Kuusap keningku berkali-kali agar bekas ciuman si Rafael hilang. Tapi sebenarnya kalau dipikir-pikir, dia tidak salah juga. Aku ini, kan, istrinya. Mau diapain juga sudah halal.
"Kamu kenapa, sih, May? Dari tadi Mama lihatin itu kening diusap-usap mulu. Pusing?"
Aku memutar bola mata malas. "Iya, pusing banget. Mual, mau muntah juga," jawabku asal.
Di luar dugaan, Mama malah menganga sambil melotot, "Wah! Hebat banget si Rafael, ya. Baru juga semalam, udah tokcer aja."
Yasalam! Apa yang sedang dipikirkan Mama sekarang?
"Tokcer apanya, sih, Ma? Mama pikir aku hamil gitu? Astaga, Ma! Mana ada orang baru tidur bareng semalam langsung hamil? Lagian kami juga nggak ngapa-ngapain, kok," jawabku kesal.
Mama tergelak, lalu melenggang meninggalkanku begitu saja. Puas banget itu ketawanya.
Rasanya seisi rumah ini lama-lama membuatku naik darah. Huft! Sabar, Mayang. Sabar.
Aku berlalu ke kamar untuk bersiap bekerja. Lebih tepatnya mengawasi orang-orang bekerja. Aku memiliki toko kue yang cukup terkenal di daerah ini. Bisa dibilang aku ini bos.
Sejak kecil aku memang sudah diberi kemewahan oleh Papa dan Mama. Aku tidak pernah kekurangan suatu apapun. Aku juga tidak perlu bersusah payah mencari kerja setelah lulus kuliah. Karena mengambil jurusan tata boga dan hobi ngebaking, mereka membuatkan toko kue tanpa kuminta.
***
Saat aku pulang dari toko, kulihat Rafael tengah termenung di depan jendela kamar.
"Ngelamun bae. Kesambet ntar," selorohku. Tapi dia hanya diam. Sikapnya ini membuatku penasaran. Setelah meletakkan tas kecil di atas meja, aku mendekat padanya. "Kenapa?"
Rafael menghela napas pelan. Tampak sekali dia menyimpan beban yang begitu berat.
"Gue dipecat."
"Kok, bisa?"
"Pengurangan pegawai karena tempatnya lagi sepi belakangan ini," jawabnya lesu.
"Ya udah, sih, nggak usah panik gitu. Lagian elu hidup di sini itu dah enak. Nggak kerja pun lu udah bisa makan enak setiap hari," ucapku santai sembari melangkah ke ranjang. Namun baru saja ingin merebahkan badan di sana, Rafael menahan tanganku.
Wajahnya kali ini terlihat serius. Tampak menakutkan juga kalau seperti ini.
"Elu bisa ngomong kayak gitu karena memang nggak pernah hidup susah. Gue sekarang udah berstatus sebagai suami. Jangan lu pikir gue cuma mau hidup enak di sini. Gue masih punya harga diri!"
Sungguh, Rafael tidak terlihat seperti bocah saat ini. Dia terlihat seperti lelaki dewasa yang bahkan mengerti kewajibannya sebagai seorang suami.
Rafael melepaskan tanganku dengan kasar. Kemudian berlalu keluar dari kamar. Dia benar-benar berbeda dengan pertama kali kami bertemu. Entah kenapa aku jadi merasa bersalah begini. Sepertinya dia marah.
"Raf!" Aku mencoba memanggilnya. Bahkan kali ini aku memanggil namanya. Tapi dia sama sekali tak menggubris. Terpaksa aku mengikutinya.
Rafael berjalan menuju samping rumah. Di mana terdapat kolam renang yang begitu luas. Dia duduk di sana dengan kedua kaki dicelupkan ke dalam air. Ini sudah malam. Apa dia tidak kedinginan?
Aku turut duduk bersimpuh di sebelahnya. Kutoleh wajahnya yang masih saja menunjukkan ekspresi datar.
"Maafin gue, deh. Gue nggak ada maksud buat ngehina elu tadi. Gue akuin, gue emang manja dari dulu. Jadi gue nggak pernah ngerasain rasanya hidup susah," ucapku pelan. Berusaha berbicara kembali secara baik-baik.
Rafael menghela napas panjang, lalu menatapku. "Gue nikahin lu emang demi nyokap gue meski beliau nggak pernah minta. Tapi gue juga punya rasa tanggung jawab. Gimana pun juga gue ini seorang suami. Jadi gue wajib nafkahin lu."
