Aku akui salah dan dosaku ini memang banyak. Dosaku bejibun, tak terhitung. Tapi kenapa harus seperti ini takdir hidupku?
"Aaa!" Untuk kesekian kalinya aku berteriak frustrasi di malam pertama.
"Tante berisik banget dah! Ngapain teriak-teriak mulu, sih? Minta dikelonin?"
Mataku melotot. Bocah ingusan ini memang selalu membuatku kesal. Dari awal pertemuan kami, dia memang sangat menyebalkan. Mama dan Papa juga tak kalah kejam.
Hanya karena sering mendapat cibiran dari para tetangga bahwa anaknya ini perawan tua, Papa dan Mama tega menikahkanku dengan bocah ingusan yang usianya bahkan dibawah tujuh tahun dariku. Beda usia tujuh tahun, gaes! Bayangkan! Aku lebih mirip induk bebek dari pada seorang istri. Dia masih dua puluh tahun. Ya ampun! Masih imut-imut harusnya. Tapi ini, kok, ya amit-amit.
Wajahnya lumayan cakep, sih. Hidungnya mancung juga. Cuma kulitnya kusam. Mungkin karena dia sering kerja di bengkel.
"Tante-tante! Gue masih muda, ya. Orang-orang aja yang mulutnya kelewat lemes," balasku tak terima.
Rafael tergelak. Ya, bocah ingusan sekaligus suamiku itu bernama Rafael. Namanya juga keren, sih. Tapi orangnya nyebelin pakai buanget.
"Iye, masih muda emang. Sepuluh tahun yang lalu." Dia tergelak kali ini. Benar-benar memang ini bocah ngajak gelud mulu dari tadi.
Aku mengambil bantal dan melemparnya ke muka bocah ingusan itu. Bukannya diam, tawanya malah makin kencang.
"Ketawa aja teros! Gue sumpahin itu mulut mangap terus nggak bisa mingkem!"
"Astaga, Tante jahat banget," ucapnya sok polos. Hih! Makin pengen nimpuk pakai telenan sekarang.
"Tenang, Tan. Sebenarnya gue juga nggak pengen nikah muda begini. Tapi tawaran Papa mertua benar-benar menggiurkan. Kalau gue bersedia menyelamatkan elu dari julukan perawan tua, utang-utang nyokap gue lunas. Sayang, kan, kalau ditolak."
Ya, aku sudah tahu alasan itu. Papa dan Mama memberikan sebuah tawaran yang sama-sama menguntungkan untuk kedua belah pihak. Anaknya yang perawan tua ini dapat jodoh, sementara utang-utang Ibu bocah ingusan itu dianggap lunas. Tapi aku yang tersiksa di sini ....
"Dahlah. Gue ngantuk. Mau tidur duluan." Bocah itu berlalu ke sofa. Eh, dia ngalah ini ceritanya?
Aku sendiri mulai merebahkan badan di atas ranjang. Berulang kali kulihat bocah itu di sana. Apa dia sudah benar-benar tidur?
Aku beringsut turun dari ranjang sembari membawa selimut. Kasihan juga kalau nanti kedinginan.
Dengan langkah berjinjit, aku mendekat ke sofa. Kulambaikan tangan berulang kali di depan wajahnya. Sepertinya dia memang sudah tidur.
Saat tangan lagi melambai-lambai, tak kusangka dia menangkap tanganku. Sontak saja badanku panas dingin.
Perlahan matanya terbuka. "Tante ngapain?"
"I-itu tadi gue anu ...." Aku bingung sendiri jadinya ingin menjawab apa.
"Anu apa? Tante mau anu?"
Mataku melotot. Kutarik tanganku darinya dengan cepat. "Anu apaan? Dasar omes!"
Lalu aku teringat bahwa sedang memegang selimut. Astaga! Kenapa bisa pikun mendadak begini?
Aku melemparkan selimut padanya. "Nih! Gue cuma mau kasih selimut ini buat lu!"
Dia tersenyum, lalu memakai selimut dariku. Lah, kok, senyumnya manis? Sadar, Mayang! Sadar!
Aku kembali ke ranjang. Pemuda itu kembali memejamkan mata. Sampai berapa lama aku betah bersamanya?
Ini aku lagi jagain jodoh orang bukan, sih, ceritanya? Dia masih muda. Mungkin saja sekarang dia punya pacar. Ah, ngenesnya nasibku ini.
***
Mataku mengerjap pelan. Samar-samar kudengar percakapan orang di luar sana. Sepertinya ini sudah pagi.
Aku menggeliat pelan sembari membuka mata.
"Astaga!" Aku spontan melompat mundur. "Heh, bocah! Ngapain cengengesan di depan wajah orang? Mau macam-macam lu?"
Bangun pagi disambut sama wajah bocah itu rasanya ingin lompat kodok seketika. Mana wajahnya mepet banget di depan mata. Untung ganteng. Halah!
