“Pikirin dech solusinya,” cetus Gusti tak mau repot kali ini. Cukup tadi direpotkan dengan ban mobil.
Johan beranjak keluar ruangan guna mendapat kelonggaran dada yang terasa sempit. Udara dingin menyapu wajah dan rambut hitamnya, serta kulit cokelat yang tersinar cahaya lampu. Johan benar-benar mencuri perhatian. Sayang, tidak ada yang melihat penampilan sempurna itu selain suster klinik dan dokter jaga.
“Gus, kamu pulang dech, biar aku antar dia pulang.”
“Kamu yakin? Terus motor dia gimana?”
Johan menghela napas dalam-dalam di dinginnya udara malam yang semakin pekat.
“Kalau boleh kamu mampir ke kafe, titip sama pihak kafe –“
“Mana ada yang mau dititipin? Kamu pikir klub malam? Kalau itu memang udah ada yang jagain, ditinggal pemilik juga masa bodoh. Tinggal bayar uang parkir sesuai peraturan.”
Gusti benar dan menyolot agar Johan mengerti bahwa menyelesaikan masalah t
“Nama Abang siapa?” tanya Marina masih dengan kegelisahan di wajah. “Gusti.” Marina mengangguk pelan setelah Gusti bercerita panjang lebar hingga tenggorokannya kering dan haus. Hingga cerita itu berakhir pun, Johan belum kembali ke klinik. Pun Marina belum menjawab pertanyannya sejak tadi. “Maaf, tadi saya dengar obrolan kamu dan dokter. Kamu nggak punya riwayat asma, tapi bisa sesak napas begitu, kenapa? Karena teman saya bilang awalnya kamu nggak apa-apa. Tiba-tiba udah tremor dan sesak napas.” “Saya nggak apa-apa, memang sering kambuh kalau udah cemas,” lirihnya menyadari jawabannya akan memancing pertanyaan berikutnya. Gusti mengambil ponsel dan terkejut melihat jam di layar. Dia menghubungi Johan yang tidak tahu di mana rimbanya. Tiga kali tersambung tetapi tak satu pun panggilannya dijawab. “Makasih ya, Bang. Maaf, saya …” Marina berhenti merasa dadanya sakit seperti ditekan. “Ngerepotin.” Marina menghela napas lagi. “Te
“Terus, masih belum coba-coba buka hubungan baru abis cerai?” Gusti meletakkan ponsel. Pelayan warung datang membawa sepiring udang goreng tepung, sepiring sambal petai, sepiring parkedel, dua piring nasi, dua porsi cah kangkung, dua gelas es teh manis dan air tawar. Hiruk pikuk selama jam makan siang memang selalu tidak bisa dihindari. Riuh suara mesin kendaraan dan pelanggan warung memenuhi telinga kedua lelaki itu. Terutama di warung makan tempat mereka berada sekarang. Pelayan tersebut kembali melayani pelanggan lainnya, usai Gusti mengucap terima kasih sembari tersenyum. Pria itu dan Johan menuang lauk dan sayur ke piring nasi, mengambil sepotong perkedel dan sambal petai secukupnya. Gusti melirik jam tangan dan membalas pesan sebelum mengaduk nasi. Tersisa satu jam lagi sebelum balik ke kantor. “Belum. Bukan aku gak mau atau gak bisamove on, tapi masih sakit, Gus. Gak tahu juga dech, tiap kali mau mulai coba, hatiku
Marina menaruh helm di atas kursi setibanya di warung makan Padang miliknya. Warung makan yang dibuka sejak empat tahun silam itu, sukses menjadi warung makan yang ramai disambangi. Warungnya hanya buka dari jam sepuluh pagi sampai jam empat sore. Marina yang hanya lulusan SMA tidak punya keahlian untuk 'dijual' di dunia perkantoran. Hanya memasak yang dia bisa, masakannya juga enak. Selepas bercerai, dia memutuskan membangun hidup baru, mengobati luka, dengan bangkit membuka usaha kuliner untuk menyambung hidup. “Kakak ke atas dulu, ya.” Marina meletakkan tas selempang di atas kasur. Menggulung rambut hingga menjadi sanggul cepol sebelum duduk di depan cermin yang digantung di dinding kamar lantai dua. Dia memandangi dirinya yang tampak kusam dan lelah. Jerawat besar di kening dan empat jerawat beruntus di pipi dan dagu. Jerawat radang yang tidak gatal tapi terasa sakit meski tidak disentuh, dan jerawat beruntus yang gatal tapi sakit sa
