Bukan Perawan Tua

Bukan Perawan Tua

last updateLast Updated : 2022-05-22
By:  KurizikiCompleted
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
1 rating. 1 review
73Chapters
26.9Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Takut jatuh cinta membuat Mayang mendapatkan julukan sebagai perawan tua. Di usianya yang sudah matang, bahkan hampir kepala tiga, dia sama sekali belum memiliki niatan untuk menikah. Jangankan menikah, memiliki kekasih saja tidak. Akhirnya karena gerah mendengar cuitan para tetangga, sang Papa memaksanya menikah dengan Rafael, pemuda absurd yang usianya jauh lebih muda dari dirinya. Perbedaan usia, prinsip, dan latar belakang mewarnai pernikahan mereka. Mampukah Rafael membuka hati Mayang yang terlanjur terkunci?

View More

Chapter 1

Malam Pertama

Aku akui salah dan dosaku ini memang banyak. Dosaku bejibun, tak terhitung. Tapi kenapa harus seperti ini takdir hidupku?

"Aaa!" Untuk kesekian kalinya aku berteriak frustrasi di malam pertama.

"Tante berisik banget dah! Ngapain teriak-teriak mulu, sih? Minta dikelonin?"

Mataku melotot. Bocah ingusan ini memang selalu membuatku kesal. Dari awal pertemuan kami, dia memang sangat menyebalkan. Mama dan Papa juga tak kalah kejam.

Hanya karena sering mendapat cibiran dari para tetangga bahwa anaknya ini perawan tua, Papa dan Mama tega menikahkanku dengan bocah ingusan yang usianya bahkan dibawah tujuh tahun dariku. Beda usia tujuh tahun, gaes! Bayangkan! Aku lebih mirip induk bebek dari pada seorang istri. Dia masih dua puluh tahun. Ya ampun! Masih imut-imut harusnya. Tapi ini, kok, ya amit-amit.

Wajahnya lumayan cakep, sih. Hidungnya mancung juga. Cuma kulitnya kusam. Mungkin karena dia sering kerja di bengkel.

"Tante-tante! Gue masih muda, ya. Orang-orang aja yang mulutnya kelewat lemes," balasku tak terima.

Rafael tergelak. Ya, bocah ingusan sekaligus suamiku itu bernama Rafael. Namanya juga keren, sih. Tapi orangnya nyebelin pakai buanget.

"Iye, masih muda emang. Sepuluh tahun yang lalu." Dia tergelak kali ini. Benar-benar memang ini bocah ngajak gelud mulu dari tadi.

Aku mengambil bantal dan melemparnya ke muka bocah ingusan itu. Bukannya diam, tawanya malah makin kencang.

"Ketawa aja teros! Gue sumpahin itu mulut mangap terus nggak bisa mingkem!"

"Astaga, Tante jahat banget," ucapnya sok polos. Hih! Makin pengen nimpuk pakai telenan sekarang.

"Tenang, Tan. Sebenarnya gue juga nggak pengen nikah muda begini. Tapi tawaran Papa mertua benar-benar menggiurkan. Kalau gue bersedia menyelamatkan elu dari julukan perawan tua, utang-utang nyokap gue lunas. Sayang, kan, kalau ditolak."

Ya, aku sudah tahu alasan itu. Papa dan Mama memberikan sebuah tawaran yang sama-sama menguntungkan untuk kedua belah pihak. Anaknya yang perawan tua ini dapat jodoh, sementara utang-utang Ibu bocah ingusan itu dianggap lunas. Tapi aku yang tersiksa di sini ....

"Dahlah. Gue ngantuk. Mau tidur duluan." Bocah itu berlalu ke sofa. Eh, dia ngalah ini ceritanya?

Aku sendiri mulai merebahkan badan di atas ranjang. Berulang kali kulihat bocah itu di sana. Apa dia sudah benar-benar tidur?

Aku beringsut turun dari ranjang sembari membawa selimut. Kasihan juga kalau nanti kedinginan.

