Hari ini kami telah kembali ke rumah. Meski hanya menghabiskan waktu untuk bersenang-senang, tapi rasanya lelah juga. Mungkin lelah karena perjalanan yang jauh.
"Gimana bulan madunya? Lancar nggak? Mama bisa cepet dapet cucu, kan?"
Entah kenapa aku geli mendengar pertanyaan Mama barusan. Anaknya baru saja sampai bukannya ditanya kabar ini malah ditanya cucu.
"Aku capek, Ma. Mau istirahat dulu." Aku melenggang ke lantai atas. Ke kamarku dan Rafael. Sementara bocah itu mengekor di belakangku.
"Wah! Kayaknya mereka menggebu-gebu banget pas di sana, Pa. Lihat itu si Mayang sampai kecapekan kayak begitu," celetuk Mama sambil cekikikan. Sumpah, ya. Nggak Mama, nggak Papa, semua makin rese.
Semenjak turun dari taksi tadi, kulihat Rafael hanya diam. Biasanya jika berbicara dengan Papa dan Mama, dia yang paling semangat menanggapi.
"Eh, lo kenapa diem bae?" tanyaku sembari duduk bersandar di kepala ranjang. Kulihat Rafael melepas jaket lalu merebahkan badan di sampingku.
"Tata, Tan. Nyokapnya makin parah katanya. Mana gue capek banget lagi. Tapi kalau nggak dateng kasihan juga. Menurut lu gimana?" Dia menoleh dengan wajah penuh tanya. Kusut pula.
Aku turut merebahkan badan. Kini kami berdua berbaring bersisian. Mataku lurus menatap langit-langit kamar.
"Itu, sih, terserah elo. Tapi tawaran gue kemarin masih berlaku, kok. Kalau elo mau, gue bisa transfer uang buat Tata tanpa lo harus nemuin dia."
Rafael merubah posisi. Aku meliriknya sekilas. Dia menghadapku sekarang. Membuat debaran di dalam dada mengencang kembali. Please, May! Biasa aja pas lihatin wajahnya.
"Nggak usah, Tan. Kalau lu izinin, ntar sore gue bakal ke rumah dia buat jenguk Ibunya. Saat ini gue belum punya uang. Jadi gue jenguk aja. Ya, buat kasih dia semangat aja lah."
"Terserah lo, sih. Gue cuma nawarin bantuan doang. Kalo mau, ya, gue kasih. Kalo enggak, ya, udah." Aku merubah posisi menjadi miring membelakanginya. Perjalanan dari Bali ke sini benar-benar membuat badan lelah. Sepertinya aku harus tidur barang sebentar biar badan segar lagi.
Di saat mata mulai terpejam, kurasakan ada tangan yang memeluk pinggang. Aku hampir saja protes pada Rafael, tapi dia lebih dulu buka suara.
"Diem, Tan. Gue capek. Gue mau merem bentar aja. Gue cuma numpangin tangan di pinggang lu, kok. Nggak bakal macem-macem."
Mendengarnya, aku urung bergerak. Perlahan aku mulai memejamkan mata kembali. Kurasakan juga pelukan Rafael mengencang. Debaran dalam dada menjalar sampai ke bibirku hingga menarik kedua sudutnya untuk terangkat. Ah, begini rasanya dipeluk suami saat tidur.
***
Mataku mengerjap. Saat merubah posisi, tak kulihat Rafael di sampingku. Ke mana dia? Atau mungkin sudah berangkat ke rumah Tata?
Aku bangkit dari ranjang, lantas keluar kamar. Mungkin Mama dan Papa tahu ke mana perginya bocah itu.
Kudengar suara tawa dari ruang tengah. Sepertinya mereka sedang menonton televisi. Aku melangkah ke sana. Ternyata Rafael tidak ada di sana.
"Ma, Rafael ke mana?" tanyaku.
Mama dan Papa menoleh. "Cie ... ada yang kangen, Pa."
Aku memutar bola mata malas. Bukannya dijawab, malah digodain.
"Dia pamit keluar sebentar katanya. Entah mau ke mana orangnya nggak bilang," sahut Papa.
