Share

Bertemu Duda

Author: Kuriziki
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Sungguh, napasku bagai berhenti saat ini. Kurasa persediaan oksigen di sekitarku mendadak habis.

Rafael kembali melangkah ke ranjang. Dia mengambil selimut dari sana, lalu merebahkan badan ke sofa. Aku baru bisa bernapas lagi setelah dia beranjak. Sungguh, bocah itu sepertinya memang memiliki kekuatan untuk membuat orang lain mati kutu.

Baru saja aku merasa lega dan hendak menuju ranjang, kurasakan perutku sakit. Rasanya seperti ditusuk-tusuk, dicampur rasa perih dan juga mual. Ah, sangat tidak nyaman.

"Lo kenapa, Tan?" Rafael sigap membantuku berjalan sampai ke ranjang.

"Nggak tahu. Kayaknya maag gue kambuh. Baru juga tadi siang nolongin orang yang maag-nya kambuh. Eh sekarang gue sendiri yang ngalamin," jawabku dengan tangan memegangi perut.

"Tunggu sebentar. Gue cariin obat dulu." Rafael berlari keluar. Wajahnya tampak panik. Mungkin takut jika aku kenapa-kenapa. Dia perhatian juga rupanya. Desir-desir halus kembali datang menggelitik ahati. Berbaur dengan rasa sakit di perut menciptakan sensasi yang tak bisa kuungkap dengan kata-kata.

Rafael kembali dengan sesuatu di tangan. Seperti botol sirup.

"Apaan yang lo bawa?" tanyaku.

"Ini obat sakit perut kata Mama mertua. Lu minum, gih, biar enakan." Rafael menuangkan sirup pada sendoknya. Lalu mengarahkannya ke mulutku. Aku merasa seperti anak kecil sekarang.

"Makasih," ucapku lirih. Malu.

Rafael tersenyum, lalu mengusap rambutku. "Sama-sama, Tan. Lo istirahat aja. Gue tungguin di sini," ucapnya sembari merangkak naik ke atas ranjang. "Tenang aja. Gue cuma mau mastiin sakit lo nggak makin parah."

Aih! Manisnya!

Aku buru-buru memalingkan wajah. Tenang, Mayang. Tenang! Mending sekarang merem, terus tidur. Aku merebahkan badan lalu memejamkan mata. Mencoba tidur meski detak jantung yang menggila sungguh mengganggu.

Kurasakan ada suatu pergerakan pada ranjang. Kubuka mataku sedikit. Kulihat Rafael beringsut mendekat ke nakas. Lalu aku kembali memejam saat dia mendekat.

"Masih sakit?"

Aku membuka mata. Kulihat Rafael membawa minyak angin di tangannya. Aku mengangguk.

"Sini, biar gue olesi minyak angin perut lu." Dia memintaku membuka kaus bagian perut.

"Gue bisa sendiri," tolakku.

"Tan, gue ini suami lo. Jangankan perut, semua anggota badan lo aja halal buat gue lihat."

Seketika aku menyilangkan tangan di depan dada. Dia malah tergelak.

"Tenang aja. Gue nggak bakal macam-macam. Gue cuma minta lu buka kaus bagian perut doang."

Akhirnya aku menurut. Kubuka sedikit kausku hingga bagian perut terlihat. Rafael mulai mengoleskan minyak tersebut pada perutku dengan lembut. Menciptakan rasa nyaman di sana. Rasa sakit yang tadi bergelung, perlahan hilang.

"Tidur," titahnya pelan. Sebelah tangan Rafael mengusap kepalaku. Sebelah lagi masih setia mengusap perutku. "Lo nggak usah khawatir, Tan. Sebelum lo benar-benar siap, gue nggak akan paksa lo buat ngelayanin gue."

Lagi, senyum Rafael yang begitu manis dan lembut, membuatku kian merasa nyaman. Namun juga mengundang rasa takut di dada. Rasa takut jika aku akan jatuh hati, lalu tersakiti.

***

"Gimana perutnya, Tan? Masih sakit?"

Aku yang tengah mengikat rambut menggeleng. "Udah baikan. Makasih."

Rafael hanya membalas dengan senyuman. Senyuman yang menurutku sangat manis. Senyuman yang selalu mampu menciptakan gelenyar aneh di dalam hati. Tak pelak, rasa hangat menjalari wajah.