Dengan langkah berjinjit, aku mendekat ke sofa. Kulambaikan tangan berulang kali di depan wajahnya. Sepertinya dia memang sudah tidur.

Saat tangan lagi melambai-lambai, tak kusangka dia menangkap tanganku. Sontak saja badanku panas dingin.

Perlahan matanya terbuka. "Tante ngapain?"

"I-itu tadi gue anu ...." Aku bingung sendiri jadinya ingin menjawab apa.

"Anu apa? Tante mau anu?"

Mataku melotot. Kutarik tanganku darinya dengan cepat. "Anu apaan? Dasar omes!"

Lalu aku teringat bahwa sedang memegang selimut. Astaga! Kenapa bisa pikun mendadak begini?

Aku melemparkan selimut padanya. "Nih! Gue cuma mau kasih selimut ini buat lu!"

Dia tersenyum, lalu memakai selimut dariku. Lah, kok, senyumnya manis? Sadar, Mayang! Sadar!

Aku kembali ke ranjang. Pemuda itu kembali memejamkan mata. Sampai berapa lama aku betah bersamanya?

Ini aku lagi jagain jodoh orang bukan, sih, ceritanya? Dia masih muda. Mungkin saja sekarang dia punya pacar. Ah, ngenesnya nasibku ini.

***

Mataku mengerjap pelan. Samar-samar kudengar percakapan orang di luar sana. Sepertinya ini sudah pagi.

Aku menggeliat pelan sembari membuka mata.

"Astaga!" Aku spontan melompat mundur. "Heh, bocah! Ngapain cengengesan di depan wajah orang? Mau macam-macam lu?"

Bangun pagi disambut sama wajah bocah itu rasanya ingin lompat kodok seketika. Mana wajahnya mepet banget di depan mata. Untung ganteng. Halah!

"Itu iler diusap dulu, Tan. Malu sama cowok ganteng ini." Dia beranjak menuju kamar mandi masih sambil cengengesan. Mengakui diri sendiri ganteng pula. Dasar narsis!

"Heh! Mana ada gue ngiler! Fitnah lu!" teriakku tak terima. Tapi sayang, dia sudah keburu masuk. Karena masih belum percaya dengan fitnahan recehnya, aku berjalan menuju cermin rias.

"Aish! Sejak kapan gue ngiler kek gini?"

**

"Habis sarapan kamu mau ke mana, El?"

Aku melirik Papa. Beliau sepertinya sudah sangat siap lahir batin punya menantu. Hebat! Anaknya saja tak pernah ditanya mau ke mana sehabis sarapan.

"Seperti kegiatan saya sebelumnya, Om. Ke bengkel."

"Kok, masih panggil Om? Panggil Papa lah. Kamu ini, kan, sudah jadi anak Papa juga."

"Wah! Kalian udah jadi keluarga bahagia rupanya," sindirku.

Mereka semua hanya mencebik menanggapi ucapanku. Kenapa pada kompak banget, sih? Aku jadi merasa dicurangi.

"Aku pamit, Pa, Ma." Rafael bangkit dari duduknya. Dia mencium tangan kedua orangtuaku. Halah! Pencitraan itu pasti.

"Hati-hati," tutur Mama. "May, salim sama suami, dong."

Mataku melebar lagi. Lama-lama bisa jadi kayak bola pingpong ini mata melebar mulu.

Dengan terpaksa, kusalami bocah tengil bin nyebelin itu.

"Aku berangkat, ya. Hati-hati nanti kerjanya," ucapnya sambil senyum manis. Wah! Apa dia sudah merencanakan ucapannya itu sejak semalam? Sok perhatian sekali dia. Biasanya manggil elo gue, mentang-mentang di depan Bonyok aku kamuan. Dih!

Saat aku memalingkan wajah karena merasa geli dengan ucapannya, dia menarik wajahku agar menghadapnya lagi. Lalu tanpa izin, dia mengecup keningku. Mama ... kening anakmu dinodai!

