Johan duduk di teras menatap langit malam tanpa kemilau bintang. Angin bertiup sepoi menerbangkan rambutnya yang hitam. Entah sudah berapa puluh orang dan berapa ratus ribu kali, orang-orang memberinya nasehat.
'Menikah memang mudah, tapi menikah yang melibatkan hati bukan perkara mudah.'
Johan mengembus napas lelah. Lelah harus menjawab bahkan menjelaskan setiap omongan yang menganggapnya belum move on. Jam dinding mengarah pada angka 9.10 menit. Dia termenung sebentar berpikir akan melakukan apa.
Pintu pagar besi, Johan dorong hingga ke batas akhir agar mobilnya bisa keluar, setelah mengambil jaket dan mengunci pintu rumah. Sesaat melihat ponsel ketika ring tone pesan berbunyi. Tidak ada yang penting untuk dijawab.
Johan melajukan mobilnya tanpa arah tujuan. Ingin ke rumah Gusti untuk bermain dengan Melly, tapi yang bersangkutan sedang tidak di rumah sejak sehabis Maghrib. Dia rindu dengan bayi montok yang cukup sering tidur bersamanya di tempat tidurnya.
Dia rindu dengan wanginya, suara tawa, tangisan, dan rengekan Melly. Menggendongnya dan bangun tengah malam mengganti popok saat Gusti tidak terbangun, atau membuatkan susunya. Johan menjadi terbiasa dengan hal-hal yang berbau bayi, sejak Melly sering dibawa Gusti ke rumahnya. Johan rindu suara bayi di rumahnya.
Bang, datanya gak bisa export ke excel, kenapa ya, Bang? Tumben nih softwarenya heng.
Pesan dari Riska yang harus lembur karena laporan akhir bulan harus selesai sebelum deadline berakhir. Riska yang berada langsung di bawah Johan secara struktural perusahaan, sering menjadikan Johan tempat curhat. Gadis itu menjadikan Johan sosok abang yang tidak dia miliki.
Johan tidak menggubris pesan tersebut gara-gara matanya melihat Marina sedang duduk di pinggir jalan, tepat di bawah sinaran lampu jalan - sedang bersedih.
"Sedang apa dia di situ?"
Dia menarik rem tangan, bermaksud menghampiri janda muda tersebut. Namun, justru berakhir hanya menatap Marina dari dalam mobil.
“Sedang apa kamu di sini?”
Marina terkejut mendengar suara lelaki yang lumayan dekat dan melihat sosok Johan sudah berdiri di sampingnya. Johan melihat-lihat sekitar –lumayan sepi tanpa banyak kendaraan yang lewat. Motor matic Marina diparkir di sebelah kirinya. Marina bergeming.
“Kenapa kamu duduk di sini sendirian?” ulangnya.
“Gak apa-apa,” lirih Marina cuek.
“Gak baik kamu sendirian di sini, jalanan juga sepi. Kalau ada yang berbuat jahat sama kamu, gimana?”
Mata Marina seketika melirik tajam dan sadis pada Johan yang kebingungan dengan sikapnya yang aneh.
“Kamu tuh anak perempuan. Syukur kalau kamu karateka atau sejenisnya, kalau gak? Kan berabe!”
Dahi Marina mengerut. Johan tidak bermaksud menakut-nakuti, tapi memang perkataannya benar adanya. Marina mencoba menyangkal, tapi hatinya sejujurnya sudah mulai ketakutan.
“Apaan tuh karateka?” liriknya mengiba.
Johan menarik napas. Dia tahu benar bahwa Marina mulai tidak nyaman dengan ucapannya barusan. Tapi, Johan harus berkata yang sesungguhnya.
“Karateka itu orang yang bisa bela diri karate.”
Johan masih berdiri di tempatnya. Tidak sedikitpun Marina menggeser tubuhnya untuk Johan bisa duduk di sebelahnya. Dan, dia hanya menjawab O.
“Kamu belum jawab pertanyaan saya.”
Johan masih berdiri dengan sabar menagih jawaban dari Marina. Sebetulnya Johan sudah geleng-geleng kepala dengan kelakuan Marina sejak awal jumpa.
“Kalau patah hati jangan duduk di sini, harusnya ke kafe makan es krim atau makan bakso dower yang pedesnya bikin gelepar-geleper.”
“Apaan sih? Siapa juga yang patah hati.”