Aku kembali lagi ke kamar. Sepertinya Rafael memang menemui Talita. Biarlah. Mungkin mereka memang masih sulit untuk saling berjauhan.
Aku berselancar ke dunia maya untuk mengusir rasa jenuh karena di kamar sendirian. Sekarang rasanya jika tak ada Rafael di sini, suasana menjadi sangat sepi. Padahal dulu aku biasa saja sendirian seperti ini. Jangan sampai aku terlanjur nyaman dengan bocah itu. Bisa besar kepala dia.
Lagi-lagi pembaruan status milik Nadia Talita yang muncul.
"Datang-datang bukannya kasih uang, cuma bawa senyum doang. Yang pengen malam Minggunya nggak kelabu bisa japri, ya. Tarif bisa nego."
Mulutku menganga saking terkejutnya membaca status perempuan itu. Apa dia menawarkan diri sekarang? Astaga! Apa dia sudah gila?
Tapi kalau dilihat-lihat, status Nadia ini selalu muncul bersamaan dengan perginya Rafael. Dan yang dibahas di statusnya juga sangat sesuai. Rafael bilang sore ini ingin menjenguk Ibu Tata tanpa bawa uang, kan. Jangan-jangan, Nadia Talita ini mantan pacar Rafael? Talita dipanggil Tata. Sepertinya memang benar.
Astaga! Apa mungkin selama ini Rafael hanya diperalat oleh Nadia alias Tata? Kalau benar begitu, aku harus bertindak. Bukan karena apa-apa. Aku kasihan saja jika Rafael yang tulus harus mendapat balasan seperti itu.
Kumatikan ponsel kemudian berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Rencananya aku ingin mencari Rafael setelah ini.
**
Aku sudah menghubungi Rafael. Dia bilang, dia berada tak jauh dari taman kota. Dia juga bilang, bahwa dia berada di rumah temannya sekarang. Tak lagi di rumah Tata.
Aku membelokkan mobil menuju tempat yang Rafael maksud. Sebenarnya dia begitu banyak bertanya tadi. 'Tumben nyariin? Kangen, ya?'
Namun tak kugubris. Tujuan utamaku sekarang adalah menunjukkan akun sosmed Nadia kepadanya.
Kulirik spion sebelah kanan saat akan berbelok. Aman, tidak ada kendaraan. Namun saat aku benar-benar belok, ada kendaraan yang menabrak mobilku dari belakang. Kepalaku sampai terantuk kemudi. Sakit!
Aku bergegas turun. Menghampiri orang yang sudah sembrono menabrak mobilku.
Aku mengetuk-ngetuk kaca mobilnya dengan keras. Kesal sekali rasanya.
Perlahan kaca itu turun. Mataku menyipit saat melihat sosok di dalamnya. Sebentar, aku sepertinya pernah bertemu orang ini.
Ah, iya. Dia laki-laki yang menolongku saat jatuh di pantai. Aku pikir dia asli orang sana. Tapi sepertinya dia juga hanya berlibur.
"Maaf. Tolong bisa antar saya ke rumah sakit? Perut saya rasanya sakit sekali," ucapnya sembari meringis memegangi perut. Niatnya tadi ingin marah. Tapi melihat lagi kondisi lelaki ini tengah kesakitan, rasanya tak tega juga.
**
Aku menghubungi Rafael bahwa sekarang sedang berada di rumah sakit.
"Ngapain di rumah sakit, Tan? Lu baik-baik aja, kan?"
"Gue nggak papa, kok. Gue cuma nolongin orang aja," jawabku.
"Ya udah. Lo tunggu di situ. Gue ke sana sekarang," ucapnya.
"Nggak usah lah. Gue juga udah mau pulang, kok. Mending lo pulang aja."
Terdengar helaan napas dari sana. Mungkin Rafael khawatir aku kenapa-kenapa. Manis sekali. Ah, apalah yang kupikirkan ini?
Panggilan diakhiri. Laki-laki yang tadi kutolong, keluar bersama seorang perawat. Wajahnya masih tampak pucat.
