"Ya udah, kita tidur aja. Nggak usah mikirin Talita lagi. Toh sekarang Ibunya juga udah sembuh." Aku mengajak Rafael untuk berbaring.
Dia merengkuh tubuhku seakan-akan aku ini tidak boleh jauh darinya.
"Tan, kita nggak malam pertama lagi?"
Aku tertawa. "Perasaan tadi siang udah, deh. Masa namanya masih malam pertama?"
Dia mengeratkan pelukan di perutku. "Ya masihlah. Tadi, kan, siang. Malamnya belum. Jadi ini masih malam pertama."
Oh, astaga! Dia benar-benar pintar memainkan kata-kata.
"Gue ngantuk, Raf. Besok aja, ya."
"Elah, Tan, pelit amat. Ya udah, deh. Gue tidur aja." Pelukannya terlepas. Rafael merubah posisinya. Kini dia membelakangiku. Eh, dia ngambek?
Aku mendekat. Kuciumi tengkuk lehernya hingga dia berbalik lagi. Lalu seperti tadi siang, kami kembali melakukan malam pertama, kata Rafael. Das
Saat laki-laki itu mulai mencekal tanganku, kucoba untuk menendang senjatanya. Dia memekik. Wajahnya berubah merah. Sepertinya sangat kesakitan. Rasakan!"Kurangajar!" Masih dengan wajah menahan sakit, laki-laki itu mencoba bangkit. Aku melangkah mundur. Mataku menatap berkeliling, mencari apa saja yang mungkin bisa kugunakan untuk menghentikan laki-laki buas ini.Di sana ada vas bunga. Perlahan aku berjalan miring menuju meja. Tanganku menyambar cepat benda yang terbuat dari kaca itu. Saat kulayangkan tanganku padanya, tanganku justru ditangkap. Sial!Tawanya menggelegar seolah telah menang. Tidak sampai di situ, dia merebut vas bunga dari tanganku. Tanpa aba-aba, vas itu sudah melayang di pelipisku. Badanku terhuyung. Rasanya sakit sekali. Perlahan ada yang terasa hangat mengalir di pipi.Ini darah!Dengan mata yang mulai mengabur, dapat kulihat laki-laki itu menatapku makin bu
"Kita ke rumah sakit saja, ya?" tawarku."Enggak usah, Tan. Tolong ambilin obat gue di laci nakas. Kayaknya masih ada."Dengan gerak cepat, aku membuka laci nakas. Obatnya dari rumah sakit masih banyak. Apa dia tidak meminumnya?"Obat lo masih banyak ini, Raf. Nggak lo minum emang?" Aku duduk di tepi ranjang setelah membawa obat dan mengambil gelas berisi air putih dari atas nakas.Rafael bangkit sambil memegangi kepalanya. "Setelah ingatan gue pulih, obatnya nggak gue minum lagi."Aku mendengkus kesal. "Dasar ceroboh! Udah makan belum tadi?""Makan roti di toko tadi.""Gue ambilin nasi, ya?"Dia menggeleng lagi. "Gue mau minum obatnya aja."Dia mengambil obat dan gelas dari tanganku. Lalu berbaring lagi setelah obat berhasil dia telan. Ternyata mau bagaimanapun, dia tetap saja bocah yang bandel.