Duh! Kok ada yang melting begini rasanya di dalam dada. Jangan sampai laper, May. Eh, baper.
"Tapi gue nggak minta lu buat nafkahin gue. Gue udah punya segalanya. Gue nggak butuh apa-apa dari elu."
Rafael tertawa kecil mendengar jawabanku. Memang ada yang lucu?
"Mana ada nikah model kayak begitu? Yang namanya suami, ya, tetap wajib nafkahin istri. Umur lu emang lebih tua dari gue, Tan. Tapi pikiran lu kayak anak kecil." Rafael menggeleng pelan seolah sedang meremehkanku.
"Udah dibilang jangan panggil gue kayak gitu! Lagian gue juga ngerti kewajiban suami. Cuma seperti yang gue bilang tadi. Gue nggak butuh apa-apa dari elu." Aku bangkit berdiri. Rencananya, sih, mau balik ke kamar. Tapi sepertinya sedikit menjahili Rafael mungkin bisa membuat moodnya kembali seperti biasa.
Aku mengendap-endap di belakangnya yang tengah menatap air kolam. Lalu ....
Byur!
Aku mendorongnya hingga terjungkal masuk ke dalam air. Aku tertawa lepas saat Rafael mengepak-ngepakkan tangannya. Dia persis seperti anak ayam yang tak bisa berenang.
"Tan! Tolongin gue!"
"Halah! Pura-pura, kan, lu? Mana ada cowok kayak lu nggak bisa berenang." Aku bersedekap. Dia pasti mau ngerjain balik supaya aku ikutan nyemplung. Jangan harap.
"Tan!"
Eh, tapi kalau dia beneran tak bisa berenang bagaimana? Astaga! Cerobohnya aku.
Dengan terpaksa aku ikut terjun ke dalam kolam. Kuraih tubuh Rafael yang mulai diam di dalam air. Pikiranku makin kalut. Bagaimana kalau anak orang sampai? Ah, tidak! Tidak boleh!
Aku menarik tubuhnya hingga ke tepi. Lalu dengan susah payah kuangkat dia ke atas. Kutepuk-tepuk pipinya, kuguncang-guncang badannya. Tapi tetap saja dia tak bergerak.
Lalu aku teringat dengan pertolongan pertama korban seperti ini. Napas buatan. Tapi apa iya aku harus melakukannya? Yang benar saja?
Tapi melihat bibirnya yang pucat, aku jadi makin takut. Papa dan Mama pasti akan memarahiku habis-habisan jika terjadi sesuatu pada Rafael. Belum lagi nanti jika aku mendapat gelar baru, yaitu janda kembang. Astaga! Jangan sampai!
Tanpa pikir panjang lagi, aku menekan kedua pipinya agar mulutnya sedikit terbuka. Lalu mulai memberikannya napas buatan. Baru saja aku menarik wajah darinya, pemuda itu tersenyum. Eh, kok?
"Wah! Tante diam-diam menghanyutkan rupanya."
Eh, dia cuma pura-pura? Aaa! Rafael!
"Lu cuma pura-pura? Dasar nyebelin lu, ya!" Aku memukuli tubuhnya. Dia tergelak. Terlihat sangat puas sudah berhasil mengerjaiku.
"Habisnya Tante main dorong-dorong aja. Eh, bibir berondong rasanya gimana? Manis nggak?"
"Apaan? Awas lu, ya!" Aku makin gencar memukulinya. Dia dengan cepat bangkit dan melarikan diri. Jadilah kami dengan badan basah kuyup lari-larian di dalam rumah.
"Astaga! Kalian ini ngapain malam-malam basah-basahan begitu?"
Kami berhenti mendengar teguran Papa.
"Ini, Pa. Mayang ngajakin main air malam-malam."
"Eh, rese lu, ya!" Aku mulai mengejar lagi. Rafael berlari menuju kamar kami. "Sini lu! Gue jitak juga lu!"
Rafael tertawa makin lepas. Membuat kepalaku rasanya makin mendidih. Awas saja kalau sampai tertangkap.
Laki-laki berbadan tinggi itu berlari mendekat ke lemari pakaian. Di sana aku berhasil menangkapnya. Aku memukulinya lagi bertubi-tubi tanpa ampun.
