“Kakak keliatan nggak baik-baik aja. Kakak nggak enak badan?” tanya Santi memperhatikan Marina usai mengunci laci kasir. “Baiknya Kakak istirahat aja dech, Kak.”
Sejak pagi dia sudah melihat kejanggalan itu. Namun, tak tertanyakan karena Marina bergegas pergi. Lingkaran hitam masih terlihat dan muka Marina terlihat lelah. Marina tidak menganggapinya. Dia beranjak dari kursi.
“Kakak ada masalah?” Santi bertanya dengan hati-hati.
Marina menggeleng lalu menjauh dari meja kasir. Tak yakin apa yang dilihat, Marina mengekorinya, mencoba mendekati –mungkin saja berhasil. Begitu pikirnya.
“Santi bikinin teh hangat madu, ya?”
“Nggak usah, San.”
Santi masih mengikutinya hingga ke lantai dua. “Kakak kurang tidur.”
Marina menggangguk pelan sembari melepas tas dan menaruhnya.
“Mimpi buruk lagi?”
Marina menatap sebentar sebelum menggangguk. Dia merebahkan tubuh di ranjang. Nikmat sekali rasanya. Santi menghela napas dalam-dal
“Namanya bu Rini, dia orang berpengalaman nangani orang-orang yang kasus-kasus mental gitu. Kakak tinggal hubungi buat bikin janji ketemu.”Marina menarik napas dalam-dalam sambil membaca data psikolog tersebut. Dia tidak menyangka Santi bisa secepat itu menemukannya. Kerja bagus yang patut diapresiasi karena mendapatkannya dalam dua hari.“Ok, makasih, San. Nanti Kakak hubungi,” katanya menyimpan kertas tersebut ke dalam laci.“Nggak disimpan dulu nomornya, Kak? Kalau kertasnya hilang, kan, masih ada nomor yang bisa dihubungi.”Marina tertegun sejenak. “Nanti aja. Oh iya, pesanan dua hari lalu udah siap?”Kepala Marina bergerak melihat ke dapur. Tampak persiapan pesanan nasi kotak hampir rampung. Menu penganan siang itu juga sudah tertata di etalase warung.“Setengah jam lagi diambil,” sahut Santi sebelum kembali meja kasir. “Pesanan jam empat sore tambah peyek kacang dua pul
“Mau apa kamu di mobil saya?”Marina gelagapan ketika suara Johan menghujam telinganya dengan tegas tetapi datar.“Eng … itu, duit saya jatuh. Uang koin. Kalau dengar dari bunyinya kayaknya jatuhnya di sekitaran sini,” jawab Marina gugup. Andai bagian kepalanya bisa dilihat Johan, maka lelaki itu akan tertawa karena Marina mulai berkeringat.Johan meyakinkan dirinya sendiri bahwa lawan bicaranya tidak berbohong –selama menatap Marina. Perempuan itu semakin gelisah dari bahasa tubuhnya yang sejak tadi Johan lihat.“Lantas?”“Apanya?” Marina kembali menatap Johan, setelah sempat berpaling.“Uangnya udah ketemu?”“Eng … udah. Permisi!”Marina berlalu tanpa basa-basi lainnya atau menunggu Johan memberi respons. Lelaki itu mengamatinya hingga dia pergi meninggalkan parkiran bank. Ketika Johan mengalihkan perhatiannya ke mobil, mata lelaki itu
“Kalian ketemu nggak sengaja berkali-kali, terus dengan dia bocorin ban kamu artinya kalian ada bercakap-cakap. Nah, cakap kamu pasti bikin perasaannya tersinggung.” “Sok tahu!” “Loh, kok sok tahu?” sanggah Gusti melirik sekitar. “Faktanya memang kalian ada ketemu sebelumnya, kan? Terus ngobrol apa gitu, basa-basi kek, apa kek. Nah, ini –“ “Udah lah, aku mau balik!” “Eh, Jo, nggak bisa gitu!” Gusti mengejar Johan yang mengambil bajunya di mobil. Tubuh Johan terasa lengket karena keringat. Berdiri di kap mobil cukup membantu mengeringkan keringat di permukaan kulitnya. Johan mengangkat sedikit tangannya untuk tahu aroma tubuhnya. “Nggak bau. Kalau pun bau juga cuma aku yang cium,” ujarnya membuat Johan menatap sadis. Beruntung Gusti tidak terlalu jelas melihatnya karena remang-remang. “Minggir, kalau nggak mau kena tonjok!” Karena penasarannya tidak terjawab, Gusti mengitari mobil dengan terburu-buru lalu masuk dan duduk
“Gimana? Pilihan kamu ke polisi atau ganti rugi uang saya.”Pilihan yang memojokkan Marina dan Johan sengaja melakukan itu. Kelakuan Marina tidak bisa ditolerir untuk diaggap sebagai lelucon atau iseng belaka. Johan mengeluarkan ponsel dan mengetik di pesan sms.“Ini nomor rekening saya. Transfer sekarang atau kamu jadi buronan!”‘Ha?’ Marina nyaris tersedak ketika ancaman Johan terlontar saat dia meneguk jus jeruk. Sudut bibir Johan ketarik menertawakan perilaku jelek lawan bicaranya. Ternyata perempuan banyak yang menggunakan kecantikan untuk memperdaya target kejahatannya.“Cantik-cantik penipu!” cibir Johan.“HEH, ANDA JANGAN SEMBARANG NUDUH SAYA. SAYA BUKAN PENIP –““KALAU KAMU BUKAN PENIPU, BUKTIKAN PERKATAAN KAMU!!!”Marina terkesiap mendapat bentakan Johan yang lantang dan bersuara tinggi. Sikap Marina semakin memancing darah Johan mend