"Fir, saya ada urusan sebentar. Tolong handel toko lagi," ucapku pada Fira. Dia mengangkat jempolnya sebagai tanda setuju.Gegas aku menuju ke mobil. Pikiranku mendadak cemas mendengar suara Talita ada di sana. Aku takut jika dia mempengaruhi Rafael lagi.Mobil kupacu dengan kecepatan tinggi. Sebelah tanganku mencoba menghubungi Rafael kembali. Namun tidak ada jawaban. Pikiranku makin kalut. Apa yang dilakukan wanita binal itu sebenarnya?**Langkahku cepat melangkah ke dalam toko tempat Rafael bekerja. Mataku menatap berkeliling. Mengamati satu persatu manusia yang ada di sana. Namun tak ada penampakan Rafael. Ke mana dia?"Mbak istrinya Rafael, kan?" Aku menoleh. Teman Rafael rupanya yang bertanya."Iya. Rafael di mana, ya?""Tadi ada perempuan datang ke sini, Mbak. Dia memaksa bertemu sama Rafael. Padahal si Rafael lagi di toilet. Tapi
POV RAFAELMenikah dengan perempuan yang usianya jauh diatasku sama sekali tak pernah terlintas dalam pikiran. Terlebih lagi aku memiliki kekasih yang sepantaran denganku. Hanya saja sekarang semua sudah berakhir di antara kami. Dia ternyata ... seorang wanita malam.Istriku saat ini memang jauh lebih tua, tapi pemikirannya masih manja seperti anak kecil. Dia masih sangat perlu untuk dibimbing. Bukan hanya sifatnya, badannya juga kecil. Sangat nyaman untuk dipeluk. Ah, aku suka itu.Semakin hari, rasa cintaku semakin besar padanya. Sampai-sampai, saat tengah bekerja pun kusempatkan untuk menghubunginya. Namun saat kami melakukan panggilan video, mantan kekasihku datang."Ngapain lo ke sini?" tanyaku ketus. Muak sekali melihat wajahnya yang sok polos."Gue minta maaf, Raf. Tapi please! Buat kali ini tolongin nyokap gue." Talita menangkupkan kedua tangan di depan dada. Dia memohon
Aku hampir gila karena mencari Mayang. Sampai saat ini belum ada titik terang darinya. Sebagai seorang suami, aku merasa tidak becus. Apa dia sudah makan sekarang? Apa dia mengingatku sekarang? "El, polisi sudah bergerak. Kita tunggu saja kabar baik dari mereka." Papa menepuk pundakku. Memberikan informasi yang sama sekali tidak bisa membuatku tenang. "Aku nggak bisa diam saja di sini, Pa. Aku akan mencari Mayang lagi." "Seenggaknya kamu makan dulu, El. Sejak semalam kamu belum makan. Nanti kamu bisa sakit kalau terus memforsir diri." Aku mengangguk pelan. Papa merangkul bahuku menuju ke dalam rumah. Di ruang makan, Mama mertua tengah menyiapkan sarapan. Wajah beliau tampak sembab. Sepertinya beliau menangis semalaman. Jelas saja. Beliau ibunya. Jika terjadi sesuatu pada Mayang, beliaulah yang paling hancur. Mama mengangkat wajah menatapku. Senyum
Mataku mengerjap pelan. Samar-samar aku mendengar orang berbincang. Ah, kepalaku rasanya berat sekali. Aku mencoba bergerak, tapi ternyata tangan dan kakiku diikat. Mulutku pun disumpal. Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Tempat ini begitu pengap. Tidak ada jendela satu pun. Hanya ada dua lubang ventilasi udara berukuran kecil di atas sana. Syukurlah. Setidaknya itu bisa memenuhi pasokan oksigen untukku bernapas. "Setelah ini apa yang harus kita lakukan?" Aku mendengar seorang laki-laki berbicara. "Kita tinggalkan saja dia di sini. Ingat! Kamu jangan datang lagi ke sini. Biarkan dia membusuk di sini tanpa ada yang tahu." Itu suara Talita. Ya, aku hafal benar suara wanita malam itu. Jadi, dia berniat menyingkirkanku? Dia benar-benar gila. "Tapi, kenapa lo berambisi mau habisin dia?" Laki-laki itu bertanya lagi. "Dia udah rebut cowok gue. Dia juga u
Aku mendekatkan wajah pada Mama yang duduk di sebelah. "Mama undang Ammar?" Mama menatap ke arah pintu. Tampak terkejut, lalu menggeleng. "Enggak, May. Mama nggak ngundang dia. Buat apa coba? Saudara bukan, apa bukan, ngapain diundang?" Aku kembali duduk tegak. Kulihat Rafael yang sedari tadi duduk anteng di sebelahku sudah tidak ada. Rupanya dia menghampiri Ammar di depan sana. Perasaanku sudah tak karuan. Takut jika terjadi keributan di antara mereka. Susah payah, aku mencoba berdiri. Di saat yang bersamaan, Papa lebih dulu menyusul mereka. Aku menghela napas lega. Setidaknya jika ada Papa, mereka tidak akan macam-macam. Akhirnya mereka bertiga masuk ke dalam bersamaan. Dapat kulihat Papa sudah tampak akrab dengan Ammar. Mungkinkah mereka saling kenal? Tapi kurasa mereka baru bertemu sekali ini. Ceramah telah usai. Acara dilanjutkan dengan pembagian santunan. Setelahn
Astaga! Kenapa di mana-mana ada orang itu? Maksudku bukan Chika, tapi Ammar. Kenapa dia seperti mengikutiku? Apa memang benar seperti itu? Tapi untuk apa? Chika yang baru saja turun dari mobil berlari dan langsung memeluk pinggangku. Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya. Sekilas kulirik Rafael di sampingku. Dia tampak tak suka melihat Ammar datang. "Chika lagi jalan-jalan, ya?" tanyaku pada bocah itu. "Iya, Tante. Papa yang ajak," jawabnya polos. Apa benar ini sebuah kebetulan? Atau memang ada maksud lain dari Ammar? Laki-laki itu mendekat. Dia melempar senyum manis. "Kebetulan banget ketemu di sini. Sepertinya kita memang selalu bertemu. Pertanda apa kira-kira?" Aku memalingkan wajah. Merasa risih mendengar ucapan Ammar yang mulai aneh akhir-akhir ini. Rafael terlihat makin kesal. Dia berjalan lebih dulu menuju taman. Dia duduk di salah satu bangku yang ada di sana.