Marina sewot bukan kepalang. Johan menahan bibirnya untuk tersenyum supaya tidak terlihat oleh janda muda itu, tapi dia bersorak sorai dalam hati.
“Nungguin pacar kamu?”
Johan kembali mengamati sekitar mencari sosok yang mungkin sedang ditunggu oleh Marina. Namun, tidak ada tanda-tanda yang terlihat. Johan bingung untuk bersikap melihat Marina tidak kunjung memberi respons.
“Ya, sudah. Saya balik dulu, ya. Kamu hati-hati.”
Johan langsung balik badan tanpa menunggu jawaban dari Marina. Perempuan itu tercengang dengan sikap Johan yang tidak berbeda dengan pertemuan di pom bensin.
‘Itu orang gimana, sih? Main pergi-pergi aja!’
Marina menatap kepergian Johan dengan muka sungut. Matanya melihat Johan yang membuka pintu mobil tanpa melirik lagi padanya. Tanpa pikir panjang, Marina berdiri dan berjalan ke tempat motornya diparkir.
Dari dalam mobil, Johan bisa melihat dengan jelas Marina yang sedang bersiap untuk pergi. Lelaki itu sengaja menunda melajukan mobilnya untuk memastikan Marina baik-baik saja.
“Mudah-mudahan aja motornya gak ngulah lagi kayak tempo hari.”
Marina melajukan motornya tanpa menghiraukan Johan yang terus memperhatikannya dari belakang. Rencana perempuan itu untuk bertemu dengan teman sekolahnya batal, karena tiba-tiba teman Marina memberi kabar yang tidak menyenangkan. Perempuan itu baru saja berpikir akan tujuan selanjutnya untuk menikmati malam, bersenang-senang menghilangkan penat tanpa ada teman, tetapi Johan justru datang menghancurkan moodnya.
“Perempuan aneh!”
Kali ke dua kalimat itu terlontar dari mulut Johan sebelum menggeser persneling dan berlalu. Dengan kecepatan rendah, Johan tanpa sadar melajukan mobilnya mengekori Marina. Perempuan itu mengurungkan niat untuk balik ke warung, ketika melihat dari kaca spionnya –Johan berada di belakangnya.
‘Ngapain sih dia? Mau ngekorin aku?’
Marina sempat melihat mobil Johan saat berhenti di bawah pohon tadi, bahkan sempat melihat nomor plat mobil lelaki itu –dan terhapal. Perempuan itu meminggirkan motornya ke kiri untuk berhenti di satu swalayan. Bukan untuk membeli sesuatu, tapi untuk menghindari Johan. Sekilas Marina melihat mobil Johan melintas dengan kecepatan sedang di lajur kanan, tidak peduli pada dirinya yang tiba-tiba kerepotan memarkir motor dengan cagak dua. Marina celingak-celinguk melihat sekeliling untuk meminta bantuan.
“Mari saya bantu, Mbak.”
“Euh, ng –eheh, iya, Pak.”
Seorang tukang parkir muncul dari arah belakang setelah membantu mobil yang akan keluar dari parkiran swalayan.
“Ng, terima kasih, Pak.”
“Sama-sama, Mbak. Jangan lupa dikunci setang motornya, helmnya taruh yang benar. Biar gak hilang,” nasehatnya dengan logat jawa yang kental.
Marina mengangguk.
“Saya masuk dulu, Pak,” ujar Marina tersenyum.
“Monggo, Nduk.”
Marina terkejut mendengar panggilan si bapak berubah dari mbak menjadi nduk.
Marina menghela napas. Memandangi swalayan sambil berpikir apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Tidak mungkin hanya berdiri di luar seperti orang tidak punya uang, pun masuk ke dalam juga tidak ada yang butuh untuk dibeli, apa lagi tempat untuk duduk.
Janda muda itu melihat sekeliling –mencari kafe atau warung untuk duduk bersantai. Tidak ada yang nyaman menurut pandangan matanya. Dia mulai kesal dan menggerutu nasibnya yang tidak beruntung malam ini.
‘Hah, kenapa juga ketemu sama tuh abang-abang? Gara-gara dia jadi kemari!’
Perempuan itu menarik napas panjang –celingak celinguk berpikir alternatif lainnya untuk menikmati malam.
