Toko kue kututup pada jam tujuh malam. Aku bergegas pulang setelah ingat bahwa Rafael tadi pagi berjanji akan mengajakku ke rumah Tata. Aku sungguh penasaran dengan perempuan itu. Seperti apa rupa dan sifatnya sampai-sampai Rafael begitu yakin bahwa akun itu bukan miliknya?
Aku tiba di rumah bersamaan dengan Rafael. Dia juga baru sampai. Tiba-tiba saja dia merangkul bahuku dari samping. Sok akrab!
Aku menghentikan langkah. Otomatis langkahnya pun terhenti. "Lo bilang tadi mau ajak gue ke rumah Tata?"
Bukannya menjawab, Rafael justru menatapku lekat. Rasanya jadi salah tingkah begini. Ini bocah benar-benar pinter banget bikin orang kikuk.
Aku meraup wajahnya hingga dia tertawa. "Woi! Denger nggak gue nanya apaan?"
"Denger, Tan. Gue cuma lagi menikmati indahnya ciptaan Allah aja. Meski dalam keadaan lelah begini, lu tetep aja cantik," ucapnya pelan. Terdengar begitu tulus. Terasa nyes di hati. Seakan-akan seperti disiram air dingin.
Aku bergegas memalingkan wajah, lalu mengibaskan rambut. Berlagak biasa saja. Padahal jantung sudah mau loncat. "Mayang gitu, lho!"
Dia mengacak rambutku dengan gemas. Astaga! Pemuda ini kenapa gemar sekali membuatku terbawa perasaan. Sekarang aku jadi teringat sesuatu. Besok adalah hari ulang tahunku. Jika Rafael tahu, apakah dia akan memberikan kado spesial?
Aku menggeliat, mencoba melepaskan diri darinya. Jika diteruskan, aku takut terhanyut dalam perasaanya dan berujung luka. Tidak! Aku tidak siap untuk sakit hati.
Aku berlari masuk ke dalam rumah. Sebaiknya kami makan malam dulu sebelum ke rumah Tata. Bisa-bisa nanti perutku sakit lagi seperti kemarin jika makan tidak tepat waktu.
"Tungguin, Tan!"
Kulihat Rafael mengejar. Aku semakin mempercepat langkah. Jangan sampai dia menguasaiku, terlebih lagi hatiku. Aku memang tidak pernah pacaran sejak dulu. Namun kuakui, aku ini mudah melting. Mudah terbawa perasaan. Sensitif lah istilahnya. Jadi sebisa mungkin, aku akan menjaga hati darinya.
Kusambar handur di cantelan. Lalu bergegas masuk ke kamar mandi sebelum laki-laki itu muncul.
"Tan, mandi lu?" tanyanya dari luar.
"Iye! Jangan ganggu!" sahutku ketus dari dalam.
"Sebenarnya, sih, gue pengen mandi bareng. Tapi elonya keburu masuk duluan."
Mataku melebar mendengarnya. "Eh, dasar nyebelin lo, ya!"
Dia tergelak di luar sana untuk beberapa saat. Lalu suaranya tak lagi terdengar. Kulanjutkan aktivitas mandi yang sempat tertunta karena gangguan Rafael. Kupakai juga penutup rambut agar tak basah.
Guyuran air dari shower sangat menyegarkan. Seakan memberi energi baru di saat air menyentuh kulit.
Selesai dengan ritual mandi, kulilitkan handuk di badan. Lalu mataku mencari-cari sesuatu. Bajuku? Astaga! Kenapa aku tidak bawa baju ganti sekalian tadi? Sementara baju yang tadi kupakai sudah masuk ke bak pakaian kotor. Mana mungkin kupakai lagi?
"Tan! Lama amat mandinya? Gue gerah ini. Mau mandi juga!"
Ish! Kenapa bocah itu berisik banget, sih?
Perlahan kubuka pintu kamar mandi sembari mengintip keluar. Aku terlonjak kaget saat melihatnya bertelanjang dada di depan pintu kamar mandi.
Sontak kututup wajah dengan kedua telapak tangan.
"Ih! Lo ngapain buka-buka baju di sini?" omelku.
"Gue, kan, udah bilang tadi. Gue gerah. Elu, sih, Tan, kelamaan mandinya."
Perlahan aku menyingkirkan telapak tangan dari wajah. Debaran di dalam dada semakin bertalu-talu. Belum habis sisa debaran di bawah tadi, sekarang bertambah kencang saja.