"Mas! Mas!" Aku memukul-mukul lengan Rafael."Apa, sih, Sayang? Bahaya ini lagi nyetir jangan dipukul-pukul.""Berhenti dulu coba."Mobil menepi. Mesin pun dimatikan. Aku langsung menunjukkan foto-foto di akun Fatih pada Rafael."Jadi, Talita nikah sama orang ini? Dia yang pernah meriksa Ibu di rumah, kan?" Rafael bertanya.Aku mengangguk. Jemariku bergerak cepat menelusuri profilnya kembali untuk mendapatkan alamatnya.**Rumah mewah dua lantai sudah terpampang di depan mata. Inikah rumah Mas Fatih? Beruntung sekali Talita mendapatkan lelaki mapan seperti Mas Fatih."Ayo, Mas!" Aku menggandeng tangan Rafael. Tiba di depan pintu, aku menekan belnya.Cukup lama juga kami menunggu. Sekitar lima menit lebih, pintu baru terbuka. Seraut wajah perempuan yang aku cari, muncul di sebaliknya. Perempuan itu sangat jauh berbeda sekarang. Dia mengenakan jilbab lebar dan gamis. Sungguh cantik."Mbak Mayang?" Talita tiba-tiba memelukku. "Maafin saya, Mbak. Sungguh, saya benar-benar menyesal."Aku m
"Lepasin, Mas! Aku mau habisin perempuan itu!" Fira berteriak lagi."Jangan gila, Fira!" Ammar berusaha sekuat tenaga untuk merebut pisau itu dari tangan istrinya.Pelukan Rafael semakin erat aku rasa. Terutama saat tiba-tiba Ammar memekik. Perutnya tertusuk pisau!"Ammar!" Aku memekik histeris. Pisau terjatuh dari tangan Fira. Tubuh Ammar ambruk. Disusul dengan Fira yang luruh ke lantai. Perempuan itu memandangi tangannya yang berlumuran darah."Maafin aku, Mas! Aku nggak bermaksud buat nyakitin kamu!" Fira menangis penuh sesal. Cinta, jika terlalu tak tahu diri, akibatnya akan menyakiti dan merugikan diri sendiri.***Isak tangis dari dua wanita beda generasi di kursi tunggu semakin menambah suasana memilukan. Ammar masih menjalani penanganan. Sementara Fira digelandang ke kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bersyukur Papa bergerak cepat lapor polisi tadi.Sekarang aku dan Rafael masih menunggu kabar dari Dokter mengenai keadaan Ammar. Sejak tadi, tautan di tan
"F-Fira? Kamu ngapain di sini?"Fira melangkah masuk. Dia duduk di sebelahku. Rafael hendak berdiri, tapi kucegah."Bu Mayang dari rumah saya, ya? Bu Mayang baik banget pakai jenguk Ibu saya segala," ucapnya penuh haru. Sungguh, perempuan ini sangat misterius bagiku. Kupikir, dulu kami sangat dekat dan saling mengerti satu sama lain. Nyatanya tidak. Dia sulit untuk kumengerti.Sebuah sentakan kasar dari Ammar di bahu Fira, membuat tubuh perempuan itu berbalik."Hentikan omong kosongmu, Fira! Jangan macam-macam di sini!" Ammar berucap nyalang. Aku khawatir jika Alvin akan terbangun karena hal ini."Kamu kenapa, sih, Mas? Kamu terus aja mojokin aku. Kamu terus aja belain Bu Mayang. Apa-apa selalu Bu Mayang. Sebenarnya yang istri kamu itu aku atau dia?"Aku tercengang. Bukankah kalimat Fira barusan ini merupakan bentuk rasa cemburunya terhadapku? Sebelumnya aku tidak pernah melihat Fira bersikap sekasar ini saat membicarakanku.Ammar terdiam. Dapat kulihat dia melirikku sungkan."Kenapa
