Share

Keseleo

Penulis: Kuriziki
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Meski awalnya aku sangat keberatan dengan rencana bulan madu konyol ini, tapi setelah melaluinya, rasanya tidak buruk. Rafael bukan lelaki yang terlalu suka ikut campur. Dia juga bukan pemaksa. Bahkan aku yang cenderung mengatur di sini.

Seperti saat ini, aku mengajaknya jalan-jalan ke pantai. Dia tak menolak, juga tidak keberatan.

"Serius, Tan, elo belum pernah pacaran sekali pun? Atau mungkin suka sama orang gitu?"

Aku menggeleng. "Kalau pacaran nggak pernah. Kalau suka sama orang pernah. Dulu waktu masih SD."

"Jiah! Itu, sih, namanya cinta kunyuk, Tan."

Aku tergelak mendengarnya bilang cinta kunyuk. Rafael ini ternyata humoris juga. Tapi kadang humorisnya nyebelin.

"Jadi, elo juga belum pernah gandengan tangan kayak gini, dong?" Tanpa izin seperti semalam, dia menggandeng tangan kananku sambil senyum-senyum. Aku mencoba melepasnya, tapi genggamannya begitu erat.

Rasa panas di kedua pipi kembali terasa. Juga debaran di dada pun mulai mengencang. Tidak! Apapun yang terjadi, aku tidak akan terbawa perasaan. Tidak akan!

Aku mengalihkan pandangan ke arah lain agar rona di pipiku tak terlihat oleh pemuda itu. Melihat hamparan air yang luas di depan sana sepertinya lebih benar.

Kami berjalan santai menyusuri bibir pantai. Angin yang berembus menggerakkan rambutku hingga jadi berantakan. Rafael menahan tanganku, memaksa langkahku agar berhenti.

Dengan telaten, pemuda itu membenahi rambutku yang berantakan. Detak jantungku makin menggila. Seumur-umur baru kali ini ada lelaki yang memperlakukanku begitu manis.

Aku mendongak. Memberanikan diri menatap wajah suamiku sendiri. Dari jarak dekat begini, wajah Rafael terlihat manis. Namun kulitnya sedikit kusam. Mungkin karena dia terlalu lama kerja di bengkel.

"Lihatin aja sepuasnya, Tan. Udah halal, kok," celetuknya. Aku memalingkan muka dengan senyum tertahan.

Usai merapikan rambutku, Rafael mengajakku berjalan kembali. Aku jadi teringat dengan pertanyaan yang sempat terlintas di kepala kemarin.

"Btw, pacar lo namanya siapa? Gue selalu denger elo manggil dia Ta. Tata?"

Rafael mengangguk. "Hm, namanya Talita. Tapi gue manggilnya Tata. Panggilan sayang lah istilahnya."

Aku berdecih lirih. Dasar anak muda zaman now. Pakai ada panggilan sayang segala.

"Dia pasti spesial banget buat lo. Kok lo rela nikahin gue dan ninggalin dia?" tanyaku lagi.

"Ya rela nggak rela, sih, Tan. Rasa sakit juga pasti ada lah. Apalagi setelah apa yang kami lalui selama ini, pasti sulit banget buat dilupain. Tapi gue yakin, tanpa gue pun dia masih bisa bahagia. Begitu juga sebaliknya. Sekarang, kan, gue dah punya elo."

"Ish! Geli gue dengernya."

Rafael tertawa. "Jangan takut jatuh cinta, Tan. Memang cinta nggak selamanya bikin bahagia. Nggak jarang juga cinta malah nyakitin. Tapi tanpa cinta, hidup nggak akan ada artinya. Coba aja lihat hidup lo. Ada yang berkesan nggak sebelum ketemu gue?"

Aku kembali berdecih. Tapi tak urung, otak berpikir juga. Rafael memang benar. Semua yang aku jalani selama ini membosankan. Sangat berbeda dengan setelah aku bertemu dia. Lebih ada warna di dalam hidupku. Kadang kesal, kadang ketawa, kadang juga berdebar-debar seperti ini. Nano nano lah pokoknya.

"Lu bener, sih. Hidup gue awalnya ngebosenin. Tapi semenjak ketemu lo, hidup gue jadi ada nyawanya. Tapi itu bukan berarti gue jatuh cinta sama elo, ya," ucapku ketus.