"Suami Ibu baik-baik saja. Hanya maag-nya saja yang kambuh. Mohon Ibu lebih memerhatikan pola makan suaminya lagi, ya," ucap perawat itu ramah. Lalu pamit pergi. Tapi kenapa harus bilang kalau kami ini suami istri? Bisa jadi perkara nanti.
"Terima kasih sudah mengantar saya." Laki-laki itu mengulurkan tangan. "Saya Ammar."
Aku membalas uluran tangannya. "Mayang," sebutku. "Kamu bisa pulang sendiri, kan? Saya harus segera pulang soalnya."
"Oh, iya. Silakan. Sekali lagi terima kasih."
Aku tersenyum sembari mengangguk pelan. Aku berjalan keluar dari rumah sakit menuju parkiran. Pasti Rafael sudah gusar menungguku sekarang.
**
"Lama amat, Tan? Siapa emang yang lo tolongin?" todong Rafael begitu aku sampai di rumah.
Aku berjalan menuju ruang makan. Jujur, perutku lapar sekali. Karena terlalu lelah, tadi siang aku lupa makan.
Aku mengambil piring, lalu mengisinya dengan nasi lengkap lauknya. Rafael turut duduk di sebelahku.
"Lo ingat nggak cowok yang pernah nolongin gue di pantai? Ya itu yang tadi gue tolongin. Kebetulan banget, kan?" Aku mulai menyendok nasi ke mulut. Ah, ini nikmat sekali. Atau mungkin aku yang sedang kelaparan?
"Cowok di pantai?"
Aku hanya mengangguk karena mulut masih penuh.
"Terus lo anter pulang juga?"
Aku menggeleng. "Keburu lapar gue. Ya udah gue tinggal aja di rumah sakit."
"Bagus lah," ucapnya lirih.
"Nggak makan lo?" tanyaku.
"Udah tadi di rumah temen."
Aku manggut-manggut mengerti.
"Lo kayaknya kelaperan banget, ya, Tan? Makan sampai kayak orang kesurupan gitu?"
Aku hampir saja tertawa. Tapi karena mulut penuh, aku menahannya.
Rafael mendekat. Mau ngapain lagi ini bocah? Mau bikin orang salah paham lagi pasti.
Aku sedikit bergerak mundur untuk menghindarinya. Takut saja kalau dia tiba-tiba nyium lagi. Ya kali orang lagi makan dicium. Duh, Mayang! Sepertinya otakmu sudah terkontaminasi dengan tingkah absurd Rafael.
"Itu ada nasi di bibir lo. Makan pelan-pelan aja lah. Nggak ada yang minta juga," ucapnya sembari mengambil sesuatu dari bibirku. Tenang jantung, jangan bikin onar di saat aku lagi makan. Tenang!
***
Seperti rutinitas setiap malam, aku selalu membersihkan wajah dari make up sebelum tidur. Sementara Rafael sudah berbaring manja di ranjang. Dia bertopang dagu sambil menatap ke arahku. Kan, kan, bikin salah tingkah lagi itu orang.
"Tan?"
"Hm," sahutku singkat tanpa menoleh. Aku masih sibuk membersihkan wajah di depan cermin.
"Lu cantik banget, sih."
Seketika pipiku terasa panas. Genderang dalam dada seperti ditabuh lagi. Bibirku sampai bergetar karena menahan senyum. Jangan sampai senyum! Jangan sampai senyum!
"Tapi lu lebih cantik kalau nggak pakai make up. Lebih natural menurut gue."
Aku melirik sekilas, lalu kembali menatap ke cermin tanpa menjawabnya.
"Tan?"
"Apaan, sih, lo berisik banget?"
"Lo beneran belum jatuh cinta sama gue?"
Aku memutar bola mata malas. "Gue, kan, udah bilang, gue nggak akan jatuh cinta sama bocah kayak elu. Jadi, jangan terlalu berharap sama gue."
Rafael beranjak dari ranjang. Dia berjalan ke sini dan berdiri di belakang badanku. Mau apa lagi sekarang?
Tanpa aba-aba, dia memelukku dari belakang. Pemuda itu lalu menumpukan dagunya di pundak kananku. Napasku bagai tercekat. Tak berani bergerak sedikit pun. Kini wajah kami berdua terpampang jelas di cermin rias. Semoga pipiku tak memerah lagi.