***

"Bu Nimas sama Pak Irwan itu orang kaya, ya. Tapi, kok, anaknya jadi perawan tua, sih?"

"Iya. Heran juga. Padahal wajah si Mayang nggak jelek-jelek amat. Apa mungkin dia nggak normal, ya?"

Begitulah celetukan para tetangga tiap kali melihatku pulang dari bekerja. Sebenarnya ingin sekali menutup telinga dari omongan mereka yang menyakiti hati. Tapi mau bagaimana lagi? Semua yang dikatakan mereka tidak salah. Aku memang seorang perawan tua.

Para perempuan seusiaku di daerah ini rata-rata sudah menikah dan memiliki anak. Tidak hanya satu, bahkan ada yang sudah memiliki empat anak.

Satu-satunya alasan yang membuatku masih sendiri sampai saat ini adalah karena rasa takut menjadi seorang istri. Rasa takut jatuh hati.

Banyaknya kasus perselingkuhan yang terjadi saat ini membuatku berpikir dua kali untuk menikah. Papa dan Mama sampai bosan menasehatiku setiap hari. Sebab tidak hanya aku yang mendapat cibiran warga, tapi mereka juga.

"Mama malu, May. Setiap kali Mama belanja sama ibu-ibu di sini, mereka selalu saja nanyain kapan kamu nikah. Bahkan mereka mengira kamu nggak normal. Sakit hati Mama mendengar ocehan mereka, May," keluh Mama saat itu.

Jujur sebenarnya aku kasihan juga pada mereka. Tapi aku benar-benar belum bisa membuka hati untuk siapapun saat ini. Aku masih nyaman sendiri.

"Papa kasih waktu satu minggu, May. Kamu cari calon suami. Mau kaya, mau miskin, Papa nggak peduli. Pokoknya kamu harus bawa calon suami dalam kurun waktu satu minggu," tegas Papa kala itu.

Sungguh, saat itu aku kesal, aku sangat terbebani. Diminta untuk melawan ketakutan sendiri itu sangat sulit. Rasanya lebih baik aku jadi perawan tua saja selamanya.

Namun takdir berkehendak lain. Papa tak sabar menungguku bergerak. Beliau mencarikan sendiri jodoh untukku. Dan itu adalah Rafael. Anak dari keluarga kurang mampu yang banyak berutang pada Papa.

Aku akui salah dan dosaku ini memang banyak. Dosaku bejibun, tak terhitung. Tapi kenapa harus seperti ini takdir hidupku?

"Aaa!" Untuk kesekian kalinya aku berteriak frustrasi di malam pertama.

"Tante berisik banget dah! Ngapain teriak-teriak mulu, sih? Minta dikelonin?"

Mataku melotot. Bocah ingusan ini memang selalu membuatku kesal. Dari awal pertemuan kami, dia memang sangat menyebalkan. Mama dan Papa juga tak kalah kejam.

Hanya karena sering mendapat cibiran dari para tetangga bahwa anaknya ini perawan tua, Papa dan Mama tega menikahkanku dengan bocah ingusan yang usianya bahkan dibawah tujuh tahun dariku. Beda usia tujuh tahun, gaes! Bayangkan! Aku lebih mirip induk bebek dari pada seorang istri. Dia masih dua puluh tahun. Ya ampun! Masih imut-imut harusnya. Tapi ini, kok, ya amit-amit.

Wajahnya lumayan cakep, sih. Hidungnya mancung juga. Cuma kulitnya kusam. Mungkin karena dia sering kerja di bengkel.

"Tante-tante! Gue masih muda, ya. Orang-orang aja yang mulutnya kelewat lemes," balasku tak terima.

Rafael tergelak. Ya, bocah ingusan sekaligus suamiku itu bernama Rafael. Namanya juga keren, sih. Tapi orangnya nyebelin pakai buanget.

"Iye, masih muda emang. Sepuluh tahun yang lalu." Dia tergelak kali ini. Benar-benar memang ini bocah ngajak gelud mulu dari tadi.

