“Gak jadi belanjanya, Nduk?”
“Eheh, iya, Pak. Gak jadi, ada yang kelupaan.”
Marina memasukkan kunci motor, dan mengeluarkan motornya dibantu si bapak sebelum memberikan selembar uang dua ribu.
“Makasih, Pak.”
“Sama-sama, Nduk. Hati-hati di jalan.”
Marina mengangguk pertanda izin pamit sambil tersenyum. Mengendarai motornya di bawah langit malam yang indah, dia selalu berangan menyusuri jalan setapak dan beraspal, berdua dengan lelaki yang mencintai dan dicintainya. Duduk makan es krim berdua seperti anak remaja yang tengah pacaran.
‘Kapan aku punya suami baru?’
Sepanjang jalan, dia merasakan hatinya perih melihat pasangan mesra dan romantis yang banyak dijumpainya. Sesaat, Marina teringat kenangan manis bersama mantan suami saat masih pacaran dan baru menikah. Semua terasa indah dan bahagia sebelum kemelut rumah tangganya menyerang. Cepat-cepat dia buang ingatan itu. Marina tidak mau lagi mengingat lelaki yang menyakitinya. Dia hanya mau lelaki yang membahagiakan dirinya. Dia pantas untuk itu –pikirnya.
Marina mencampak kunci motor setibanya di warung miliknya. Di dalam kamar, dia menatap dirinya di cermin dalam-dalam. Matanya sayu, wajahnya lelah, pikirannya kosong. Ingin sekali dia libur sehari saja dari pekerjaannya di warung, apa lagi menghitung dan menyiapkan gaji pekerjanya.
“Andai aku punya suami, mungkin sekarang aku bisa tidur-tiduran, jalan-jalan tenang, gak pusingin kerjaan ini belum kelar, itu belum kelar. Ada suami yang bantuin. Hah, kapan aku punya suami baru Ya Allah?” lirihnya tanpa dia sadari.
Sementara Marina terus saja mengeluhkan nasibnya yang tak kunjung bersuami setelah lama menjanda, Johan justru duduk tenang di kafe Sohib menikmati kopi sanger racikan penjual. Setelah menutup panggilan telepon, lelaki itu memesan tiket pesawat untuk keberangkatan ibunya tiga hari mendatang. Tiba-tiba hati Johan tergelitik, hingga tanpa sadar bibirnya tersungging kala mengingat ocehan Riska tadi siang.
Mata Johan sesekali melirik seisi kafe yang mungkin saja ada yang dia kenal dan bisa diajak bicara. Sayangnya tidak ada, hingga Johan menghabiskan waktu satu jam di kafe sendirian di tengah ramainya pasangan romantis di dalam kafe itu.
Arloji Johan menunjukkan pukul 11.11 PM, ketika dia baru keluar dari kafe setelah menghabiskan dua gelas minuman. Mood Johan kembali baik tanpa peduli keramaian yang masih memenuhi jalan dengan riuh suara kendaraan.
Ping
Ping
Ping
Bang, chat ika kenapa gak dibalas? Abang marah ya sama ika? :(
Pesan dari Riska yang dikirim satu jam yang lalu. Johan membacanya setelah memasang sabuk pengaman.
"Lebay!"
Detik berikutnya pesan lain darinya masuk.
Ini datanya gimana?
"Ya, kayak gitu."
Johan menjawab setiap pesan yang dikirim Riska melalui lisan sambil terkekeh, bukan melalui teks yang membuatnya harus mengetik hingga akan menyulitkan dirinya menyetir.
Bang, jangan marah, please. Ika minta maaf soal tadi siang.
Dia menaruh ponsel setelah membaca pesan terbaru dari Riska. Menyalakan radio sebelum melajukan mobil. Tembang-tembang lawas dan melankolis biasanya dimainkan oleh penyiar radio untuk menemani tidur.
Dengan volume kecil, perjalanan Johan ditemani satu lagu Sophie yang berjudul I love you. Lagu cinta yang membuat hatinya tersentuh secara pelan-pelan. Sayup-sayup mengalun, membuat malam dan perjalanan duda itu terasa romantis meski tidak ada bersamanya seorang kekasih.
Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Johan melihat seekor anjing liar berdiri di depan pagar rumahnya. Enggan untuknya mengusir, dia hanya duduk di mobil tidak berbuat apa-apa setelah menginjak rem.
Sorot lampu mobil membuat hewan tersebut tampak kebingungan, hingga membuatnya pergi entah kemana. Johan mengambil ponsel, kemudian membalas pesan Riska.
Dia turun setelahnya, membuka pintu pagar besi yang tidak lagi tampak baru. Andai ada orang di rumah dia tidak akan repot seperti ini, tinggal klakson saja atau teriak-teriak seperti orang mabuk.
