Johan baru saja selesai mandi ketika ponselnya yang tergeletak di atas kasur berbunyi. Buliran air pada rambut yang dikeramas menyisakan tetes air yang jatuh di pinggiran wajah dekat telinga dan juga bahu. Laki-laki itu hanya mengenakan celana pendek katun. Kulit cokelatnya yang bersih membuat Johan semakin terlihat menawan.
Anakku hampir pingsan menunggumu di teras, buka pintu buruan!
Johan segera keluar kamar setelah membaca pesan yang membuat jantungnya hampir copot. Dia terkejut saat pintu dibuka, melihat Gusti sudah berdiri di depan pintu dengan sebuah tas bayi dan anaknya dalam gendongan.
“Kenapa gak bilang-bilang kemari?” Johan membuka pintu lebar-lebar.
“Kelamaan! Nunggu buka pintu aja sampe sepuluh menit. Bisa kehujanan aku di jalan kalau harus telepon dulu. Kasihan anakku.”
Gusti menerobos masuk tanpa mengucap salam dan meletakkan tas bayinya di meja tamu. Johan menutup pintu sambil geleng-geleng kepala melihat kelakuan sohibnya itu.
“Aku kan lagi mandi, mana dengar. Mau teh atau kopi?”
“Kopi aja, dech.” Gusti meletakkan bayinya di sofa panjang.
“Kayaknya aku nginep sini aja dech, Jo. Boleh ya? Di rumah juga suntuk banget. Lagian hujan-hujan begini Mely suka kaget-kagetan kalau ada suara petir atau guntur.”
Gusti menatap Johan yang berdiri beberapa langkah dari pintu masuk, lalu menatap gadis kecilnya. Bocah mungil yang berumur empat belas bulan itu tengah tidur pulas dalam selimut halus pemberian ibu Gusti.
“Gak masalah. Bawa aja ke dalam. AC belum kunyalain dari tadi sejak pulang.”
Gusti memindahkan bayinya ke kamar Johan, yang juga ke kamar untuk memakai baju. Lantas ke dapur membuat kopi.
“Kamu merasa ada yang aneh gak sih sama acara tadi? Vina cuma ngasih petty cash lima juta ke Vira untuk pegangan. Terus, pak Suroso tiba-tiba minta uang. Buat apaan, ya? Dia juga menghilang tadi pas lagi puncak-puncaknya.”
Gusti muncul tiba-tiba di dapur bersama sebotol susu ukuran besar dan sekotak susu. Johan melirik ke dua benda yang ditaruh di dekat rak gelas itu.
“Aku juga bingung. Bisa-bisanya kekurangan uang buat tebus makanan. Untung Riska bawa duit cash sejuta, kalau gak, gak tahu gimana. Benar-benar aku gak punya muka tadi.” Johan menyodorkan kopi.
“Haahh … jantungku mau copot bicara sama si kasir Marjan. Untung pemiliknya mau pengertian. Memang rezeki tadi kita, Jo. Tuhan nolongin kita.”
Gusti meneguk kopi saset miliknya yang memang sengaja ditinggalkan di rumah Johan.
Hujan semakin deras, suara gemuruh di langit semakin keras. Gusti hanya berharap bahwa sepanjang malam anaknya bisa tidur lelap. Tidak ada petir yang menggelegar. Tidak ada angin bertiup kencang. Hanya ada pulasan tidur untuk dirinya dan Johan yang sudah sangat lelah.
Dua lelaki itu beralih ke kamar menemani baby girl sambil mengobrol untuk memancing rasa kantuk. Johan melihat Gusti merangkak naik ke kasur. Menyelimuti gadisnya lebih hangat dan mengibas-ngibas di atas Mely untuk menghalau lalat atau nyamuk.
Gusti menjalankan figur kebapakannya dengan baik. Berbagi tugas dengan istri mengurus anak pertama mereka. Setitik kecemburuan dan kesedihan menyerang hati Johan setiap kali melihat Gusti menggendong atau mengurus anaknya.
“Istrimu kapan pulang?”
“Insha Allah lusa, berangkat pagi pesawat jam sepuluh. Mudah-mudahan gak ada hambatan berarti.”
Johan menatap jendela yang tertutup gorden. Pandangannya kosong sembari sesekali mencicip kopi buatannya yang mulai ‘dingin’ karena udara dingin yang menusuk kulit. Dia duduk di kursi kayu beralas busa.
