Selesai dengan ritual membersihkan wajah di malam hari, Marina mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur. Gorden dan jendela sudah ditutup sejak Maghrib. Anak-anak pekerja juga sudah beristirahat.
Warung makan Marina berupa ruko dua lantai, yang terdapat dua kamar di bawah untuk pekerja lelaki dan dua kamar di lantai atas untuk pekerja perempuan, termasuk dirinya. Selebihnya merupakan pekerja pulang usai warung tutup.
Pukul sebelas malam memang masih ramai. Suara musik, kendaraan lalu lalang, dan orang-orang masih terdengar, tetapi bagi para tim Marjan Solid, jam tersebut merupakan jam tidur. Mereka lelah. Masa mereka untuk bersenang-senang adalah selepas warung tutup. Marina juga memberlakukan jam malam bagi pekerja yang tinggal bersamanya di ruko.
Piyama hitam yang belum lama dibeli merupakan hadiah ulang tahun anak-anak warung. Marina sangat senang saat itu meski hanya sebuah piyama. Bukan karena bentuk hadiah atau nominalnya, tetapi pemberian yang tak seberapa itu membuat Marina merasa dirinya berarti bagi mereka. Merasa bahwa ia dibutuhkan. Dia teharu.
Anak-anak warung tidak akan menepis jika ditanya perihal Marina. Mereka akan memberi jawaban yang sama, meski dalam penyampaian yang berbeda. Mereka mengakui kehebatan Marina dan betapa kuatnya ia menjalani hidup di tanah orang.
Di atas pembaringan, Marina perlahan menutup mata setelah mengucap syukur. Bahwa hari ini hari yang jauh lebih baik dan melewatinya dengan sedikit kesedihan. Sebagai penutup malam, doa mendapatkan jodoh yang baik tak lupa Marina panjatkan.
Udara tidak terlalu dingin, tetapi Marina menarik selimut tebal hingga menutup tubuhnya. Kantuk perlahan menyerang bersamaan dengan potongan memori yang terjadi beberapa jam lalu. Wajah Johan terbayang-bayang di pelupuk mata yang sudah melemah. Paras maskulin tetapi memiliki kesan good man yang bisa dilihat di sana.
Dua jam berlalu, keringat mulai membasahi pori-pori kulit. Leher dan bagian tubuh ke bawah serta wajah, sudah berkeringat. Marina dilanda ketakutan dalam tidurnya. Ucapan Johan mengenai penculik sebetulnya sudah membuat Marina gelisah. Namun, entah mengapa perasaan itu justru kambuh ketika ia tidur.
Bukan kali pertama Marina mengalami kegelisahan yang membuatnya hingga tidak bisa bernapas. Saat masih menikah, Marina cukup sering mengalami hal tersebut. Janda muda itu tidak mengerti apa yang sebetulnya terjadi.
Namun, untuk setiap hal yang sepertinya akan memicu kemarahan ibu mertua, maka Marina akan segera merasa dirinya serba salah, gugup, terpojok dan tersudut. Reaksi tubuh Marina ketakutan sebagai respons dari sinyal yang diberikan alam bawah sadarnya.
Namun, kegelisahan yang lebih dikenal oleh masyarakat awam dengan istilah takut atau ketakutan, adalah kali pertama Marina alami dalam tidur.
Napas Marina semakin sesak dan berbunyi keras. Peluh keringatnya semakin banyak. Lirih lenguhan Marina mulai keras. Bayangan penculik, mantan ibu mertua, terus menghampiri Marina hingga kerongkongannya tersedak karena tidak bisa menelan.
Marina merasakan dirinya akan segera mati. Dia tidak bisa bernapas. Susah payah Marina berjuang menarik napas. Berusaha mempertahankan dirinya yang tengah berada di jurang kematian.
Di saat bersmaan, Marina masih sadar untuk meminta tolong melalui teriakan hati. Berdoa kepada Tuhan untuk menolongnya yang kehabisanan napas dan akan segera mati. Marina sudah di ujung tanduk.
“Haaahhhhh ….”