Aku mengambil bantal dan melemparnya ke muka bocah ingusan itu. Bukannya diam, tawanya malah makin kencang.

"Ketawa aja teros! Gue sumpahin itu mulut mangap terus nggak bisa mingkem!"

"Astaga, Tante jahat banget," ucapnya sok polos. Hih! Makin pengen nimpuk pakai telenan sekarang.

"Tenang, Tan. Sebenarnya gue juga nggak pengen nikah muda begini. Tapi tawaran Papa mertua benar-benar menggiurkan. Kalau gue bersedia menyelamatkan elu dari julukan perawan tua, utang-utang nyokap gue lunas. Sayang, kan, kalau ditolak."

Ya, aku sudah tahu alasan itu. Papa dan Mama memberikan sebuah tawaran yang sama-sama menguntungkan untuk kedua belah pihak. Anaknya yang perawan tua ini dapat jodoh, sementara utang-utang Ibu bocah ingusan itu dianggap lunas. Tapi aku yang tersiksa di sini ....

"Dahlah. Gue ngantuk. Mau tidur duluan." Bocah itu berlalu ke sofa. Eh, dia ngalah ini ceritanya?

Aku sendiri mulai merebahkan badan di atas ranjang. Berulang kali kulihat bocah itu di sana. Apa dia sudah benar-benar tidur?

Aku beringsut turun dari ranjang sembari membawa selimut. Kasihan juga kalau nanti kedinginan.

Dengan langkah berjinjit, aku mendekat ke sofa. Kulambaikan tangan berulang kali di depan wajahnya. Sepertinya dia memang sudah tidur.

Saat tangan lagi melambai-lambai, tak kusangka dia menangkap tanganku. Sontak saja badanku panas dingin.

Perlahan matanya terbuka. "Tante ngapain?"

"I-itu tadi gue anu ...." Aku bingung sendiri jadinya ingin menjawab apa.

"Anu apa? Tante mau anu?"

Mataku melotot. Kutarik tanganku darinya dengan cepat. "Anu apaan? Dasar omes!"

Lalu aku teringat bahwa sedang memegang selimut. Astaga! Kenapa bisa pikun mendadak begini?

Aku melemparkan selimut padanya. "Nih! Gue cuma mau kasih selimut ini buat lu!"

Dia tersenyum, lalu memakai selimut dariku. Lah, kok, senyumnya manis? Sadar, Mayang! Sadar!

Aku kembali ke ranjang. Pemuda itu kembali memejamkan mata. Sampai berapa lama aku betah bersamanya?

Ini aku lagi jagain jodoh orang bukan, sih, ceritanya? Dia masih muda. Mungkin saja sekarang dia punya pacar. Ah, ngenesnya nasibku ini.

***

Mataku mengerjap pelan. Samar-samar kudengar percakapan orang di luar sana. Sepertinya ini sudah pagi.

Aku menggeliat pelan sembari membuka mata.

"Astaga!" Aku spontan melompat mundur. "Heh, bocah! Ngapain cengengesan di depan wajah orang? Mau macam-macam lu?"

Bangun pagi disambut sama wajah bocah itu rasanya ingin lompat kodok seketika. Mana wajahnya mepet banget di depan mata. Untung ganteng. Halah!

"Itu iler diusap dulu, Tan. Malu sama cowok ganteng ini." Dia beranjak menuju kamar mandi masih sambil cengengesan. Mengakui diri sendiri ganteng pula. Dasar narsis!

"Heh! Mana ada gue ngiler! Fitnah lu!" teriakku tak terima. Tapi sayang, dia sudah keburu masuk. Karena masih belum percaya dengan fitnahan recehnya, aku berjalan menuju cermin rias.

"Aish! Sejak kapan gue ngiler kek gini?"

**

"Habis sarapan kamu mau ke mana, El?"

Aku melirik Papa. Beliau sepertinya sudah sangat siap lahir batin punya menantu. Hebat! Anaknya saja tak pernah ditanya mau ke mana sehabis sarapan.

"Seperti kegiatan saya sebelumnya, Om. Ke bengkel."