"Ah, lupa!"
Johan melupakan hadiah untuk Melly yang sudah diniatkan. Seharusnya dia tidak ke kafe, tapi ke toko mainan membeli boneka atau topi rajut beserta jaketnya. Bayi itu akan semakin membuatnya gemas kalau tidak mencubit, atau mentowel-towelnya.
Kunci mobil Johan campak di atas kasur, menggantung jaket dan melepas pakaian meninggalkan celana dalam.
Selesai dengan ritual membersihkan wajah di malam hari, Marina mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur. Gorden dan jendela sudah ditutup sejak Maghrib. Anak-anak pekerja juga sudah beristirahat. Warung makan Marina berupa ruko dua lantai, yang terdapat dua kamar di bawah untuk pekerja lelaki dan dua kamar di lantai atas untuk pekerja perempuan, termasuk dirinya. Selebihnya merupakan pekerja pulang usai warung tutup. Pukul sebelas malam memang masih ramai. Suara musik, kendaraan lalu lalang, dan orang-orang masih terdengar, tetapi bagi para tim Marjan Solid, jam tersebut merupakan jam tidur. Mereka lelah. Masa mereka untuk bersenang-senang adalah selepas warung tutup. Marina juga memberlakukan jam malam bagi pekerja yang tinggal bersamanya di ruko. Piyama hitam yang belum lama dibeli merupakan hadiah ulang tahun anak-anak warung. Marina sangat senang saat itu meski hanya sebuah piyama. Bukan karena bentuk hadiah atau nominalnya, tetapi pemberian yang
“Kak, pesanan sambal ijo petai 100 box buat lusa,” kata Santi mengambil kunci laci kasir. “Barusan ditelepon katanya minta disiapin sebelum jam empat sore.” “Ok, seperti biasa, San. Kakak ke bank dulu!” Marina melajukan motor matic dengan santai. Namun, sejujurnya dia masih tidak tenang karena mimpi buruk tadi malam. Tampilan mata Marina juga tidak bagus –berkantong dan berlingkaran hitam. Pagi ini Marina masih sangat mengantuk sebetulnya, tetapi karena ada banyak pekerjaan yang harus selesai, Marina memaksakan dirinya harus melek. Beberapa kali Marina menguap selama perjalanan. Udara pagi tidak dingin seperti biasanya, tetapi cukup menyembuhkan kantuknya dan menyegarkan otak dan tubuh. Pagi ini dia sengaja datang lebih pagi dari biasanya supaya tidak perlu mengantri. Gerah jika harus masuk ruangan bank menemui teller atau bahkan mencari bank lain. Setoran bank melalui mesin atm yang paling disukainya. “Mudah-mudahan hari ini staminaku o
“Kakak keliatan nggak baik-baik aja. Kakak nggak enak badan?” tanya Santi memperhatikan Marina usai mengunci laci kasir. “Baiknya Kakak istirahat aja dech, Kak.” Sejak pagi dia sudah melihat kejanggalan itu. Namun, tak tertanyakan karena Marina bergegas pergi. Lingkaran hitam masih terlihat dan muka Marina terlihat lelah. Marina tidak menganggapinya. Dia beranjak dari kursi. “Kakak ada masalah?” Santi bertanya dengan hati-hati. Marina menggeleng lalu menjauh dari meja kasir. Tak yakin apa yang dilihat, Marina mengekorinya, mencoba mendekati –mungkin saja berhasil. Begitu pikirnya. “Santi bikinin teh hangat madu, ya?” “Nggak usah, San.” Santi masih mengikutinya hingga ke lantai dua. “Kakak kurang tidur.” Marina menggangguk pelan sembari melepas tas dan menaruhnya. “Mimpi buruk lagi?” Marina menatap sebentar sebelum menggangguk. Dia merebahkan tubuh di ranjang. Nikmat sekali rasanya. Santi menghela napas dalam-dal
“Namanya bu Rini, dia orang berpengalaman nangani orang-orang yang kasus-kasus mental gitu. Kakak tinggal hubungi buat bikin janji ketemu.”Marina menarik napas dalam-dalam sambil membaca data psikolog tersebut. Dia tidak menyangka Santi bisa secepat itu menemukannya. Kerja bagus yang patut diapresiasi karena mendapatkannya dalam dua hari.“Ok, makasih, San. Nanti Kakak hubungi,” katanya menyimpan kertas tersebut ke dalam laci.“Nggak disimpan dulu nomornya, Kak? Kalau kertasnya hilang, kan, masih ada nomor yang bisa dihubungi.”Marina tertegun sejenak. “Nanti aja. Oh iya, pesanan dua hari lalu udah siap?”Kepala Marina bergerak melihat ke dapur. Tampak persiapan pesanan nasi kotak hampir rampung. Menu penganan siang itu juga sudah tertata di etalase warung.“Setengah jam lagi diambil,” sahut Santi sebelum kembali meja kasir. “Pesanan jam empat sore tambah peyek kacang dua pul
