Marina berputar-putar di depan cermin mematut diri dengan celana jeans putih dan tunik bunga selutut berlengan panjang. Marina tidak suka memakai baju terbuka. Tidak sopan kata bapak dan ibunya.
Pagi ini dia akan ke ATM untuk setor uang hasil penjualan kemarin. Itu dilakukannya setiap hari.
Tiga puluh lima menit kemudian, Marina menatap malas pintu masuk bank, saat matanya menangkap tulisan di mesin setor tunai MAAF ATM SEDANG DALAM PERBAIKAN. Antrian panjang di dalam ruangan benar-benar memuakkan. Marina dan semua orang tentu saja tidak suka itu. Dia juga malas mencari mesin setor tunai yang lain. Jauh.
Marina akhirnya masuk ke dalam bank, berdiri di pintu masuk, melihat ke dalam ruangan yang... Sesak. Matanya tertuju ke layar monitor yang menunjukkan angka 005 untuk antrian teller, lalu pindah ke jam dinding di jarum pendek 10.05.
'Anda tidak beruntung.'
Marina berdiri setelah mengambil nomor antrian lalu mengisi form setoran tunai. Matanya melihat seluruh ruangan, tidak ada bangku kosong.
'Benar-benar menyebalkan!'
Sesaat kemudian matanya tertuju pada sosok yang sedang duduk di antrian customer service.
'Ok, ketemu dia lagi. Mudah-mudahan dia gak lihat aku, apalagi sampe berpapasan.'
Dia berdiri di dekat meja dimana form berada. Menyusuri satu-persatu kursi yang mungkin kosong, karena nasabah muak menunggu antrian yang lama.
Dua jam kemudian, Marina sudah duduk di kafe bersama secangkir mochacino menghilangkan penat setelah antrian bank yang membuat kakinya lemas, dan bokongnya sakit. Dia mengambil waktu satu jam sebelum balik ke warung untuk mengurus gaji pekerja.
Hari ini tanggal 1, dan 3 hari lagi pekerja akan gajian. Marina tidak mau membayar gaji setiap tanggal 2 setiap bulan. Dia harus menghitung bonus dan pajak setelah menyussun nominal gaji, yang ditransfer ke rekening masing-masing.
Hari ini dia benar-benar merasa lelah untuk seseorang yang hidup sendiri. Marina menatap ponsel yang terletak di sebelah kanan cangkir. Seperti ada sesuatu yang membuatnya harus melakukan sesuatu, bukan perihal pekerjaan.
Tatapan Marina tertuju pada seorang kakek tua bersepeda yang membawa dagangan. Dia terlihat lelah dan uzur. Punggungnya membungkuk, kulitnya kering tua, tapi dia masih sangat kuat berjalan menjajakan sapu ijuk. Entah sudah berapa jam kakek itu berkeliling, tapi dia sungguh tidak mengeluh.
Marina terpaku.
Matanya mulai berkaca-kaca, melihat kenyataan hidup yang dihadapi masing-masing individu demi bertahan hidup.
***
[Gimana kabar kamu, Han?]
"Alhamdullillah baik. Ibu sehat di sana?"
[Ibu di sini baik-baik, kok. Sehat Alhamdullillah. Kamu sekarang lagi dimana? Apa masih di kantor?]
"Hmmm... Masih ada kerjaan, Bu. Tapi, gak repot-repot amat. Kenapa, Bu?
[Ibu ada rencana mau ke rumah kamu pekan depan, jadi kita bisa puasa bareng.]
"Wahhh... Alhamdullillah."
'Akhirnya ada yang masakin.'
"Trus, kapan Ibu berangkat? Biar Han jemput."
[Kan udah Ibu bilang dalam beberapa hari, gimana sih?]
"Lah, kan tanggal pastinya, Bu. Tiket udah beli belum? Biar Han..."
[Nanti kan Ibu kabari lagi. Tiketnya jangan lupa belikan. Udah ya, Ibu mau beli ikan dulu. Assalamu'alaikum.]
Tut tut tut.
"Lah?"
Johan mengembus napas sembari memandang aneh ponsel yang dipegang. Bukan hal baru bagi Johan mengalami perlakuan ibunya yang seperti itu saat menelepon, tapi kalau minta dibelikan tiket tanpa ada kepastian tanggal?
"Keburu naik harga tiket, Buuuu!" Johan menepuk jidat.