"Itu iler diusap dulu, Tan. Malu sama cowok ganteng ini." Dia beranjak menuju kamar mandi masih sambil cengengesan. Mengakui diri sendiri ganteng pula. Dasar narsis!
"Heh! Mana ada gue ngiler! Fitnah lu!" teriakku tak terima. Tapi sayang, dia sudah keburu masuk. Karena masih belum percaya dengan fitnahan recehnya, aku berjalan menuju cermin rias.
"Aish! Sejak kapan gue ngiler kek gini?"
**
"Habis sarapan kamu mau ke mana, El?"
Aku melirik Papa. Beliau sepertinya sudah sangat siap lahir batin punya menantu. Hebat! Anaknya saja tak pernah ditanya mau ke mana sehabis sarapan.
"Seperti kegiatan saya sebelumnya, Om. Ke bengkel."
"Kok, masih panggil Om? Panggil Papa lah. Kamu ini, kan, sudah jadi anak Papa juga."
"Wah! Kalian udah jadi keluarga bahagia rupanya," sindirku.
Mereka semua hanya mencebik menanggapi ucapanku. Kenapa pada kompak banget, sih? Aku jadi merasa dicurangi.
"Aku pamit, Pa, Ma." Rafael bangkit dari duduknya. Dia mencium tangan kedua orangtuaku. Halah! Pencitraan itu pasti.
"Hati-hati," tutur Mama. "May, salim sama suami, dong."
Mataku melebar lagi. Lama-lama bisa jadi kayak bola pingpong ini mata melebar mulu.
Dengan terpaksa, kusalami bocah tengil bin nyebelin itu.
"Aku berangkat, ya. Hati-hati nanti kerjanya," ucapnya sambil senyum manis. Wah! Apa dia sudah merencanakan ucapannya itu sejak semalam? Sok perhatian sekali dia. Biasanya manggil elo gue, mentang-mentang di depan Bonyok aku kamuan. Dih!
Saat aku memalingkan wajah karena merasa geli dengan ucapannya, dia menarik wajahku agar menghadapnya lagi. Lalu tanpa izin, dia mengecup keningku. Mama ... kening anakmu dinodai!
***
"Bu Nimas sama Pak Irwan itu orang kaya, ya. Tapi, kok, anaknya jadi perawan tua, sih?"
"Iya. Heran juga. Padahal wajah si Mayang nggak jelek-jelek amat. Apa mungkin dia nggak normal, ya?"
Begitulah celetukan para tetangga tiap kali melihatku pulang dari bekerja. Sebenarnya ingin sekali menutup telinga dari omongan mereka yang menyakiti hati. Tapi mau bagaimana lagi? Semua yang dikatakan mereka tidak salah. Aku memang seorang perawan tua.
Para perempuan seusiaku di daerah ini rata-rata sudah menikah dan memiliki anak. Tidak hanya satu, bahkan ada yang sudah memiliki empat anak.
Satu-satunya alasan yang membuatku masih sendiri sampai saat ini adalah karena rasa takut menjadi seorang istri. Rasa takut jatuh hati.
Banyaknya kasus perselingkuhan yang terjadi saat ini membuatku berpikir dua kali untuk menikah. Papa dan Mama sampai bosan menasehatiku setiap hari. Sebab tidak hanya aku yang mendapat cibiran warga, tapi mereka juga.
"Mama malu, May. Setiap kali Mama belanja sama ibu-ibu di sini, mereka selalu saja nanyain kapan kamu nikah. Bahkan mereka mengira kamu nggak normal. Sakit hati Mama mendengar ocehan mereka, May," keluh Mama saat itu.
Jujur sebenarnya aku kasihan juga pada mereka. Tapi aku benar-benar belum bisa membuka hati untuk siapapun saat ini. Aku masih nyaman sendiri.
"Papa kasih waktu satu minggu, May. Kamu cari calon suami. Mau kaya, mau miskin, Papa nggak peduli. Pokoknya kamu harus bawa calon suami dalam kurun waktu satu minggu," tegas Papa kala itu.
Sungguh, saat itu aku kesal, aku sangat terbebani. Diminta untuk melawan ketakutan sendiri itu sangat sulit. Rasanya lebih baik aku jadi perawan tua saja selamanya.
Namun takdir berkehendak lain. Papa tak sabar menungguku bergerak. Beliau mencarikan sendiri jodoh untukku. Dan itu adalah Rafael. Anak dari keluarga kurang mampu yang banyak berutang pada Papa.
Aku akui salah dan dosaku ini memang banyak. Dosaku bejibun, tak terhitung. Tapi kenapa harus seperti ini takdir hidupku?
"Aaa!" Untuk kesekian kalinya aku berteriak frustrasi di malam pertama.
"Tante berisik banget dah! Ngapain teriak-teriak mulu, sih? Minta dikelonin?"