“Mau apa kamu di mobil saya?”Marina gelagapan ketika suara Johan menghujam telinganya dengan tegas tetapi datar.“Eng … itu, duit saya jatuh. Uang koin. Kalau dengar dari bunyinya kayaknya jatuhnya di sekitaran sini,” jawab Marina gugup. Andai bagian kepalanya bisa dilihat Johan, maka lelaki itu akan tertawa karena Marina mulai berkeringat.Johan meyakinkan dirinya sendiri bahwa lawan bicaranya tidak berbohong –selama menatap Marina. Perempuan itu semakin gelisah dari bahasa tubuhnya yang sejak tadi Johan lihat.“Lantas?”“Apanya?” Marina kembali menatap Johan, setelah sempat berpaling.“Uangnya udah ketemu?”“Eng … udah. Permisi!”Marina berlalu tanpa basa-basi lainnya atau menunggu Johan memberi respons. Lelaki itu mengamatinya hingga dia pergi meninggalkan parkiran bank. Ketika Johan mengalihkan perhatiannya ke mobil, mata lelaki itu
“Kalian ketemu nggak sengaja berkali-kali, terus dengan dia bocorin ban kamu artinya kalian ada bercakap-cakap. Nah, cakap kamu pasti bikin perasaannya tersinggung.” “Sok tahu!” “Loh, kok sok tahu?” sanggah Gusti melirik sekitar. “Faktanya memang kalian ada ketemu sebelumnya, kan? Terus ngobrol apa gitu, basa-basi kek, apa kek. Nah, ini –“ “Udah lah, aku mau balik!” “Eh, Jo, nggak bisa gitu!” Gusti mengejar Johan yang mengambil bajunya di mobil. Tubuh Johan terasa lengket karena keringat. Berdiri di kap mobil cukup membantu mengeringkan keringat di permukaan kulitnya. Johan mengangkat sedikit tangannya untuk tahu aroma tubuhnya. “Nggak bau. Kalau pun bau juga cuma aku yang cium,” ujarnya membuat Johan menatap sadis. Beruntung Gusti tidak terlalu jelas melihatnya karena remang-remang. “Minggir, kalau nggak mau kena tonjok!” Karena penasarannya tidak terjawab, Gusti mengitari mobil dengan terburu-buru lalu masuk dan duduk
“Gimana? Pilihan kamu ke polisi atau ganti rugi uang saya.”Pilihan yang memojokkan Marina dan Johan sengaja melakukan itu. Kelakuan Marina tidak bisa ditolerir untuk diaggap sebagai lelucon atau iseng belaka. Johan mengeluarkan ponsel dan mengetik di pesan sms.“Ini nomor rekening saya. Transfer sekarang atau kamu jadi buronan!”‘Ha?’ Marina nyaris tersedak ketika ancaman Johan terlontar saat dia meneguk jus jeruk. Sudut bibir Johan ketarik menertawakan perilaku jelek lawan bicaranya. Ternyata perempuan banyak yang menggunakan kecantikan untuk memperdaya target kejahatannya.“Cantik-cantik penipu!” cibir Johan.“HEH, ANDA JANGAN SEMBARANG NUDUH SAYA. SAYA BUKAN PENIP –““KALAU KAMU BUKAN PENIPU, BUKTIKAN PERKATAAN KAMU!!!”Marina terkesiap mendapat bentakan Johan yang lantang dan bersuara tinggi. Sikap Marina semakin memancing darah Johan mend
“Pikirin dech solusinya,” cetus Gusti tak mau repot kali ini. Cukup tadi direpotkan dengan ban mobil.Johan beranjak keluar ruangan guna mendapat kelonggaran dada yang terasa sempit. Udara dingin menyapu wajah dan rambut hitamnya, serta kulit cokelat yang tersinar cahaya lampu. Johan benar-benar mencuri perhatian. Sayang, tidak ada yang melihat penampilan sempurna itu selain suster klinik dan dokter jaga.“Gus, kamu pulang dech, biar aku antar dia pulang.”“Kamu yakin? Terus motor dia gimana?”Johan menghela napas dalam-dalam di dinginnya udara malam yang semakin pekat.“Kalau boleh kamu mampir ke kafe, titip sama pihak kafe –““Mana ada yang mau dititipin? Kamu pikir klub malam? Kalau itu memang udah ada yang jagain, ditinggal pemilik juga masa bodoh. Tinggal bayar uang parkir sesuai peraturan.”Gusti benar dan menyolot agar Johan mengerti bahwa menyelesaikan masalah t