"Kalau lo nggak mau jatuh cinta sama gue, jangan larang gue buat jatuh cinta sama elo," bisiknya di telingaku, diiringi dengan kecupan hangat dan lembut di pipi kananku.
Sungguh, napasku bagai berhenti saat ini. Kurasa persediaan oksigen di sekitarku mendadak habis.Rafael kembali melangkah ke ranjang. Dia mengambil selimut dari sana, lalu merebahkan badan ke sofa. Aku baru bisa bernapas lagi setelah dia beranjak. Sungguh, bocah itu sepertinya memang memiliki kekuatan untuk membuat orang lain mati kutu.Baru saja aku merasa lega dan hendak menuju ranjang, kurasakan perutku sakit. Rasanya seperti ditusuk-tusuk, dicampur rasa perih dan juga mual. Ah, sangat tidak nyaman."Lo kenapa, Tan?" Rafael sigap membantuku berjalan sampai ke ranjang."Nggak tahu. Kayaknya maag gue kambuh. Baru juga tadi siang nolongin orang yang maag-nya kambuh. Eh sekarang gue sendiri yang ngalamin," jawabku dengan tangan memegangi perut."Tunggu sebentar. Gue cariin obat dulu." Rafael berlari keluar. Wajahnya tampak panik. Mungkin takut jika aku kenapa-kenapa. Dia perhatian
Toko kue kututup pada jam tujuh malam. Aku bergegas pulang setelah ingat bahwa Rafael tadi pagi berjanji akan mengajakku ke rumah Tata. Aku sungguh penasaran dengan perempuan itu. Seperti apa rupa dan sifatnya sampai-sampai Rafael begitu yakin bahwa akun itu bukan miliknya? Aku tiba di rumah bersamaan dengan Rafael. Dia juga baru sampai. Tiba-tiba saja dia merangkul bahuku dari samping. Sok akrab! Aku menghentikan langkah. Otomatis langkahnya pun terhenti. "Lo bilang tadi mau ajak gue ke rumah Tata?" Bukannya menjawab, Rafael justru menatapku lekat. Rasanya jadi salah tingkah begini. Ini bocah benar-benar pinter banget bikin orang kikuk. Aku meraup wajahnya hingga dia tertawa. "Woi! Denger nggak gue nanya apaan?" "Denger, Tan. Gue cuma lagi menikmati indahnya ciptaan Allah aja. Meski dalam keadaan lelah begini, lu tetep aja cantik," ucapnya pelan. Terdengar begitu tulus
Cafe sudah benar-benar tutup. Sekarang aku seperti orang bodoh yang menunggu ketidakpastian. Ada yang nyeri di dalam sini. Beginikah rasanya sakit hati? Apa aku ... benar-benar jatuh cinta pada Rafael?Inilah sebabnya kenapa aku sangat takut untuk mengikat hati dengan lelaki. Aku takut patah hati. Rasanya menyesakkan. Sungguh menyakitkan.Bulir hangat tiba-tiba saja mengalir dari pelupuk mata. Ah, akhirnya aku menangis karena hal yang paling kutakuti. Aku sungguh benci ini. Aku benci diriku yang lemah ini. Seharusnya aku tidak terlalu berharap Rafael untuk datang."Lo jahat, Raf! Gue benci sama lo!" teriakku seperti orang tak waras. Tidak ada siapa-siapa di sini. Suasana sudah sepi. Namun aku masih saja duduk di depan cafe seperti orang tolol."Jangan benci gue, Tan. Ntar gue nangis."Aku mendongak. Melihat sosoknya, ada macam-macam rasa di dalam sini. Bahagia, kesal, kecewa. Ah,