Roti sobek itu membuatku ... ah, jangan ngaco, Mayang! Please!
Aku berjalan miring-miring seperti kepiting. Menempel pada tembok untuk berjaga-jaga jika saja Rafael tiba-tiba berbuat usil dengan menarik handukku. Dia rese! Bisa berbuat apa saja.
"Lu kenapa, sih, Tan?" Wajah Rafael makin heran melihatku. Setelah mencapai lemari, aku buru-buru mengambil pakaian dari sana. Kaus dengan celana jeans selutut.
"Udah buruan mandi sana!" ketusku yang masih sibuk di depan lemari. Aku berbalik untuk meliriknya. Rafael geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Lalu masuk ke kamar mandi.
Aku menghela napas lega, sejenak bersandar pada pintu lemari yang telah kututup kembali.
**
Usai makan malam, kami bersiap untuk ke rumah Tata. Aku tak mengganti baju. Hanya menambahkan jaket di luar kaus. Rafael juga tampil santai. Dia mengenakan celana pendek sebatas lutut dengan kaus dan luaran jaket, sama sepertiku.
Aku berdiri di depan cermin rias. Berniat mengikat rambut agar tak berantakan saat terkena angin. Rafael bilang kami naik motor saja. Aku juga sudah lama tak naik kendaraan itu. Rasanya kangen juga.
"Jangan diikat rambutnya." Rafael mengambil alih tali rambutku. Dia juga menurunkan kedua tanganku yang sudah siap mengikat. Rambutku jadi terurai lagi.
"Leher lu kelihatan kalau rambutnya diikat," ucapnya lagi sambil membenahi rambutku.
"Kenapa emang kalau kelihatan?" tanyaku bingung. Apa masalahnya coba?
Rafael mendekat ke telinga kiriku. Lalu menyibak rambut agar telingaku terlihat. Darahku berdesir saat telinga tersentuh olehnya. Jantungku makin seperti ditabuh saat dia berbisik di sana. "Gue nggak mau laki-laki lain berpikir buruk saat ngelihat leher jenjang lu. Cukup gue aja."
Hangat napasnya terasa menggelitik telinga dan leherku. Tubuhku seakan kaku.
Rafael membalik badanku hingga kini berhadapan dengannya. Mata kami beradu. Bibir pemuda itu melengkungkan senyum manis.
"Love you, Tan."
**
Entah kenapa sejak tadi bibirku terus saja ingin tersenyum. Hati juga kebat-kebit tak karuan. Ini semua gara-gara Rafael. Ungkapannya tadi benar-benar membuat perasaanku amburadul, kacau.
Kulihat dari kaca spion, Rafael tersenyum tiap kali pandangan kami bertemu di sana. Sementara aku sendiri melengos. Ada rasa hangat yang mengalir dalam dada saat mendengar ungkapannya. Namun di sisi lain ada rasa cemas juga takut. Takut jika aku benar-benar terbuai. Lalu setelah menambatkan hati padanya, aku akan dicampakkan. Hal itu yang selama ini selalu kutakutkan.
Rafael meraih tangan kiriku dan membawanya ke saku jaket. "Tangan lu dingin banget, Tan."
Aku memalingkan wajah kembali agar rona di sana tak dia lihat. "Nyetir yang bener. Ntar nabrak kalau tangan dilepas-lepas gitu," ucapku ketus.
Dia hanya tersenyum. Sementara genggaman tangannya padaku semakin dieratkan. Dasar bocah! Untung ganteng. Heleh!
**
Motor berhenti di depan rumah sederhana. Rafael bilang ini rumah Talita. Rumah ini terlihat begitu sepi. Tetangga sekitarnya pun tidak ada yang terlihat. Mungkin karena sudah malam, mereka bersantai bersama keluarga di depan televisi.
"Ayo masuk!" Lagi-lagi Rafael menggenggam tanganku. Biarlah. Rasa nyaman ini membuatku mengesampingkan rasa takut, meski hanya beberapa saat saja.
"Ta! Ini gue Rafa!" teriak Rafael.
Tak berselang lama, pintu dibuka dari dalam. Muncul sosok yang begitu mirip dengan pemilik akun Nadia Talita. Hanya saja yang ini penampilannya sangat sederhana. Mengenakan kemeja lusuh dan rok lebar di bawah lutut. Bukan bermaksud menghina. Namun cara berpakaiannya lebih mirip asisten rumah tangga di rumahku.