Rafael tertawa. "Itu mah karena belum aja, Tan. Lihat aja entar. Pasti juga bakalan jatuh cinta sama gue."

Aku menatapnya tajam. "Nggak bakal!"

Lalu berlari meninggalkannya.

"Bakal! Gue jamin!" teriaknya. Aku menjulurkan lidah sembari berjalan mundur. Mengejek setiap ucapannya itu.

Namun karena mundur-mundur, kakiku masuk ke dalam lubang di pasir. Lubang itu membuatku jatuh. Kupegangi kaki yang terasa ngilu. Sepertinya lubang ini buatan pengunjung iseng.

Kulihat Rafael berlari mendekat. Tapi sebelum dia sampai, ada yang lebih dulu menolongku. Seorang lelaki juga.

"Mari saya bantu," ucap lelaki itu sembari mengulurkan tangan. Kutoleh Rafael di depan sana yang langkahnya melambat.

Kuterima uluran tangan lelaki itu. Kakiku rasanya sakit sekali. Mungkin keseleo. Untuk berdiri saja sangat sakit. Bagaimana jika dipakai untuk jalan nanti?

"Sepertinya kakimu terkilir," ucap lelaki itu lagi.

"Elu nggak papa, Tan?" Rafael sedikit menyingkirkan laki-laki itu dari dekatku. Sepertinya dia tidak suka melihatku dekat-dekat dengan lelaki itu.

"Kayaknya gue nggak bisa jalan," jawabku sambil sesekali meringis kesakitan.

"Sepertinya kaki dia terkilir." Laki-laki itu berucap lagi. Aku dan Rafael menoleh padanya.

"Ya, saya tahu. Saya bisa urus istri saya sendiri. Terima kasih sudah membantunya."

Mulutku sedikit terbuka mendengar ucapan Rafael. Apa dia sedang cemburu sekarang?

"Istri? Kalian suami istri?" tanya laki-laki itu dengan raut wajah terkejut.

"Ya, kenapa memang?" Rafael kembali menyahut.

"Oh, nggak papa. Ya sudah saya permisi."

Rafael masih memandang laki-laki itu sampai benar-benar menjauh. Kenapa, sih, anak ini?

Aku memukul perutnya menggunakan lengan. "Kenapa, sih? Balik, yuk! Kaki gue sakit."

"Eh, iya. Sini, naik ke punggung gue."

"Hah?"

"Udah naik aja." Rafael sudah bersiap di depanku. Dia berjongkok agar aku lebih mudah naik ke punggungnya.

Aku menatap sekeliling dengan canggung. Malu jika dilihat orang. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tak bisa jalan.

"Ayok, Tan!"

"Ish! Iya-iya!" Akhirnya aku naik ke punggungnya. Baru kali ini aku benar-benar dekat dengan seorang lelaki. Bersentuhan, berbagi cerita satu sama lain, bahkan berbagi ranjang meskipun tidak berbuat apa-apa.

"Badan lu enteng banget, Tan. Lu lagi diet, ya? Gue suka heran sama cewek. Buat apa, sih, diet segala? Mau-maunya nahan lapar," cerocosnya sok tahu.

"Eh, dasar bocah sok tahu! Gue nggak ada diet-dietan, ya. Badan gue emang segini aja dari dulu."

"Oh, gue kirain diet."

Kami telah sampai di kamar. Rafael mendudukkanku di bibir ranjang. Dia lalu keluar lagi. Ingin mencari minyak urut katanya.

Selang beberapa menit, Rafael kembali dengan sesuatu di tangan.

"Sini, mana yang sakit?" Dia berjongkok di bawahku. Dengan ragu-ragu, kuarahkan kaki yang tadi keseleo padanya.

"Dulu gue pernah diajarin sama nyokap buat ngurut. Kalau cuma keseleo kayak gini mah gampang buat gue," ucapnya sok iyes. Paling juga cuma ditekan-tekan doang. Malah bikin tambah sakit nanti. Dia ini selalu saja membanggakan diri sendiri. Kepedean istilahnya.

Mulut Rafael terus saja berbicara. Sementara tangannya juga terus mengurut. Rasanya nyaman juga. Saat dia memintaku menggerakkan kaki, rasanya sudah tak sesakit tadi. Ajaib!

"Gimana? Masih sakit nggak?" tanyanya memastikan.

Aku berdehem, "Ya, lumayanlah. Boleh juga pijitan lo."