Kilatan cahaya langit terlihat dari balik jendela. Laki-laki itu berdiri, lantas menuju ruang tamu menutup gorden, mengunci pintu, dan mematikan lampu.
Hati Johan mendadak perih, matanya perlahan terasa panas. Entah sesak apa yang menggerogotinya saat ini, tapi Johan benar-benar ingin menangis dari hati yang terdalam.
Apakah karena bertatap muka tanpa sengaja untuk pertama kalinya dengan mantan? Tidak!
Apakah karena melihat Gusti mengurus anak? Juga tidak!
Tapi, detik berikutnya Johan menyadari bahwa dia menangis karena Mely –anak Gusti!
Gusti muncul di balik remang-remang ruang tamu dimana Johan tengah duduk berduka. Air matanya bukan lagi menetes, tapi tak ubahnya air hujan yang sedang turun di luar. Dia melihat gelas kopi Johan di atas meja.
Johan menyeka air mata lantas mengusap pipinya yang basah.
Kamu kenapa nangis?” Gusti duduk di sebelah Johan.
Gusti memperhatikan wajah Johan yang fokus memandang lurus ke depan. Setetes air matanya masih jatuh membasahi. Johan butuh tempat berbagi cerita, dan Gusti memahami itu. Dia memeluk Johan yang langsung menangis pecah di pelukannya.
Dia tahu dengan benar karakter dan tabiat rekan kerja yang sudah seperti saudara baginya. Johan bukan lelaki muluk-muluk, atau pecicilan, atau tukang gombal pada gadis-gadis, dia lelaki dengan kepribadian dewasa. Cool.
Gusti menepuk-nepuk pundak Johan memberi kekuatan. Detik berikutnya, tangis Johan perlahan mereda dan melepas pelukan. Namun, Gusti masih belum tahu apa alasan dibalik Johan menangis.
“Aku siap pasang antena tinggi-tinggi, kalau kamu mau cerita,” tawar Gusti hati-hati.
“Gak, Gus. Gak ada apa-apa. Aku cuma ….”
“Cuma …?”
Gusti masih menyimak dan menunggu kalimat lanjutan Johan yang menggantung. Tapi, insting Gusti berkata bahwa ini karena nasib pernikahannya yang bahkan ternoda dengan perselingkuhan.
“Aku gak tahu sampe kapan aku terus begini,” lirihnya masih terisak.
“Maksudmu?” Kening Gusti mengerut.
“Terus terang, aku juga pengin membuka hati. Punya hidup baru dengan perempuan baru. Aku … pengin berumah tangga lagi, Gus. Tapi ….”
Johan menarik napas karena isakannya yang masih sesekali terdengar. Dia menatap mata Gusti dalam-dalam sebelum mengalihkan tatapan pada jendela yang terlihat terang karena cahaya kilat. Hujan masih turun deras disertai angin bertiup yang –untungnya tidak kencang.
“Aku kayak merasa lelah untuk berurusan lagi dengan hati. Jatuh cinta dimana pengertian dan pengorbanan menjadi bagian yang gak pernah bisa dipisahkan.”
Johan menarik napas panjang – lelah. Dia memang lelah menjalani hidup sebagai seorang duda yang terkurung dalam kurungan hati yang terpenjara. Johan lelah untuk mengerti. Dia lelah. Benar-benar lelah.
“Aku capek, Gus.”
Pengakuan yang sudah Gusti tebak sebelumnya. Luka yang masih terbuka lebar, yang masih membutuhkan waktu untuk menata hati agar siap membuka lembaran baru. Kebahagiaan tidak datang dengan sendirinya, melainkan diciptakan dengan berusaha meraihnya.
“Kamu yakin dengan keinginanmu? Kalau iya, kamu mesti paksakan dirimu untuk bisa terbuka, khususnya hatimu. Aku tahu itu gak mudah, tapi kalau gak dicoba gak akan pernah bisa tahu, kan?”
“Seperti halnya perempuan yang terlihat kuat dan tangguh di luar, kami lelaki pun sebenarnya juga rapuh di dalam. Hanya saja, kami bukan kaum yang dikodratkan ekspresif dalam mengungkapkan perasaan.”