"Jangan telat makan lagi. Dan hari ini nggak usah ke toko dulu. Banyakin istirahat di rumah. Gue berangkat." Rafael mengecup keningku seperti biasa. Sepertinya ini akan menjadi rutinitas kami saat dia akan berangkat bekerja.

Dia berlalu dari kamar. Aku melanjutkan kembali kegiatan mengikat rambut yang sempat tertunda.

Eh, tunggu dulu! Sepertinya ada yang aku lupakan sejak kemarin.

Oh, astaga! Tata! Bukannya kemarin aku ingin menunjukkan akun perempuan itu pada Rafael? Kenapa aku bisa lupa?

Gegas aku mengejarnya ke bawah. Tapi sepertinya aku terlambat. Motor Rafael sudah tidak ada di garasi. Aku berdecak kesal. Harus menunggu sampai malam lagi, kan, jadinya.

Aku kembali masuk. Di depan pintu, aku dihadang oleh Mama.

"Kenapa lari-larian, May?"

"Nggak papa, Ma. Tadi ada sesuatu yang mau aku sampaiin sama Rafael. Tapi orangnya keburu pergi."

"Ya udah samperin aja ke tempat kerjanya. Masa gitu doang dah nyerah." Seperti biasa, Mama melenggang setelah mengatakan sepatah dua patah kata yang terkadang membuatku emosi. Tapi kali ini, ucapannya benar juga. Aku susul saja. Ini bukan masalah kecil. Jika benar Tata yang dimaksud Rafael adalah Nadia, maka Rafael sudah dibohongi selama ini.

Tidak mungkin, kan, Rafael mau dengan perempuan yang suka mengobral diri pada laki-laki hidung belang. Secara Rafael lelaki yang tulus. Aku yakin pasti Tata memiliki dua sisi wajah yang berbeda.

Aku bergegas kembali ke kamar. Mengganti pakaian dengan yang lebih layak, lalu duduk di depan cermin rias. Baru saja tanganku hendak meraih salah satu alat make up di sana, aku teringat ucapan Rafael semalam.

"Tapi lu lebih cantik kalau nggak pakai make up. Lebih natural menurut gue."

Aku beranjak. Urung memakai make up. Kusambar tas kecil di atas meja, kemudian berlalu keluar.

Sembari berjalan, aku menghubungi Rafael. Tidak ada jawaban. Mungkin dia masih di jalan. Akhirnya aku hanya mengirim pesan.

[Share lokasi kerja lo. Ada yang mau gue sampaiin sama lo.]

Kumasukkan kembali ponsel ke dalam tas setelah pesan kukirim. Aku terus berjalan menuju garasi. Menyalakan mesin mobil, lalu mulai melajukannya membelah jalanan yang padat.

Di jam-jam ini, serentak orang-orang berangkat bekerja. Jalanan jadi sangat padat. Mobilku merayap di antara banyaknya kendaraan.

**

Kupastikan lagi lokasi yang dikirim oleh Rafael dengan toko yang ada di depanku. Ya, ini sudah benar.

Aku melangkah masuk. Toko ini sangat luas. Wajar jika pemiliknya mencari pekerja lagi. Pasti sangat repot jika karyawan yang ada jumlahnya tak memadai. Untuk bertugas mengecek barang, di meja kasir, belum lagi nanti saat ada pasokan barang yang datang. Sudah pasti dibutuhkan banyak karyawan.

"Tan!"

Aku menoleh. Rafael muncul dari sela-sela rak barang. Dia menarik tanganku keluar dari toko. Lalu mengajakku duduk di teras toko. Di sana terdapat dua kursi dengan satu meja berada di tengahnya.

Dapat kudengar deheman-deheman dari karyawan lain saat Rafael menarik tanganku. Deheman yang sengaja dilontarkan untuk menggoda sepertinya.

"Ada apaan, Tan? Kayaknya penting banget sampai lu datang ke sini?"

Aku merogoh ponsel dari dalam tas. Lalu jariku mulai menelusuri dan mencari akun bernama Nadia Talita. Ketemu!

"Coba lo lihat ini!" Aku menyerahkan ponsel padanya.

Mata Rafael menyipit. Alisnya bertaut. Terlihat heran.

"Itu mantan pacar lo, bukan?" tanyaku. "Nadia Talita namanya. Lo juga pernah bilang kalau pacar lo itu bernama Talita dengan panggilan sayang, Tata, kan?"

Rafael mengangguk-angguk. "Ya, ini memang wajah Tata. Namanya juga nama dia. Tapi ini nggak mungkin akun sosmednya dia. Soanya gue temenan sama akun aslinya." Kini Rafael yang menunjukkan ponsel padaku. Dia menunjukkan akun Tata dengan nama Nadia Tata, bukan Nadia Talita.