Marina duduk di ruangannya tengah merenung, dengan pena di tangannya mengetuk-ngetuk kertas yang sedang ditulisnya. Dia sedang mencari cara untuk bisa mengembalikan uang Johan yang ada padanya. Jam dinding Kalpataru menunjukkan pukul 08.28 malam. Marina tidak lapar tapi merasa ingin makan sesuatu. Dia naik ke lantai dua mengambil sweaterdan kunci motor. Janda muda itu lebih suka bermotor ria pada malam hari, karena suasananya terasa lebih romantis menurutnya. Apalagi Marina sedang dalam masa mencari suami baru. Siapa tahu ketemu jodoh di jalan. *** Sambil menunggu pesanannya, Marina duduk setelah memakirkan motornya di tempat penjual sate kambing di pinggir jalan. Setelah berputar-putar mencari tempat nongkrong outdoor yang asik tanpa ribet, Marina menjatuhkan pilihan berhenti di gerobak sate yang baru pertama kali disinggahinya. Penjual sate langganannya ternyata sudah empat hari tidak jualan, sedang pulang kampung kata
Riska sudah siap dengan semua perlengkapan untuk acara promo tahunan bersama timmarketing, tim penjualan, dan tim terkait yang kini berada di pelataran parkir lapangan tembak. Mereka harus bekerja keras untuk menarik perhatian pengunjung lapangan yang pagi itu sangat ramai. Menjual produk lebih banyak demi bonus yang dijanjikan diluar bonus tahunan, bila target penjualan di hari itu tercapai. Gusti bersiap menuju mobil kantor untuk menjemput nasi kotak, menggantikan Vina yang tiba-tiba tidak bisa menyelesaikan bagian tugasnya karena Suroso meminta tambahan dana untuk segera dikeluarkan. Dia berdecak kesal karena pekerjaan itu seharusnya bisa dilakukan oleh supir kantor. Faktanya, mereka semua terlibat dalam sesi penjualan produk melihat antusiasme pengunjung yang cukup tinggi. Mau tidak mau, Suroso harus melibatkan tenaga mereka dalam sesi penjualan. “Des, Vira mana?” “Ha? Apa?” teriak Desi. Dia tidak mendengar karena su
Johan baru saja selesai mandi ketika ponselnya yang tergeletak di atas kasur berbunyi. Buliran air pada rambut yang dikeramas menyisakan tetes air yang jatuh di pinggiran wajah dekat telinga dan juga bahu. Laki-laki itu hanya mengenakan celana pendek katun. Kulit cokelatnya yang bersih membuat Johan semakin terlihat menawan. Anakku hampir pingsan menunggumu di teras, buka pintu buruan! Johan segera keluar kamar setelah membaca pesan yang membuat jantungnya hampir copot. Dia terkejut saat pintu dibuka, melihat Gusti sudah berdiri di depan pintu dengan sebuah tas bayi dan anaknya dalam gendongan. “Kenapa gak bilang-bilang kemari?” Johan membuka pintu lebar-lebar. “Kelamaan! Nunggu buka pintu aja sampe sepuluh menit. Bisa kehujanan aku di jalan kalau harus telepon dulu. Kasihan anakku.” Gusti menerobos masuk tanpa mengucap salam dan meletakkan tas bayinya di meja tamu. Johan menutup pintu sambil geleng-geleng kepala melihat kelakuan sohi
"Abang nginep di rumah Johan. Semalam main ke sini, pas nyampe malah hujan gak berhenti. Si Melly juga badannya anget, gak berani Abang bawa pulang," jelas Gusti video calldengan istrinya. "Astaghfirullahal'adzim! Trus, udah Abang kasih obat? Gimana kondisinya sekarang? Badannya masih panas? "Udah, untung kebawa obat panasnya semalam. Panasnya udah mulai mendingan." Gusti menggeser kamera memperlihatkan Melly yang tengah tertidur pulas. Dia kembali fokuskan kamera ke wajahnya dan melihat air muka khawatir di wajah istrinya. "Udah, kamu siap-siap, nanti ketinggalan pesawat. Hati-hati di jalan, jangan cemas. Insha Allah, Melly gak apa-apa dengan doa kamu ibunya." "Iya, dech. Pergi dulu ya, Bang. Jangan ngerepotin bang Johan. Assamu'alaikum. Muahhh!" "W*'alaikumussalam. Muaahhh!" Gusti keluar kamar membawa saat melihat Johan membawa belanjaan. "Kamu belanja, Jo? Uang darimana?" Gusti
Marina berputar-putar di depan cermin mematut diri dengan celana jeans putih dan tunik bunga selutut berlengan panjang. Marina tidak suka memakai baju terbuka. Tidak sopan kata bapak dan ibunya. Pagi ini dia akan ke ATM untuk setor uang hasil penjualan kemarin. Itu dilakukannya setiap hari. Tiga puluh lima menit kemudian, Marina menatap malas pintu masuk bank, saat matanya menangkap tulisan di mesin setor tunaiMAAF ATM SEDANG DALAM PERBAIKAN.Antrian panjang di dalam ruangan benar-benar memuakkan. Marina dan semua orang tentu saja tidak suka itu. Dia juga malas mencari mesin setor tunai yang lain. Jauh. Marina akhirnya masuk ke dalam bank, berdiri di pintu masuk, melihat ke dalam ruangan yang... Sesak. Matanya tertuju ke layar monitor yang menunjukkan angka 005 untuk antrianteller, lalu pindah ke jam dinding di jarum pendek 10.05. 'Anda tidak beruntung.'