dia yang baru saja turun dari mobil, mengurungkan niat untuk memeriksa volume minyak di tangki.
"Ambil alih, Jo! Aku mau ke sana."
Gusti menyerahkan beberapa lembaran merah pada petugas, ketika Johan turun dari mobil karena mulai tidak enak hati menolak permintaan Gusti.
"Maaf, permisi."
Marina menoleh. Matanya melihat sosok lelaki berpostur tinggi, berkulit cokelat tapi berperawakan manis, sedang menatap dirinya yang berkeringat.
"Motor kamu mogok? Biar saya bantu dorong ke sana."
Johan menunjuk sopan ke booth motor, sementara Marina bengong menatap lelaki di hadapannya. Dia terkejut seseorang tidak dikenal menawarkan bantuan padanya yang sedang kepayahan dan kepanasan.
Dia tidak segera menjawab, malah diam membuang waktu Johan yang harus balik ke kantor. Johan bengong memandang perempuan yang masih menggunakan helm itu.
"Oh, terima kasih. Saya bisa dorong ke sana," tolaknya halus.
"Yakin?" Johan menoleh ke arah booth motor yang mulai tampak ramai.
"Ok, kalau gitu. Saya tinggal ya, saya harus balik ke kantor. Permisi."
Baru enam langkah Johan berjalan untuk kembali ke Gusti yang sudah menunggunya di seberang sana, suara Marina kembali terdengar.
"Eh, tunggu!"
Johan tidak mendengar teriakan Marina. Pria itu terus berjalan cepat mengejar waktu menghindari Keterlambatan.
"Bang! Bang! Eh, aduhhh ...." Marina memperbaiki posisi helmnya yang melorot.
"Bang!"
Marina mengejar Johan yang hampir dekat dengan booth mobil. Johan menoleh saat mendengar suara yang memanggil seseorang.
"Maaf. Boleh bantuin dorong?"
Marina tersenyum sungkan, dengan napas ngos-ngosan dan semakin berkeringat. Johan menarik napas melihat Marina yang seperti Bunglon. Tadi menolak, sekarang meminta. Johan tersenyum mengejek. Tapi, Johan teteplah Johan –lelaki yang tidak tegaan.
"Ok, ayo!"
Johan berlari ke tempat parkir motor Marina, lantas mendorongnya sampai ke booth selang motor.
"Terima kasih banyak, Bang. Maaf ya, saya ngerepotin," ucapnya ngos-ngosan karena kehabisan tenaga mondar-mondar berlari.
"Sama-sama. Saya balik ya. Permisi."
"Eh, tung –"
Johan jalan terburu-buru, mengingat waktu yang sudah mepet. Sepuluh menit lagi untuk tiba di kantor sebelum rapat dimulai.
"Yah ... main kabur aja nih abang-abang!"
Marina berdiri mengantri bbm sembari menatap Johan, yang sudah berlari mengejar waktu yang tersisa.