"Gue harus tunjukin akun fake ini sama Tata, Tan. Kasihan, kan, nama baiknya tercemar karena akun ini. Gue juga harus mencari cara biar akun ini dihapus sama pihak aplikasi," ucap Rafael dengan wajah emosi. Tak terima sepertinya jika nama baik mantan pacarnya tercemar.

"Tapi, kok, nama akun yang lo tunjukin ini nggak ketemu, ya, gue cari pakai akun gue?" ucapnya lagi.

Sekarang aku punya kesimpulan. Akun Nadia yang kemarin menawarkan dirinya pada lelaki hidung belang, sepertinya memblokir Rafael agar laki-laki itu tidak mengetahui aktivitasnya. Sementara itu, dia punya akun lain yang berperan sebagai pacarnya Rafael yang terkenal baik. Mungkinkah begitu?

"Kayaknya lo salah menilai Talita, deh. Kalau menurut gue, Talita itu nggak sebaik yang lo kira. Kalau memang ini kerjaan orang, kenapa harus blokir lo? Udah pasti biar lo nggak bisa lihat aktivitas dia yang buruk, kan? Coba, deh, lo pikir lagi," ucapku mencoba menjelaskan.

"Nggak, Tan. Gue kenal banget gimana Tata. Dia perempuan yang baik. Bukan perempuan murahan kayak gini. Ini bukan Tata banget. Bahkan selama ini dia cuma sibuk ngurusin Ibunya yang sakit. Mana mungkin dia macam-macam kayak gini?"

Aku menghela napas pelan. Bingung memenuhi pikiran. Mana yang benar? Kesimpulanku atau kepercayaan Rafael?

"Ntar sore, sepulang kerja gue bakalan bawa lo ke rumah Tata. Lo bisa menilai sendiri dia orang seperti apa. Gue ke dalam, ya. Di sana masih banyak kerjaan." Rafael masih sempat mengacak rambutku sebelum berlalu. Ish! Nyebelin.

Aku melangkah gontai menuju mobil. Dari pada bingung seperti ini, lebih baik aku pergi ke toko saja. Lagi pula aku sudah baik-baik saja.

**

"Gimana perkembangan toko selama kutinggal, Fir?" tanyaku pada salah satu karyawan toko.

"Lancar, Bu. Toko tetap ramai seperti biasa. Kue-kue juga nggak nyetok lama-lama, kok. Sehari dua hari udah ludes. Terutama rollcake-nya."

Aku mengangguk-angguk paham. Syukurlah jika keadaan baik-baik saja di sini.

"Ibu gimana honeymoon-nya?" Dia balik bertanya dengan ekspresi cengar-cengir.

"Apaan, sih, kamu ini?" Aku menghindari pertanyaannya dengan berjalan menuju etalase depan. Kudengar Fira terkikik di belakang sana. Tidak di rumah, tidak di sini, sama saja. Bulan madu terus yang mereka tanyakan.

"Ada tart buat anak kecil, Mbak?"

Aku yang sedang sibuk mengecek berbagai macam kue mendongak.

"Ammar?"

Laki-laki itu juga sepertinya terkejut melihatku. "Mayang, kan? Kamu kerja di sini?"

"Ini toko milikku. Em, tadi kamu nyari tart buat anak kecil, ya?"

Dia mengangguk.

"Ayo, tempatnya di sana." Aku berjalan menuju etalase yang lain. Di mana berjajar berbagai jenis tart untuk ulang tahun anak-anak. Kami memang selalu menyediakan kue tart setiap harinya. Namun dalam jumlah yang terbatas agar lekas habis.

Ammar melihat dengan cermat ke arah aneka tart di depannya.

"Aku pilih yang ini saja," ucapnya sambil menujuk salah satu tart dengan ukuran lumayan besar.

"Oke. Mau dikasih tulisan apa?" tanyaku.

"Sebenarnya anakku masih berumur tiga tahun. Jadi dia belum bisa baca. Tapi kalau nggak ada tulisannya juga aneh, ya." Dia tertawa kecil di akhir kalimat.

"Kamu sudah punya anak?"

"Ya," jawabnya singkat disertai senyum tipis.

"Namanya siapa?"

"Chika."

"Oke. Gimana kalau tulisannya, Papa sayang Chika aja?"