Lalu tanpa terduga, Rafael menahan kedua tanganku. Aku mencoba menariknya, tapi tenagaku kalah kuat.
"Lepasin, nggak?" Aku berontak.
"Lu cantik, Tan."
Aku berhenti bergerak mendengar ucapannya. Pandangan kami bertemu. Tatapan Rafael seakan mengunciku agar tak berpaling ke arah manapun.
"Gue bingung aja kenapa lu masih melajang sampai umur yang udah begitu matang. Padahal lu cantik banget," ucapnya lagi. Serius, sepertinya di dalam dadaku ada yang sengaja menabuh genderang.
Rafael melepas tanganku. Lalu tangannya berpindah ke tengkuk leherku. Perlahan wajahnya mendekat. Mau apa dia? Ini, kenapa tubuhku tak bisa bergerak begini? Mama tolong!
Ketika wajah kami hanya tinggal berjarak beberapa senti, terdengar suara ponsel berbunyi. Rafael melepaskan tangannya dariku. Dia melangkah menuju ponselnya yang tergeletak di atas nakas.
Aku menghela napas lega. Apa-apaan itu tadi? Bisa-bisanya aku diam begitu saja saat dia ... Ah, malunya.
"Ya, Ta? Ya, aku ke sana sekarang."
Keningku mengernyit saat mendengar Rafael akan pergi. Ini sudah malam. Mau ke mana dia? Lalu siapa orang yang dipanggilnya Ta?
Biar sajalah. Itu bukan urusanku. Eh, tapi tadi bajunya masih basah itu. Kalau dia masuk angin bagaimana? Sepertinya orang yang meneleponnya tadi sangat penting bagi Rafael sampai-sampai dia mengabaikan diri sendiri seperti itu. Ah, sudahlah. Lebih baik aku membersihkan diri lalu istirahat. Urusan Rafael bukan urusanku. ** Malam sudah makin larut. Tapi Rafael belum kembali juga. Sebenarnya dia pergi ke mana? Jika terjadi apa-apa padanya, bisa-bisa aku yang kena omel Papa Mama. Baru saja hendak meraih ponsel di atas nakas untuk menghubungi bocah itu, kulihat pintu kamar terbuka. Syukurlah dia sudah kembali. "Dari mana?" tanyaku serius. Rafael menatapku sekilas. Tanpa menjawab, dia melepas jaket, lalu menyambar handuk di cantelan. Wajahnya jadi tambah kusut sekarang. Baiklah. Sepertinya dia tidak mau berbagi denganku. Aku mera
Aku memijat kepala yang berdenyut. Berapa lama lagi aku harus menghabiskan waktu bersamanya? Yang ada nanti aku bisa gila jika terlalu lama bersama pemuda selengekan itu. Aku bersiap hendak pergi ke toko. Sebenarnya terkadang aku merasa bosan juga dengan kegiatanku sehari-hari. Bangun tidur, ke toko, pulang, tidur lagi. Seperti itu terus. Aku sangat jarang menghabiskan waktu di luar untuk sekadar bertemu teman. Ah, aku bahkan tidak punya teman dekat. Meski itu perempuan sekali pun. "May! Ayo sarapan dulu! Itu Ayang Beb kamu udah nungguin!" Eh, apaan? Ayang beb? Mama apaan, sih? Aku membuka pintu dengan kasar. Dapat kulihat raut terkejut di wajah malaikatku itu. "Ayang beb apaan, Ma, maksudnya?" tanyaku dengan malayangkan tatapan tajam. "Ya suami kamu lah. Siapa lagi coba?" jawab Mama dengan santainya. Dan seperti biasa, setelah menjawabku, beliau
Rafael mendekatkan wajah di samping telingaku, "Bahkan lo nggak bisa menghindar saat gue lakukan ini. Nanti pun, elo nggak akan bisa menghindar saat menyadari perasaan lo sama gue."Aku menelan ludah dengan susah payah. Bisikan Rafael seperti angin yang menggelitik di telinga.Sadar, Mayang! Sadar!Aku menatapnya tajam. Lalu menginjak kakinya sekuat tenaga."Adaw! Sakit, Tan! Elah tega bener!" Rafael sibuk lompat-lompat sambil memegangi kakinya."Makanya jangan suka curi kesempatan dalam kesempitan!" sengitku. Aku kembali berjalan dengan kaki sedikit mengentak. Kesal sekali rasanya."Eh, mana ada gue ambil kesempatan dalam kesempitan? Orang di sini tempatnya luas begini."Aku berbalik. Menatapnya masih dengan tatapan tajam, "Lo ngeselin banget, sih!"Rafael tergelak. Lalu buru-buru berlari dariku. Argh! Aku bisa benar