~Gusti Mahoto~
"Abang nginep di rumah Johan. Semalam main ke sini, pas nyampe malah hujan gak berhenti. Si Melly juga badannya anget, gak berani Abang bawa pulang," jelas Gusti video calldengan istrinya. "Astaghfirullahal'adzim! Trus, udah Abang kasih obat? Gimana kondisinya sekarang? Badannya masih panas? "Udah, untung kebawa obat panasnya semalam. Panasnya udah mulai mendingan." Gusti menggeser kamera memperlihatkan Melly yang tengah tertidur pulas. Dia kembali fokuskan kamera ke wajahnya dan melihat air muka khawatir di wajah istrinya. "Udah, kamu siap-siap, nanti ketinggalan pesawat. Hati-hati di jalan, jangan cemas. Insha Allah, Melly gak apa-apa dengan doa kamu ibunya." "Iya, dech. Pergi dulu ya, Bang. Jangan ngerepotin bang Johan. Assamu'alaikum. Muahhh!" "W*'alaikumussalam. Muaahhh!" Gusti keluar kamar membawa saat melihat Johan membawa belanjaan. "Kamu belanja, Jo? Uang darimana?" Gusti
Marina berputar-putar di depan cermin mematut diri dengan celana jeans putih dan tunik bunga selutut berlengan panjang. Marina tidak suka memakai baju terbuka. Tidak sopan kata bapak dan ibunya. Pagi ini dia akan ke ATM untuk setor uang hasil penjualan kemarin. Itu dilakukannya setiap hari. Tiga puluh lima menit kemudian, Marina menatap malas pintu masuk bank, saat matanya menangkap tulisan di mesin setor tunaiMAAF ATM SEDANG DALAM PERBAIKAN.Antrian panjang di dalam ruangan benar-benar memuakkan. Marina dan semua orang tentu saja tidak suka itu. Dia juga malas mencari mesin setor tunai yang lain. Jauh. Marina akhirnya masuk ke dalam bank, berdiri di pintu masuk, melihat ke dalam ruangan yang... Sesak. Matanya tertuju ke layar monitor yang menunjukkan angka 005 untuk antrianteller, lalu pindah ke jam dinding di jarum pendek 10.05. 'Anda tidak beruntung.'
Johan duduk di teras menatap langit malam tanpa kemilau bintang. Angin bertiup sepoi menerbangkan rambutnya yang hitam. Entah sudah berapa puluh orang dan berapa ratus ribu kali, orang-orang memberinya nasehat. 'Menikah memang mudah, tapi menikah yang melibatkan hati bukan perkara mudah.' Johan mengembus napas lelah. Lelah harus menjawab bahkan menjelaskan setiap omongan yang menganggapnya belummove on.Jam dinding mengarah pada angka 9.10 menit. Dia termenung sebentar berpikir akan melakukan apa. Pintu pagar besi, Johan dorong hingga ke batas akhir agar mobilnya bisa keluar, setelah mengambil jaket dan mengunci pintu rumah. Sesaat melihat ponsel ketikaring tonepesan berbunyi. Tidak ada yang penting untuk dijawab. Johan melajukan mobilnya tanpa arah tujuan. Ingin ke rumah Gusti untuk bermain dengan Melly, tapi yang bersangkutan sedang tidak di rumah sejak sehabi
“Gak jadi belanjanya,Nduk?” “Eheh, iya, Pak. Gak jadi, ada yang kelupaan.” Marina memasukkan kunci motor, dan mengeluarkan motornya dibantu si bapak sebelum memberikan selembar uang dua ribu. “Makasih, Pak.” “Sama-sama,Nduk.Hati-hati di jalan.” Marina mengangguk pertanda izin pamit sambil tersenyum. Mengendarai motornya di bawah langit malam yang indah, dia selalu berangan menyusuri jalan setapak dan beraspal, berdua dengan lelaki yang mencintai dan dicintainya. Duduk makan es krim berdua seperti anak remaja yang tengah pacaran. ‘Kapan aku punya suami baru?’ Sepanjang jalan, dia merasakan hatinya perih melihat pasangan mesra dan romantis yang banyak dijumpainya. Sesaat, Marina teringat kenangan manis bersama mantan suami saat masih pacaran dan baru menikah. Semua terasa indah dan bahagia sebelum kemelut rumah tangganya menyerang. Cepat-cepat dia buang ingatan itu. Marina tidak mau lagi mengin