"Kok, masih panggil Om? Panggil Papa lah. Kamu ini, kan, sudah jadi anak Papa juga."

"Wah! Kalian udah jadi keluarga bahagia rupanya," sindirku.

Mereka semua hanya mencebik menanggapi ucapanku. Kenapa pada kompak banget, sih? Aku jadi merasa dicurangi.

"Aku pamit, Pa, Ma." Rafael bangkit dari duduknya. Dia mencium tangan kedua orangtuaku. Halah! Pencitraan itu pasti.

"Hati-hati," tutur Mama. "May, salim sama suami, dong."

Mataku melebar lagi. Lama-lama bisa jadi kayak bola pingpong ini mata melebar mulu.

Dengan terpaksa, kusalami bocah tengil bin nyebelin itu.

"Aku berangkat, ya. Hati-hati nanti kerjanya," ucapnya sambil senyum manis. Wah! Apa dia sudah merencanakan ucapannya itu sejak semalam? Sok perhatian sekali dia. Biasanya manggil elo gue, mentang-mentang di depan Bonyok aku kamuan. Dih!

Saat aku memalingkan wajah karena merasa geli dengan ucapannya, dia menarik wajahku agar menghadapnya lagi. Lalu tanpa izin, dia mengecup keningku. Mama ... kening anakmu dinodai!

***

"Bu Nimas sama Pak Irwan itu orang kaya, ya. Tapi, kok, anaknya jadi perawan tua, sih?"

"Iya. Heran juga. Padahal wajah si Mayang nggak jelek-jelek amat. Apa mungkin dia nggak normal, ya?"

Begitulah celetukan para tetangga tiap kali melihatku pulang dari bekerja. Sebenarnya ingin sekali menutup telinga dari omongan mereka yang menyakiti hati. Tapi mau bagaimana lagi? Semua yang dikatakan mereka tidak salah. Aku memang seorang perawan tua.

Para perempuan seusiaku di daerah ini rata-rata sudah menikah dan memiliki anak. Tidak hanya satu, bahkan ada yang sudah memiliki empat anak.

Satu-satunya alasan yang membuatku masih sendiri sampai saat ini adalah karena rasa takut menjadi seorang istri. Rasa takut jatuh hati.

Banyaknya kasus perselingkuhan yang terjadi saat ini membuatku berpikir dua kali untuk menikah. Papa dan Mama sampai bosan menasehatiku setiap hari. Sebab tidak hanya aku yang mendapat cibiran warga, tapi mereka juga.

"Mama malu, May. Setiap kali Mama belanja sama ibu-ibu di sini, mereka selalu saja nanyain kapan kamu nikah. Bahkan mereka mengira kamu nggak normal. Sakit hati Mama mendengar ocehan mereka, May," keluh Mama saat itu.

Jujur sebenarnya aku kasihan juga pada mereka. Tapi aku benar-benar belum bisa membuka hati untuk siapapun saat ini. Aku masih nyaman sendiri.

"Papa kasih waktu satu minggu, May. Kamu cari calon suami. Mau kaya, mau miskin, Papa nggak peduli. Pokoknya kamu harus bawa calon suami dalam kurun waktu satu minggu," tegas Papa kala itu.

Sungguh, saat itu aku kesal, aku sangat terbebani. Diminta untuk melawan ketakutan sendiri itu sangat sulit. Rasanya lebih baik aku jadi perawan tua saja selamanya.