Meski awalnya aku sangat keberatan dengan rencana bulan madu konyol ini, tapi setelah melaluinya, rasanya tidak buruk. Rafael bukan lelaki yang terlalu suka ikut campur. Dia juga bukan pemaksa. Bahkan aku yang cenderung mengatur di sini. Seperti saat ini, aku mengajaknya jalan-jalan ke pantai. Dia tak menolak, juga tidak keberatan. "Serius, Tan, elo belum pernah pacaran sekali pun? Atau mungkin suka sama orang gitu?" Aku menggeleng. "Kalau pacaran nggak pernah. Kalau suka sama orang pernah. Dulu waktu masih SD." "Jiah! Itu, sih, namanya cinta kunyuk, Tan." Aku tergelak mendengarnya bilang cinta kunyuk. Rafael ini ternyata humoris juga. Tapi kadang humorisnya nyebelin. "Jadi, elo juga belum pernah gandengan tangan kayak gini, dong?" Tanpa izin seperti semalam, dia menggandeng tangan kananku sambil senyum-senyum. Aku mencoba melepasnya, tapi genggam
Hari ini kami telah kembali ke rumah. Meski hanya menghabiskan waktu untuk bersenang-senang, tapi rasanya lelah juga. Mungkin lelah karena perjalanan yang jauh."Gimana bulan madunya? Lancar nggak? Mama bisa cepet dapet cucu, kan?"Entah kenapa aku geli mendengar pertanyaan Mama barusan. Anaknya baru saja sampai bukannya ditanya kabar ini malah ditanya cucu."Aku capek, Ma. Mau istirahat dulu." Aku melenggang ke lantai atas. Ke kamarku dan Rafael. Sementara bocah itu mengekor di belakangku."Wah! Kayaknya mereka menggebu-gebu banget pas di sana, Pa. Lihat itu si Mayang sampai kecapekan kayak begitu," celetuk Mama sambil cekikikan. Sumpah, ya. Nggak Mama, nggak Papa, semua makin rese.Semenjak turun dari taksi tadi, kulihat Rafael hanya diam. Biasanya jika berbicara dengan Papa dan Mama, dia yang paling semangat menanggapi."Eh, lo kenapa diem bae?" tanyaku se
Sungguh, napasku bagai berhenti saat ini. Kurasa persediaan oksigen di sekitarku mendadak habis.Rafael kembali melangkah ke ranjang. Dia mengambil selimut dari sana, lalu merebahkan badan ke sofa. Aku baru bisa bernapas lagi setelah dia beranjak. Sungguh, bocah itu sepertinya memang memiliki kekuatan untuk membuat orang lain mati kutu.Baru saja aku merasa lega dan hendak menuju ranjang, kurasakan perutku sakit. Rasanya seperti ditusuk-tusuk, dicampur rasa perih dan juga mual. Ah, sangat tidak nyaman."Lo kenapa, Tan?" Rafael sigap membantuku berjalan sampai ke ranjang."Nggak tahu. Kayaknya maag gue kambuh. Baru juga tadi siang nolongin orang yang maag-nya kambuh. Eh sekarang gue sendiri yang ngalamin," jawabku dengan tangan memegangi perut."Tunggu sebentar. Gue cariin obat dulu." Rafael berlari keluar. Wajahnya tampak panik. Mungkin takut jika aku kenapa-kenapa. Dia perhatian
Toko kue kututup pada jam tujuh malam. Aku bergegas pulang setelah ingat bahwa Rafael tadi pagi berjanji akan mengajakku ke rumah Tata. Aku sungguh penasaran dengan perempuan itu. Seperti apa rupa dan sifatnya sampai-sampai Rafael begitu yakin bahwa akun itu bukan miliknya? Aku tiba di rumah bersamaan dengan Rafael. Dia juga baru sampai. Tiba-tiba saja dia merangkul bahuku dari samping. Sok akrab! Aku menghentikan langkah. Otomatis langkahnya pun terhenti. "Lo bilang tadi mau ajak gue ke rumah Tata?" Bukannya menjawab, Rafael justru menatapku lekat. Rasanya jadi salah tingkah begini. Ini bocah benar-benar pinter banget bikin orang kikuk. Aku meraup wajahnya hingga dia tertawa. "Woi! Denger nggak gue nanya apaan?" "Denger, Tan. Gue cuma lagi menikmati indahnya ciptaan Allah aja. Meski dalam keadaan lelah begini, lu tetep aja cantik," ucapnya pelan. Terdengar begitu tulus