“Gak jadi belanjanya,Nduk?” “Eheh, iya, Pak. Gak jadi, ada yang kelupaan.” Marina memasukkan kunci motor, dan mengeluarkan motornya dibantu si bapak sebelum memberikan selembar uang dua ribu. “Makasih, Pak.” “Sama-sama,Nduk.Hati-hati di jalan.” Marina mengangguk pertanda izin pamit sambil tersenyum. Mengendarai motornya di bawah langit malam yang indah, dia selalu berangan menyusuri jalan setapak dan beraspal, berdua dengan lelaki yang mencintai dan dicintainya. Duduk makan es krim berdua seperti anak remaja yang tengah pacaran. ‘Kapan aku punya suami baru?’ Sepanjang jalan, dia merasakan hatinya perih melihat pasangan mesra dan romantis yang banyak dijumpainya. Sesaat, Marina teringat kenangan manis bersama mantan suami saat masih pacaran dan baru menikah. Semua terasa indah dan bahagia sebelum kemelut rumah tangganya menyerang. Cepat-cepat dia buang ingatan itu. Marina tidak mau lagi mengin
Selesai dengan ritual membersihkan wajah di malam hari, Marina mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur. Gorden dan jendela sudah ditutup sejak Maghrib. Anak-anak pekerja juga sudah beristirahat. Warung makan Marina berupa ruko dua lantai, yang terdapat dua kamar di bawah untuk pekerja lelaki dan dua kamar di lantai atas untuk pekerja perempuan, termasuk dirinya. Selebihnya merupakan pekerja pulang usai warung tutup. Pukul sebelas malam memang masih ramai. Suara musik, kendaraan lalu lalang, dan orang-orang masih terdengar, tetapi bagi para tim Marjan Solid, jam tersebut merupakan jam tidur. Mereka lelah. Masa mereka untuk bersenang-senang adalah selepas warung tutup. Marina juga memberlakukan jam malam bagi pekerja yang tinggal bersamanya di ruko. Piyama hitam yang belum lama dibeli merupakan hadiah ulang tahun anak-anak warung. Marina sangat senang saat itu meski hanya sebuah piyama. Bukan karena bentuk hadiah atau nominalnya, tetapi pemberian yang
“Kak, pesanan sambal ijo petai 100 box buat lusa,” kata Santi mengambil kunci laci kasir. “Barusan ditelepon katanya minta disiapin sebelum jam empat sore.” “Ok, seperti biasa, San. Kakak ke bank dulu!” Marina melajukan motor matic dengan santai. Namun, sejujurnya dia masih tidak tenang karena mimpi buruk tadi malam. Tampilan mata Marina juga tidak bagus –berkantong dan berlingkaran hitam. Pagi ini Marina masih sangat mengantuk sebetulnya, tetapi karena ada banyak pekerjaan yang harus selesai, Marina memaksakan dirinya harus melek. Beberapa kali Marina menguap selama perjalanan. Udara pagi tidak dingin seperti biasanya, tetapi cukup menyembuhkan kantuknya dan menyegarkan otak dan tubuh. Pagi ini dia sengaja datang lebih pagi dari biasanya supaya tidak perlu mengantri. Gerah jika harus masuk ruangan bank menemui teller atau bahkan mencari bank lain. Setoran bank melalui mesin atm yang paling disukainya. “Mudah-mudahan hari ini staminaku o
“Kakak keliatan nggak baik-baik aja. Kakak nggak enak badan?” tanya Santi memperhatikan Marina usai mengunci laci kasir. “Baiknya Kakak istirahat aja dech, Kak.” Sejak pagi dia sudah melihat kejanggalan itu. Namun, tak tertanyakan karena Marina bergegas pergi. Lingkaran hitam masih terlihat dan muka Marina terlihat lelah. Marina tidak menganggapinya. Dia beranjak dari kursi. “Kakak ada masalah?” Santi bertanya dengan hati-hati. Marina menggeleng lalu menjauh dari meja kasir. Tak yakin apa yang dilihat, Marina mengekorinya, mencoba mendekati –mungkin saja berhasil. Begitu pikirnya. “Santi bikinin teh hangat madu, ya?” “Nggak usah, San.” Santi masih mengikutinya hingga ke lantai dua. “Kakak kurang tidur.” Marina menggangguk pelan sembari melepas tas dan menaruhnya. “Mimpi buruk lagi?” Marina menatap sebentar sebelum menggangguk. Dia merebahkan tubuh di ranjang. Nikmat sekali rasanya. Santi menghela napas dalam-dal