Napas Marina tersengal-sengal, matanya terbuka lebar, mulutnya menganga, jantungnya berdetak kencang tidak karuan, bulir keringat terus berjatuhan membasahi tubuh. Tubuhnya terasa lemah. Bahkan untuk bergerak mendudukkan diri di kasur, ia tidak sanggup.
Marina membiarkan dirinya dikuasi oleh energi yang hilang. Hatinya mengucap istighfar karena bibirnya kering dan lidahnya kelu. Pun dengan tenggorokannya. Dia merasakan haus yang amat sangat. Benak Marina menginginkan air.
Perlahan Marina merasakan tubuhnya mulai bertenaga. Ia ingin bangun tetapi masih tak cukup kuat. Benak Marina berpikir seandainya ada seseorang yang bisa membantunya.
Perlahan Marina menyibak selimut. Semburan udara terasa dingin di pori-pori yang berkeringat. Dia menarik tubuh dan duduk bersandar. Menarik napas dalam-dalam dan membuangnya dari mulut.
“Bapak … Marina takut, Pak ….”
Suara Marina parau dan bernada lirih diiringi air mata. Gemuruh dalam hati dan jiwanya tidak lagi tertahankan. Marina biarkan air itu jatuh. Pipinya basah dan mata yang bengkak besok pagi tak jadi soal, jika menangis bisa membuang rasa takutnya.
Sebelah kaki Marina turun dan menapak di lantai. Matanya mencari keberadaan gelas beserta ceret yang berisi air tawar. Dia mengambil minum di meja dekat jendela setelah diam cukup lama. Segelas air sudah kandas. Gelas ke dua dia bawa ke kasur.
Kegelisahan yang Marina alami sejak tiga tahun silam, masih belum disadarinya sebagai bentuk gangguan yang perlu penanganan. Ia merasa dan menyadari dirinya mudah gelisah untuk sesuatu yang kecil. Marina menganggapnya karena terlalu stes.
Suara dari luar masih membisingkan telinga. Riuh anak-anak muda di angkringan kaki lima tak akan berakhir sebelum jelang Shubuh. Air di gelas ke dua sudah habis. Kaki dan tangan Marina masih gemetar. Udara kamar tidak mendinginkan otak Marina untuk berpikir jernih.
Sambil terisak, Marina memandang ke luar jendela. Namun, gorden yang terpasang menutupi pandangannya. Saat menghapus air matanya tadi, terlintas di benak Marina untuk menelepon ke kampung. Namun, lagi-lagi dia urung karena tak ingin bapaknya terganggu dan menjadi beban pikiran.
Marina menaruh gelas di tempatnya semula, kemudian kembali ke ranjang, dan membaringkan diri. Posisinya melintang, menatap ventilasi jendela yang tertutup kawat halus. Malam ini tidak ada cahaya bulan menerangi hingga ke kamar. Marina tidak lagi merasakan kantuk.
Allah selalu jagain kamu. Baik-baik kamu di sana, banyak berdoa biar dapat jodoh juga. Yang baik, yang sayang sama kamu, yang nggak kayak kemarinlah, Nak.
Marina kembali diingatkan petuah, permintaan, doa dan harapan dari bapaknya.
“Maafin Ina, Pak.”