Cafe sudah benar-benar tutup. Sekarang aku seperti orang bodoh yang menunggu ketidakpastian. Ada yang nyeri di dalam sini. Beginikah rasanya sakit hati? Apa aku ... benar-benar jatuh cinta pada Rafael?Inilah sebabnya kenapa aku sangat takut untuk mengikat hati dengan lelaki. Aku takut patah hati. Rasanya menyesakkan. Sungguh menyakitkan.Bulir hangat tiba-tiba saja mengalir dari pelupuk mata. Ah, akhirnya aku menangis karena hal yang paling kutakuti. Aku sungguh benci ini. Aku benci diriku yang lemah ini. Seharusnya aku tidak terlalu berharap Rafael untuk datang."Lo jahat, Raf! Gue benci sama lo!" teriakku seperti orang tak waras. Tidak ada siapa-siapa di sini. Suasana sudah sepi. Namun aku masih saja duduk di depan cafe seperti orang tolol."Jangan benci gue, Tan. Ntar gue nangis."Aku mendongak. Melihat sosoknya, ada macam-macam rasa di dalam sini. Bahagia, kesal, kecewa. Ah,
"Mas! Mas!" Aku memukul-mukul lengan Rafael."Apa, sih, Sayang? Bahaya ini lagi nyetir jangan dipukul-pukul.""Berhenti dulu coba."Mobil menepi. Mesin pun dimatikan. Aku langsung menunjukkan foto-foto di akun Fatih pada Rafael."Jadi, Talita nikah sama orang ini? Dia yang pernah meriksa Ibu di rumah, kan?" Rafael bertanya.Aku mengangguk. Jemariku bergerak cepat menelusuri profilnya kembali untuk mendapatkan alamatnya.**Rumah mewah dua lantai sudah terpampang di depan mata. Inikah rumah Mas Fatih? Beruntung sekali Talita mendapatkan lelaki mapan seperti Mas Fatih."Ayo, Mas!" Aku menggandeng tangan Rafael. Tiba di depan pintu, aku menekan belnya.Cukup lama juga kami menunggu. Sekitar lima menit lebih, pintu baru terbuka. Seraut wajah perempuan yang aku cari, muncul di sebaliknya. Perempuan itu sangat jauh berbeda sekarang. Dia mengenakan jilbab lebar dan gamis. Sungguh cantik."Mbak Mayang?" Talita tiba-tiba memelukku. "Maafin saya, Mbak. Sungguh, saya benar-benar menyesal."Aku m
"Lepasin, Mas! Aku mau habisin perempuan itu!" Fira berteriak lagi."Jangan gila, Fira!" Ammar berusaha sekuat tenaga untuk merebut pisau itu dari tangan istrinya.Pelukan Rafael semakin erat aku rasa. Terutama saat tiba-tiba Ammar memekik. Perutnya tertusuk pisau!"Ammar!" Aku memekik histeris. Pisau terjatuh dari tangan Fira. Tubuh Ammar ambruk. Disusul dengan Fira yang luruh ke lantai. Perempuan itu memandangi tangannya yang berlumuran darah."Maafin aku, Mas! Aku nggak bermaksud buat nyakitin kamu!" Fira menangis penuh sesal. Cinta, jika terlalu tak tahu diri, akibatnya akan menyakiti dan merugikan diri sendiri.***Isak tangis dari dua wanita beda generasi di kursi tunggu semakin menambah suasana memilukan. Ammar masih menjalani penanganan. Sementara Fira digelandang ke kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bersyukur Papa bergerak cepat lapor polisi tadi.Sekarang aku dan Rafael masih menunggu kabar dari Dokter mengenai keadaan Ammar. Sejak tadi, tautan di tan