“Pikirin dech solusinya,” cetus Gusti tak mau repot kali ini. Cukup tadi direpotkan dengan ban mobil.Johan beranjak keluar ruangan guna mendapat kelonggaran dada yang terasa sempit. Udara dingin menyapu wajah dan rambut hitamnya, serta kulit cokelat yang tersinar cahaya lampu. Johan benar-benar mencuri perhatian. Sayang, tidak ada yang melihat penampilan sempurna itu selain suster klinik dan dokter jaga.“Gus, kamu pulang dech, biar aku antar dia pulang.”“Kamu yakin? Terus motor dia gimana?”Johan menghela napas dalam-dalam di dinginnya udara malam yang semakin pekat.“Kalau boleh kamu mampir ke kafe, titip sama pihak kafe –““Mana ada yang mau dititipin? Kamu pikir klub malam? Kalau itu memang udah ada yang jagain, ditinggal pemilik juga masa bodoh. Tinggal bayar uang parkir sesuai peraturan.”Gusti benar dan menyolot agar Johan mengerti bahwa menyelesaikan masalah t
“Nama Abang siapa?” tanya Marina masih dengan kegelisahan di wajah. “Gusti.” Marina mengangguk pelan setelah Gusti bercerita panjang lebar hingga tenggorokannya kering dan haus. Hingga cerita itu berakhir pun, Johan belum kembali ke klinik. Pun Marina belum menjawab pertanyannya sejak tadi. “Maaf, tadi saya dengar obrolan kamu dan dokter. Kamu nggak punya riwayat asma, tapi bisa sesak napas begitu, kenapa? Karena teman saya bilang awalnya kamu nggak apa-apa. Tiba-tiba udah tremor dan sesak napas.” “Saya nggak apa-apa, memang sering kambuh kalau udah cemas,” lirihnya menyadari jawabannya akan memancing pertanyaan berikutnya. Gusti mengambil ponsel dan terkejut melihat jam di layar. Dia menghubungi Johan yang tidak tahu di mana rimbanya. Tiga kali tersambung tetapi tak satu pun panggilannya dijawab. “Makasih ya, Bang. Maaf, saya …” Marina berhenti merasa dadanya sakit seperti ditekan. “Ngerepotin.” Marina menghela napas lagi. “Te
“Terus, masih belum coba-coba buka hubungan baru abis cerai?” Gusti meletakkan ponsel. Pelayan warung datang membawa sepiring udang goreng tepung, sepiring sambal petai, sepiring parkedel, dua piring nasi, dua porsi cah kangkung, dua gelas es teh manis dan air tawar. Hiruk pikuk selama jam makan siang memang selalu tidak bisa dihindari. Riuh suara mesin kendaraan dan pelanggan warung memenuhi telinga kedua lelaki itu. Terutama di warung makan tempat mereka berada sekarang. Pelayan tersebut kembali melayani pelanggan lainnya, usai Gusti mengucap terima kasih sembari tersenyum. Pria itu dan Johan menuang lauk dan sayur ke piring nasi, mengambil sepotong perkedel dan sambal petai secukupnya. Gusti melirik jam tangan dan membalas pesan sebelum mengaduk nasi. Tersisa satu jam lagi sebelum balik ke kantor. “Belum. Bukan aku gak mau atau gak bisamove on, tapi masih sakit, Gus. Gak tahu juga dech, tiap kali mau mulai coba, hatiku
Marina menaruh helm di atas kursi setibanya di warung makan Padang miliknya. Warung makan yang dibuka sejak empat tahun silam itu, sukses menjadi warung makan yang ramai disambangi. Warungnya hanya buka dari jam sepuluh pagi sampai jam empat sore. Marina yang hanya lulusan SMA tidak punya keahlian untuk 'dijual' di dunia perkantoran. Hanya memasak yang dia bisa, masakannya juga enak. Selepas bercerai, dia memutuskan membangun hidup baru, mengobati luka, dengan bangkit membuka usaha kuliner untuk menyambung hidup. “Kakak ke atas dulu, ya.” Marina meletakkan tas selempang di atas kasur. Menggulung rambut hingga menjadi sanggul cepol sebelum duduk di depan cermin yang digantung di dinding kamar lantai dua. Dia memandangi dirinya yang tampak kusam dan lelah. Jerawat besar di kening dan empat jerawat beruntus di pipi dan dagu. Jerawat radang yang tidak gatal tapi terasa sakit meski tidak disentuh, dan jerawat beruntus yang gatal tapi sakit sa