Marina menaruh helm di atas kursi setibanya di warung makan Padang miliknya. Warung makan yang dibuka sejak empat tahun silam itu, sukses menjadi warung makan yang ramai disambangi. Warungnya hanya buka dari jam sepuluh pagi sampai jam empat sore. Marina yang hanya lulusan SMA tidak punya keahlian untuk 'dijual' di dunia perkantoran. Hanya memasak yang dia bisa, masakannya juga enak. Selepas bercerai, dia memutuskan membangun hidup baru, mengobati luka, dengan bangkit membuka usaha kuliner untuk menyambung hidup. “Kakak ke atas dulu, ya.” Marina meletakkan tas selempang di atas kasur. Menggulung rambut hingga menjadi sanggul cepol sebelum duduk di depan cermin yang digantung di dinding kamar lantai dua. Dia memandangi dirinya yang tampak kusam dan lelah. Jerawat besar di kening dan empat jerawat beruntus di pipi dan dagu. Jerawat radang yang tidak gatal tapi terasa sakit meski tidak disentuh, dan jerawat beruntus yang gatal tapi sakit sa
Marina duduk di ruangannya tengah merenung, dengan pena di tangannya mengetuk-ngetuk kertas yang sedang ditulisnya. Dia sedang mencari cara untuk bisa mengembalikan uang Johan yang ada padanya. Jam dinding Kalpataru menunjukkan pukul 08.28 malam. Marina tidak lapar tapi merasa ingin makan sesuatu. Dia naik ke lantai dua mengambil sweaterdan kunci motor. Janda muda itu lebih suka bermotor ria pada malam hari, karena suasananya terasa lebih romantis menurutnya. Apalagi Marina sedang dalam masa mencari suami baru. Siapa tahu ketemu jodoh di jalan. *** Sambil menunggu pesanannya, Marina duduk setelah memakirkan motornya di tempat penjual sate kambing di pinggir jalan. Setelah berputar-putar mencari tempat nongkrong outdoor yang asik tanpa ribet, Marina menjatuhkan pilihan berhenti di gerobak sate yang baru pertama kali disinggahinya. Penjual sate langganannya ternyata sudah empat hari tidak jualan, sedang pulang kampung kata
Riska sudah siap dengan semua perlengkapan untuk acara promo tahunan bersama timmarketing, tim penjualan, dan tim terkait yang kini berada di pelataran parkir lapangan tembak. Mereka harus bekerja keras untuk menarik perhatian pengunjung lapangan yang pagi itu sangat ramai. Menjual produk lebih banyak demi bonus yang dijanjikan diluar bonus tahunan, bila target penjualan di hari itu tercapai. Gusti bersiap menuju mobil kantor untuk menjemput nasi kotak, menggantikan Vina yang tiba-tiba tidak bisa menyelesaikan bagian tugasnya karena Suroso meminta tambahan dana untuk segera dikeluarkan. Dia berdecak kesal karena pekerjaan itu seharusnya bisa dilakukan oleh supir kantor. Faktanya, mereka semua terlibat dalam sesi penjualan produk melihat antusiasme pengunjung yang cukup tinggi. Mau tidak mau, Suroso harus melibatkan tenaga mereka dalam sesi penjualan. “Des, Vira mana?” “Ha? Apa?” teriak Desi. Dia tidak mendengar karena su
Johan baru saja selesai mandi ketika ponselnya yang tergeletak di atas kasur berbunyi. Buliran air pada rambut yang dikeramas menyisakan tetes air yang jatuh di pinggiran wajah dekat telinga dan juga bahu. Laki-laki itu hanya mengenakan celana pendek katun. Kulit cokelatnya yang bersih membuat Johan semakin terlihat menawan. Anakku hampir pingsan menunggumu di teras, buka pintu buruan! Johan segera keluar kamar setelah membaca pesan yang membuat jantungnya hampir copot. Dia terkejut saat pintu dibuka, melihat Gusti sudah berdiri di depan pintu dengan sebuah tas bayi dan anaknya dalam gendongan. “Kenapa gak bilang-bilang kemari?” Johan membuka pintu lebar-lebar. “Kelamaan! Nunggu buka pintu aja sampe sepuluh menit. Bisa kehujanan aku di jalan kalau harus telepon dulu. Kasihan anakku.” Gusti menerobos masuk tanpa mengucap salam dan meletakkan tas bayinya di meja tamu. Johan menutup pintu sambil geleng-geleng kepala melihat kelakuan sohi