Dia manggut-manggut. "Boleh juga."

"Tunggu sebentar, ya." Aku membawa tart tersebut ke belakang. Lalu meminta salah satu pegawai untuk memberinya tulisan menggunakan butter cream.

"Ini. Tapi, ngomong-ngomong Mamanya Chika mana? Kok nggak diajak? Biasanya perempuan itu antusias banget, lho, buat nyambut hari spesial kayak gini," ucapku basa-basi setelah kembali ke depan.

"Aku sudah lama berpisah," jawabnya masih disertai senyuman. Jadi, dia duda?

Related chapters

  • Bukan Perawan Tua   Ke Mana Rafael?

    Toko kue kututup pada jam tujuh malam. Aku bergegas pulang setelah ingat bahwa Rafael tadi pagi berjanji akan mengajakku ke rumah Tata. Aku sungguh penasaran dengan perempuan itu. Seperti apa rupa dan sifatnya sampai-sampai Rafael begitu yakin bahwa akun itu bukan miliknya? Aku tiba di rumah bersamaan dengan Rafael. Dia juga baru sampai. Tiba-tiba saja dia merangkul bahuku dari samping. Sok akrab! Aku menghentikan langkah. Otomatis langkahnya pun terhenti. "Lo bilang tadi mau ajak gue ke rumah Tata?" Bukannya menjawab, Rafael justru menatapku lekat. Rasanya jadi salah tingkah begini. Ini bocah benar-benar pinter banget bikin orang kikuk. Aku meraup wajahnya hingga dia tertawa. "Woi! Denger nggak gue nanya apaan?" "Denger, Tan. Gue cuma lagi menikmati indahnya ciptaan Allah aja. Meski dalam keadaan lelah begini, lu tetep aja cantik," ucapnya pelan. Terdengar begitu tulus

    Last Updated : 2024-10-29
  • Bukan Perawan Tua   Hadiah Ulang Tahun

    Cafe sudah benar-benar tutup. Sekarang aku seperti orang bodoh yang menunggu ketidakpastian. Ada yang nyeri di dalam sini. Beginikah rasanya sakit hati? Apa aku ... benar-benar jatuh cinta pada Rafael?Inilah sebabnya kenapa aku sangat takut untuk mengikat hati dengan lelaki. Aku takut patah hati. Rasanya menyesakkan. Sungguh menyakitkan.Bulir hangat tiba-tiba saja mengalir dari pelupuk mata. Ah, akhirnya aku menangis karena hal yang paling kutakuti. Aku sungguh benci ini. Aku benci diriku yang lemah ini. Seharusnya aku tidak terlalu berharap Rafael untuk datang."Lo jahat, Raf! Gue benci sama lo!" teriakku seperti orang tak waras. Tidak ada siapa-siapa di sini. Suasana sudah sepi. Namun aku masih saja duduk di depan cafe seperti orang tolol."Jangan benci gue, Tan. Ntar gue nangis."Aku mendongak. Melihat sosoknya, ada macam-macam rasa di dalam sini. Bahagia, kesal, kecewa. Ah,

    Last Updated : 2024-10-29
  • Bukan Perawan Tua   Marahnya Rafael

    [Toko lagi rame. Gue nggak bisa keluar sekarang.]Aku mengembuskan napas setelah membalas pesan Rafael. Berbohong sedikit tak apalah dari pada nanti dia bertanya macam-macam.Aku kembali bermain bersama Chika. Anak ini sungguh aktif. Dia tak henti-hentinya mengajakku bermain. Meski hanya bermain boneka, tapi bibirku sampai dower karena terus berbicara menjadi dubber si boneka."Tante, aku lapar."Aku menghela napas lega. Akhirnya bocah ini berhenti mengajakku bermain juga. Tak lama setelah dia mengeluh lapar, seorang petugas rumah sakit datang membawakan makanan.Aku menyuapi bocah itu dengan telaten. Sepertinya keadaan anak Ammar ini sudah membaik. Nafsu makannya bagus. Cuma, ya, memang harus benar-benar telaten. Menyuapi sambil mengajaknya bermain. Mungkin begini nanti masa depanku saat aku dan Rafael sudah memiliki anak.Hais, Mayang! Pikiranmu kenapa maki