"Apa gue bilang? Tangan gue ini punya sentuhan ajaib. Ya udah, lo istirahat aja." Rafael mengacak rambutku sekilas, kemudian berlalu menuju sofa tak jauh dari ranjang. Aku menghela napas dalam-dalam. Mencoba mengusir rasa aneh yang datang  tiap kali Rafael memperlakukanku dengan manis.

Bab terkait

  • Bukan Perawan Tua   Romantisnya Rafael

    Hari ini kami telah kembali ke rumah. Meski hanya menghabiskan waktu untuk bersenang-senang, tapi rasanya lelah juga. Mungkin lelah karena perjalanan yang jauh."Gimana bulan madunya? Lancar nggak? Mama bisa cepet dapet cucu, kan?"Entah kenapa aku geli mendengar pertanyaan Mama barusan. Anaknya baru saja sampai bukannya ditanya kabar ini malah ditanya cucu."Aku capek, Ma. Mau istirahat dulu." Aku melenggang ke lantai atas. Ke kamarku dan Rafael. Sementara bocah itu mengekor di belakangku."Wah! Kayaknya mereka menggebu-gebu banget pas di sana, Pa. Lihat itu si Mayang sampai kecapekan kayak begitu," celetuk Mama sambil cekikikan. Sumpah, ya. Nggak Mama, nggak Papa, semua makin rese.Semenjak turun dari taksi tadi, kulihat Rafael hanya diam. Biasanya jika berbicara dengan Papa dan Mama, dia yang paling semangat menanggapi."Eh, lo kenapa diem bae?" tanyaku se

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Perawan Tua   Bertemu Duda

    Sungguh, napasku bagai berhenti saat ini. Kurasa persediaan oksigen di sekitarku mendadak habis.Rafael kembali melangkah ke ranjang. Dia mengambil selimut dari sana, lalu merebahkan badan ke sofa. Aku baru bisa bernapas lagi setelah dia beranjak. Sungguh, bocah itu sepertinya memang memiliki kekuatan untuk membuat orang lain mati kutu.Baru saja aku merasa lega dan hendak menuju ranjang, kurasakan perutku sakit. Rasanya seperti ditusuk-tusuk, dicampur rasa perih dan juga mual. Ah, sangat tidak nyaman."Lo kenapa, Tan?" Rafael sigap membantuku berjalan sampai ke ranjang."Nggak tahu. Kayaknya maag gue kambuh. Baru juga tadi siang nolongin orang yang maag-nya kambuh. Eh sekarang gue sendiri yang ngalamin," jawabku dengan tangan memegangi perut."Tunggu sebentar. Gue cariin obat dulu." Rafael berlari keluar. Wajahnya tampak panik. Mungkin takut jika aku kenapa-kenapa. Dia perhatian

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Perawan Tua   Ke Mana Rafael?

    Toko kue kututup pada jam tujuh malam. Aku bergegas pulang setelah ingat bahwa Rafael tadi pagi berjanji akan mengajakku ke rumah Tata. Aku sungguh penasaran dengan perempuan itu. Seperti apa rupa dan sifatnya sampai-sampai Rafael begitu yakin bahwa akun itu bukan miliknya? Aku tiba di rumah bersamaan dengan Rafael. Dia juga baru sampai. Tiba-tiba saja dia merangkul bahuku dari samping. Sok akrab! Aku menghentikan langkah. Otomatis langkahnya pun terhenti. "Lo bilang tadi mau ajak gue ke rumah Tata?" Bukannya menjawab, Rafael justru menatapku lekat. Rasanya jadi salah tingkah begini. Ini bocah benar-benar pinter banget bikin orang kikuk. Aku meraup wajahnya hingga dia tertawa. "Woi! Denger nggak gue nanya apaan?" "Denger, Tan. Gue cuma lagi menikmati indahnya ciptaan Allah aja. Meski dalam keadaan lelah begini, lu tetep aja cantik," ucapnya pelan. Terdengar begitu tulus

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Perawan Tua   Hadiah Ulang Tahun