"Abang nginep di rumah Johan. Semalam main ke sini, pas nyampe malah hujan gak berhenti. Si Melly juga badannya anget, gak berani Abang bawa pulang," jelas Gusti video calldengan istrinya. "Astaghfirullahal'adzim! Trus, udah Abang kasih obat? Gimana kondisinya sekarang? Badannya masih panas? "Udah, untung kebawa obat panasnya semalam. Panasnya udah mulai mendingan." Gusti menggeser kamera memperlihatkan Melly yang tengah tertidur pulas. Dia kembali fokuskan kamera ke wajahnya dan melihat air muka khawatir di wajah istrinya. "Udah, kamu siap-siap, nanti ketinggalan pesawat. Hati-hati di jalan, jangan cemas. Insha Allah, Melly gak apa-apa dengan doa kamu ibunya." "Iya, dech. Pergi dulu ya, Bang. Jangan ngerepotin bang Johan. Assamu'alaikum. Muahhh!" "W*'alaikumussalam. Muaahhh!" Gusti keluar kamar membawa saat melihat Johan membawa belanjaan. "Kamu belanja, Jo? Uang darimana?" Gusti
Marina berputar-putar di depan cermin mematut diri dengan celana jeans putih dan tunik bunga selutut berlengan panjang. Marina tidak suka memakai baju terbuka. Tidak sopan kata bapak dan ibunya. Pagi ini dia akan ke ATM untuk setor uang hasil penjualan kemarin. Itu dilakukannya setiap hari. Tiga puluh lima menit kemudian, Marina menatap malas pintu masuk bank, saat matanya menangkap tulisan di mesin setor tunaiMAAF ATM SEDANG DALAM PERBAIKAN.Antrian panjang di dalam ruangan benar-benar memuakkan. Marina dan semua orang tentu saja tidak suka itu. Dia juga malas mencari mesin setor tunai yang lain. Jauh. Marina akhirnya masuk ke dalam bank, berdiri di pintu masuk, melihat ke dalam ruangan yang... Sesak. Matanya tertuju ke layar monitor yang menunjukkan angka 005 untuk antrianteller, lalu pindah ke jam dinding di jarum pendek 10.05. 'Anda tidak beruntung.'
Johan duduk di teras menatap langit malam tanpa kemilau bintang. Angin bertiup sepoi menerbangkan rambutnya yang hitam. Entah sudah berapa puluh orang dan berapa ratus ribu kali, orang-orang memberinya nasehat. 'Menikah memang mudah, tapi menikah yang melibatkan hati bukan perkara mudah.' Johan mengembus napas lelah. Lelah harus menjawab bahkan menjelaskan setiap omongan yang menganggapnya belummove on.Jam dinding mengarah pada angka 9.10 menit. Dia termenung sebentar berpikir akan melakukan apa. Pintu pagar besi, Johan dorong hingga ke batas akhir agar mobilnya bisa keluar, setelah mengambil jaket dan mengunci pintu rumah. Sesaat melihat ponsel ketikaring tonepesan berbunyi. Tidak ada yang penting untuk dijawab. Johan melajukan mobilnya tanpa arah tujuan. Ingin ke rumah Gusti untuk bermain dengan Melly, tapi yang bersangkutan sedang tidak di rumah sejak sehabi
“Gak jadi belanjanya,Nduk?” “Eheh, iya, Pak. Gak jadi, ada yang kelupaan.” Marina memasukkan kunci motor, dan mengeluarkan motornya dibantu si bapak sebelum memberikan selembar uang dua ribu. “Makasih, Pak.” “Sama-sama,Nduk.Hati-hati di jalan.” Marina mengangguk pertanda izin pamit sambil tersenyum. Mengendarai motornya di bawah langit malam yang indah, dia selalu berangan menyusuri jalan setapak dan beraspal, berdua dengan lelaki yang mencintai dan dicintainya. Duduk makan es krim berdua seperti anak remaja yang tengah pacaran. ‘Kapan aku punya suami baru?’ Sepanjang jalan, dia merasakan hatinya perih melihat pasangan mesra dan romantis yang banyak dijumpainya. Sesaat, Marina teringat kenangan manis bersama mantan suami saat masih pacaran dan baru menikah. Semua terasa indah dan bahagia sebelum kemelut rumah tangganya menyerang. Cepat-cepat dia buang ingatan itu. Marina tidak mau lagi mengin