Namun takdir berkehendak lain. Papa tak sabar menungguku bergerak. Beliau mencarikan sendiri jodoh untukku. Dan itu adalah Rafael. Anak dari keluarga kurang mampu yang banyak berutang pada Papa.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

user avatar
Shunichi Kaiyo
Eeeeeer author kok cerita pertama di ulang ulang 1-15 aman terus 15 -20 dan seterusnya 39 itu sama... kamu sakitkah author ?
2022-03-24 10:17:34
4
73 Chapters
Malam Pertama
Aku akui salah dan dosaku ini memang banyak. Dosaku bejibun, tak terhitung. Tapi kenapa harus seperti ini takdir hidupku?   "Aaa!" Untuk kesekian kalinya aku berteriak frustrasi di malam pertama.   "Tante berisik banget dah! Ngapain teriak-teriak mulu, sih? Minta dikelonin?"   Mataku melotot. Bocah ingusan ini memang selalu membuatku kesal. Dari awal pertemuan kami, dia memang sangat menyebalkan. Mama dan Papa juga tak kalah kejam.   Hanya karena sering mendapat cibiran dari para tetangga bahwa anaknya ini perawan tua, Papa dan Mama tega menikahkanku dengan bocah ingusan yang usianya bahkan dibawah tujuh tahun dariku. Beda usia tujuh tahun, gaes! Bayangkan! Aku lebih mirip induk bebek dari pada seorang istri. Dia masih dua puluh tahun. Ya ampun! Masih imut-imut harusnya. Tapi ini, kok, ya amit-amit.   Wajahnya lumayan cakep, sih. Hidungnya mancung juga. Cuma kulitnya kusam. Mungk
last updateLast Updated : 2022-02-18
Read more
Tersinggung
Kuusap keningku berkali-kali agar bekas ciuman si Rafael hilang. Tapi sebenarnya kalau dipikir-pikir, dia tidak salah juga. Aku ini, kan, istrinya. Mau diapain juga sudah halal.   "Kamu kenapa, sih, May? Dari tadi Mama lihatin itu kening diusap-usap mulu. Pusing?"   Aku memutar bola mata malas. "Iya, pusing banget. Mual, mau muntah juga," jawabku asal.   Di luar dugaan, Mama malah menganga sambil melotot, "Wah! Hebat banget si Rafael, ya. Baru juga semalam, udah tokcer aja."   Yasalam! Apa yang sedang dipikirkan Mama sekarang?   "Tokcer apanya, sih, Ma? Mama pikir aku hamil gitu? Astaga, Ma! Mana ada orang baru tidur bareng semalam langsung hamil? Lagian kami juga nggak ngapa-ngapain, kok," jawabku kesal.   Mama tergelak, lalu melenggang meninggalkanku begitu saja. Puas banget itu ketawanya.   Rasanya seisi rumah ini lama-lama membuatku n
last updateLast Updated : 2022-02-18
Read more
Suami Salih
Biar sajalah. Itu bukan urusanku. Eh, tapi tadi bajunya masih basah itu. Kalau dia masuk angin bagaimana?   Sepertinya orang yang meneleponnya tadi sangat penting bagi Rafael sampai-sampai dia mengabaikan diri sendiri seperti itu. Ah, sudahlah. Lebih baik aku membersihkan diri lalu istirahat. Urusan Rafael bukan urusanku.   **   Malam sudah makin larut. Tapi Rafael belum kembali juga. Sebenarnya dia pergi ke mana? Jika terjadi apa-apa padanya, bisa-bisa aku yang kena omel Papa Mama.   Baru saja hendak meraih ponsel di atas nakas untuk menghubungi bocah itu, kulihat pintu kamar terbuka. Syukurlah dia sudah kembali.   "Dari mana?" tanyaku serius.   Rafael menatapku sekilas. Tanpa menjawab, dia melepas jaket, lalu menyambar handuk di cantelan. Wajahnya jadi tambah kusut sekarang. Baiklah. Sepertinya dia tidak mau berbagi denganku.   Aku mera
last updateLast Updated : 2022-02-18
Read more
Bulan Madu