“Namanya bu Rini, dia orang berpengalaman nangani orang-orang yang kasus-kasus mental gitu. Kakak tinggal hubungi buat bikin janji ketemu.”Marina menarik napas dalam-dalam sambil membaca data psikolog tersebut. Dia tidak menyangka Santi bisa secepat itu menemukannya. Kerja bagus yang patut diapresiasi karena mendapatkannya dalam dua hari.“Ok, makasih, San. Nanti Kakak hubungi,” katanya menyimpan kertas tersebut ke dalam laci.“Nggak disimpan dulu nomornya, Kak? Kalau kertasnya hilang, kan, masih ada nomor yang bisa dihubungi.”Marina tertegun sejenak. “Nanti aja. Oh iya, pesanan dua hari lalu udah siap?”Kepala Marina bergerak melihat ke dapur. Tampak persiapan pesanan nasi kotak hampir rampung. Menu penganan siang itu juga sudah tertata di etalase warung.“Setengah jam lagi diambil,” sahut Santi sebelum kembali meja kasir. “Pesanan jam empat sore tambah peyek kacang dua pul
“Mau apa kamu di mobil saya?”Marina gelagapan ketika suara Johan menghujam telinganya dengan tegas tetapi datar.“Eng … itu, duit saya jatuh. Uang koin. Kalau dengar dari bunyinya kayaknya jatuhnya di sekitaran sini,” jawab Marina gugup. Andai bagian kepalanya bisa dilihat Johan, maka lelaki itu akan tertawa karena Marina mulai berkeringat.Johan meyakinkan dirinya sendiri bahwa lawan bicaranya tidak berbohong –selama menatap Marina. Perempuan itu semakin gelisah dari bahasa tubuhnya yang sejak tadi Johan lihat.“Lantas?”“Apanya?” Marina kembali menatap Johan, setelah sempat berpaling.“Uangnya udah ketemu?”“Eng … udah. Permisi!”Marina berlalu tanpa basa-basi lainnya atau menunggu Johan memberi respons. Lelaki itu mengamatinya hingga dia pergi meninggalkan parkiran bank. Ketika Johan mengalihkan perhatiannya ke mobil, mata lelaki itu
“Kalian ketemu nggak sengaja berkali-kali, terus dengan dia bocorin ban kamu artinya kalian ada bercakap-cakap. Nah, cakap kamu pasti bikin perasaannya tersinggung.” “Sok tahu!” “Loh, kok sok tahu?” sanggah Gusti melirik sekitar. “Faktanya memang kalian ada ketemu sebelumnya, kan? Terus ngobrol apa gitu, basa-basi kek, apa kek. Nah, ini –“ “Udah lah, aku mau balik!” “Eh, Jo, nggak bisa gitu!” Gusti mengejar Johan yang mengambil bajunya di mobil. Tubuh Johan terasa lengket karena keringat. Berdiri di kap mobil cukup membantu mengeringkan keringat di permukaan kulitnya. Johan mengangkat sedikit tangannya untuk tahu aroma tubuhnya. “Nggak bau. Kalau pun bau juga cuma aku yang cium,” ujarnya membuat Johan menatap sadis. Beruntung Gusti tidak terlalu jelas melihatnya karena remang-remang. “Minggir, kalau nggak mau kena tonjok!” Karena penasarannya tidak terjawab, Gusti mengitari mobil dengan terburu-buru lalu masuk dan duduk
“Gimana? Pilihan kamu ke polisi atau ganti rugi uang saya.”Pilihan yang memojokkan Marina dan Johan sengaja melakukan itu. Kelakuan Marina tidak bisa ditolerir untuk diaggap sebagai lelucon atau iseng belaka. Johan mengeluarkan ponsel dan mengetik di pesan sms.“Ini nomor rekening saya. Transfer sekarang atau kamu jadi buronan!”‘Ha?’ Marina nyaris tersedak ketika ancaman Johan terlontar saat dia meneguk jus jeruk. Sudut bibir Johan ketarik menertawakan perilaku jelek lawan bicaranya. Ternyata perempuan banyak yang menggunakan kecantikan untuk memperdaya target kejahatannya.“Cantik-cantik penipu!” cibir Johan.“HEH, ANDA JANGAN SEMBARANG NUDUH SAYA. SAYA BUKAN PENIP –““KALAU KAMU BUKAN PENIPU, BUKTIKAN PERKATAAN KAMU!!!”Marina terkesiap mendapat bentakan Johan yang lantang dan bersuara tinggi. Sikap Marina semakin memancing darah Johan mend