“Kak, pesanan sambal ijo petai 100 box buat lusa,” kata Santi mengambil kunci laci kasir. “Barusan ditelepon katanya minta disiapin sebelum jam empat sore.” “Ok, seperti biasa, San. Kakak ke bank dulu!” Marina melajukan motor matic dengan santai. Namun, sejujurnya dia masih tidak tenang karena mimpi buruk tadi malam. Tampilan mata Marina juga tidak bagus –berkantong dan berlingkaran hitam. Pagi ini Marina masih sangat mengantuk sebetulnya, tetapi karena ada banyak pekerjaan yang harus selesai, Marina memaksakan dirinya harus melek. Beberapa kali Marina menguap selama perjalanan. Udara pagi tidak dingin seperti biasanya, tetapi cukup menyembuhkan kantuknya dan menyegarkan otak dan tubuh. Pagi ini dia sengaja datang lebih pagi dari biasanya supaya tidak perlu mengantri. Gerah jika harus masuk ruangan bank menemui teller atau bahkan mencari bank lain. Setoran bank melalui mesin atm yang paling disukainya. “Mudah-mudahan hari ini staminaku o
“Kakak keliatan nggak baik-baik aja. Kakak nggak enak badan?” tanya Santi memperhatikan Marina usai mengunci laci kasir. “Baiknya Kakak istirahat aja dech, Kak.” Sejak pagi dia sudah melihat kejanggalan itu. Namun, tak tertanyakan karena Marina bergegas pergi. Lingkaran hitam masih terlihat dan muka Marina terlihat lelah. Marina tidak menganggapinya. Dia beranjak dari kursi. “Kakak ada masalah?” Santi bertanya dengan hati-hati. Marina menggeleng lalu menjauh dari meja kasir. Tak yakin apa yang dilihat, Marina mengekorinya, mencoba mendekati –mungkin saja berhasil. Begitu pikirnya. “Santi bikinin teh hangat madu, ya?” “Nggak usah, San.” Santi masih mengikutinya hingga ke lantai dua. “Kakak kurang tidur.” Marina menggangguk pelan sembari melepas tas dan menaruhnya. “Mimpi buruk lagi?” Marina menatap sebentar sebelum menggangguk. Dia merebahkan tubuh di ranjang. Nikmat sekali rasanya. Santi menghela napas dalam-dal
“Namanya bu Rini, dia orang berpengalaman nangani orang-orang yang kasus-kasus mental gitu. Kakak tinggal hubungi buat bikin janji ketemu.”Marina menarik napas dalam-dalam sambil membaca data psikolog tersebut. Dia tidak menyangka Santi bisa secepat itu menemukannya. Kerja bagus yang patut diapresiasi karena mendapatkannya dalam dua hari.“Ok, makasih, San. Nanti Kakak hubungi,” katanya menyimpan kertas tersebut ke dalam laci.“Nggak disimpan dulu nomornya, Kak? Kalau kertasnya hilang, kan, masih ada nomor yang bisa dihubungi.”Marina tertegun sejenak. “Nanti aja. Oh iya, pesanan dua hari lalu udah siap?”Kepala Marina bergerak melihat ke dapur. Tampak persiapan pesanan nasi kotak hampir rampung. Menu penganan siang itu juga sudah tertata di etalase warung.“Setengah jam lagi diambil,” sahut Santi sebelum kembali meja kasir. “Pesanan jam empat sore tambah peyek kacang dua pul
“Mau apa kamu di mobil saya?”Marina gelagapan ketika suara Johan menghujam telinganya dengan tegas tetapi datar.“Eng … itu, duit saya jatuh. Uang koin. Kalau dengar dari bunyinya kayaknya jatuhnya di sekitaran sini,” jawab Marina gugup. Andai bagian kepalanya bisa dilihat Johan, maka lelaki itu akan tertawa karena Marina mulai berkeringat.Johan meyakinkan dirinya sendiri bahwa lawan bicaranya tidak berbohong –selama menatap Marina. Perempuan itu semakin gelisah dari bahasa tubuhnya yang sejak tadi Johan lihat.“Lantas?”“Apanya?” Marina kembali menatap Johan, setelah sempat berpaling.“Uangnya udah ketemu?”“Eng … udah. Permisi!”Marina berlalu tanpa basa-basi lainnya atau menunggu Johan memberi respons. Lelaki itu mengamatinya hingga dia pergi meninggalkan parkiran bank. Ketika Johan mengalihkan perhatiannya ke mobil, mata lelaki itu