Mataku melotot. Bocah ingusan ini memang selalu membuatku kesal. Dari awal pertemuan kami, dia memang sangat menyebalkan. Mama dan Papa juga tak kalah kejam.
Hanya karena sering mendapat cibiran dari para tetangga bahwa anaknya ini perawan tua, Papa dan Mama tega menikahkanku dengan bocah ingusan yang usianya bahkan dibawah tujuh tahun dariku. Beda usia tujuh tahun, gaes! Bayangkan! Aku lebih mirip induk bebek dari pada seorang istri. Dia masih dua puluh tahun. Ya ampun! Masih imut-imut harusnya. Tapi ini, kok, ya amit-amit.
Wajahnya lumayan cakep, sih. Hidungnya mancung juga. Cuma kulitnya kusam. Mungkin karena dia sering kerja di bengkel.
"Tante-tante! Gue masih muda, ya. Orang-orang aja yang mulutnya kelewat lemes," balasku tak terima.
Rafael tergelak. Ya, bocah ingusan sekaligus suamiku itu bernama Rafael. Namanya juga keren, sih. Tapi orangnya nyebelin pakai buanget.
"Iye, masih muda emang. Sepuluh tahun yang lalu." Dia tergelak kali ini. Benar-benar memang ini bocah ngajak gelud mulu dari tadi.
Aku mengambil bantal dan melemparnya ke muka bocah ingusan itu. Bukannya diam, tawanya malah makin kencang.
"Ketawa aja teros! Gue sumpahin itu mulut mangap terus nggak bisa mingkem!"
"Astaga, Tante jahat banget," ucapnya sok polos. Hih! Makin pengen nimpuk pakai telenan sekarang.
"Tenang, Tan. Sebenarnya gue juga nggak pengen nikah muda begini. Tapi tawaran Papa mertua benar-benar menggiurkan. Kalau gue bersedia menyelamatkan elu dari julukan perawan tua, utang-utang nyokap gue lunas. Sayang, kan, kalau ditolak."
Ya, aku sudah tahu alasan itu. Papa dan Mama memberikan sebuah tawaran yang sama-sama menguntungkan untuk kedua belah pihak. Anaknya yang perawan tua ini dapat jodoh, sementara utang-utang Ibu bocah ingusan itu dianggap lunas. Tapi aku yang tersiksa di sini ....
"Dahlah. Gue ngantuk. Mau tidur duluan." Bocah itu berlalu ke sofa. Eh, dia ngalah ini ceritanya?
Aku sendiri mulai merebahkan badan di atas ranjang. Berulang kali kulihat bocah itu di sana. Apa dia sudah benar-benar tidur?
Aku beringsut turun dari ranjang sembari membawa selimut. Kasihan juga kalau nanti kedinginan.
Dengan langkah berjinjit, aku mendekat ke sofa. Kulambaikan tangan berulang kali di depan wajahnya. Sepertinya dia memang sudah tidur.
Saat tangan lagi melambai-lambai, tak kusangka dia menangkap tanganku. Sontak saja badanku panas dingin.
Perlahan matanya terbuka. "Tante ngapain?"
"I-itu tadi gue anu ...." Aku bingung sendiri jadinya ingin menjawab apa.
"Anu apa? Tante mau anu?"
Mataku melotot. Kutarik tanganku darinya dengan cepat. "Anu apaan? Dasar omes!"
Lalu aku teringat bahwa sedang memegang selimut. Astaga! Kenapa bisa pikun mendadak begini?
Aku melemparkan selimut padanya. "Nih! Gue cuma mau kasih selimut ini buat lu!"
Dia tersenyum, lalu memakai selimut dariku. Lah, kok, senyumnya manis? Sadar, Mayang! Sadar!
Aku kembali ke ranjang. Pemuda itu kembali memejamkan mata. Sampai berapa lama aku betah bersamanya?
Ini aku lagi jagain jodoh orang bukan, sih, ceritanya? Dia masih muda. Mungkin saja sekarang dia punya pacar. Ah, ngenesnya nasibku ini.
***
Mataku mengerjap pelan. Samar-samar kudengar percakapan orang di luar sana. Sepertinya ini sudah pagi.
Aku menggeliat pelan sembari membuka mata.
"Astaga!" Aku spontan melompat mundur. "Heh, bocah! Ngapain cengengesan di depan wajah orang? Mau macam-macam lu?"
Bangun pagi disambut sama wajah bocah itu rasanya ingin lompat kodok seketika. Mana wajahnya mepet banget di depan mata. Untung ganteng. Halah!
"Itu iler diusap dulu, Tan. Malu sama cowok ganteng ini." Dia beranjak menuju kamar mandi masih sambil cengengesan. Mengakui diri sendiri ganteng pula. Dasar narsis!
"Heh! Mana ada gue ngiler! Fitnah lu!" teriakku tak terima. Tapi sayang, dia sudah keburu masuk. Karena masih belum percaya dengan fitnahan recehnya, aku berjalan menuju cermin rias.