Sepertinya memang kesimpulanku yang salah. Mana mungkin perempuan seperti ini berani menawarkan diri?
"Ini Mayang, Ta, istriku," ucap Rafael memperkenalkan aku. Ada rasa bangga saat mendengarnya.
Talita tersenyum sopan, lalu mengulurkan tangan padaku. Aku sungguh takjub. Dia mampu menutupi luka di hati dengan senyuman. Bukankah Rafael bilang waktu itu Tata menangis saat hubungan mereka harus kandas? Lalu sekarang saat melihat laki-laki yang dicintainya bersamaku, dia masih mampu tersenyum. Luar biasa!
"Silakan masuk," ajaknya sopan.
Di ruang tamu, ada seorang laki-laki berperut buncit yang sedang bermain ponsel.
"Dia siapa, Ta?" tanya Rafael.
"Oh, beliau Pamanku, Raf. Kamu belum pernah ketemu, ya?" Tata beralih pada laki-laki berperut buncit itu. "Paklik, kenalin ini teman aku Rafael sama istrinya."
Laki-laki itu mendongak, kemudian berdiri menghampiri kami. Dari penampilannya, sepertinya dia bukan orang biasa. Rapi dan berkelas. Kemejanya bagus, pakai jam tangan pula. Aku tahu merek jam tangan itu. Harganya lumayan fantastis.
"Saya Bondan," ucapnya sembari mengulurkan tangan. Saat menyalamiku, kulihat tatapan yang lain di sana. Seperti tengah menelanjangi. Aku bergidik ngeri.
"Ibu gimana keadaannya?" tanya Rafael. Laki-laki yang dipanggil Paklik oleh Tata tadi duduk kembali. Namun dapat kulihat, mata itu masih saja menatapku. Astaga! Rasanya ingin kucolok saja.
"Masih sama, Raf. Bahkan hari ini beliau nggak mau makan."
"Em, boleh aku lihat Ibu kamu?" Aku menyela.
"Boleh, Mbak. Silakan." Tata berjalan di depan. Aku dan Rafael mengekor di belakangnya.
Dia menyibak tirai salah satu ruangan. Di dalam, terbaring seorang wanita yang kutaksir seumuran Mama. Hanya saja, badannya terlihat kurus.
"Sakit apa?" tanyaku lagi.
"Macam-macam, Mbak. Awal mulanya asam lambung. Lalu sekarang dokter bilang ada vertigonya juga. Seharusnya beliau dirawat di rumah sakit. Tapi karena terkendala biaya, hanya saya rawat di rumah."
Hatiku teriris mendengar cerita Talita. Merasa bersalah sempat berburuk sangka padanya.
Saat kami tengah mendengarkan cerita dari gadis itu, Ibunya tiba-tiba muntah. Talita dengan sigap mengambil wadah yang berada di bawah ranjang sebagai tempat muntah.
"Raf, sepertinya kita harus bawa Ibu Talita ke rumah sakit," ucapku panik.
"Tapi biayanya?"
"Gue yang tanggung. Cepetan cari taksol."
***
Kami pulang sekitar jam sepuluh malam. Sebab menunggu sampai Ibu Talita dipindahkan ke ruang rawat.
Saat aku hendak melepas jaket, Rafael tiba-tiba memeluk dari belakang.
"Apaan, sih? Tuman banget!" Aku menggeliat, tapi Rafael semakin mengeratkan pelukan.
"Makasih, Tan," ucapnya sembari menempelkan pipinya dengan pipiku.
"Buat?"
"Buat semua yang lo lakuin untuk keluarga Tata."
Aku tersenyum tipis. "Gue nggak tega aja ngelihatnya. Gue jadi ngebayangin kalau nyokap gue yang kayak gitu gimana? Ah, nggak sanggup gue kalau lihat beliau sakit."
Mataku memanas. Nasib Talita benar-benar membuatku merasa sangat bersyukur atas segala yang kupunya.
"Gue makin cinta sama lu, Tan."
Astaga! Mulai lagi gombalnya. Aku jadi teringat sesuatu.
"Em ... gini, deh. Kalau lo berterima kasih sama gue, gue minta kado ulang tahun buat besok."
Rafael membalik badanku. "Lo ulang tahun?"
Aku mengangguk. "Besok, sepulang kerja, gue tunggu lo di cafe deket toko gue. Bawa kado! Awas kalau nggak datang!"
Rafael tersenyum. Lalu tangannya ditaruh di pelipis seperti seseorang yang sedang hormat. "Siap, laksanakan!"