"F-Fira? Kamu ngapain di sini?"Fira melangkah masuk. Dia duduk di sebelahku. Rafael hendak berdiri, tapi kucegah."Bu Mayang dari rumah saya, ya? Bu Mayang baik banget pakai jenguk Ibu saya segala," ucapnya penuh haru. Sungguh, perempuan ini sangat misterius bagiku. Kupikir, dulu kami sangat dekat dan saling mengerti satu sama lain. Nyatanya tidak. Dia sulit untuk kumengerti.Sebuah sentakan kasar dari Ammar di bahu Fira, membuat tubuh perempuan itu berbalik."Hentikan omong kosongmu, Fira! Jangan macam-macam di sini!" Ammar berucap nyalang. Aku khawatir jika Alvin akan terbangun karena hal ini."Kamu kenapa, sih, Mas? Kamu terus aja mojokin aku. Kamu terus aja belain Bu Mayang. Apa-apa selalu Bu Mayang. Sebenarnya yang istri kamu itu aku atau dia?"Aku tercengang. Bukankah kalimat Fira barusan ini merupakan bentuk rasa cemburunya terhadapku? Sebelumnya aku tidak pernah melihat Fira bersikap sekasar ini saat membicarakanku.Ammar terdiam. Dapat kulihat dia melirikku sungkan."Kenapa
"Mas, mereka bawa pistol!" pekikku."Sial!" Rafael menginjak pedal gas makin dalam. Mobil kami meliuk-liuk di jalanan. Dari kaca spion, pengendara motor itu masih mengejar. Siapa mereka sebenarnya? Apa ini ada hubungannya dengan Fira juga?"Gimana ini, Mas?" tanyaku panik."Tenang saja. Kamu pegangan yang kuat. Aku akan menambah kecepatan." Rafael semakin fokus ke jalanan. Keringatnya mulai mengalir di pelipis. Aku tahu dia tegang setengah mati.Aku memejamkan mata sembari berdoa. Bunyi tembakan yang bergema membuat rasa takutku makin nyata.Mobil kami oleng. Sebuah peluru sepertinya berhasil melubangi ban mobil kami. Rafael membanting stir ke kiri. Lalu setelahnya semua berubah gelap.***Mataku mengerjap. Bau menusuk yang sangat familiar menyerbu hidung. Sepertinya belum lama ini aku juga mencium bau seperti ini.Kuarahkan pandangan ke samping kiri. "Ma?""Mayang? Alhamdulillah kamu sudah sadar, Nak."Aku mencoba bangkit dengan kedua tangan di belakang sebagai tumpuan."Jangan banya
Aku menatap Mama Ammar dengan sorot meminta penjelasan.Helaan napas panjang terdengar dari bibirnya. "Benar, Nak. Fira itu aneh. Dulu saya pikir dia gadis yang baik. Tapi makin ke sini, ternyata dia menakutkan. Terkadang dia marah-marah nggak jelas. Terkadang juga dia terlihat begitu baik. Seperti dua orang yang berbeda."Aku berpandangan dengan Rafael. Alis laki-laki itu terangkat. Apa mungkin Fira memiliki kepribadian ganda? Sepertinya kami mulai menemukan titik terang sekarang."Apa Ammar tahu?" Rafael bertanya."Ya, dia tahu. Bahkan dia sempat ingin mengakhiri rumah tangganya. Hanya saja demi menjaga nama baik perusahaan, dia masih bertahan sampai sekarang. Usia pernikahan mereka masih seumur jagung. Jika bercerai sekarang, pasti akan banyak pertanyaan dari berbagai pihak."Benar juga. Selain itu, sikap Fira yang aneh juga pasti memengaruhi perusahaan Ammar."Bu, apa boleh saya minta alamat rumah Fira? Saya ingin menjenguk Ibunya yang dia bilang baru saja sakit.""Tentu saja bole
Sepertinya aku harus berkunjung ke rumah Fira untuk memastikan. Tapi sebelum itu, aku akan ke rumah Ammar terlebih dahulu."Gimana anak-anak selama kamu tinggal, Fir? Pembukuannya bener nggak?" tanyaku. Untuk saat ini aku harus bersikap biasa saja."Bener, kok, Bu. Mereka udah mulai terbiasa kayaknya."Ada beberapa pembeli yang datang. Membuat percakapanku dengan Fira terhenti. Aku beralih pada Rafael yang sedang terpaku pada layar ponselnya."Mas, bisa antar aku ke tempat lain?"Dia memasukkan ponsel ke saku celana. "Bisa, dong. Mau ke mana? Beli bakso? Atau beli cilok?"Aku mencebik. "Bukan! Aku mau ke suatu tempat."Kami beranjak. "Fir, saya pergi, ya. Titip toko," pamitku.Fira mengacungkan jempolnya. Apa iya perempuan baik seperti dia tega menyakiti atasannya sendiri? Bahkan aku sudah menganggapnya seperti saudara sendiri."Kita mau ke mana, Sayang?" Rafael bertanya seiring dengan mesin mobil yang mulai menyala."Kita ke rumah Ammar, Mas."Pijakan pada pedal gas, urung dia lakuka