    Last Updated : 2024-10-29
  • Bukan Perawan Tua   Tingkah Manis Berondong

    Jantungku sudah berdebar tak menentu. Inikah akhir dari hidupku? Aku meronta, mencoba melepaskan diri dari orang yang kini membekapku. "Ssstt! Ini aku, Ammar," bisiknya. Aku merasa lega luar biasa. Di saat seperti ini, pertolongan datang tepat waktu. Ammar membawaku bersembunyi di balik pohon besar. Keadaan gelap sepertinya akan sangat memberi keuntungan pada kami. Para perampok itu kemungkinan tidak akan bisa melihat kami di sini. "Sepertinya dah kabur. Ayo kita sikat aja duitnya," celetuk salah seorang rampok. Aku bahkan tidak berani bernapas sekarang. Jika mereka menemukan kami, entah apa yang akan terjadi. Lalu saat suara mereka tidak ada lagi, aku baru sadar jika tangan Ammar masih berada di mulutku. Aku menepuk-nepuk tangannya hingga dia tersadar. "Eh, maaf," ucapnya. Kami berdiri. Ammar keluar dari persembunyian. Aku memegangi ujung kemejan

    Last Updated : 2024-10-29
  • Bukan Perawan Tua   Rafael Kecelakaan

    Kulihat Rafael meletakkan sendoknya ke piring, lalu menatap ke depan dengan sorot mata kesal. Aku jadi ngeri melihat tatapannya itu."Bisa datang ke rumahku? Chika sejak tadi mencarimu. Maaf jika ini terlalu pagi. Tapi dia sepertinya sudah nggak sabar bertemu denganmu."Aku memejamkan mata. Kugigit bibir bawah sebab bimbang melanda. Aku harus menjawab apa?Kulirik lagi Rafael yang ada di sana. Astaga! Kini dia menatapku lagi. Tatapannya tajam menghunjam. Sungguh menakutkan.Dia mengajakku keluar bersama hari ini. Mana mungkin aku bisa mengabaikannya dan memilih pergi ke rumah Ammar? Tapi bagaimana dengan Chika?"Duh, gimana, ya, Mar? Aku kayaknya nggak bisa ke sana hari ini. Aku masih ada urusan penting. Gimana kalau besok aja?"Ammar terdiam cukup lama."Halo, Ammar?" Aku memanggilnya."Begitu, ya? Ya sudah, nggak pa

    Last Updated : 2024-10-29
  • Bukan Perawan Tua   Amnesia

    "Gimana, Pa?" Mama menarik ujung lengan kemeja Papa. Beliau pun sama paniknya dengan aku."Sepertinya kita harus menghubungi Ibu Rafael. Dia juga berhak tahu.""Tapi, Pa. Beliau punya riwayat penyakit jantung. Apa nggak bahaya nanti kalau memberitahu saat keadaan Rafael seperti ini?" Mama berpendapat. Mendengar jawaban Mama, Papa pun terlihat kebingungan."Mayang? Apa yang terjadi?"Aku menoleh. Ammar? Sedang apa dia di sini?"Suamiku kecelakaan. Sekarang kondisinya kritis. Dia membutuhkan donor darah golongan AB. Nggak ada stok sama sekali di sini," jelasku dengan susah payah. Tenggorokan rasanya sakit."AB? Kebetulan sekali. Aku bersedia mendonorkan darah untuk suamimu. Golongan darahku juga AB."Bagai menemukan oase di padang tandus, aku merasa lega luar biasa. Seakan beban yang mengimpit sejak tadi terangkat begitu saja.

    Last Updated : 2024-10-29
  • Bukan Perawan Tua   Sudah Pulih

    Aku memeluk Rafael erat. Menumpahkan segala rasa rindu yang membuncah semenjak dia sakit.Rafael mengurai pelukan. Kini kami saling menatap lekat."Saya nggak tahu apa yang kamu bilang itu benar atau enggak. Jadi, selama ingatan saya belum pulih, sebaiknya kita nggak melakukan hubungan suami istri dulu.Hah? Aku sungguh ingin tertawa kencang sekarang. Apa dia pikir saat ini aku berharap melakukan itu dengannya?"Heh, bocah! Dari dulu justru gue yang suka ngomong begitu. Lagak lu sok bijak banget sekarang. Bikin empet tahu nggak!" balasku ketus. Namun hati rasanya sungguh sakit. Kenapa ini semua harus terjadi padanya di saat aku sudah memiliki keberanian untuk membuka hati?Wajah Rafael tampak heran."Tidur sana lo! Kalau nggak mau tidur di ranjang, tidur aja di sofa!" Aku berlalu ke kamar mandi lagi. Seperti kemarin, aku ingin menumpahkan tangis di sana.