[Toko lagi rame. Gue nggak bisa keluar sekarang.]Aku mengembuskan napas setelah membalas pesan Rafael. Berbohong sedikit tak apalah dari pada nanti dia bertanya macam-macam.Aku kembali bermain bersama Chika. Anak ini sungguh aktif. Dia tak henti-hentinya mengajakku bermain. Meski hanya bermain boneka, tapi bibirku sampai dower karena terus berbicara menjadi dubber si boneka."Tante, aku lapar."Aku menghela napas lega. Akhirnya bocah ini berhenti mengajakku bermain juga. Tak lama setelah dia mengeluh lapar, seorang petugas rumah sakit datang membawakan makanan.Aku menyuapi bocah itu dengan telaten. Sepertinya keadaan anak Ammar ini sudah membaik. Nafsu makannya bagus. Cuma, ya, memang harus benar-benar telaten. Menyuapi sambil mengajaknya bermain. Mungkin begini nanti masa depanku saat aku dan Rafael sudah memiliki anak.Hais, Mayang! Pikiranmu kenapa maki
Jantungku sudah berdebar tak menentu. Inikah akhir dari hidupku? Aku meronta, mencoba melepaskan diri dari orang yang kini membekapku. "Ssstt! Ini aku, Ammar," bisiknya. Aku merasa lega luar biasa. Di saat seperti ini, pertolongan datang tepat waktu. Ammar membawaku bersembunyi di balik pohon besar. Keadaan gelap sepertinya akan sangat memberi keuntungan pada kami. Para perampok itu kemungkinan tidak akan bisa melihat kami di sini. "Sepertinya dah kabur. Ayo kita sikat aja duitnya," celetuk salah seorang rampok. Aku bahkan tidak berani bernapas sekarang. Jika mereka menemukan kami, entah apa yang akan terjadi. Lalu saat suara mereka tidak ada lagi, aku baru sadar jika tangan Ammar masih berada di mulutku. Aku menepuk-nepuk tangannya hingga dia tersadar. "Eh, maaf," ucapnya. Kami berdiri. Ammar keluar dari persembunyian. Aku memegangi ujung kemejan
Kulihat Rafael meletakkan sendoknya ke piring, lalu menatap ke depan dengan sorot mata kesal. Aku jadi ngeri melihat tatapannya itu."Bisa datang ke rumahku? Chika sejak tadi mencarimu. Maaf jika ini terlalu pagi. Tapi dia sepertinya sudah nggak sabar bertemu denganmu."Aku memejamkan mata. Kugigit bibir bawah sebab bimbang melanda. Aku harus menjawab apa?Kulirik lagi Rafael yang ada di sana. Astaga! Kini dia menatapku lagi. Tatapannya tajam menghunjam. Sungguh menakutkan.Dia mengajakku keluar bersama hari ini. Mana mungkin aku bisa mengabaikannya dan memilih pergi ke rumah Ammar? Tapi bagaimana dengan Chika?"Duh, gimana, ya, Mar? Aku kayaknya nggak bisa ke sana hari ini. Aku masih ada urusan penting. Gimana kalau besok aja?"Ammar terdiam cukup lama."Halo, Ammar?" Aku memanggilnya."Begitu, ya? Ya sudah, nggak pa
"Gimana, Pa?" Mama menarik ujung lengan kemeja Papa. Beliau pun sama paniknya dengan aku."Sepertinya kita harus menghubungi Ibu Rafael. Dia juga berhak tahu.""Tapi, Pa. Beliau punya riwayat penyakit jantung. Apa nggak bahaya nanti kalau memberitahu saat keadaan Rafael seperti ini?" Mama berpendapat. Mendengar jawaban Mama, Papa pun terlihat kebingungan."Mayang? Apa yang terjadi?"Aku menoleh. Ammar? Sedang apa dia di sini?"Suamiku kecelakaan. Sekarang kondisinya kritis. Dia membutuhkan donor darah golongan AB. Nggak ada stok sama sekali di sini," jelasku dengan susah payah. Tenggorokan rasanya sakit."AB? Kebetulan sekali. Aku bersedia mendonorkan darah untuk suamimu. Golongan darahku juga AB."Bagai menemukan oase di padang tandus, aku merasa lega luar biasa. Seakan beban yang mengimpit sejak tadi terangkat begitu saja.