"Aish! Sejak kapan gue ngiler kek gini?"
**
"Habis sarapan kamu mau ke mana, El?"
Aku melirik Papa. Beliau sepertinya sudah sangat siap lahir batin punya menantu. Hebat! Anaknya saja tak pernah ditanya mau ke mana sehabis sarapan.
"Seperti kegiatan saya sebelumnya, Om. Ke bengkel."
"Kok, masih panggil Om? Panggil Papa lah. Kamu ini, kan, sudah jadi anak Papa juga."
"Wah! Kalian udah jadi keluarga bahagia rupanya," sindirku.
Mereka semua hanya mencebik menanggapi ucapanku. Kenapa pada kompak banget, sih? Aku jadi merasa dicurangi.
"Aku pamit, Pa, Ma." Rafael bangkit dari duduknya. Dia mencium tangan kedua orangtuaku. Halah! Pencitraan itu pasti.
"Hati-hati," tutur Mama. "May, salim sama suami, dong."
Mataku melebar lagi. Lama-lama bisa jadi kayak bola pingpong ini mata melebar mulu.
Dengan terpaksa, kusalami bocah tengil bin nyebelin itu.
"Aku berangkat, ya. Hati-hati nanti kerjanya," ucapnya sambil senyum manis. Wah! Apa dia sudah merencanakan ucapannya itu sejak semalam? Sok perhatian sekali dia. Biasanya manggil elo gue, mentang-mentang di depan Bonyok aku kamuan. Dih!
Saat aku memalingkan wajah karena merasa geli dengan ucapannya, dia menarik wajahku agar menghadapnya lagi. Lalu tanpa izin, dia mengecup keningku. Mama ... kening anakmu dinodai!
***
"Bu Nimas sama Pak Irwan itu orang kaya, ya. Tapi, kok, anaknya jadi perawan tua, sih?"
"Iya. Heran juga. Padahal wajah si Mayang nggak jelek-jelek amat. Apa mungkin dia nggak normal, ya?"
Begitulah celetukan para tetangga tiap kali melihatku pulang dari bekerja. Sebenarnya ingin sekali menutup telinga dari omongan mereka yang menyakiti hati. Tapi mau bagaimana lagi? Semua yang dikatakan mereka tidak salah. Aku memang seorang perawan tua.
Para perempuan seusiaku di daerah ini rata-rata sudah menikah dan memiliki anak. Tidak hanya satu, bahkan ada yang sudah memiliki empat anak.
Satu-satunya alasan yang membuatku masih sendiri sampai saat ini adalah karena rasa takut menjadi seorang istri. Rasa takut jatuh hati.
Banyaknya kasus perselingkuhan yang terjadi saat ini membuatku berpikir dua kali untuk menikah. Papa dan Mama sampai bosan menasehatiku setiap hari. Sebab tidak hanya aku yang mendapat cibiran warga, tapi mereka juga.
"Mama malu, May. Setiap kali Mama belanja sama ibu-ibu di sini, mereka selalu saja nanyain kapan kamu nikah. Bahkan mereka mengira kamu nggak normal. Sakit hati Mama mendengar ocehan mereka, May," keluh Mama saat itu.
Jujur sebenarnya aku kasihan juga pada mereka. Tapi aku benar-benar belum bisa membuka hati untuk siapapun saat ini. Aku masih nyaman sendiri.
"Papa kasih waktu satu minggu, May. Kamu cari calon suami. Mau kaya, mau miskin, Papa nggak peduli. Pokoknya kamu harus bawa calon suami dalam kurun waktu satu minggu," tegas Papa kala itu.
Sungguh, saat itu aku kesal, aku sangat terbebani. Diminta untuk melawan ketakutan sendiri itu sangat sulit. Rasanya lebih baik aku jadi perawan tua saja selamanya.
Namun takdir berkehendak lain. Papa tak sabar menungguku bergerak. Beliau mencarikan sendiri jodoh untukku. Dan itu adalah Rafael. Anak dari keluarga kurang mampu yang banyak berutang pada Papa.