***
Dadaku lagi-lagi berdebar tak menentu. Kue tart sudah tersedia di atas meja lengkap dengan lilinnya.
Berulang kali aku melirik arloji di pergelangan tangan. Hampir jam tujuh. Sebentar lagi Rafael pasti datang. Entah kenapa aku selalu ingin tersenyum begini. Jika ada yang melihatku, pasti mereka akan mengira aku tak waras.
Kualihkan pandangan ke arah lain agar pikiranku tak semakin eror karena menanti Rafael. Tak sengaja, kulihat sosok yang tak asing ada di luar sana. Talita dan Pamannya.
Aku beranjak keluar. Namun belum sempat kupanggil, mereka sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil. Kenapa Talita keluar malam-malam begini? Lalu siapa yang menunggu Ibunya?
Bunyi ponsel di dalam tas mengalihkan fokusku. Ada pesan dari Rafael.
[Tan, gue kayaknya telat. Ini lagi nungguin Ibunya Tata. Anaknya lagi keluar cari sesuatu. Nggak papa, kan?]
Oh, sepertinya tadi Talita dan Pamannya itu sedang mencarikan sesuatu untuk Ibunya. Mungkin mencarikan makanan. Sebab biasanya, seseorang yang lagi sakit itu maunya makan yang aneh-aneh.
[Oke. Jangan lupa kadonya.]
Aku duduk kembali setelah membalas pesan Rafael.
Satu persatu pengunjung cafe pergi. Berulang kali kuembuskan napas lelah. Kenapa Rafael lama sekali? Apa Talita belum balik juga? Perasaan tadi dia sudah naik mobil.
"Permisi, Mbak." Aku mendongak. Pelayan cafe rupanya.
"Ya?"
"Mohon maaf sebelumnya. Saya hanya ingin menginformasikan kalau cafe sebentar lagi akan tutup," ucapnya sopan.
"Ah, iya. Maaf-maaf." Kuambil kue tart di atas meja. Langkahku lunglai saat keluar dari cafe. Rafael ke mana, sih?
Cafe sudah benar-benar tutup. Sekarang aku seperti orang bodoh yang menunggu ketidakpastian. Ada yang nyeri di dalam sini. Beginikah rasanya sakit hati? Apa aku ... benar-benar jatuh cinta pada Rafael?Inilah sebabnya kenapa aku sangat takut untuk mengikat hati dengan lelaki. Aku takut patah hati. Rasanya menyesakkan. Sungguh menyakitkan.Bulir hangat tiba-tiba saja mengalir dari pelupuk mata. Ah, akhirnya aku menangis karena hal yang paling kutakuti. Aku sungguh benci ini. Aku benci diriku yang lemah ini. Seharusnya aku tidak terlalu berharap Rafael untuk datang."Lo jahat, Raf! Gue benci sama lo!" teriakku seperti orang tak waras. Tidak ada siapa-siapa di sini. Suasana sudah sepi. Namun aku masih saja duduk di depan cafe seperti orang tolol."Jangan benci gue, Tan. Ntar gue nangis."Aku mendongak. Melihat sosoknya, ada macam-macam rasa di dalam sini. Bahagia, kesal, kecewa. Ah,
[Toko lagi rame. Gue nggak bisa keluar sekarang.]Aku mengembuskan napas setelah membalas pesan Rafael. Berbohong sedikit tak apalah dari pada nanti dia bertanya macam-macam.Aku kembali bermain bersama Chika. Anak ini sungguh aktif. Dia tak henti-hentinya mengajakku bermain. Meski hanya bermain boneka, tapi bibirku sampai dower karena terus berbicara menjadi dubber si boneka."Tante, aku lapar."Aku menghela napas lega. Akhirnya bocah ini berhenti mengajakku bermain juga. Tak lama setelah dia mengeluh lapar, seorang petugas rumah sakit datang membawakan makanan.Aku menyuapi bocah itu dengan telaten. Sepertinya keadaan anak Ammar ini sudah membaik. Nafsu makannya bagus. Cuma, ya, memang harus benar-benar telaten. Menyuapi sambil mengajaknya bermain. Mungkin begini nanti masa depanku saat aku dan Rafael sudah memiliki anak.Hais, Mayang! Pikiranmu kenapa maki