Aku memijat kepala yang berdenyut. Berapa lama lagi aku harus menghabiskan waktu bersamanya? Yang ada nanti aku bisa gila jika terlalu lama bersama pemuda selengekan itu.   Aku bersiap hendak pergi ke toko. Sebenarnya terkadang aku merasa bosan juga dengan kegiatanku sehari-hari. Bangun tidur, ke toko, pulang, tidur lagi. Seperti itu terus. Aku sangat jarang menghabiskan waktu di luar untuk sekadar bertemu teman. Ah, aku bahkan tidak punya teman dekat. Meski itu perempuan sekali pun.   "May! Ayo sarapan dulu! Itu Ayang Beb kamu udah nungguin!"   Eh, apaan? Ayang beb? Mama apaan, sih?   Aku membuka pintu dengan kasar. Dapat kulihat raut terkejut di wajah malaikatku itu.   "Ayang beb apaan, Ma, maksudnya?" tanyaku dengan malayangkan tatapan tajam.   "Ya suami kamu lah. Siapa lagi coba?" jawab Mama dengan santainya. Dan seperti biasa, setelah menjawabku, beliau
last updateLast Updated : 2022-02-18
Read more
Masih Bulan Madu
Rafael mendekatkan wajah di samping telingaku, "Bahkan lo nggak bisa menghindar saat gue lakukan ini. Nanti pun, elo nggak akan bisa menghindar saat menyadari perasaan lo sama gue." Aku menelan ludah dengan susah payah. Bisikan Rafael seperti angin yang menggelitik di telinga. Sadar, Mayang! Sadar! Aku menatapnya tajam. Lalu menginjak kakinya sekuat tenaga. "Adaw! Sakit, Tan! Elah tega bener!" Rafael sibuk lompat-lompat sambil memegangi kakinya. "Makanya jangan suka curi kesempatan dalam kesempitan!" sengitku. Aku kembali berjalan dengan kaki sedikit mengentak. Kesal sekali rasanya. "Eh, mana ada gue ambil kesempatan dalam kesempitan? Orang di sini tempatnya luas begini." Aku berbalik. Menatapnya masih dengan tatapan tajam, "Lo ngeselin banget, sih!" Rafael tergelak. Lalu buru-buru berlari dariku. Argh! Aku bisa benar
last updateLast Updated : 2022-02-18
Read more
Keseleo
Meski awalnya aku sangat keberatan dengan rencana bulan madu konyol ini, tapi setelah melaluinya, rasanya tidak buruk. Rafael bukan lelaki yang terlalu suka ikut campur. Dia juga bukan pemaksa. Bahkan aku yang cenderung mengatur di sini.   Seperti saat ini, aku mengajaknya jalan-jalan ke pantai. Dia tak menolak, juga tidak keberatan.   "Serius, Tan, elo belum pernah pacaran sekali pun? Atau mungkin suka sama orang gitu?"   Aku menggeleng. "Kalau pacaran nggak pernah. Kalau suka sama orang pernah. Dulu waktu masih SD."   "Jiah! Itu, sih, namanya cinta kunyuk, Tan."   Aku tergelak mendengarnya bilang cinta kunyuk. Rafael ini ternyata humoris juga. Tapi kadang humorisnya nyebelin.   "Jadi, elo juga belum pernah gandengan tangan kayak gini, dong?" Tanpa izin seperti semalam, dia menggandeng tangan kananku sambil senyum-senyum. Aku mencoba melepasnya, tapi genggam
last updateLast Updated : 2022-02-23
Read more
Romantisnya Rafael
Hari ini kami telah kembali ke rumah. Meski hanya menghabiskan waktu untuk bersenang-senang, tapi rasanya lelah juga. Mungkin lelah karena perjalanan yang jauh. "Gimana bulan madunya? Lancar nggak? Mama bisa cepet dapet cucu, kan?" Entah kenapa aku geli mendengar pertanyaan Mama barusan. Anaknya baru saja sampai bukannya ditanya kabar ini malah ditanya cucu. "Aku capek, Ma. Mau istirahat dulu." Aku melenggang ke lantai atas. Ke kamarku dan Rafael. Sementara bocah itu mengekor di belakangku. "Wah! Kayaknya mereka menggebu-gebu banget pas di sana, Pa. Lihat itu si Mayang sampai kecapekan kayak begitu," celetuk Mama sambil cekikikan. Sumpah, ya. Nggak Mama, nggak Papa, semua makin rese. Semenjak turun dari taksi tadi, kulihat Rafael hanya diam. Biasanya jika berbicara dengan Papa dan Mama, dia yang paling semangat menanggapi. "Eh, lo kenapa diem bae?" tanyaku se