    Cafe sudah benar-benar tutup. Sekarang aku seperti orang bodoh yang menunggu ketidakpastian. Ada yang nyeri di dalam sini. Beginikah rasanya sakit hati? Apa aku ... benar-benar jatuh cinta pada Rafael?Inilah sebabnya kenapa aku sangat takut untuk mengikat hati dengan lelaki. Aku takut patah hati. Rasanya menyesakkan. Sungguh menyakitkan.Bulir hangat tiba-tiba saja mengalir dari pelupuk mata. Ah, akhirnya aku menangis karena hal yang paling kutakuti. Aku sungguh benci ini. Aku benci diriku yang lemah ini. Seharusnya aku tidak terlalu berharap Rafael untuk datang."Lo jahat, Raf! Gue benci sama lo!" teriakku seperti orang tak waras. Tidak ada siapa-siapa di sini. Suasana sudah sepi. Namun aku masih saja duduk di depan cafe seperti orang tolol."Jangan benci gue, Tan. Ntar gue nangis."Aku mendongak. Melihat sosoknya, ada macam-macam rasa di dalam sini. Bahagia, kesal, kecewa. Ah,

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Perawan Tua   Marahnya Rafael

    [Toko lagi rame. Gue nggak bisa keluar sekarang.]Aku mengembuskan napas setelah membalas pesan Rafael. Berbohong sedikit tak apalah dari pada nanti dia bertanya macam-macam.Aku kembali bermain bersama Chika. Anak ini sungguh aktif. Dia tak henti-hentinya mengajakku bermain. Meski hanya bermain boneka, tapi bibirku sampai dower karena terus berbicara menjadi dubber si boneka."Tante, aku lapar."Aku menghela napas lega. Akhirnya bocah ini berhenti mengajakku bermain juga. Tak lama setelah dia mengeluh lapar, seorang petugas rumah sakit datang membawakan makanan.Aku menyuapi bocah itu dengan telaten. Sepertinya keadaan anak Ammar ini sudah membaik. Nafsu makannya bagus. Cuma, ya, memang harus benar-benar telaten. Menyuapi sambil mengajaknya bermain. Mungkin begini nanti masa depanku saat aku dan Rafael sudah memiliki anak.Hais, Mayang! Pikiranmu kenapa maki

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Perawan Tua   Tingkah Manis Berondong

    Jantungku sudah berdebar tak menentu. Inikah akhir dari hidupku? Aku meronta, mencoba melepaskan diri dari orang yang kini membekapku. "Ssstt! Ini aku, Ammar," bisiknya. Aku merasa lega luar biasa. Di saat seperti ini, pertolongan datang tepat waktu. Ammar membawaku bersembunyi di balik pohon besar. Keadaan gelap sepertinya akan sangat memberi keuntungan pada kami. Para perampok itu kemungkinan tidak akan bisa melihat kami di sini. "Sepertinya dah kabur. Ayo kita sikat aja duitnya," celetuk salah seorang rampok. Aku bahkan tidak berani bernapas sekarang. Jika mereka menemukan kami, entah apa yang akan terjadi. Lalu saat suara mereka tidak ada lagi, aku baru sadar jika tangan Ammar masih berada di mulutku. Aku menepuk-nepuk tangannya hingga dia tersadar. "Eh, maaf," ucapnya. Kami berdiri. Ammar keluar dari persembunyian. Aku memegangi ujung kemejan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Perawan Tua   Rafael Kecelakaan

    Kulihat Rafael meletakkan sendoknya ke piring, lalu menatap ke depan dengan sorot mata kesal. Aku jadi ngeri melihat tatapannya itu."Bisa datang ke rumahku? Chika sejak tadi mencarimu. Maaf jika ini terlalu pagi. Tapi dia sepertinya sudah nggak sabar bertemu denganmu."Aku memejamkan mata. Kugigit bibir bawah sebab bimbang melanda. Aku harus menjawab apa?Kulirik lagi Rafael yang ada di sana. Astaga! Kini dia menatapku lagi. Tatapannya tajam menghunjam. Sungguh menakutkan.Dia mengajakku keluar bersama hari ini. Mana mungkin aku bisa mengabaikannya dan memilih pergi ke rumah Ammar? Tapi bagaimana dengan Chika?"Duh, gimana, ya, Mar? Aku kayaknya nggak bisa ke sana hari ini. Aku masih ada urusan penting. Gimana kalau besok aja?"Ammar terdiam cukup lama."Halo, Ammar?" Aku memanggilnya."Begitu, ya? Ya sudah, nggak pa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Perawan Tua   Amnesia