"Ika berani taruhan, Abang senang ibu Abang datang pasti karena gak perlu masak-masak apalagi makan di luar. Hehehe..." Riska cengengesan.
"Nguping aja!" sewot Johan memandang desktop.
"Gak nguping juga denger kali, Bang. Abang bicara bukan bisik-bisik kayak orang pacaran," bantah Riska bangun dari kursi.
"Nih, Abang tanda tangan." Riska meletakkan berkas dua bundel di meja Johan.
Johan hanya melirik kertas-kertas itu tanpa menjawab, lalu melirik Riska sekilas yang berjalan menuju pantry.
"Kopi Abang sekalian, Ris."
"Cari bini, Bang!" teriak Riska di ujung tangga.
Johan menarik napas.
"Nitip makan siang gak, Jo? Aku lagi malas keluar hari ini."
Gusti datang membawa keripik pisang cokelat yang tersisa setengah bungkus. Johan menoleh.
"Nitip sama Deni?"
"Hu um, mau gak?" Gusti menarik kursi mendekat ke Johan.
"Boleh, dech." Johan bersandar ke punggung kursi.
"Dua aja, Ris, kopinya?"
"Iya, punya Bang Johan satunya."
Gusti melirik Johan yang mendongak ke atas dengan mata tertutup. Riska menaruh segelas kopi ke hadapan Johan, lantas mengambil sedikit keripik dari plastiknya. Gusti menarik kursi lain untuk Riska.
"Kenapa, Jo?"
Mata Johan perlahan terbuka.
"Gak apa-apa. Lagi suntuk aja," lirihnya.
"Bang, Ika bukannya ikut campur ya, tapi Ika prihatin sama Abang. Kenapa Abang gak nikah lagi, sih? Apa Abang trauma sampe gak mau buka hati lagi?"
Riska duduk setelah meletakkan kopinya di dekat bungkus keripik.
"Emang seprihatin itu hidup Abang kelihatannya?" kesal Johan menegakkan badan.
"Gak gitu, Bang. Maksudnya ...."
"Masih ada luka yang sembuh, Ris. Nanti juga nikah lagi setelah ketemu dokter cintanya," sela Gusti meminimalisir ketegangan yang mulai terasa.
Johan menatap sinis Gusti yang meledeknya. Gusti balas menatap Johan mantap, mengunyah keripik dengan santai tanpa rasa bersalah.
"Maaf ya, Bang. Bukan maksud Ika, tapi ..." Riska takut-takut menatap Johan.
Johan memandang ke layar komputer bermain Tetris.
"Ada baiknya Abang belajar buka hati, walaupun masih sakit. Hidup kita kan terus berjalan maju, Bang, bukan mundur ke belakang."
"Tumben loe dewasa," tutur Gusti terperangah.
"Apaan sih, Bang?" sewot Riska menatap Gusti.
"Abang gak kasihan gitu sama ibu? Mungkin Abang gak masalah mau duda sampe bongkok juga masa bodoh, tapi ibu Abang? Kan ibu pengin juga momong cucu dari Abang. Orang tua tuh cuma pengin anaknya bahagia, punya keluarga utuh, main sama cucu..."
"Ris, Ris, loe kesambet apa, Dek?" sela Gusti.
Johan hanya menyimak petuah Riska yang masih lajang, bahkan calon suami juga tidak punya. Gusti melirik Johan yang tampaknya tengah berpikir, lantas mendelikkan mata pada Riska.
"Udah tausiahnya?" Johan menatap Riska.
Riska terkejut.
"Maaf, Bang," sahut Riska menunduk.
Johan termenung.
"Sudahlah, Abang lagi gak mood sama ceramah kamu. Gak harus juga semua orang Abang ceritain harapan dan impian Abang, kan?" ungkap Johan bernada tidak suka.
Johan berdiri dan meninggalkan Riska bersama Gusti dalam kebingungan. Gusti memejam mata melihat Riska melakukan kesalahan yang –sejak awal Gusti tahu –akan menyinggung perasaan Johan. Niat Riska mungkin baik, tapi mungkin Timing yang tidak tepat untuk menyampaikan.
"Bang, Ika salah ya?" Wajah Riska terlihat serba salah.
"Kamu gak salah, Ris. Cuma momentnya yang gak benar. Lain kali lihat-lihat sikon kalau mau bicara," kesal Gusti.