Kuusap keningku berkali-kali agar bekas ciuman si Rafael hilang. Tapi sebenarnya kalau dipikir-pikir, dia tidak salah juga. Aku ini, kan, istrinya. Mau diapain juga sudah halal. "Kamu kenapa, sih, May? Dari tadi Mama lihatin itu kening diusap-usap mulu. Pusing?" Aku memutar bola mata malas. "Iya, pusing banget. Mual, mau muntah juga," jawabku asal. Di luar dugaan, Mama malah menganga sambil melotot, "Wah! Hebat banget si Rafael, ya. Baru juga semalam, udah tokcer aja." Yasalam! Apa yang sedang dipikirkan Mama sekarang? "Tokcer apanya, sih, Ma? Mama pikir aku hamil gitu? Astaga, Ma! Mana ada orang baru tidur bareng semalam langsung hamil? Lagian kami juga nggak ngapa-ngapain, kok," jawabku kesal. Mama tergelak, lalu melenggang meninggalkanku begitu saja. Puas banget itu ketawanya. Rasanya seisi rumah ini lama-lama membuatku n
Biar sajalah. Itu bukan urusanku. Eh, tapi tadi bajunya masih basah itu. Kalau dia masuk angin bagaimana? Sepertinya orang yang meneleponnya tadi sangat penting bagi Rafael sampai-sampai dia mengabaikan diri sendiri seperti itu. Ah, sudahlah. Lebih baik aku membersihkan diri lalu istirahat. Urusan Rafael bukan urusanku. ** Malam sudah makin larut. Tapi Rafael belum kembali juga. Sebenarnya dia pergi ke mana? Jika terjadi apa-apa padanya, bisa-bisa aku yang kena omel Papa Mama. Baru saja hendak meraih ponsel di atas nakas untuk menghubungi bocah itu, kulihat pintu kamar terbuka. Syukurlah dia sudah kembali. "Dari mana?" tanyaku serius. Rafael menatapku sekilas. Tanpa menjawab, dia melepas jaket, lalu menyambar handuk di cantelan. Wajahnya jadi tambah kusut sekarang. Baiklah. Sepertinya dia tidak mau berbagi denganku. Aku mera
Aku memijat kepala yang berdenyut. Berapa lama lagi aku harus menghabiskan waktu bersamanya? Yang ada nanti aku bisa gila jika terlalu lama bersama pemuda selengekan itu. Aku bersiap hendak pergi ke toko. Sebenarnya terkadang aku merasa bosan juga dengan kegiatanku sehari-hari. Bangun tidur, ke toko, pulang, tidur lagi. Seperti itu terus. Aku sangat jarang menghabiskan waktu di luar untuk sekadar bertemu teman. Ah, aku bahkan tidak punya teman dekat. Meski itu perempuan sekali pun. "May! Ayo sarapan dulu! Itu Ayang Beb kamu udah nungguin!" Eh, apaan? Ayang beb? Mama apaan, sih? Aku membuka pintu dengan kasar. Dapat kulihat raut terkejut di wajah malaikatku itu. "Ayang beb apaan, Ma, maksudnya?" tanyaku dengan malayangkan tatapan tajam. "Ya suami kamu lah. Siapa lagi coba?" jawab Mama dengan santainya. Dan seperti biasa, setelah menjawabku, beliau
Rafael mendekatkan wajah di samping telingaku, "Bahkan lo nggak bisa menghindar saat gue lakukan ini. Nanti pun, elo nggak akan bisa menghindar saat menyadari perasaan lo sama gue."Aku menelan ludah dengan susah payah. Bisikan Rafael seperti angin yang menggelitik di telinga.Sadar, Mayang! Sadar!Aku menatapnya tajam. Lalu menginjak kakinya sekuat tenaga."Adaw! Sakit, Tan! Elah tega bener!" Rafael sibuk lompat-lompat sambil memegangi kakinya."Makanya jangan suka curi kesempatan dalam kesempitan!" sengitku. Aku kembali berjalan dengan kaki sedikit mengentak. Kesal sekali rasanya."Eh, mana ada gue ambil kesempatan dalam kesempitan? Orang di sini tempatnya luas begini."Aku berbalik. Menatapnya masih dengan tatapan tajam, "Lo ngeselin banget, sih!"Rafael tergelak. Lalu buru-buru berlari dariku. Argh! Aku bisa benar
Meski awalnya aku sangat keberatan dengan rencana bulan madu konyol ini, tapi setelah melaluinya, rasanya tidak buruk. Rafael bukan lelaki yang terlalu suka ikut campur. Dia juga bukan pemaksa. Bahkan aku yang cenderung mengatur di sini. Seperti saat ini, aku mengajaknya jalan-jalan ke pantai. Dia tak menolak, juga tidak keberatan. "Serius, Tan, elo belum pernah pacaran sekali pun? Atau mungkin suka sama orang gitu?" Aku menggeleng. "Kalau pacaran nggak pernah. Kalau suka sama orang pernah. Dulu waktu masih SD." "Jiah! Itu, sih, namanya cinta kunyuk, Tan." Aku tergelak mendengarnya bilang cinta kunyuk. Rafael ini ternyata humoris juga. Tapi kadang humorisnya nyebelin. "Jadi, elo juga belum pernah gandengan tangan kayak gini, dong?" Tanpa izin seperti semalam, dia menggandeng tangan kananku sambil senyum-senyum. Aku mencoba melepasnya, tapi genggam