Aku memeluk Rafael erat. Menumpahkan segala rasa rindu yang membuncah semenjak dia sakit.Rafael mengurai pelukan. Kini kami saling menatap lekat."Saya nggak tahu apa yang kamu bilang itu benar atau enggak. Jadi, selama ingatan saya belum pulih, sebaiknya kita nggak melakukan hubungan suami istri dulu.Hah? Aku sungguh ingin tertawa kencang sekarang. Apa dia pikir saat ini aku berharap melakukan itu dengannya?"Heh, bocah! Dari dulu justru gue yang suka ngomong begitu. Lagak lu sok bijak banget sekarang. Bikin empet tahu nggak!" balasku ketus. Namun hati rasanya sungguh sakit. Kenapa ini semua harus terjadi padanya di saat aku sudah memiliki keberanian untuk membuka hati?Wajah Rafael tampak heran."Tidur sana lo! Kalau nggak mau tidur di ranjang, tidur aja di sofa!" Aku berlalu ke kamar mandi lagi. Seperti kemarin, aku ingin menumpahkan tangis di sana.
"Mas! Mas!" Aku memukul-mukul lengan Rafael."Apa, sih, Sayang? Bahaya ini lagi nyetir jangan dipukul-pukul.""Berhenti dulu coba."Mobil menepi. Mesin pun dimatikan. Aku langsung menunjukkan foto-foto di akun Fatih pada Rafael."Jadi, Talita nikah sama orang ini? Dia yang pernah meriksa Ibu di rumah, kan?" Rafael bertanya.Aku mengangguk. Jemariku bergerak cepat menelusuri profilnya kembali untuk mendapatkan alamatnya.**Rumah mewah dua lantai sudah terpampang di depan mata. Inikah rumah Mas Fatih? Beruntung sekali Talita mendapatkan lelaki mapan seperti Mas Fatih."Ayo, Mas!" Aku menggandeng tangan Rafael. Tiba di depan pintu, aku menekan belnya.Cukup lama juga kami menunggu. Sekitar lima menit lebih, pintu baru terbuka. Seraut wajah perempuan yang aku cari, muncul di sebaliknya. Perempuan itu sangat jauh berbeda sekarang. Dia mengenakan jilbab lebar dan gamis. Sungguh cantik."Mbak Mayang?" Talita tiba-tiba memelukku. "Maafin saya, Mbak. Sungguh, saya benar-benar menyesal."Aku m
"Lepasin, Mas! Aku mau habisin perempuan itu!" Fira berteriak lagi."Jangan gila, Fira!" Ammar berusaha sekuat tenaga untuk merebut pisau itu dari tangan istrinya.Pelukan Rafael semakin erat aku rasa. Terutama saat tiba-tiba Ammar memekik. Perutnya tertusuk pisau!"Ammar!" Aku memekik histeris. Pisau terjatuh dari tangan Fira. Tubuh Ammar ambruk. Disusul dengan Fira yang luruh ke lantai. Perempuan itu memandangi tangannya yang berlumuran darah."Maafin aku, Mas! Aku nggak bermaksud buat nyakitin kamu!" Fira menangis penuh sesal. Cinta, jika terlalu tak tahu diri, akibatnya akan menyakiti dan merugikan diri sendiri.***Isak tangis dari dua wanita beda generasi di kursi tunggu semakin menambah suasana memilukan. Ammar masih menjalani penanganan. Sementara Fira digelandang ke kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bersyukur Papa bergerak cepat lapor polisi tadi.Sekarang aku dan Rafael masih menunggu kabar dari Dokter mengenai keadaan Ammar. Sejak tadi, tautan di tan