Jantungku sudah berdebar tak menentu. Inikah akhir dari hidupku? Aku meronta, mencoba melepaskan diri dari orang yang kini membekapku. "Ssstt! Ini aku, Ammar," bisiknya. Aku merasa lega luar biasa. Di saat seperti ini, pertolongan datang tepat waktu. Ammar membawaku bersembunyi di balik pohon besar. Keadaan gelap sepertinya akan sangat memberi keuntungan pada kami. Para perampok itu kemungkinan tidak akan bisa melihat kami di sini. "Sepertinya dah kabur. Ayo kita sikat aja duitnya," celetuk salah seorang rampok. Aku bahkan tidak berani bernapas sekarang. Jika mereka menemukan kami, entah apa yang akan terjadi. Lalu saat suara mereka tidak ada lagi, aku baru sadar jika tangan Ammar masih berada di mulutku. Aku menepuk-nepuk tangannya hingga dia tersadar. "Eh, maaf," ucapnya. Kami berdiri. Ammar keluar dari persembunyian. Aku memegangi ujung kemejan
Kulihat Rafael meletakkan sendoknya ke piring, lalu menatap ke depan dengan sorot mata kesal. Aku jadi ngeri melihat tatapannya itu."Bisa datang ke rumahku? Chika sejak tadi mencarimu. Maaf jika ini terlalu pagi. Tapi dia sepertinya sudah nggak sabar bertemu denganmu."Aku memejamkan mata. Kugigit bibir bawah sebab bimbang melanda. Aku harus menjawab apa?Kulirik lagi Rafael yang ada di sana. Astaga! Kini dia menatapku lagi. Tatapannya tajam menghunjam. Sungguh menakutkan.Dia mengajakku keluar bersama hari ini. Mana mungkin aku bisa mengabaikannya dan memilih pergi ke rumah Ammar? Tapi bagaimana dengan Chika?"Duh, gimana, ya, Mar? Aku kayaknya nggak bisa ke sana hari ini. Aku masih ada urusan penting. Gimana kalau besok aja?"Ammar terdiam cukup lama."Halo, Ammar?" Aku memanggilnya."Begitu, ya? Ya sudah, nggak pa
"Gimana, Pa?" Mama menarik ujung lengan kemeja Papa. Beliau pun sama paniknya dengan aku."Sepertinya kita harus menghubungi Ibu Rafael. Dia juga berhak tahu.""Tapi, Pa. Beliau punya riwayat penyakit jantung. Apa nggak bahaya nanti kalau memberitahu saat keadaan Rafael seperti ini?" Mama berpendapat. Mendengar jawaban Mama, Papa pun terlihat kebingungan."Mayang? Apa yang terjadi?"Aku menoleh. Ammar? Sedang apa dia di sini?"Suamiku kecelakaan. Sekarang kondisinya kritis. Dia membutuhkan donor darah golongan AB. Nggak ada stok sama sekali di sini," jelasku dengan susah payah. Tenggorokan rasanya sakit."AB? Kebetulan sekali. Aku bersedia mendonorkan darah untuk suamimu. Golongan darahku juga AB."Bagai menemukan oase di padang tandus, aku merasa lega luar biasa. Seakan beban yang mengimpit sejak tadi terangkat begitu saja.
Aku memeluk Rafael erat. Menumpahkan segala rasa rindu yang membuncah semenjak dia sakit.Rafael mengurai pelukan. Kini kami saling menatap lekat."Saya nggak tahu apa yang kamu bilang itu benar atau enggak. Jadi, selama ingatan saya belum pulih, sebaiknya kita nggak melakukan hubungan suami istri dulu.Hah? Aku sungguh ingin tertawa kencang sekarang. Apa dia pikir saat ini aku berharap melakukan itu dengannya?"Heh, bocah! Dari dulu justru gue yang suka ngomong begitu. Lagak lu sok bijak banget sekarang. Bikin empet tahu nggak!" balasku ketus. Namun hati rasanya sungguh sakit. Kenapa ini semua harus terjadi padanya di saat aku sudah memiliki keberanian untuk membuka hati?Wajah Rafael tampak heran."Tidur sana lo! Kalau nggak mau tidur di ranjang, tidur aja di sofa!" Aku berlalu ke kamar mandi lagi. Seperti kemarin, aku ingin menumpahkan tangis di sana.