Hari ini kami telah kembali ke rumah. Meski hanya menghabiskan waktu untuk bersenang-senang, tapi rasanya lelah juga. Mungkin lelah karena perjalanan yang jauh."Gimana bulan madunya? Lancar nggak? Mama bisa cepet dapet cucu, kan?"Entah kenapa aku geli mendengar pertanyaan Mama barusan. Anaknya baru saja sampai bukannya ditanya kabar ini malah ditanya cucu."Aku capek, Ma. Mau istirahat dulu." Aku melenggang ke lantai atas. Ke kamarku dan Rafael. Sementara bocah itu mengekor di belakangku."Wah! Kayaknya mereka menggebu-gebu banget pas di sana, Pa. Lihat itu si Mayang sampai kecapekan kayak begitu," celetuk Mama sambil cekikikan. Sumpah, ya. Nggak Mama, nggak Papa, semua makin rese.Semenjak turun dari taksi tadi, kulihat Rafael hanya diam. Biasanya jika berbicara dengan Papa dan Mama, dia yang paling semangat menanggapi."Eh, lo kenapa diem bae?" tanyaku se
Sungguh, napasku bagai berhenti saat ini. Kurasa persediaan oksigen di sekitarku mendadak habis.Rafael kembali melangkah ke ranjang. Dia mengambil selimut dari sana, lalu merebahkan badan ke sofa. Aku baru bisa bernapas lagi setelah dia beranjak. Sungguh, bocah itu sepertinya memang memiliki kekuatan untuk membuat orang lain mati kutu.Baru saja aku merasa lega dan hendak menuju ranjang, kurasakan perutku sakit. Rasanya seperti ditusuk-tusuk, dicampur rasa perih dan juga mual. Ah, sangat tidak nyaman."Lo kenapa, Tan?" Rafael sigap membantuku berjalan sampai ke ranjang."Nggak tahu. Kayaknya maag gue kambuh. Baru juga tadi siang nolongin orang yang maag-nya kambuh. Eh sekarang gue sendiri yang ngalamin," jawabku dengan tangan memegangi perut."Tunggu sebentar. Gue cariin obat dulu." Rafael berlari keluar. Wajahnya tampak panik. Mungkin takut jika aku kenapa-kenapa. Dia perhatian
Toko kue kututup pada jam tujuh malam. Aku bergegas pulang setelah ingat bahwa Rafael tadi pagi berjanji akan mengajakku ke rumah Tata. Aku sungguh penasaran dengan perempuan itu. Seperti apa rupa dan sifatnya sampai-sampai Rafael begitu yakin bahwa akun itu bukan miliknya? Aku tiba di rumah bersamaan dengan Rafael. Dia juga baru sampai. Tiba-tiba saja dia merangkul bahuku dari samping. Sok akrab! Aku menghentikan langkah. Otomatis langkahnya pun terhenti. "Lo bilang tadi mau ajak gue ke rumah Tata?" Bukannya menjawab, Rafael justru menatapku lekat. Rasanya jadi salah tingkah begini. Ini bocah benar-benar pinter banget bikin orang kikuk. Aku meraup wajahnya hingga dia tertawa. "Woi! Denger nggak gue nanya apaan?" "Denger, Tan. Gue cuma lagi menikmati indahnya ciptaan Allah aja. Meski dalam keadaan lelah begini, lu tetep aja cantik," ucapnya pelan. Terdengar begitu tulus
"Mas! Mas!" Aku memukul-mukul lengan Rafael."Apa, sih, Sayang? Bahaya ini lagi nyetir jangan dipukul-pukul.""Berhenti dulu coba."Mobil menepi. Mesin pun dimatikan. Aku langsung menunjukkan foto-foto di akun Fatih pada Rafael."Jadi, Talita nikah sama orang ini? Dia yang pernah meriksa Ibu di rumah, kan?" Rafael bertanya.Aku mengangguk. Jemariku bergerak cepat menelusuri profilnya kembali untuk mendapatkan alamatnya.**Rumah mewah dua lantai sudah terpampang di depan mata. Inikah rumah Mas Fatih? Beruntung sekali Talita mendapatkan lelaki mapan seperti Mas Fatih."Ayo, Mas!" Aku menggandeng tangan Rafael. Tiba di depan pintu, aku menekan belnya.Cukup lama juga kami menunggu. Sekitar lima menit lebih, pintu baru terbuka. Seraut wajah perempuan yang aku cari, muncul di sebaliknya. Perempuan itu sangat jauh berbeda sekarang. Dia mengenakan jilbab lebar dan gamis. Sungguh cantik."Mbak Mayang?" Talita tiba-tiba memelukku. "Maafin saya, Mbak. Sungguh, saya benar-benar menyesal."Aku m