last updateLast Updated : 2022-02-24
Read more
Bertemu Duda
Sungguh, napasku bagai berhenti saat ini. Kurasa persediaan oksigen di sekitarku mendadak habis. Rafael kembali melangkah ke ranjang. Dia mengambil selimut dari sana, lalu merebahkan badan ke sofa. Aku baru bisa bernapas lagi setelah dia beranjak. Sungguh, bocah itu sepertinya memang memiliki kekuatan untuk membuat orang lain mati kutu. Baru saja aku merasa lega dan hendak menuju ranjang, kurasakan perutku sakit. Rasanya seperti ditusuk-tusuk, dicampur rasa perih dan juga mual. Ah, sangat tidak nyaman. "Lo kenapa, Tan?" Rafael sigap membantuku berjalan sampai ke ranjang. "Nggak tahu. Kayaknya maag gue kambuh. Baru juga tadi siang nolongin orang yang maag-nya kambuh. Eh sekarang gue sendiri yang ngalamin," jawabku dengan tangan memegangi perut. "Tunggu sebentar. Gue cariin obat dulu." Rafael berlari keluar. Wajahnya tampak panik. Mungkin takut jika aku kenapa-kenapa. Dia perhatian
last updateLast Updated : 2022-02-25
Read more
Ke Mana Rafael?
Toko kue kututup pada jam tujuh malam. Aku bergegas pulang setelah ingat bahwa Rafael tadi pagi berjanji akan mengajakku ke rumah Tata. Aku sungguh penasaran dengan perempuan itu. Seperti apa rupa dan sifatnya sampai-sampai Rafael begitu yakin bahwa akun itu bukan miliknya?   Aku tiba di rumah bersamaan dengan Rafael. Dia juga baru sampai. Tiba-tiba saja dia merangkul bahuku dari samping. Sok akrab!   Aku menghentikan langkah. Otomatis langkahnya pun terhenti. "Lo bilang tadi mau ajak gue ke rumah Tata?"   Bukannya menjawab, Rafael justru menatapku lekat. Rasanya jadi salah tingkah begini. Ini bocah benar-benar pinter banget bikin orang kikuk.   Aku meraup wajahnya hingga dia tertawa. "Woi! Denger nggak gue nanya apaan?"   "Denger, Tan. Gue cuma lagi menikmati indahnya ciptaan Allah aja. Meski dalam keadaan lelah begini, lu tetep aja cantik," ucapnya pelan. Terdengar begitu tulus
last updateLast Updated : 2022-02-26
Read more
Hadiah Ulang Tahun
Cafe sudah benar-benar tutup. Sekarang aku seperti orang bodoh yang menunggu ketidakpastian. Ada yang nyeri di dalam sini. Beginikah rasanya sakit hati? Apa aku ... benar-benar jatuh cinta pada Rafael? Inilah sebabnya kenapa aku sangat takut untuk mengikat hati dengan lelaki. Aku takut patah hati. Rasanya menyesakkan. Sungguh menyakitkan. Bulir hangat tiba-tiba saja mengalir dari pelupuk mata. Ah, akhirnya aku menangis karena hal yang paling kutakuti. Aku sungguh benci ini. Aku benci diriku yang lemah ini. Seharusnya aku tidak terlalu berharap Rafael untuk datang. "Lo jahat, Raf! Gue benci sama lo!" teriakku seperti orang tak waras. Tidak ada siapa-siapa di sini. Suasana sudah sepi. Namun aku masih saja duduk di depan cafe seperti orang tolol. "Jangan benci gue, Tan. Ntar gue nangis." Aku mendongak. Melihat sosoknya, ada macam-macam rasa di dalam sini. Bahagia, kesal, kecewa. Ah,
last updateLast Updated : 2022-02-27
Read more
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status