"F-Fira? Kamu ngapain di sini?"Fira melangkah masuk. Dia duduk di sebelahku. Rafael hendak berdiri, tapi kucegah."Bu Mayang dari rumah saya, ya? Bu Mayang baik banget pakai jenguk Ibu saya segala," ucapnya penuh haru. Sungguh, perempuan ini sangat misterius bagiku. Kupikir, dulu kami sangat dekat dan saling mengerti satu sama lain. Nyatanya tidak. Dia sulit untuk kumengerti.Sebuah sentakan kasar dari Ammar di bahu Fira, membuat tubuh perempuan itu berbalik."Hentikan omong kosongmu, Fira! Jangan macam-macam di sini!" Ammar berucap nyalang. Aku khawatir jika Alvin akan terbangun karena hal ini."Kamu kenapa, sih, Mas? Kamu terus aja mojokin aku. Kamu terus aja belain Bu Mayang. Apa-apa selalu Bu Mayang. Sebenarnya yang istri kamu itu aku atau dia?"Aku tercengang. Bukankah kalimat Fira barusan ini merupakan bentuk rasa cemburunya terhadapku? Sebelumnya aku tidak pernah melihat Fira bersikap sekasar ini saat membicarakanku.Ammar terdiam. Dapat kulihat dia melirikku sungkan."Kenapa
"Mas, mereka bawa pistol!" pekikku."Sial!" Rafael menginjak pedal gas makin dalam. Mobil kami meliuk-liuk di jalanan. Dari kaca spion, pengendara motor itu masih mengejar. Siapa mereka sebenarnya? Apa ini ada hubungannya dengan Fira juga?"Gimana ini, Mas?" tanyaku panik."Tenang saja. Kamu pegangan yang kuat. Aku akan menambah kecepatan." Rafael semakin fokus ke jalanan. Keringatnya mulai mengalir di pelipis. Aku tahu dia tegang setengah mati.Aku memejamkan mata sembari berdoa. Bunyi tembakan yang bergema membuat rasa takutku makin nyata.Mobil kami oleng. Sebuah peluru sepertinya berhasil melubangi ban mobil kami. Rafael membanting stir ke kiri. Lalu setelahnya semua berubah gelap.***Mataku mengerjap. Bau menusuk yang sangat familiar menyerbu hidung. Sepertinya belum lama ini aku juga mencium bau seperti ini.Kuarahkan pandangan ke samping kiri. "Ma?""Mayang? Alhamdulillah kamu sudah sadar, Nak."Aku mencoba bangkit dengan kedua tangan di belakang sebagai tumpuan."Jangan banya
Aku menatap Mama Ammar dengan sorot meminta penjelasan.Helaan napas panjang terdengar dari bibirnya. "Benar, Nak. Fira itu aneh. Dulu saya pikir dia gadis yang baik. Tapi makin ke sini, ternyata dia menakutkan. Terkadang dia marah-marah nggak jelas. Terkadang juga dia terlihat begitu baik. Seperti dua orang yang berbeda."Aku berpandangan dengan Rafael. Alis laki-laki itu terangkat. Apa mungkin Fira memiliki kepribadian ganda? Sepertinya kami mulai menemukan titik terang sekarang."Apa Ammar tahu?" Rafael bertanya."Ya, dia tahu. Bahkan dia sempat ingin mengakhiri rumah tangganya. Hanya saja demi menjaga nama baik perusahaan, dia masih bertahan sampai sekarang. Usia pernikahan mereka masih seumur jagung. Jika bercerai sekarang, pasti akan banyak pertanyaan dari berbagai pihak."Benar juga. Selain itu, sikap Fira yang aneh juga pasti memengaruhi perusahaan Ammar."Bu, apa boleh saya minta alamat rumah Fira? Saya ingin menjenguk Ibunya yang dia bilang baru saja sakit.""Tentu saja bole
Sepertinya aku harus berkunjung ke rumah Fira untuk memastikan. Tapi sebelum itu, aku akan ke rumah Ammar terlebih dahulu."Gimana anak-anak selama kamu tinggal, Fir? Pembukuannya bener nggak?" tanyaku. Untuk saat ini aku harus bersikap biasa saja."Bener, kok, Bu. Mereka udah mulai terbiasa kayaknya."Ada beberapa pembeli yang datang. Membuat percakapanku dengan Fira terhenti. Aku beralih pada Rafael yang sedang terpaku pada layar ponselnya."Mas, bisa antar aku ke tempat lain?"Dia memasukkan ponsel ke saku celana. "Bisa, dong. Mau ke mana? Beli bakso? Atau beli cilok?"Aku mencebik. "Bukan! Aku mau ke suatu tempat."Kami beranjak. "Fir, saya pergi, ya. Titip toko," pamitku.Fira mengacungkan jempolnya. Apa iya perempuan baik seperti dia tega menyakiti atasannya sendiri? Bahkan aku sudah menganggapnya seperti saudara sendiri."Kita mau ke mana, Sayang?" Rafael bertanya seiring dengan mesin mobil yang mulai menyala."Kita ke rumah Ammar, Mas."Pijakan pada pedal gas, urung dia lakuka