    "Gimana, Pa?" Mama menarik ujung lengan kemeja Papa. Beliau pun sama paniknya dengan aku."Sepertinya kita harus menghubungi Ibu Rafael. Dia juga berhak tahu.""Tapi, Pa. Beliau punya riwayat penyakit jantung. Apa nggak bahaya nanti kalau memberitahu saat keadaan Rafael seperti ini?" Mama berpendapat. Mendengar jawaban Mama, Papa pun terlihat kebingungan."Mayang? Apa yang terjadi?"Aku menoleh. Ammar? Sedang apa dia di sini?"Suamiku kecelakaan. Sekarang kondisinya kritis. Dia membutuhkan donor darah golongan AB. Nggak ada stok sama sekali di sini," jelasku dengan susah payah. Tenggorokan rasanya sakit."AB? Kebetulan sekali. Aku bersedia mendonorkan darah untuk suamimu. Golongan darahku juga AB."Bagai menemukan oase di padang tandus, aku merasa lega luar biasa. Seakan beban yang mengimpit sejak tadi terangkat begitu saja.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Bukan Perawan Tua   Akhir Sebuah Cerita

    "Mas! Mas!" Aku memukul-mukul lengan Rafael."Apa, sih, Sayang? Bahaya ini lagi nyetir jangan dipukul-pukul.""Berhenti dulu coba."Mobil menepi. Mesin pun dimatikan. Aku langsung menunjukkan foto-foto di akun Fatih pada Rafael."Jadi, Talita nikah sama orang ini? Dia yang pernah meriksa Ibu di rumah, kan?" Rafael bertanya.Aku mengangguk. Jemariku bergerak cepat menelusuri profilnya kembali untuk mendapatkan alamatnya.**Rumah mewah dua lantai sudah terpampang di depan mata. Inikah rumah Mas Fatih? Beruntung sekali Talita mendapatkan lelaki mapan seperti Mas Fatih."Ayo, Mas!" Aku menggandeng tangan Rafael. Tiba di depan pintu, aku menekan belnya.Cukup lama juga kami menunggu. Sekitar lima menit lebih, pintu baru terbuka. Seraut wajah perempuan yang aku cari, muncul di sebaliknya. Perempuan itu sangat jauh berbeda sekarang. Dia mengenakan jilbab lebar dan gamis. Sungguh cantik."Mbak Mayang?" Talita tiba-tiba memelukku. "Maafin saya, Mbak. Sungguh, saya benar-benar menyesal."Aku m

  • Bukan Perawan Tua   Mencari Talita

    "Lepasin, Mas! Aku mau habisin perempuan itu!" Fira berteriak lagi."Jangan gila, Fira!" Ammar berusaha sekuat tenaga untuk merebut pisau itu dari tangan istrinya.Pelukan Rafael semakin erat aku rasa. Terutama saat tiba-tiba Ammar memekik. Perutnya tertusuk pisau!"Ammar!" Aku memekik histeris. Pisau terjatuh dari tangan Fira. Tubuh Ammar ambruk. Disusul dengan Fira yang luruh ke lantai. Perempuan itu memandangi tangannya yang berlumuran darah."Maafin aku, Mas! Aku nggak bermaksud buat nyakitin kamu!" Fira menangis penuh sesal. Cinta, jika terlalu tak tahu diri, akibatnya akan menyakiti dan merugikan diri sendiri.***Isak tangis dari dua wanita beda generasi di kursi tunggu semakin menambah suasana memilukan. Ammar masih menjalani penanganan. Sementara Fira digelandang ke kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bersyukur Papa bergerak cepat lapor polisi tadi.Sekarang aku dan Rafael masih menunggu kabar dari Dokter mengenai keadaan Ammar. Sejak tadi, tautan di tan

  • Bukan Perawan Tua   Kenekatan Fira

    "F-Fira? Kamu ngapain di sini?"Fira melangkah masuk. Dia duduk di sebelahku. Rafael hendak berdiri, tapi kucegah."Bu Mayang dari rumah saya, ya? Bu Mayang baik banget pakai jenguk Ibu saya segala," ucapnya penuh haru. Sungguh, perempuan ini sangat misterius bagiku. Kupikir, dulu kami sangat dekat dan saling mengerti satu sama lain. Nyatanya tidak. Dia sulit untuk kumengerti.Sebuah sentakan kasar dari Ammar di bahu Fira, membuat tubuh perempuan itu berbalik."Hentikan omong kosongmu, Fira! Jangan macam-macam di sini!" Ammar berucap nyalang. Aku khawatir jika Alvin akan terbangun karena hal ini."Kamu kenapa, sih, Mas? Kamu terus aja mojokin aku. Kamu terus aja belain Bu Mayang. Apa-apa selalu Bu Mayang. Sebenarnya yang istri kamu itu aku atau dia?"Aku tercengang. Bukankah kalimat Fira barusan ini merupakan bentuk rasa cemburunya terhadapku? Sebelumnya aku tidak pernah melihat Fira bersikap sekasar ini saat membicarakanku.Ammar terdiam. Dapat kulihat dia melirikku sungkan."Kenapa