Sejak tadi Rafael terus menatapku yang berada di belakang meja kasir. Di depannya kusuguhkan sepiring bronis. Bukannya dimakan, dia hanya bertopang dagu dengan mata tak lepas dariku. Aku jadi salah tingkah sendiri."Itu dimakan bronisnya. Enak tahu buatan gue," ucapku untuk mengalihkan perhatiannya."Enakan juga mandangin elu, Tan," jawabnya sambil senyum-senyum. Kalau begini terus, yang ada aku bisa makin salah tingkah."Kita pulang aja, ya. Lo masih butuh banyak istirahat." Aku menarik tangannya. Dia menurut seperti anak kecil."Kenapa ngajakin pulang? Mau malam pertamaan sekarang, ya?"Aku sontak melepaskan tangannya. "Mana ada? Ya udah, kita balik ke toko lagi aja." Aku sudah berniat masuk lagi. Tapi Rafael menahan."Bercanda, kok. Kita ke taman aja, ya." Dia menggandeng tanganku. Jujur aku masih trauma pergi ke tempat itu. Di sana Rafael mengalami
"Ya udah, kita tidur aja. Nggak usah mikirin Talita lagi. Toh sekarang Ibunya juga udah sembuh." Aku mengajak Rafael untuk berbaring. Dia merengkuh tubuhku seakan-akan aku ini tidak boleh jauh darinya. "Tan, kita nggak malam pertama lagi?" Aku tertawa. "Perasaan tadi siang udah, deh. Masa namanya masih malam pertama?" Dia mengeratkan pelukan di perutku. "Ya masihlah. Tadi, kan, siang. Malamnya belum. Jadi ini masih malam pertama." Oh, astaga! Dia benar-benar pintar memainkan kata-kata. "Gue ngantuk, Raf. Besok aja, ya." "Elah, Tan, pelit amat. Ya udah, deh. Gue tidur aja." Pelukannya terlepas. Rafael merubah posisinya. Kini dia membelakangiku. Eh, dia ngambek? Aku mendekat. Kuciumi tengkuk lehernya hingga dia berbalik lagi. Lalu seperti tadi siang, kami kembali melakukan malam pertama, kata Rafael. Das
"Mas! Mas!" Aku memukul-mukul lengan Rafael."Apa, sih, Sayang? Bahaya ini lagi nyetir jangan dipukul-pukul.""Berhenti dulu coba."Mobil menepi. Mesin pun dimatikan. Aku langsung menunjukkan foto-foto di akun Fatih pada Rafael."Jadi, Talita nikah sama orang ini? Dia yang pernah meriksa Ibu di rumah, kan?" Rafael bertanya.Aku mengangguk. Jemariku bergerak cepat menelusuri profilnya kembali untuk mendapatkan alamatnya.**Rumah mewah dua lantai sudah terpampang di depan mata. Inikah rumah Mas Fatih? Beruntung sekali Talita mendapatkan lelaki mapan seperti Mas Fatih."Ayo, Mas!" Aku menggandeng tangan Rafael. Tiba di depan pintu, aku menekan belnya.Cukup lama juga kami menunggu. Sekitar lima menit lebih, pintu baru terbuka. Seraut wajah perempuan yang aku cari, muncul di sebaliknya. Perempuan itu sangat jauh berbeda sekarang. Dia mengenakan jilbab lebar dan gamis. Sungguh cantik."Mbak Mayang?" Talita tiba-tiba memelukku. "Maafin saya, Mbak. Sungguh, saya benar-benar menyesal."Aku m
"Lepasin, Mas! Aku mau habisin perempuan itu!" Fira berteriak lagi."Jangan gila, Fira!" Ammar berusaha sekuat tenaga untuk merebut pisau itu dari tangan istrinya.Pelukan Rafael semakin erat aku rasa. Terutama saat tiba-tiba Ammar memekik. Perutnya tertusuk pisau!"Ammar!" Aku memekik histeris. Pisau terjatuh dari tangan Fira. Tubuh Ammar ambruk. Disusul dengan Fira yang luruh ke lantai. Perempuan itu memandangi tangannya yang berlumuran darah."Maafin aku, Mas! Aku nggak bermaksud buat nyakitin kamu!" Fira menangis penuh sesal. Cinta, jika terlalu tak tahu diri, akibatnya akan menyakiti dan merugikan diri sendiri.***Isak tangis dari dua wanita beda generasi di kursi tunggu semakin menambah suasana memilukan. Ammar masih menjalani penanganan. Sementara Fira digelandang ke kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bersyukur Papa bergerak cepat lapor polisi tadi.Sekarang aku dan Rafael masih menunggu kabar dari Dokter mengenai keadaan Ammar. Sejak tadi, tautan di tan