Johan duduk di teras menatap langit malam tanpa kemilau bintang. Angin bertiup sepoi menerbangkan rambutnya yang hitam. Entah sudah berapa puluh orang dan berapa ratus ribu kali, orang-orang memberinya nasehat. 'Menikah memang mudah, tapi menikah yang melibatkan hati bukan perkara mudah.' Johan mengembus napas lelah. Lelah harus menjawab bahkan menjelaskan setiap omongan yang menganggapnya belummove on.Jam dinding mengarah pada angka 9.10 menit. Dia termenung sebentar berpikir akan melakukan apa. Pintu pagar besi, Johan dorong hingga ke batas akhir agar mobilnya bisa keluar, setelah mengambil jaket dan mengunci pintu rumah. Sesaat melihat ponsel ketikaring tonepesan berbunyi. Tidak ada yang penting untuk dijawab. Johan melajukan mobilnya tanpa arah tujuan. Ingin ke rumah Gusti untuk bermain dengan Melly, tapi yang bersangkutan sedang tidak di rumah sejak sehabi
“Gak jadi belanjanya,Nduk?” “Eheh, iya, Pak. Gak jadi, ada yang kelupaan.” Marina memasukkan kunci motor, dan mengeluarkan motornya dibantu si bapak sebelum memberikan selembar uang dua ribu. “Makasih, Pak.” “Sama-sama,Nduk.Hati-hati di jalan.” Marina mengangguk pertanda izin pamit sambil tersenyum. Mengendarai motornya di bawah langit malam yang indah, dia selalu berangan menyusuri jalan setapak dan beraspal, berdua dengan lelaki yang mencintai dan dicintainya. Duduk makan es krim berdua seperti anak remaja yang tengah pacaran. ‘Kapan aku punya suami baru?’ Sepanjang jalan, dia merasakan hatinya perih melihat pasangan mesra dan romantis yang banyak dijumpainya. Sesaat, Marina teringat kenangan manis bersama mantan suami saat masih pacaran dan baru menikah. Semua terasa indah dan bahagia sebelum kemelut rumah tangganya menyerang. Cepat-cepat dia buang ingatan itu. Marina tidak mau lagi mengin
Selesai dengan ritual membersihkan wajah di malam hari, Marina mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur. Gorden dan jendela sudah ditutup sejak Maghrib. Anak-anak pekerja juga sudah beristirahat. Warung makan Marina berupa ruko dua lantai, yang terdapat dua kamar di bawah untuk pekerja lelaki dan dua kamar di lantai atas untuk pekerja perempuan, termasuk dirinya. Selebihnya merupakan pekerja pulang usai warung tutup. Pukul sebelas malam memang masih ramai. Suara musik, kendaraan lalu lalang, dan orang-orang masih terdengar, tetapi bagi para tim Marjan Solid, jam tersebut merupakan jam tidur. Mereka lelah. Masa mereka untuk bersenang-senang adalah selepas warung tutup. Marina juga memberlakukan jam malam bagi pekerja yang tinggal bersamanya di ruko. Piyama hitam yang belum lama dibeli merupakan hadiah ulang tahun anak-anak warung. Marina sangat senang saat itu meski hanya sebuah piyama. Bukan karena bentuk hadiah atau nominalnya, tetapi pemberian yang
“Kak, pesanan sambal ijo petai 100 box buat lusa,” kata Santi mengambil kunci laci kasir. “Barusan ditelepon katanya minta disiapin sebelum jam empat sore.” “Ok, seperti biasa, San. Kakak ke bank dulu!” Marina melajukan motor matic dengan santai. Namun, sejujurnya dia masih tidak tenang karena mimpi buruk tadi malam. Tampilan mata Marina juga tidak bagus –berkantong dan berlingkaran hitam. Pagi ini Marina masih sangat mengantuk sebetulnya, tetapi karena ada banyak pekerjaan yang harus selesai, Marina memaksakan dirinya harus melek. Beberapa kali Marina menguap selama perjalanan. Udara pagi tidak dingin seperti biasanya, tetapi cukup menyembuhkan kantuknya dan menyegarkan otak dan tubuh. Pagi ini dia sengaja datang lebih pagi dari biasanya supaya tidak perlu mengantri. Gerah jika harus masuk ruangan bank menemui teller atau bahkan mencari bank lain. Setoran bank melalui mesin atm yang paling disukainya. “Mudah-mudahan hari ini staminaku o