  • Bukan Perawan Tua   Kemunculan Fira

    "Mas, mereka bawa pistol!" pekikku."Sial!" Rafael menginjak pedal gas makin dalam. Mobil kami meliuk-liuk di jalanan. Dari kaca spion, pengendara motor itu masih mengejar. Siapa mereka sebenarnya? Apa ini ada hubungannya dengan Fira juga?"Gimana ini, Mas?" tanyaku panik."Tenang saja. Kamu pegangan yang kuat. Aku akan menambah kecepatan." Rafael semakin fokus ke jalanan. Keringatnya mulai mengalir di pelipis. Aku tahu dia tegang setengah mati.Aku memejamkan mata sembari berdoa. Bunyi tembakan yang bergema membuat rasa takutku makin nyata.Mobil kami oleng. Sebuah peluru sepertinya berhasil melubangi ban mobil kami. Rafael membanting stir ke kiri. Lalu setelahnya semua berubah gelap.***Mataku mengerjap. Bau menusuk yang sangat familiar menyerbu hidung. Sepertinya belum lama ini aku juga mencium bau seperti ini.Kuarahkan pandangan ke samping kiri. "Ma?""Mayang? Alhamdulillah kamu sudah sadar, Nak."Aku mencoba bangkit dengan kedua tangan di belakang sebagai tumpuan."Jangan banya

  • Bukan Perawan Tua   Datang ke Rumah Fira

    Aku menatap Mama Ammar dengan sorot meminta penjelasan.Helaan napas panjang terdengar dari bibirnya. "Benar, Nak. Fira itu aneh. Dulu saya pikir dia gadis yang baik. Tapi makin ke sini, ternyata dia menakutkan. Terkadang dia marah-marah nggak jelas. Terkadang juga dia terlihat begitu baik. Seperti dua orang yang berbeda."Aku berpandangan dengan Rafael. Alis laki-laki itu terangkat. Apa mungkin Fira memiliki kepribadian ganda? Sepertinya kami mulai menemukan titik terang sekarang."Apa Ammar tahu?" Rafael bertanya."Ya, dia tahu. Bahkan dia sempat ingin mengakhiri rumah tangganya. Hanya saja demi menjaga nama baik perusahaan, dia masih bertahan sampai sekarang. Usia pernikahan mereka masih seumur jagung. Jika bercerai sekarang, pasti akan banyak pertanyaan dari berbagai pihak."Benar juga. Selain itu, sikap Fira yang aneh juga pasti memengaruhi perusahaan Ammar."Bu, apa boleh saya minta alamat rumah Fira? Saya ingin menjenguk Ibunya yang dia bilang baru saja sakit.""Tentu saja bole

  • Bukan Perawan Tua   Mengorek Informasi

    Sepertinya aku harus berkunjung ke rumah Fira untuk memastikan. Tapi sebelum itu, aku akan ke rumah Ammar terlebih dahulu."Gimana anak-anak selama kamu tinggal, Fir? Pembukuannya bener nggak?" tanyaku. Untuk saat ini aku harus bersikap biasa saja."Bener, kok, Bu. Mereka udah mulai terbiasa kayaknya."Ada beberapa pembeli yang datang. Membuat percakapanku dengan Fira terhenti. Aku beralih pada Rafael yang sedang terpaku pada layar ponselnya."Mas, bisa antar aku ke tempat lain?"Dia memasukkan ponsel ke saku celana. "Bisa, dong. Mau ke mana? Beli bakso? Atau beli cilok?"Aku mencebik. "Bukan! Aku mau ke suatu tempat."Kami beranjak. "Fir, saya pergi, ya. Titip toko," pamitku.Fira mengacungkan jempolnya. Apa iya perempuan baik seperti dia tega menyakiti atasannya sendiri? Bahkan aku sudah menganggapnya seperti saudara sendiri."Kita mau ke mana, Sayang?" Rafael bertanya seiring dengan mesin mobil yang mulai menyala."Kita ke rumah Ammar, Mas."Pijakan pada pedal gas, urung dia lakuka

  • Bukan Perawan Tua   Tidak Mungkin!