"Lepasin, Mas! Aku mau habisin perempuan itu!" Fira berteriak lagi."Jangan gila, Fira!" Ammar berusaha sekuat tenaga untuk merebut pisau itu dari tangan istrinya.Pelukan Rafael semakin erat aku rasa. Terutama saat tiba-tiba Ammar memekik. Perutnya tertusuk pisau!"Ammar!" Aku memekik histeris. Pisau terjatuh dari tangan Fira. Tubuh Ammar ambruk. Disusul dengan Fira yang luruh ke lantai. Perempuan itu memandangi tangannya yang berlumuran darah."Maafin aku, Mas! Aku nggak bermaksud buat nyakitin kamu!" Fira menangis penuh sesal. Cinta, jika terlalu tak tahu diri, akibatnya akan menyakiti dan merugikan diri sendiri.***Isak tangis dari dua wanita beda generasi di kursi tunggu semakin menambah suasana memilukan. Ammar masih menjalani penanganan. Sementara Fira digelandang ke kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bersyukur Papa bergerak cepat lapor polisi tadi.Sekarang aku dan Rafael masih menunggu kabar dari Dokter mengenai keadaan Ammar. Sejak tadi, tautan di tan
"F-Fira? Kamu ngapain di sini?"Fira melangkah masuk. Dia duduk di sebelahku. Rafael hendak berdiri, tapi kucegah."Bu Mayang dari rumah saya, ya? Bu Mayang baik banget pakai jenguk Ibu saya segala," ucapnya penuh haru. Sungguh, perempuan ini sangat misterius bagiku. Kupikir, dulu kami sangat dekat dan saling mengerti satu sama lain. Nyatanya tidak. Dia sulit untuk kumengerti.Sebuah sentakan kasar dari Ammar di bahu Fira, membuat tubuh perempuan itu berbalik."Hentikan omong kosongmu, Fira! Jangan macam-macam di sini!" Ammar berucap nyalang. Aku khawatir jika Alvin akan terbangun karena hal ini."Kamu kenapa, sih, Mas? Kamu terus aja mojokin aku. Kamu terus aja belain Bu Mayang. Apa-apa selalu Bu Mayang. Sebenarnya yang istri kamu itu aku atau dia?"Aku tercengang. Bukankah kalimat Fira barusan ini merupakan bentuk rasa cemburunya terhadapku? Sebelumnya aku tidak pernah melihat Fira bersikap sekasar ini saat membicarakanku.Ammar terdiam. Dapat kulihat dia melirikku sungkan."Kenapa
"Mas, mereka bawa pistol!" pekikku."Sial!" Rafael menginjak pedal gas makin dalam. Mobil kami meliuk-liuk di jalanan. Dari kaca spion, pengendara motor itu masih mengejar. Siapa mereka sebenarnya? Apa ini ada hubungannya dengan Fira juga?"Gimana ini, Mas?" tanyaku panik."Tenang saja. Kamu pegangan yang kuat. Aku akan menambah kecepatan." Rafael semakin fokus ke jalanan. Keringatnya mulai mengalir di pelipis. Aku tahu dia tegang setengah mati.Aku memejamkan mata sembari berdoa. Bunyi tembakan yang bergema membuat rasa takutku makin nyata.Mobil kami oleng. Sebuah peluru sepertinya berhasil melubangi ban mobil kami. Rafael membanting stir ke kiri. Lalu setelahnya semua berubah gelap.***Mataku mengerjap. Bau menusuk yang sangat familiar menyerbu hidung. Sepertinya belum lama ini aku juga mencium bau seperti ini.Kuarahkan pandangan ke samping kiri. "Ma?""Mayang? Alhamdulillah kamu sudah sadar, Nak."Aku mencoba bangkit dengan kedua tangan di belakang sebagai tumpuan."Jangan banya
Aku menatap Mama Ammar dengan sorot meminta penjelasan.Helaan napas panjang terdengar dari bibirnya. "Benar, Nak. Fira itu aneh. Dulu saya pikir dia gadis yang baik. Tapi makin ke sini, ternyata dia menakutkan. Terkadang dia marah-marah nggak jelas. Terkadang juga dia terlihat begitu baik. Seperti dua orang yang berbeda."Aku berpandangan dengan Rafael. Alis laki-laki itu terangkat. Apa mungkin Fira memiliki kepribadian ganda? Sepertinya kami mulai menemukan titik terang sekarang."Apa Ammar tahu?" Rafael bertanya."Ya, dia tahu. Bahkan dia sempat ingin mengakhiri rumah tangganya. Hanya saja demi menjaga nama baik perusahaan, dia masih bertahan sampai sekarang. Usia pernikahan mereka masih seumur jagung. Jika bercerai sekarang, pasti akan banyak pertanyaan dari berbagai pihak."Benar juga. Selain itu, sikap Fira yang aneh juga pasti memengaruhi perusahaan Ammar."Bu, apa boleh saya minta alamat rumah Fira? Saya ingin menjenguk Ibunya yang dia bilang baru saja sakit.""Tentu saja bole