"F-Fira? Kamu ngapain di sini?"Fira melangkah masuk. Dia duduk di sebelahku. Rafael hendak berdiri, tapi kucegah."Bu Mayang dari rumah saya, ya? Bu Mayang baik banget pakai jenguk Ibu saya segala," ucapnya penuh haru. Sungguh, perempuan ini sangat misterius bagiku. Kupikir, dulu kami sangat dekat dan saling mengerti satu sama lain. Nyatanya tidak. Dia sulit untuk kumengerti.Sebuah sentakan kasar dari Ammar di bahu Fira, membuat tubuh perempuan itu berbalik."Hentikan omong kosongmu, Fira! Jangan macam-macam di sini!" Ammar berucap nyalang. Aku khawatir jika Alvin akan terbangun karena hal ini."Kamu kenapa, sih, Mas? Kamu terus aja mojokin aku. Kamu terus aja belain Bu Mayang. Apa-apa selalu Bu Mayang. Sebenarnya yang istri kamu itu aku atau dia?"Aku tercengang. Bukankah kalimat Fira barusan ini merupakan bentuk rasa cemburunya terhadapku? Sebelumnya aku tidak pernah melihat Fira bersikap sekasar ini saat membicarakanku.Ammar terdiam. Dapat kulihat dia melirikku sungkan."Kenapa
"Mas, mereka bawa pistol!" pekikku."Sial!" Rafael menginjak pedal gas makin dalam. Mobil kami meliuk-liuk di jalanan. Dari kaca spion, pengendara motor itu masih mengejar. Siapa mereka sebenarnya? Apa ini ada hubungannya dengan Fira juga?"Gimana ini, Mas?" tanyaku panik."Tenang saja. Kamu pegangan yang kuat. Aku akan menambah kecepatan." Rafael semakin fokus ke jalanan. Keringatnya mulai mengalir di pelipis. Aku tahu dia tegang setengah mati.Aku memejamkan mata sembari berdoa. Bunyi tembakan yang bergema membuat rasa takutku makin nyata.Mobil kami oleng. Sebuah peluru sepertinya berhasil melubangi ban mobil kami. Rafael membanting stir ke kiri. Lalu setelahnya semua berubah gelap.***Mataku mengerjap. Bau menusuk yang sangat familiar menyerbu hidung. Sepertinya belum lama ini aku juga mencium bau seperti ini.Kuarahkan pandangan ke samping kiri. "Ma?""Mayang? Alhamdulillah kamu sudah sadar, Nak."Aku mencoba bangkit dengan kedua tangan di belakang sebagai tumpuan."Jangan banya
Aku menatap Mama Ammar dengan sorot meminta penjelasan.Helaan napas panjang terdengar dari bibirnya. "Benar, Nak. Fira itu aneh. Dulu saya pikir dia gadis yang baik. Tapi makin ke sini, ternyata dia menakutkan. Terkadang dia marah-marah nggak jelas. Terkadang juga dia terlihat begitu baik. Seperti dua orang yang berbeda."Aku berpandangan dengan Rafael. Alis laki-laki itu terangkat. Apa mungkin Fira memiliki kepribadian ganda? Sepertinya kami mulai menemukan titik terang sekarang."Apa Ammar tahu?" Rafael bertanya."Ya, dia tahu. Bahkan dia sempat ingin mengakhiri rumah tangganya. Hanya saja demi menjaga nama baik perusahaan, dia masih bertahan sampai sekarang. Usia pernikahan mereka masih seumur jagung. Jika bercerai sekarang, pasti akan banyak pertanyaan dari berbagai pihak."Benar juga. Selain itu, sikap Fira yang aneh juga pasti memengaruhi perusahaan Ammar."Bu, apa boleh saya minta alamat rumah Fira? Saya ingin menjenguk Ibunya yang dia bilang baru saja sakit.""Tentu saja bole