Puas bermain dengan Alvin, aku kembali ke kamar sendiri bersama Rafael. Sementara bocah itu bermain bersama kedua neneknya. Bersyukur, keadaan Ibu semakin membaik sekarang."Mau mandi?" tanya Rafael saat melihatku melepas atasan.Aku mengangguk. "Hu um. Gerah aku.""Mau dimandiin nggak?" Alisnya bergerak naik turun dengan jahil."Ish! Apaan, sih?" Aku menyambar handuk di cantelan, lalu melenggang ke kamar mandi."Dimandiin suami itu enak, lho. Punggung ada yang gosokin. Pasti punggung kamu tuh banyak bolotnya," seloroh Rafael dari luar.Aku mencebik. "Enak aja! Aku selalu bersih, ya, mandinya. Nggak kayak kamu."Dia tertawa. "Cepetan mandinya. Aku juga gerah."Aku mendengkus. Dasar tukang maksa!Usai mengenakan handuk, aku berjalan keluar. Aku terlonjak kaget saat melihat sosoknya berdiri di samping pintu kamar mandi."Ih! Ngagetin orang aja!" Aku memukul lengannya pelan.Dia meringis. Lalu berjalan melewatiku. Sebuah sentakan kurasakan pada simpul handuk. Seketika benda itu melorot.
Setelah keadaanku membaik, kami bertiga kembali pulang. Proyek kami harus tertunda entah sampai kapan. Aku masih ingin mengusut kasus ini."Makasih sudah mengantar, Mar," ucapku sebelum turun dari taksi. Ammar ikut serta mengantar sampai rumah. Alasannya ingin memastikan aku sampai di depan pintu dengan selamat."Oke. Aku pergi dulu." Taksi mulai melaju kembali. Dengan langkah lunglai, kuseret koper di tangan."Loh, May? Kamu sudah pulang? Katanya seminggu? Ini baru berapa hari, kok, sudah pulang?" Mama menyambutku dengan beberapa pertanyaan. Kebiasaan memang. Bukannya dipeluk atau dicium gitu, malah dikasih banyak pertanyaan.Aku mencium tangannya. "Alvin mana, Ma?""Lagi tidur siang. Kamu ini ditanya, kok." Mama kembali mengingatkan."Ceritanya panjang, Ma. Aku capek banget sekarang. Aku istirahat dulu, ya." Aku berjalan melewati Mama. Pasti beliau heran melihat sikapku yang tidak bersemangat seperti biasanya.Aku berjalan menuju kamar Alvin. Bocah itu sedang terlelap. Kuciumi wajah
Mataku mengerjap perlahan. Bau menyengat seketika terhidu begitu mata terbuka lebih lebar .Pandangan semakin kuperjelas. Tirai hijau yang menggantung di sebelah, mengingatkanku saat melahirkan Alvin. Mungkinkah aku sekarang juga ada di rumah sakit?Kugerakkan mata ke samping. Di sana tertunduk seorang lelaki muda. Lalu di sebelahnya, lelaki paruh baya tampak cemas dengan ponsel menempel di telinga."Ammar?" panggilku lirih.Kedua lelaki di sana menghambur padaku."May, kamu sudah sadar? Gimana perasaanmu? Maksudku, apa yang kamu rasakan sekarang?" Ammar bertanya cemas. Sementara Pak Brata hanya menyaksikan dengan raut wajah tak kalah cemas."Pusing," jawabku lemah.Laki-laki tampan di depanku ini mendengkus kesal. "Pak, ini sudah nggak benar. Pasti ada yang sengaja ingin meracuni Mayang," semprotnya pada Pak Brata."Ya, saya tahu, Pak Ammar. Nanti saya akan mencaritahu lewat ruang pengendali CCTV. Siapa tahu kita bisa dapat bukti dari sana. Dan untuk proyek kita, sepertinya kita tund