Puas bermain dengan Alvin, aku kembali ke kamar sendiri bersama Rafael. Sementara bocah itu bermain bersama kedua neneknya. Bersyukur, keadaan Ibu semakin membaik sekarang."Mau mandi?" tanya Rafael saat melihatku melepas atasan.Aku mengangguk. "Hu um. Gerah aku.""Mau dimandiin nggak?" Alisnya bergerak naik turun dengan jahil."Ish! Apaan, sih?" Aku menyambar handuk di cantelan, lalu melenggang ke kamar mandi."Dimandiin suami itu enak, lho. Punggung ada yang gosokin. Pasti punggung kamu tuh banyak bolotnya," seloroh Rafael dari luar.Aku mencebik. "Enak aja! Aku selalu bersih, ya, mandinya. Nggak kayak kamu."Dia tertawa. "Cepetan mandinya. Aku juga gerah."Aku mendengkus. Dasar tukang maksa!Usai mengenakan handuk, aku berjalan keluar. Aku terlonjak kaget saat melihat sosoknya berdiri di samping pintu kamar mandi."Ih! Ngagetin orang aja!" Aku memukul lengannya pelan.Dia meringis. Lalu berjalan melewatiku. Sebuah sentakan kurasakan pada simpul handuk. Seketika benda itu melorot.
Setelah keadaanku membaik, kami bertiga kembali pulang. Proyek kami harus tertunda entah sampai kapan. Aku masih ingin mengusut kasus ini."Makasih sudah mengantar, Mar," ucapku sebelum turun dari taksi. Ammar ikut serta mengantar sampai rumah. Alasannya ingin memastikan aku sampai di depan pintu dengan selamat."Oke. Aku pergi dulu." Taksi mulai melaju kembali. Dengan langkah lunglai, kuseret koper di tangan."Loh, May? Kamu sudah pulang? Katanya seminggu? Ini baru berapa hari, kok, sudah pulang?" Mama menyambutku dengan beberapa pertanyaan. Kebiasaan memang. Bukannya dipeluk atau dicium gitu, malah dikasih banyak pertanyaan.Aku mencium tangannya. "Alvin mana, Ma?""Lagi tidur siang. Kamu ini ditanya, kok." Mama kembali mengingatkan."Ceritanya panjang, Ma. Aku capek banget sekarang. Aku istirahat dulu, ya." Aku berjalan melewati Mama. Pasti beliau heran melihat sikapku yang tidak bersemangat seperti biasanya.Aku berjalan menuju kamar Alvin. Bocah itu sedang terlelap. Kuciumi wajah
Mataku mengerjap perlahan. Bau menyengat seketika terhidu begitu mata terbuka lebih lebar .Pandangan semakin kuperjelas. Tirai hijau yang menggantung di sebelah, mengingatkanku saat melahirkan Alvin. Mungkinkah aku sekarang juga ada di rumah sakit?Kugerakkan mata ke samping. Di sana tertunduk seorang lelaki muda. Lalu di sebelahnya, lelaki paruh baya tampak cemas dengan ponsel menempel di telinga."Ammar?" panggilku lirih.Kedua lelaki di sana menghambur padaku."May, kamu sudah sadar? Gimana perasaanmu? Maksudku, apa yang kamu rasakan sekarang?" Ammar bertanya cemas. Sementara Pak Brata hanya menyaksikan dengan raut wajah tak kalah cemas."Pusing," jawabku lemah.Laki-laki tampan di depanku ini mendengkus kesal. "Pak, ini sudah nggak benar. Pasti ada yang sengaja ingin meracuni Mayang," semprotnya pada Pak Brata."Ya, saya tahu, Pak Ammar. Nanti saya akan mencaritahu lewat ruang pengendali CCTV. Siapa tahu kita bisa dapat bukti dari sana. Dan untuk proyek kita, sepertinya kita tund