Selesai dengan ritual membersihkan wajah di malam hari, Marina mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur. Gorden dan jendela sudah ditutup sejak Maghrib. Anak-anak pekerja juga sudah beristirahat. Warung makan Marina berupa ruko dua lantai, yang terdapat dua kamar di bawah untuk pekerja lelaki dan dua kamar di lantai atas untuk pekerja perempuan, termasuk dirinya. Selebihnya merupakan pekerja pulang usai warung tutup. Pukul sebelas malam memang masih ramai. Suara musik, kendaraan lalu lalang, dan orang-orang masih terdengar, tetapi bagi para tim Marjan Solid, jam tersebut merupakan jam tidur. Mereka lelah. Masa mereka untuk bersenang-senang adalah selepas warung tutup. Marina juga memberlakukan jam malam bagi pekerja yang tinggal bersamanya di ruko. Piyama hitam yang belum lama dibeli merupakan hadiah ulang tahun anak-anak warung. Marina sangat senang saat itu meski hanya sebuah piyama. Bukan karena bentuk hadiah atau nominalnya, tetapi pemberian yang
“Kak, pesanan sambal ijo petai 100 box buat lusa,” kata Santi mengambil kunci laci kasir. “Barusan ditelepon katanya minta disiapin sebelum jam empat sore.” “Ok, seperti biasa, San. Kakak ke bank dulu!” Marina melajukan motor matic dengan santai. Namun, sejujurnya dia masih tidak tenang karena mimpi buruk tadi malam. Tampilan mata Marina juga tidak bagus –berkantong dan berlingkaran hitam. Pagi ini Marina masih sangat mengantuk sebetulnya, tetapi karena ada banyak pekerjaan yang harus selesai, Marina memaksakan dirinya harus melek. Beberapa kali Marina menguap selama perjalanan. Udara pagi tidak dingin seperti biasanya, tetapi cukup menyembuhkan kantuknya dan menyegarkan otak dan tubuh. Pagi ini dia sengaja datang lebih pagi dari biasanya supaya tidak perlu mengantri. Gerah jika harus masuk ruangan bank menemui teller atau bahkan mencari bank lain. Setoran bank melalui mesin atm yang paling disukainya. “Mudah-mudahan hari ini staminaku o
“Kakak keliatan nggak baik-baik aja. Kakak nggak enak badan?” tanya Santi memperhatikan Marina usai mengunci laci kasir. “Baiknya Kakak istirahat aja dech, Kak.” Sejak pagi dia sudah melihat kejanggalan itu. Namun, tak tertanyakan karena Marina bergegas pergi. Lingkaran hitam masih terlihat dan muka Marina terlihat lelah. Marina tidak menganggapinya. Dia beranjak dari kursi. “Kakak ada masalah?” Santi bertanya dengan hati-hati. Marina menggeleng lalu menjauh dari meja kasir. Tak yakin apa yang dilihat, Marina mengekorinya, mencoba mendekati –mungkin saja berhasil. Begitu pikirnya. “Santi bikinin teh hangat madu, ya?” “Nggak usah, San.” Santi masih mengikutinya hingga ke lantai dua. “Kakak kurang tidur.” Marina menggangguk pelan sembari melepas tas dan menaruhnya. “Mimpi buruk lagi?” Marina menatap sebentar sebelum menggangguk. Dia merebahkan tubuh di ranjang. Nikmat sekali rasanya. Santi menghela napas dalam-dal
“Namanya bu Rini, dia orang berpengalaman nangani orang-orang yang kasus-kasus mental gitu. Kakak tinggal hubungi buat bikin janji ketemu.”Marina menarik napas dalam-dalam sambil membaca data psikolog tersebut. Dia tidak menyangka Santi bisa secepat itu menemukannya. Kerja bagus yang patut diapresiasi karena mendapatkannya dalam dua hari.“Ok, makasih, San. Nanti Kakak hubungi,” katanya menyimpan kertas tersebut ke dalam laci.“Nggak disimpan dulu nomornya, Kak? Kalau kertasnya hilang, kan, masih ada nomor yang bisa dihubungi.”Marina tertegun sejenak. “Nanti aja. Oh iya, pesanan dua hari lalu udah siap?”Kepala Marina bergerak melihat ke dapur. Tampak persiapan pesanan nasi kotak hampir rampung. Menu penganan siang itu juga sudah tertata di etalase warung.“Setengah jam lagi diambil,” sahut Santi sebelum kembali meja kasir. “Pesanan jam empat sore tambah peyek kacang dua pul