    Last Updated : 2024-10-29
  • Bukan Perawan Tua   Buka Segel

    Sejak tadi Rafael terus menatapku yang berada di belakang meja kasir. Di depannya kusuguhkan sepiring bronis. Bukannya dimakan, dia hanya bertopang dagu dengan mata tak lepas dariku. Aku jadi salah tingkah sendiri."Itu dimakan bronisnya. Enak tahu buatan gue," ucapku untuk mengalihkan perhatiannya."Enakan juga mandangin elu, Tan," jawabnya sambil senyum-senyum. Kalau begini terus, yang ada aku bisa makin salah tingkah."Kita pulang aja, ya. Lo masih butuh banyak istirahat." Aku menarik tangannya. Dia menurut seperti anak kecil."Kenapa ngajakin pulang? Mau malam pertamaan sekarang, ya?"Aku sontak melepaskan tangannya. "Mana ada? Ya udah, kita balik ke toko lagi aja." Aku sudah berniat masuk lagi. Tapi Rafael menahan."Bercanda, kok. Kita ke taman aja, ya." Dia menggandeng tanganku. Jujur aku masih trauma pergi ke tempat itu. Di sana Rafael mengalami

    Last Updated : 2024-10-29

Latest chapter

  • Bukan Perawan Tua   Akhir Sebuah Cerita

    "Mas! Mas!" Aku memukul-mukul lengan Rafael."Apa, sih, Sayang? Bahaya ini lagi nyetir jangan dipukul-pukul.""Berhenti dulu coba."Mobil menepi. Mesin pun dimatikan. Aku langsung menunjukkan foto-foto di akun Fatih pada Rafael."Jadi, Talita nikah sama orang ini? Dia yang pernah meriksa Ibu di rumah, kan?" Rafael bertanya.Aku mengangguk. Jemariku bergerak cepat menelusuri profilnya kembali untuk mendapatkan alamatnya.**Rumah mewah dua lantai sudah terpampang di depan mata. Inikah rumah Mas Fatih? Beruntung sekali Talita mendapatkan lelaki mapan seperti Mas Fatih."Ayo, Mas!" Aku menggandeng tangan Rafael. Tiba di depan pintu, aku menekan belnya.Cukup lama juga kami menunggu. Sekitar lima menit lebih, pintu baru terbuka. Seraut wajah perempuan yang aku cari, muncul di sebaliknya. Perempuan itu sangat jauh berbeda sekarang. Dia mengenakan jilbab lebar dan gamis. Sungguh cantik."Mbak Mayang?" Talita tiba-tiba memelukku. "Maafin saya, Mbak. Sungguh, saya benar-benar menyesal."Aku m

  • Bukan Perawan Tua   Mencari Talita

    "Lepasin, Mas! Aku mau habisin perempuan itu!" Fira berteriak lagi."Jangan gila, Fira!" Ammar berusaha sekuat tenaga untuk merebut pisau itu dari tangan istrinya.Pelukan Rafael semakin erat aku rasa. Terutama saat tiba-tiba Ammar memekik. Perutnya tertusuk pisau!"Ammar!" Aku memekik histeris. Pisau terjatuh dari tangan Fira. Tubuh Ammar ambruk. Disusul dengan Fira yang luruh ke lantai. Perempuan itu memandangi tangannya yang berlumuran darah."Maafin aku, Mas! Aku nggak bermaksud buat nyakitin kamu!" Fira menangis penuh sesal. Cinta, jika terlalu tak tahu diri, akibatnya akan menyakiti dan merugikan diri sendiri.***Isak tangis dari dua wanita beda generasi di kursi tunggu semakin menambah suasana memilukan. Ammar masih menjalani penanganan. Sementara Fira digelandang ke kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bersyukur Papa bergerak cepat lapor polisi tadi.Sekarang aku dan Rafael masih menunggu kabar dari Dokter mengenai keadaan Ammar. Sejak tadi, tautan di tan