“Kalian ketemu nggak sengaja berkali-kali, terus dengan dia bocorin ban kamu artinya kalian ada bercakap-cakap. Nah, cakap kamu pasti bikin perasaannya tersinggung.” “Sok tahu!” “Loh, kok sok tahu?” sanggah Gusti melirik sekitar. “Faktanya memang kalian ada ketemu sebelumnya, kan? Terus ngobrol apa gitu, basa-basi kek, apa kek. Nah, ini –“ “Udah lah, aku mau balik!” “Eh, Jo, nggak bisa gitu!” Gusti mengejar Johan yang mengambil bajunya di mobil. Tubuh Johan terasa lengket karena keringat. Berdiri di kap mobil cukup membantu mengeringkan keringat di permukaan kulitnya. Johan mengangkat sedikit tangannya untuk tahu aroma tubuhnya. “Nggak bau. Kalau pun bau juga cuma aku yang cium,” ujarnya membuat Johan menatap sadis. Beruntung Gusti tidak terlalu jelas melihatnya karena remang-remang. “Minggir, kalau nggak mau kena tonjok!” Karena penasarannya tidak terjawab, Gusti mengitari mobil dengan terburu-buru lalu masuk dan duduk
“Gimana? Pilihan kamu ke polisi atau ganti rugi uang saya.”Pilihan yang memojokkan Marina dan Johan sengaja melakukan itu. Kelakuan Marina tidak bisa ditolerir untuk diaggap sebagai lelucon atau iseng belaka. Johan mengeluarkan ponsel dan mengetik di pesan sms.“Ini nomor rekening saya. Transfer sekarang atau kamu jadi buronan!”‘Ha?’ Marina nyaris tersedak ketika ancaman Johan terlontar saat dia meneguk jus jeruk. Sudut bibir Johan ketarik menertawakan perilaku jelek lawan bicaranya. Ternyata perempuan banyak yang menggunakan kecantikan untuk memperdaya target kejahatannya.“Cantik-cantik penipu!” cibir Johan.“HEH, ANDA JANGAN SEMBARANG NUDUH SAYA. SAYA BUKAN PENIP –““KALAU KAMU BUKAN PENIPU, BUKTIKAN PERKATAAN KAMU!!!”Marina terkesiap mendapat bentakan Johan yang lantang dan bersuara tinggi. Sikap Marina semakin memancing darah Johan mend
“Pikirin dech solusinya,” cetus Gusti tak mau repot kali ini. Cukup tadi direpotkan dengan ban mobil.Johan beranjak keluar ruangan guna mendapat kelonggaran dada yang terasa sempit. Udara dingin menyapu wajah dan rambut hitamnya, serta kulit cokelat yang tersinar cahaya lampu. Johan benar-benar mencuri perhatian. Sayang, tidak ada yang melihat penampilan sempurna itu selain suster klinik dan dokter jaga.“Gus, kamu pulang dech, biar aku antar dia pulang.”“Kamu yakin? Terus motor dia gimana?”Johan menghela napas dalam-dalam di dinginnya udara malam yang semakin pekat.“Kalau boleh kamu mampir ke kafe, titip sama pihak kafe –““Mana ada yang mau dititipin? Kamu pikir klub malam? Kalau itu memang udah ada yang jagain, ditinggal pemilik juga masa bodoh. Tinggal bayar uang parkir sesuai peraturan.”Gusti benar dan menyolot agar Johan mengerti bahwa menyelesaikan masalah t
“Nama Abang siapa?” tanya Marina masih dengan kegelisahan di wajah. “Gusti.” Marina mengangguk pelan setelah Gusti bercerita panjang lebar hingga tenggorokannya kering dan haus. Hingga cerita itu berakhir pun, Johan belum kembali ke klinik. Pun Marina belum menjawab pertanyannya sejak tadi. “Maaf, tadi saya dengar obrolan kamu dan dokter. Kamu nggak punya riwayat asma, tapi bisa sesak napas begitu, kenapa? Karena teman saya bilang awalnya kamu nggak apa-apa. Tiba-tiba udah tremor dan sesak napas.” “Saya nggak apa-apa, memang sering kambuh kalau udah cemas,” lirihnya menyadari jawabannya akan memancing pertanyaan berikutnya. Gusti mengambil ponsel dan terkejut melihat jam di layar. Dia menghubungi Johan yang tidak tahu di mana rimbanya. Tiga kali tersambung tetapi tak satu pun panggilannya dijawab. “Makasih ya, Bang. Maaf, saya …” Marina berhenti merasa dadanya sakit seperti ditekan. “Ngerepotin.” Marina menghela napas lagi. “Te