"Mas, mereka bawa pistol!" pekikku."Sial!" Rafael menginjak pedal gas makin dalam. Mobil kami meliuk-liuk di jalanan. Dari kaca spion, pengendara motor itu masih mengejar. Siapa mereka sebenarnya? Apa ini ada hubungannya dengan Fira juga?"Gimana ini, Mas?" tanyaku panik."Tenang saja. Kamu pegangan yang kuat. Aku akan menambah kecepatan." Rafael semakin fokus ke jalanan. Keringatnya mulai mengalir di pelipis. Aku tahu dia tegang setengah mati.Aku memejamkan mata sembari berdoa. Bunyi tembakan yang bergema membuat rasa takutku makin nyata.Mobil kami oleng. Sebuah peluru sepertinya berhasil melubangi ban mobil kami. Rafael membanting stir ke kiri. Lalu setelahnya semua berubah gelap.***Mataku mengerjap. Bau menusuk yang sangat familiar menyerbu hidung. Sepertinya belum lama ini aku juga mencium bau seperti ini.Kuarahkan pandangan ke samping kiri. "Ma?""Mayang? Alhamdulillah kamu sudah sadar, Nak."Aku mencoba bangkit dengan kedua tangan di belakang sebagai tumpuan."Jangan banya
Aku menatap Mama Ammar dengan sorot meminta penjelasan.Helaan napas panjang terdengar dari bibirnya. "Benar, Nak. Fira itu aneh. Dulu saya pikir dia gadis yang baik. Tapi makin ke sini, ternyata dia menakutkan. Terkadang dia marah-marah nggak jelas. Terkadang juga dia terlihat begitu baik. Seperti dua orang yang berbeda."Aku berpandangan dengan Rafael. Alis laki-laki itu terangkat. Apa mungkin Fira memiliki kepribadian ganda? Sepertinya kami mulai menemukan titik terang sekarang."Apa Ammar tahu?" Rafael bertanya."Ya, dia tahu. Bahkan dia sempat ingin mengakhiri rumah tangganya. Hanya saja demi menjaga nama baik perusahaan, dia masih bertahan sampai sekarang. Usia pernikahan mereka masih seumur jagung. Jika bercerai sekarang, pasti akan banyak pertanyaan dari berbagai pihak."Benar juga. Selain itu, sikap Fira yang aneh juga pasti memengaruhi perusahaan Ammar."Bu, apa boleh saya minta alamat rumah Fira? Saya ingin menjenguk Ibunya yang dia bilang baru saja sakit.""Tentu saja bole
Sepertinya aku harus berkunjung ke rumah Fira untuk memastikan. Tapi sebelum itu, aku akan ke rumah Ammar terlebih dahulu."Gimana anak-anak selama kamu tinggal, Fir? Pembukuannya bener nggak?" tanyaku. Untuk saat ini aku harus bersikap biasa saja."Bener, kok, Bu. Mereka udah mulai terbiasa kayaknya."Ada beberapa pembeli yang datang. Membuat percakapanku dengan Fira terhenti. Aku beralih pada Rafael yang sedang terpaku pada layar ponselnya."Mas, bisa antar aku ke tempat lain?"Dia memasukkan ponsel ke saku celana. "Bisa, dong. Mau ke mana? Beli bakso? Atau beli cilok?"Aku mencebik. "Bukan! Aku mau ke suatu tempat."Kami beranjak. "Fir, saya pergi, ya. Titip toko," pamitku.Fira mengacungkan jempolnya. Apa iya perempuan baik seperti dia tega menyakiti atasannya sendiri? Bahkan aku sudah menganggapnya seperti saudara sendiri."Kita mau ke mana, Sayang?" Rafael bertanya seiring dengan mesin mobil yang mulai menyala."Kita ke rumah Ammar, Mas."Pijakan pada pedal gas, urung dia lakuka