    Puas bermain dengan Alvin, aku kembali ke kamar sendiri bersama Rafael. Sementara bocah itu bermain bersama kedua neneknya. Bersyukur, keadaan Ibu semakin membaik sekarang."Mau mandi?" tanya Rafael saat melihatku melepas atasan.Aku mengangguk. "Hu um. Gerah aku.""Mau dimandiin nggak?" Alisnya bergerak naik turun dengan jahil."Ish! Apaan, sih?" Aku menyambar handuk di cantelan, lalu melenggang ke kamar mandi."Dimandiin suami itu enak, lho. Punggung ada yang gosokin. Pasti punggung kamu tuh banyak bolotnya," seloroh Rafael dari luar.Aku mencebik. "Enak aja! Aku selalu bersih, ya, mandinya. Nggak kayak kamu."Dia tertawa. "Cepetan mandinya. Aku juga gerah."Aku mendengkus. Dasar tukang maksa!Usai mengenakan handuk, aku berjalan keluar. Aku terlonjak kaget saat melihat sosoknya berdiri di samping pintu kamar mandi."Ih! Ngagetin orang aja!" Aku memukul lengannya pelan.Dia meringis. Lalu berjalan melewatiku. Sebuah sentakan kurasakan pada simpul handuk. Seketika benda itu melorot.

  • Bukan Perawan Tua   Pulang

    Setelah keadaanku membaik, kami bertiga kembali pulang. Proyek kami harus tertunda entah sampai kapan. Aku masih ingin mengusut kasus ini."Makasih sudah mengantar, Mar," ucapku sebelum turun dari taksi. Ammar ikut serta mengantar sampai rumah. Alasannya ingin memastikan aku sampai di depan pintu dengan selamat."Oke. Aku pergi dulu." Taksi mulai melaju kembali. Dengan langkah lunglai, kuseret koper di tangan."Loh, May? Kamu sudah pulang? Katanya seminggu? Ini baru berapa hari, kok, sudah pulang?" Mama menyambutku dengan beberapa pertanyaan. Kebiasaan memang. Bukannya dipeluk atau dicium gitu, malah dikasih banyak pertanyaan.Aku mencium tangannya. "Alvin mana, Ma?""Lagi tidur siang. Kamu ini ditanya, kok." Mama kembali mengingatkan."Ceritanya panjang, Ma. Aku capek banget sekarang. Aku istirahat dulu, ya." Aku berjalan melewati Mama. Pasti beliau heran melihat sikapku yang tidak bersemangat seperti biasanya.Aku berjalan menuju kamar Alvin. Bocah itu sedang terlelap. Kuciumi wajah

  • Bukan Perawan Tua   Gelang Biru

    Mataku mengerjap perlahan. Bau menyengat seketika terhidu begitu mata terbuka lebih lebar .Pandangan semakin kuperjelas. Tirai hijau yang menggantung di sebelah, mengingatkanku saat melahirkan Alvin. Mungkinkah aku sekarang juga ada di rumah sakit?Kugerakkan mata ke samping. Di sana tertunduk seorang lelaki muda. Lalu di sebelahnya, lelaki paruh baya tampak cemas dengan ponsel menempel di telinga."Ammar?" panggilku lirih.Kedua lelaki di sana menghambur padaku."May, kamu sudah sadar? Gimana perasaanmu? Maksudku, apa yang kamu rasakan sekarang?" Ammar bertanya cemas. Sementara Pak Brata hanya menyaksikan dengan raut wajah tak kalah cemas."Pusing," jawabku lemah.Laki-laki tampan di depanku ini mendengkus kesal. "Pak, ini sudah nggak benar. Pasti ada yang sengaja ingin meracuni Mayang," semprotnya pada Pak Brata."Ya, saya tahu, Pak Ammar. Nanti saya akan mencaritahu lewat ruang pengendali CCTV. Siapa tahu kita bisa dapat bukti dari sana. Dan untuk proyek kita, sepertinya kita tund

DMCA.com Protection Status