  • Bukan Perawan Tua   Kenekatan Fira

    "F-Fira? Kamu ngapain di sini?"Fira melangkah masuk. Dia duduk di sebelahku. Rafael hendak berdiri, tapi kucegah."Bu Mayang dari rumah saya, ya? Bu Mayang baik banget pakai jenguk Ibu saya segala," ucapnya penuh haru. Sungguh, perempuan ini sangat misterius bagiku. Kupikir, dulu kami sangat dekat dan saling mengerti satu sama lain. Nyatanya tidak. Dia sulit untuk kumengerti.Sebuah sentakan kasar dari Ammar di bahu Fira, membuat tubuh perempuan itu berbalik."Hentikan omong kosongmu, Fira! Jangan macam-macam di sini!" Ammar berucap nyalang. Aku khawatir jika Alvin akan terbangun karena hal ini."Kamu kenapa, sih, Mas? Kamu terus aja mojokin aku. Kamu terus aja belain Bu Mayang. Apa-apa selalu Bu Mayang. Sebenarnya yang istri kamu itu aku atau dia?"Aku tercengang. Bukankah kalimat Fira barusan ini merupakan bentuk rasa cemburunya terhadapku? Sebelumnya aku tidak pernah melihat Fira bersikap sekasar ini saat membicarakanku.Ammar terdiam. Dapat kulihat dia melirikku sungkan."Kenapa

  • Bukan Perawan Tua   Kemunculan Fira

    "Mas, mereka bawa pistol!" pekikku."Sial!" Rafael menginjak pedal gas makin dalam. Mobil kami meliuk-liuk di jalanan. Dari kaca spion, pengendara motor itu masih mengejar. Siapa mereka sebenarnya? Apa ini ada hubungannya dengan Fira juga?"Gimana ini, Mas?" tanyaku panik."Tenang saja. Kamu pegangan yang kuat. Aku akan menambah kecepatan." Rafael semakin fokus ke jalanan. Keringatnya mulai mengalir di pelipis. Aku tahu dia tegang setengah mati.Aku memejamkan mata sembari berdoa. Bunyi tembakan yang bergema membuat rasa takutku makin nyata.Mobil kami oleng. Sebuah peluru sepertinya berhasil melubangi ban mobil kami. Rafael membanting stir ke kiri. Lalu setelahnya semua berubah gelap.***Mataku mengerjap. Bau menusuk yang sangat familiar menyerbu hidung. Sepertinya belum lama ini aku juga mencium bau seperti ini.Kuarahkan pandangan ke samping kiri. "Ma?""Mayang? Alhamdulillah kamu sudah sadar, Nak."Aku mencoba bangkit dengan kedua tangan di belakang sebagai tumpuan."Jangan banya

  • Bukan Perawan Tua   Datang ke Rumah Fira

    Aku menatap Mama Ammar dengan sorot meminta penjelasan.Helaan napas panjang terdengar dari bibirnya. "Benar, Nak. Fira itu aneh. Dulu saya pikir dia gadis yang baik. Tapi makin ke sini, ternyata dia menakutkan. Terkadang dia marah-marah nggak jelas. Terkadang juga dia terlihat begitu baik. Seperti dua orang yang berbeda."Aku berpandangan dengan Rafael. Alis laki-laki itu terangkat. Apa mungkin Fira memiliki kepribadian ganda? Sepertinya kami mulai menemukan titik terang sekarang."Apa Ammar tahu?" Rafael bertanya."Ya, dia tahu. Bahkan dia sempat ingin mengakhiri rumah tangganya. Hanya saja demi menjaga nama baik perusahaan, dia masih bertahan sampai sekarang. Usia pernikahan mereka masih seumur jagung. Jika bercerai sekarang, pasti akan banyak pertanyaan dari berbagai pihak."Benar juga. Selain itu, sikap Fira yang aneh juga pasti memengaruhi perusahaan Ammar."Bu, apa boleh saya minta alamat rumah Fira? Saya ingin menjenguk Ibunya yang dia bilang baru saja sakit.""Tentu saja bole

  • Bukan Perawan Tua   Mengorek Informasi

    Sepertinya aku harus berkunjung ke rumah Fira untuk memastikan. Tapi sebelum itu, aku akan ke rumah Ammar terlebih dahulu."Gimana anak-anak selama kamu tinggal, Fir? Pembukuannya bener nggak?" tanyaku. Untuk saat ini aku harus bersikap biasa saja."Bener, kok, Bu. Mereka udah mulai terbiasa kayaknya."Ada beberapa pembeli yang datang. Membuat percakapanku dengan Fira terhenti. Aku beralih pada Rafael yang sedang terpaku pada layar ponselnya."Mas, bisa antar aku ke tempat lain?"Dia memasukkan ponsel ke saku celana. "Bisa, dong. Mau ke mana? Beli bakso? Atau beli cilok?"Aku mencebik. "Bukan! Aku mau ke suatu tempat."Kami beranjak. "Fir, saya pergi, ya. Titip toko," pamitku.Fira mengacungkan jempolnya. Apa iya perempuan baik seperti dia tega menyakiti atasannya sendiri? Bahkan aku sudah menganggapnya seperti saudara sendiri."Kita mau ke mana, Sayang?" Rafael bertanya seiring dengan mesin mobil yang mulai menyala."Kita ke rumah Ammar, Mas."Pijakan pada pedal gas, urung dia lakuka

  • Bukan Perawan Tua   Tidak Mungkin!