Sepertinya aku harus berkunjung ke rumah Fira untuk memastikan. Tapi sebelum itu, aku akan ke rumah Ammar terlebih dahulu."Gimana anak-anak selama kamu tinggal, Fir? Pembukuannya bener nggak?" tanyaku. Untuk saat ini aku harus bersikap biasa saja."Bener, kok, Bu. Mereka udah mulai terbiasa kayaknya."Ada beberapa pembeli yang datang. Membuat percakapanku dengan Fira terhenti. Aku beralih pada Rafael yang sedang terpaku pada layar ponselnya."Mas, bisa antar aku ke tempat lain?"Dia memasukkan ponsel ke saku celana. "Bisa, dong. Mau ke mana? Beli bakso? Atau beli cilok?"Aku mencebik. "Bukan! Aku mau ke suatu tempat."Kami beranjak. "Fir, saya pergi, ya. Titip toko," pamitku.Fira mengacungkan jempolnya. Apa iya perempuan baik seperti dia tega menyakiti atasannya sendiri? Bahkan aku sudah menganggapnya seperti saudara sendiri."Kita mau ke mana, Sayang?" Rafael bertanya seiring dengan mesin mobil yang mulai menyala."Kita ke rumah Ammar, Mas."Pijakan pada pedal gas, urung dia lakuka
Puas bermain dengan Alvin, aku kembali ke kamar sendiri bersama Rafael. Sementara bocah itu bermain bersama kedua neneknya. Bersyukur, keadaan Ibu semakin membaik sekarang."Mau mandi?" tanya Rafael saat melihatku melepas atasan.Aku mengangguk. "Hu um. Gerah aku.""Mau dimandiin nggak?" Alisnya bergerak naik turun dengan jahil."Ish! Apaan, sih?" Aku menyambar handuk di cantelan, lalu melenggang ke kamar mandi."Dimandiin suami itu enak, lho. Punggung ada yang gosokin. Pasti punggung kamu tuh banyak bolotnya," seloroh Rafael dari luar.Aku mencebik. "Enak aja! Aku selalu bersih, ya, mandinya. Nggak kayak kamu."Dia tertawa. "Cepetan mandinya. Aku juga gerah."Aku mendengkus. Dasar tukang maksa!Usai mengenakan handuk, aku berjalan keluar. Aku terlonjak kaget saat melihat sosoknya berdiri di samping pintu kamar mandi."Ih! Ngagetin orang aja!" Aku memukul lengannya pelan.Dia meringis. Lalu berjalan melewatiku. Sebuah sentakan kurasakan pada simpul handuk. Seketika benda itu melorot.
Setelah keadaanku membaik, kami bertiga kembali pulang. Proyek kami harus tertunda entah sampai kapan. Aku masih ingin mengusut kasus ini."Makasih sudah mengantar, Mar," ucapku sebelum turun dari taksi. Ammar ikut serta mengantar sampai rumah. Alasannya ingin memastikan aku sampai di depan pintu dengan selamat."Oke. Aku pergi dulu." Taksi mulai melaju kembali. Dengan langkah lunglai, kuseret koper di tangan."Loh, May? Kamu sudah pulang? Katanya seminggu? Ini baru berapa hari, kok, sudah pulang?" Mama menyambutku dengan beberapa pertanyaan. Kebiasaan memang. Bukannya dipeluk atau dicium gitu, malah dikasih banyak pertanyaan.Aku mencium tangannya. "Alvin mana, Ma?""Lagi tidur siang. Kamu ini ditanya, kok." Mama kembali mengingatkan."Ceritanya panjang, Ma. Aku capek banget sekarang. Aku istirahat dulu, ya." Aku berjalan melewati Mama. Pasti beliau heran melihat sikapku yang tidak bersemangat seperti biasanya.Aku berjalan menuju kamar Alvin. Bocah itu sedang terlelap. Kuciumi wajah
Mataku mengerjap perlahan. Bau menyengat seketika terhidu begitu mata terbuka lebih lebar .Pandangan semakin kuperjelas. Tirai hijau yang menggantung di sebelah, mengingatkanku saat melahirkan Alvin. Mungkinkah aku sekarang juga ada di rumah sakit?Kugerakkan mata ke samping. Di sana tertunduk seorang lelaki muda. Lalu di sebelahnya, lelaki paruh baya tampak cemas dengan ponsel menempel di telinga."Ammar?" panggilku lirih.Kedua lelaki di sana menghambur padaku."May, kamu sudah sadar? Gimana perasaanmu? Maksudku, apa yang kamu rasakan sekarang?" Ammar bertanya cemas. Sementara Pak Brata hanya menyaksikan dengan raut wajah tak kalah cemas."Pusing," jawabku lemah.Laki-laki tampan di depanku ini mendengkus kesal. "Pak, ini sudah nggak benar. Pasti ada yang sengaja ingin meracuni Mayang," semprotnya pada Pak Brata."Ya, saya tahu, Pak Ammar. Nanti saya akan mencaritahu lewat ruang pengendali CCTV. Siapa tahu kita bisa dapat bukti dari sana. Dan untuk proyek kita, sepertinya kita tund