Sepertinya aku harus berkunjung ke rumah Fira untuk memastikan. Tapi sebelum itu, aku akan ke rumah Ammar terlebih dahulu."Gimana anak-anak selama kamu tinggal, Fir? Pembukuannya bener nggak?" tanyaku. Untuk saat ini aku harus bersikap biasa saja."Bener, kok, Bu. Mereka udah mulai terbiasa kayaknya."Ada beberapa pembeli yang datang. Membuat percakapanku dengan Fira terhenti. Aku beralih pada Rafael yang sedang terpaku pada layar ponselnya."Mas, bisa antar aku ke tempat lain?"Dia memasukkan ponsel ke saku celana. "Bisa, dong. Mau ke mana? Beli bakso? Atau beli cilok?"Aku mencebik. "Bukan! Aku mau ke suatu tempat."Kami beranjak. "Fir, saya pergi, ya. Titip toko," pamitku.Fira mengacungkan jempolnya. Apa iya perempuan baik seperti dia tega menyakiti atasannya sendiri? Bahkan aku sudah menganggapnya seperti saudara sendiri."Kita mau ke mana, Sayang?" Rafael bertanya seiring dengan mesin mobil yang mulai menyala."Kita ke rumah Ammar, Mas."Pijakan pada pedal gas, urung dia lakuka
Puas bermain dengan Alvin, aku kembali ke kamar sendiri bersama Rafael. Sementara bocah itu bermain bersama kedua neneknya. Bersyukur, keadaan Ibu semakin membaik sekarang."Mau mandi?" tanya Rafael saat melihatku melepas atasan.Aku mengangguk. "Hu um. Gerah aku.""Mau dimandiin nggak?" Alisnya bergerak naik turun dengan jahil."Ish! Apaan, sih?" Aku menyambar handuk di cantelan, lalu melenggang ke kamar mandi."Dimandiin suami itu enak, lho. Punggung ada yang gosokin. Pasti punggung kamu tuh banyak bolotnya," seloroh Rafael dari luar.Aku mencebik. "Enak aja! Aku selalu bersih, ya, mandinya. Nggak kayak kamu."Dia tertawa. "Cepetan mandinya. Aku juga gerah."Aku mendengkus. Dasar tukang maksa!Usai mengenakan handuk, aku berjalan keluar. Aku terlonjak kaget saat melihat sosoknya berdiri di samping pintu kamar mandi."Ih! Ngagetin orang aja!" Aku memukul lengannya pelan.Dia meringis. Lalu berjalan melewatiku. Sebuah sentakan kurasakan pada simpul handuk. Seketika benda itu melorot.
Setelah keadaanku membaik, kami bertiga kembali pulang. Proyek kami harus tertunda entah sampai kapan. Aku masih ingin mengusut kasus ini."Makasih sudah mengantar, Mar," ucapku sebelum turun dari taksi. Ammar ikut serta mengantar sampai rumah. Alasannya ingin memastikan aku sampai di depan pintu dengan selamat."Oke. Aku pergi dulu." Taksi mulai melaju kembali. Dengan langkah lunglai, kuseret koper di tangan."Loh, May? Kamu sudah pulang? Katanya seminggu? Ini baru berapa hari, kok, sudah pulang?" Mama menyambutku dengan beberapa pertanyaan. Kebiasaan memang. Bukannya dipeluk atau dicium gitu, malah dikasih banyak pertanyaan.Aku mencium tangannya. "Alvin mana, Ma?""Lagi tidur siang. Kamu ini ditanya, kok." Mama kembali mengingatkan."Ceritanya panjang, Ma. Aku capek banget sekarang. Aku istirahat dulu, ya." Aku berjalan melewati Mama. Pasti beliau heran melihat sikapku yang tidak bersemangat seperti biasanya.Aku berjalan menuju kamar Alvin. Bocah itu sedang terlelap. Kuciumi wajah
Mataku mengerjap perlahan. Bau menyengat seketika terhidu begitu mata terbuka lebih lebar .Pandangan semakin kuperjelas. Tirai hijau yang menggantung di sebelah, mengingatkanku saat melahirkan Alvin. Mungkinkah aku sekarang juga ada di rumah sakit?Kugerakkan mata ke samping. Di sana tertunduk seorang lelaki muda. Lalu di sebelahnya, lelaki paruh baya tampak cemas dengan ponsel menempel di telinga."Ammar?" panggilku lirih.Kedua lelaki di sana menghambur padaku."May, kamu sudah sadar? Gimana perasaanmu? Maksudku, apa yang kamu rasakan sekarang?" Ammar bertanya cemas. Sementara Pak Brata hanya menyaksikan dengan raut wajah tak kalah cemas."Pusing," jawabku lemah.Laki-laki tampan di depanku ini mendengkus kesal. "Pak, ini sudah nggak benar. Pasti ada yang sengaja ingin meracuni Mayang," semprotnya pada Pak Brata."Ya, saya tahu, Pak Ammar. Nanti saya akan mencaritahu lewat ruang pengendali CCTV. Siapa tahu kita bisa dapat bukti dari sana. Dan untuk proyek kita, sepertinya kita tund