    Puas bermain dengan Alvin, aku kembali ke kamar sendiri bersama Rafael. Sementara bocah itu bermain bersama kedua neneknya. Bersyukur, keadaan Ibu semakin membaik sekarang."Mau mandi?" tanya Rafael saat melihatku melepas atasan.Aku mengangguk. "Hu um. Gerah aku.""Mau dimandiin nggak?" Alisnya bergerak naik turun dengan jahil."Ish! Apaan, sih?" Aku menyambar handuk di cantelan, lalu melenggang ke kamar mandi."Dimandiin suami itu enak, lho. Punggung ada yang gosokin. Pasti punggung kamu tuh banyak bolotnya," seloroh Rafael dari luar.Aku mencebik. "Enak aja! Aku selalu bersih, ya, mandinya. Nggak kayak kamu."Dia tertawa. "Cepetan mandinya. Aku juga gerah."Aku mendengkus. Dasar tukang maksa!Usai mengenakan handuk, aku berjalan keluar. Aku terlonjak kaget saat melihat sosoknya berdiri di samping pintu kamar mandi."Ih! Ngagetin orang aja!" Aku memukul lengannya pelan.Dia meringis. Lalu berjalan melewatiku. Sebuah sentakan kurasakan pada simpul handuk. Seketika benda itu melorot.

  • Bukan Perawan Tua   Pulang

    Setelah keadaanku membaik, kami bertiga kembali pulang. Proyek kami harus tertunda entah sampai kapan. Aku masih ingin mengusut kasus ini."Makasih sudah mengantar, Mar," ucapku sebelum turun dari taksi. Ammar ikut serta mengantar sampai rumah. Alasannya ingin memastikan aku sampai di depan pintu dengan selamat."Oke. Aku pergi dulu." Taksi mulai melaju kembali. Dengan langkah lunglai, kuseret koper di tangan."Loh, May? Kamu sudah pulang? Katanya seminggu? Ini baru berapa hari, kok, sudah pulang?" Mama menyambutku dengan beberapa pertanyaan. Kebiasaan memang. Bukannya dipeluk atau dicium gitu, malah dikasih banyak pertanyaan.Aku mencium tangannya. "Alvin mana, Ma?""Lagi tidur siang. Kamu ini ditanya, kok." Mama kembali mengingatkan."Ceritanya panjang, Ma. Aku capek banget sekarang. Aku istirahat dulu, ya." Aku berjalan melewati Mama. Pasti beliau heran melihat sikapku yang tidak bersemangat seperti biasanya.Aku berjalan menuju kamar Alvin. Bocah itu sedang terlelap. Kuciumi wajah

  • Bukan Perawan Tua   Gelang Biru

    Mataku mengerjap perlahan. Bau menyengat seketika terhidu begitu mata terbuka lebih lebar .Pandangan semakin kuperjelas. Tirai hijau yang menggantung di sebelah, mengingatkanku saat melahirkan Alvin. Mungkinkah aku sekarang juga ada di rumah sakit?Kugerakkan mata ke samping. Di sana tertunduk seorang lelaki muda. Lalu di sebelahnya, lelaki paruh baya tampak cemas dengan ponsel menempel di telinga."Ammar?" panggilku lirih.Kedua lelaki di sana menghambur padaku."May, kamu sudah sadar? Gimana perasaanmu? Maksudku, apa yang kamu rasakan sekarang?" Ammar bertanya cemas. Sementara Pak Brata hanya menyaksikan dengan raut wajah tak kalah cemas."Pusing," jawabku lemah.Laki-laki tampan di depanku ini mendengkus kesal. "Pak, ini sudah nggak benar. Pasti ada yang sengaja ingin meracuni Mayang," semprotnya pada Pak Brata."Ya, saya tahu, Pak Ammar. Nanti saya akan mencaritahu lewat ruang pengendali CCTV. Siapa tahu kita bisa dapat bukti dari sana. Dan untuk proyek kita, sepertinya kita tund

DMCA.com Protection Status