“Kakak keliatan nggak baik-baik aja. Kakak nggak enak badan?” tanya Santi memperhatikan Marina usai mengunci laci kasir. “Baiknya Kakak istirahat aja dech, Kak.” Sejak pagi dia sudah melihat kejanggalan itu. Namun, tak tertanyakan karena Marina bergegas pergi. Lingkaran hitam masih terlihat dan muka Marina terlihat lelah. Marina tidak menganggapinya. Dia beranjak dari kursi. “Kakak ada masalah?” Santi bertanya dengan hati-hati. Marina menggeleng lalu menjauh dari meja kasir. Tak yakin apa yang dilihat, Marina mengekorinya, mencoba mendekati –mungkin saja berhasil. Begitu pikirnya. “Santi bikinin teh hangat madu, ya?” “Nggak usah, San.” Santi masih mengikutinya hingga ke lantai dua. “Kakak kurang tidur.” Marina menggangguk pelan sembari melepas tas dan menaruhnya. “Mimpi buruk lagi?” Marina menatap sebentar sebelum menggangguk. Dia merebahkan tubuh di ranjang. Nikmat sekali rasanya. Santi menghela napas dalam-dal
“Namanya bu Rini, dia orang berpengalaman nangani orang-orang yang kasus-kasus mental gitu. Kakak tinggal hubungi buat bikin janji ketemu.”Marina menarik napas dalam-dalam sambil membaca data psikolog tersebut. Dia tidak menyangka Santi bisa secepat itu menemukannya. Kerja bagus yang patut diapresiasi karena mendapatkannya dalam dua hari.“Ok, makasih, San. Nanti Kakak hubungi,” katanya menyimpan kertas tersebut ke dalam laci.“Nggak disimpan dulu nomornya, Kak? Kalau kertasnya hilang, kan, masih ada nomor yang bisa dihubungi.”Marina tertegun sejenak. “Nanti aja. Oh iya, pesanan dua hari lalu udah siap?”Kepala Marina bergerak melihat ke dapur. Tampak persiapan pesanan nasi kotak hampir rampung. Menu penganan siang itu juga sudah tertata di etalase warung.“Setengah jam lagi diambil,” sahut Santi sebelum kembali meja kasir. “Pesanan jam empat sore tambah peyek kacang dua pul
“Mau apa kamu di mobil saya?”Marina gelagapan ketika suara Johan menghujam telinganya dengan tegas tetapi datar.“Eng … itu, duit saya jatuh. Uang koin. Kalau dengar dari bunyinya kayaknya jatuhnya di sekitaran sini,” jawab Marina gugup. Andai bagian kepalanya bisa dilihat Johan, maka lelaki itu akan tertawa karena Marina mulai berkeringat.Johan meyakinkan dirinya sendiri bahwa lawan bicaranya tidak berbohong –selama menatap Marina. Perempuan itu semakin gelisah dari bahasa tubuhnya yang sejak tadi Johan lihat.“Lantas?”“Apanya?” Marina kembali menatap Johan, setelah sempat berpaling.“Uangnya udah ketemu?”“Eng … udah. Permisi!”Marina berlalu tanpa basa-basi lainnya atau menunggu Johan memberi respons. Lelaki itu mengamatinya hingga dia pergi meninggalkan parkiran bank. Ketika Johan mengalihkan perhatiannya ke mobil, mata lelaki itu
“Kalian ketemu nggak sengaja berkali-kali, terus dengan dia bocorin ban kamu artinya kalian ada bercakap-cakap. Nah, cakap kamu pasti bikin perasaannya tersinggung.” “Sok tahu!” “Loh, kok sok tahu?” sanggah Gusti melirik sekitar. “Faktanya memang kalian ada ketemu sebelumnya, kan? Terus ngobrol apa gitu, basa-basi kek, apa kek. Nah, ini –“ “Udah lah, aku mau balik!” “Eh, Jo, nggak bisa gitu!” Gusti mengejar Johan yang mengambil bajunya di mobil. Tubuh Johan terasa lengket karena keringat. Berdiri di kap mobil cukup membantu mengeringkan keringat di permukaan kulitnya. Johan mengangkat sedikit tangannya untuk tahu aroma tubuhnya. “Nggak bau. Kalau pun bau juga cuma aku yang cium,” ujarnya membuat Johan menatap sadis. Beruntung Gusti tidak terlalu jelas melihatnya karena remang-remang. “Minggir, kalau nggak mau kena tonjok!” Karena penasarannya tidak terjawab, Gusti mengitari mobil dengan terburu-buru lalu masuk dan duduk