Puas bermain dengan Alvin, aku kembali ke kamar sendiri bersama Rafael. Sementara bocah itu bermain bersama kedua neneknya. Bersyukur, keadaan Ibu semakin membaik sekarang."Mau mandi?" tanya Rafael saat melihatku melepas atasan.Aku mengangguk. "Hu um. Gerah aku.""Mau dimandiin nggak?" Alisnya bergerak naik turun dengan jahil."Ish! Apaan, sih?" Aku menyambar handuk di cantelan, lalu melenggang ke kamar mandi."Dimandiin suami itu enak, lho. Punggung ada yang gosokin. Pasti punggung kamu tuh banyak bolotnya," seloroh Rafael dari luar.Aku mencebik. "Enak aja! Aku selalu bersih, ya, mandinya. Nggak kayak kamu."Dia tertawa. "Cepetan mandinya. Aku juga gerah."Aku mendengkus. Dasar tukang maksa!Usai mengenakan handuk, aku berjalan keluar. Aku terlonjak kaget saat melihat sosoknya berdiri di samping pintu kamar mandi."Ih! Ngagetin orang aja!" Aku memukul lengannya pelan.Dia meringis. Lalu berjalan melewatiku. Sebuah sentakan kurasakan pada simpul handuk. Seketika benda itu melorot.
Setelah keadaanku membaik, kami bertiga kembali pulang. Proyek kami harus tertunda entah sampai kapan. Aku masih ingin mengusut kasus ini."Makasih sudah mengantar, Mar," ucapku sebelum turun dari taksi. Ammar ikut serta mengantar sampai rumah. Alasannya ingin memastikan aku sampai di depan pintu dengan selamat."Oke. Aku pergi dulu." Taksi mulai melaju kembali. Dengan langkah lunglai, kuseret koper di tangan."Loh, May? Kamu sudah pulang? Katanya seminggu? Ini baru berapa hari, kok, sudah pulang?" Mama menyambutku dengan beberapa pertanyaan. Kebiasaan memang. Bukannya dipeluk atau dicium gitu, malah dikasih banyak pertanyaan.Aku mencium tangannya. "Alvin mana, Ma?""Lagi tidur siang. Kamu ini ditanya, kok." Mama kembali mengingatkan."Ceritanya panjang, Ma. Aku capek banget sekarang. Aku istirahat dulu, ya." Aku berjalan melewati Mama. Pasti beliau heran melihat sikapku yang tidak bersemangat seperti biasanya.Aku berjalan menuju kamar Alvin. Bocah itu sedang terlelap. Kuciumi wajah
Mataku mengerjap perlahan. Bau menyengat seketika terhidu begitu mata terbuka lebih lebar .Pandangan semakin kuperjelas. Tirai hijau yang menggantung di sebelah, mengingatkanku saat melahirkan Alvin. Mungkinkah aku sekarang juga ada di rumah sakit?Kugerakkan mata ke samping. Di sana tertunduk seorang lelaki muda. Lalu di sebelahnya, lelaki paruh baya tampak cemas dengan ponsel menempel di telinga."Ammar?" panggilku lirih.Kedua lelaki di sana menghambur padaku."May, kamu sudah sadar? Gimana perasaanmu? Maksudku, apa yang kamu rasakan sekarang?" Ammar bertanya cemas. Sementara Pak Brata hanya menyaksikan dengan raut wajah tak kalah cemas."Pusing," jawabku lemah.Laki-laki tampan di depanku ini mendengkus kesal. "Pak, ini sudah nggak benar. Pasti ada yang sengaja ingin meracuni Mayang," semprotnya pada Pak Brata."Ya, saya tahu, Pak Ammar. Nanti saya akan mencaritahu lewat ruang pengendali CCTV. Siapa tahu kita bisa dapat bukti dari sana. Dan untuk proyek kita, sepertinya kita tund